• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepadatan Dan Karakteristik Habitat Larva Aedes Spp. Pada Sekolah Dasar Di Kota Palembang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepadatan Dan Karakteristik Habitat Larva Aedes Spp. Pada Sekolah Dasar Di Kota Palembang"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

KEPADATAN DAN KARAKTERISTIK HABITAT

LARVA

Aedes

spp. PADA SEKOLAH DASAR

DI KOTA PALEMBANG

R IRPAN PAHLEPI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kepadatan dan Karakteristik Habitat Larva Aedes spp. pada Sekolah Dasar di Kota Palembang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

(4)

RINGKASAN

R. IRPAN PAHLEPI. Kepadatan dan Karakteristik Habitat Larva Aedes spp. pada Sekolah Dasar di Kota Palembang. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan ELOK BUDI RETNANI.

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes. Penyakit ini dapat menjangkiti semua orang dan mengakibatkan kematian terutama pada anak serta menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. Jumlah penderita DBD di Kota Palembang pada tahun 2015 dilaporkan sebanyak 795 penderita terbanyak pada usia sekolah 5-14 tahun (52%). Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes spp. terdapat di sekitar pemukiman atau tempat umum. Satu diantara tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. adalah sekolah dasar. Aktivitas belajar di sekolah dasar pada pagi (pukul 07.00-12.00) dan siang/sore (pukul 13.00-16.00), merupakan waktu nyamuk Aedes spp. aktif menghisap darah, yakni pukul 08.00-12.00 dan pukul 15.00-17.00.

Tujuan penelitian ini adalah mengukur kepadatan dan mengidentifikasi spesies larva Aedes spp., menganalisis karakteristik habitat perkembangbiakan larva Aedes

spp. serta hubungannya dengan keberadaan larva Aedes spp. dan menganalisis pengetahuan sikap dan praktik penanggung jawab usaha kesehatan sekolah (UKS) dan petugas kebersihan sekolah tentang pencegahan DBD di sekolah dasar Kota Palembang. Jenis penelitian ini deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional study. Sampel yang diambil sebanyak 186 sekolah dari 346 sekolah dasar dari seluruh sekolah dasar negeri maupun swasta.

Metode yang digunakan untuk mengukur kepadatan larva dinyatakan dalam

house indes (HI) container index (CI) dan breteau index (BI). Koleksi larva Aedes

spp. dengan cara single larva, dan diidentifikasi jenisnya. Pengamatan karakteristik habitat dilakukan secara visual dengan mengamati kontainer yang menjadi habitat larva Aedes spp. yang meliputi jenis, bahan, warna, letak, kondisi tertutup/tidak, asal sumber air, pemeliharaan ikan dan penggunaan larvasida. Sedangkan pengukuran suhu air menggunakan sinar infra merah dan pH air menggunakan pH meter. Pengetahuan, sikap dan praktik penanggungjawab UKS dan petugas kebersihan mengenai pencegahan DBD diukur menggunakan wawancara dengan kuesioner terstruktur.

Hasil penelitian menunjukan nilai HI sebesar 65.05%, CI sebesar 21.45 % dan BI sebesar 141 yang kesemua nilai tersebut menunjukan berisiko tinggi terjadinya transmisi DBD. Berdasarkan nilai HI, CI dan BI maka didapatkan nilai density figure

(DF) 8 dan termasuk dalam kategori kepadatan tinggi. Jenis larva yang dominan ditemukan yaitu Ae. aegypti (98.16%). Terdapat hubungan yang signifikan antara letak kontainer, kondisi tutup kontainer, asal sumber air dan pH air serta volume kontainer terhadap keberadaan larva Aedes spp. Hasil analisis multivariat menunjukan faktor risiko karakteristik kontainer terhadap keberadaan larva Aedes spp. adalah jenis kontainer, kondisi tutup, frekuensi pengurasan dan pH air.

Pengetahuan, sikap dan praktik penanggungjawab UKS dan petugas kebersihan tentang demam berdarah dikategorikan baik. Uji chi square menunjukan tidak ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan praktik penanggungjawab UKS dan petugas kebersihan tentang pencegahan DBD dengan keberadaan larva Aedes spp. di sekolah dasar Kota Palembang.

(5)

SUMMARY

R IRPAN PAHLEPI. Density and Habitat Characteristics of larvae Aedes spp. at Primary School in Palembang City. Supervised by SUSI SOVIANA and ELOK BUDI RETNANI.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a contagious disease caused by the dengue virus and transmitted by Aedes mosquito. It could be suffered by every one and caused outbreak and death, especially children.The number of dengue fever patients in the city of Palembang in 2015 was reported as 795 people and the most of them (52%) were school age children (5-14 years). The main breeding sites of Aedes spp. are around public areas. One of the public areas which are potential provide breeding site of Aedes spp. is primary schools. Learning activities at elementary school in the morning (7:00 pm to 12:00 pm) and afternoon/evening (at 13:00 pm to 16:00 pm) are same times with Aedes spp. blood sucking activity, at 08:00 to 12:00 and 15:00 to 17:00.

The purpose of this study to measure the larvae density and identify the species Aedes spp larvae, analyzed the characteristics of Aedes spp. larvae breeding habitat and it’s relationship with the presence of Aedes spp. larvae and analyze the knowledge, attitude and practice of school staff in charge of health (UKS) and the school’s janitor on the prevention of dengue in the school. Type of the research were descriptive analytic with cross sectional study. Samples were 186 school which has been taken from all public and private primary schools in Palembang city (346 school).

The method that used for larvae density measurement was expressed in the house index (HI), container index (CI) and breteau index (BI). The collection of larvae Aedes spp. was a single larvae method, and identified the Aedes spp. species by identification books. Habitat characteristics were observed visually on all larvae container condition include type, material, color, layout, covered condition, the source of water, fish maintain and larviciding treatment. The water temperature measurement used infrared light and water pH by pH meter. Knowledge, attitudes and practices of UKS staff and school janitor on DHF prevention measured by interviewing with a structured questionnaire.

The result showed that the value of HI was 65.05%, CI 21.45% and BI was as big as 141. All of these values showed a high occurrence of dengue transmission. Based on the value of HI, CI and BI were obtained density figures value (DF) was 8 and included in the category of high larva density. The dominant species of larvae were Ae. aegypti (98.16%). There was a significant correlation between the location of the container, covered condition, the source of water, the water pH, and draining frequency to the presence of Aedes spp. Multivariate analysis showed that the most risk of container characteristics were type, covered condition, drining frequency and water pH.

Knowledge, attitudes and practices of UKS staff and school janitor about dengue were considered good. Chi square analyzed showed that there were no correlation between knowledge, attitude and practice on the dengue prevention of UKS staff and school janitor with the presence of Aedes spp. at primary school in Palembang city.

(6)

Palembang.

Jenis penelitian ini deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional study. Sampel yang diambil sebanyak 346 Sekolah dasar. Metode yang digunakan untuk koleksi Larva Aedes spp. dengan metode single larva, selanjutnya larva dikoleksi dan diidentifikasi jenisnya. Pengamatan karakteristik habitat dilakukan secara visual dengan mengamati kontainer yang menjadi habitat larva Aedes spp. yaitu jenis, bahan, warna, letak,kondisi tertutup, sumber air, pemeliharaan ikan dan penggunaan temephos sedangkan pengukuran suhu air menggunakan sinar infra merah dan pH air menggunakan pH meter. Pengetahuan, sikap dan praktik penanggungjawab UKS dan petugas kebersihan mengenai pencegahan DBB diukur menggunakan wawancara dengan kuesioner terstruktur.

Hasil penelitian didapatkan berturut turut nilai house indeks (HI) sebesar 65.05%, container index (CI) sebesar 21.45 %, nilai breteau index (BI) sebesar 141 dan termasuk berisiko tinggi terjadinya transmisi DBD. Sesuai dengan nilai HI, CI dan BI maka didapatkan nilai density figure (DF) 8 dan termasuk dalam kategori kepadatan tinggi. Jenis larva yang dominan ditemukan yaitu Ae. aegypti

(98.16%). Uji statistik memperlihatkan ada hubungan signifikan antara letak kontainer, tutup kontainer dan sumber air dan pH air kontainer terhadap keberadaan larva Aedes spp. Pengetahuan, sikap dan praktik penanggungjawab UKS dan petugas kebersihan tentang demam berdarah dikategorikan baik. Uji chi square menunjukan tidak ada hubungan antara pengetahuan, sikap ktik penanggungjawab UKS dan petugas kebersihan tentang pencegahan DBD dengan keberadaan larva Aedes spp. di sekolah dasar Kota Palem

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(7)

KEPADATAN DAN KARAKTERISTIK HABITAT

LARVA

Aedes

spp. PADA SEKOLAH DASAR

DI KOTA PALEMBANG

R IRPAN PAHLEPI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2015 ini ialah Kepadatan dan Karakteristik Habitat Larva Aedes spp. pada Sekolah Dasar di Kota Palembang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Drh Susi Soviana, MSi dan Ibu Dr Drh Elok Budi Retnani, MS selaku pembimbing yang dengan ikhlas dan telah banyak memberikan bimbingan, arahan serta saran kepada penulis. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof Drh Upik Kesumawati Hadi, MS PhD selaku Ketua Program studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) dan para staf pengajar dan pegawai laboratorium Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan selama masa penyelesaian studi.

Terima kasih pula penulis ucapkan kepada teman-teman seperjuangan PEK 2014 yang banyak memberikan masukan, semangat (Bang Umar, Bang Rasyid, Bos Simba, Bang Joel, Bang Anto, Mas Firman, Bang Wiro, Pak Amalan, Non Evi, Mbak Nindia, Ica, Novi dan Milda) kita semua adalah satu, tetap semangat dan sukses selalu.

Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Yulian Taviv, MSi selaku Kepala Loka Litbang P2B2 Baturaja dan seluruf staf yang telah membantu dan memberikan saran dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh keluarga di Palembang, Kedua orang tua ku, ibu dan bapak mertua serta istriku tercinta “Emawati” dan kedua putri cantikku “Keyla dan Dilla”. Terima kasih atas doa dan semangatnya. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, namun penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Oktober 2016

(11)

DAFTAR ISI

Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Praktik Penanggungjawab UKS dan Petugas Kebersihan

Analisis Data

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geografis dan Demografi Kota Palembang Kepadatan Larva Aedes spp

Jenis-jenis Larva Aedes spp.

Karakteristik Habitat larva Aedes spp.

(12)

DAFTAR TABEL

Kriteria Density Figure (Kepadatan Populasi) Larva Aedes spp. Kepadatan larva Aedes spp. di sekolah dasar Kota Palembang

Jenis kontainer di sekolah dasar Kota Palembang Bahan kontainer di sekolah dasar Kota Palembang

Keberadaan larva Aedes spp.berdasarkan warna, letak, kondisi tutup dan asal sumber air kontainer pada sekolah dasar di Kota Palembang Pemeliharaan ikan, penggunaan larvasida, pH air, suhu air dan Frekuensi pengurasan kontainer pada sekolah dasar Di Kota Palembang

Faktor jenis, letak, kondisi tutup, pH, pengurasan kontainer terhadap risiko keberadaan larva Aedes spp.

9

Diagram distribusi jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan penanggungjawab UKS

Diagram distribusi pengetahuan, sikap dan praktik penanggungjawab UKS tentang pencegahan DBD

Diagram distribusi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan petugas kebersihan

Diagram distribusi pengetahuan sikap dan praktik petugas kebersihan

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1

2

3

4

5

6 7 8

Hubungan karakteristik kontainer dengan keberadaan Larva Aedes spp. pada sekolah dasar di Kota Palembang.

Hubungan antara jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap dan praktik penanggungjawab UKS mengenai pencegahan DBD pada sekolah dasar di Kota Palembang

Hubungan antara pengetahuan, sikap dengan praktik penanggungjawab UKS mengenai pencegahan DBD pada sekolah dasar di Kota Palembang

Hubungan antara pengetahuan, sikap dan praktik penanggungjawab UKS dengan keberadaan larva Aedes spp. pada sekolah dasar di Kota Palembang

Hubungan antara jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap dan praktik petugas kebersihan mengenai pencegahan DBD pada sekolah dasar di Kota Palembang

Dokumnetasi survei larva Aedes spp. dan hasil pengamatan kontainer Dokumentasi hasil identifikasi larva Aedes spp

Dokumentasi wawancara dengan penanggung jawab UKS

33

34

35

36

37 38 39 40 Halaman

(14)
(15)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit menular Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes dari sub genus Stegomyia. Virus dengue yang termasuk Arthropod borne virus (Arbovirus) genus flavivirus, famili flaviviridae, diketahui 4 serotipe yaitu DEN–1, DEN–2, DEN–3, DEN–4 (Perez et al. 1998). Serotipe DEN–3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Gubler 1998).

DBD pertama kali dilaporkan di Australia pada tahun 1897, serta di Italia dan Taiwan pada tahun 1931. Kejadian luar biasa (KLB) di Filipina terjadi pada tahun 1953-1954, sejak saat itu penyakit disertai tingkat kematian yang tinggi ini melanda beberapa negara di wilayah Asia Tenggara termasuk India, Indonesia, Kepulauan Maladewa, Myanmar, Srilangka, Thailand, Singapura, Kamboja, Malaysia, New Caledonia, Filipina, Tahiti dan Vietnam (WHO 2009).

Indonesia merupakan negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. DBD telah menjadi penyakit endemis di kota-kota besar di Indonesia. DBD di Indonesia pertama kali dilaporkan di Kota Surabaya pada tahun 1968, sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia. Tahun 2014 jumlah kasus DBD dilaporkan sebanyak 39.53 per 100 000 penduduk dengan angka kematian 0.91 (Kemenkes RI 2015).

Kasus DBD hampir terdapat di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Sumatera Selatan terdiri atas 17 kabupaten/kota dan Kota Palembang sebagai ibukota Provinsi. Penderita DBD di Kota Palembang pada tahun 2013 berjumlah 438 kasus dan pada tahun 2014 berjumlah 622 kasus dan 1 orang meninggal dunia. Tahun 2015 dilaporkan penderita DBD sebanyak 795 penderita, terbanyak pada usia 5-14 tahun (52%) (Dinkes Kota Palembang 2014). DBD banyak diderita anak-anak usia 5-14 tahun yang merupakan usia sekolah dasar, namun tidak terdapat perbedaan antar jenis kelamin (Sandy dan Sasto 2015).

Tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. dapat ditemukan di sekitar permukiman atau tempat-tempat umum. Satu di antara tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. yaitu sekolah dasar. Tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. seperti bak mandi/bak WC, ember, drum, vas bunga, potongan bambu dan ketiak daun dapat dijumpai di sekolah dasar (Budiyanto 2012; Sari et al. 2012). Keberadaan larva Aedes spp. dalam suatu kontainer dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis, letak, warna, kondisi tutup, adanya ikan pemakan jentik, frekuensi pengurasan dan kegiatan abatisasi/larvasidasi (Hasyimi et al. 2008).

(16)

2

Pengendalian yang paling efektif adalah dengan menurunkan faktor risiko penularan oleh nyamuk vektor dengan cara meminimalkan tempat perkembangbiakan Aedes spp. Penanggungjawab UKS dan petugas kebersihan berhubungan erat dengan pencegahan DBD. Selain itu upaya pendidikan kesehatan pada siswa juga dapat membatasi proses penularan DBD di sekolah (Pujiyanti dan Pratamawati 2014).

Perumusan Masalah Penelitian

Kasus DBD di Kota Palembang mengalami fluktuasi setiap tahunnya, akan tetapi kasus tertinggi selalu terjadi pada usia 5-14 tahun (anak usia sekolah). DBD sangat erat kaitannya dengan tersedianya tempat perkembangbiakan larva Aedes spp. Sekolah dasar merupakan satu diantara tempat-tempat umum yang berpotensi dalam menyediakan habitat perkembangbiakan larva Aedes spp. seperti bak mandi/WC, ember, vas bunga, dan barang-barang bekas (botol bekas, kaleng bekas, ban bekas). Sampai saat ini belum diketahuinya data mengenai vektor DBD di sekolah dasar sehingaa penelitian mengenai kepadatan, karaktestik habitat larva Aedes spp. serta pengetahuan, sikap, praktik penanggungjawab UKS dan petugas kebersihan mengenai pencegahan DBD di sekolah dasar di Kota Palembang sangat penting untuk dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kepadatan larva Aedes spp., mengidentifikasi spesies larva Aedes spp., menganalisis karakteristik habitat perkembangbiakan larva Aedes spp. serta hubungannya dengan keberadaan larva Aedes spp., menganalisis pengetahuan sikap dan praktik penanggung jawab UKS dan petugas kebersihan sekolah mengenai pencegahan DBD di sekolah dasar Kota Palembang.

Manfaat Penelitian

(17)

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Aedes spp. dan Perannya Sebagai Vektor DBD

Penyakit tular vektor (Arthropod-borne diseases) adalah penyakit yang disebabkan oleh patogen (mikroorganisme infeksius) pada manusia atau hewan, dan ditularkan melalui gigitan spesies Arthropoda, seperti nyamuk, lalat, kutu, lipas, pinjal, tungau, dan caplak. Satu diantara penyakit yang paling pesat penyebarannya dan juga membahayakan manusia adalah demam berdarah dengue (DBD). Vektor utama penyakit ini adalah nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor sekunder. Keduanya tersebar diseluruh pelosok tanah air, kecuali di daerah yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut dan secara morfologi dapat dibedakan dengan mudah pada stadium dewasa dan larva (Hadi 2016).

Siklus hidup nyamuk Aedes spp. mengalami metamorfosis sempurna. Telur yang diletakkan di dalam air akan menetas dalam waktu 1 sampai 3 hari pada suhu 30oC, tetapi membutuhkan 7 hari pada suhu 16oC. Telur Aedes dapat bertahan dalam waktu yang lama tanpa air. Nyamuk Aedes spp.dewasa berwarna belang hitam putih, tersebar di daerah tropis. Ciri-ciri tubuhnya bercorak belang hitam putih pada toraks (dada), abdomen (perut) dan tungkai (kaki). Corak ini merupakan sisik yang menempel di luar tubuh nyamuk. Corak putih pada dorsal dada (punggung) Ae. aegypti berbentuk seperti siku yang berhadapan (lyre-shaped), sedangkan Ae. albopictus berbentuk lurus ditengah-tengah punggung (median stripe) (Hadi dan Koesharto 2006).

Nyamuk Aedes spp. pada stadium pradewasanya mempunyai habitat di tempat penampungan air/wadah (kontainer) yang berada di permukiman dengan air yang relatif jernih. Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain : bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah pada wilayah perkotaan; sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah, seperti ketiak daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah (WHO 2003).

DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes dari sub genus Stegomyia. Virus dengue yang termasuk Arthropod borne virus (Arbovirus) genus flavivirus, famili flaviviridae, diketahui 4 serotipe yaitu DEN–1, DEN–2, DEN–3, DEN–4. Serotipe DEN–3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Gubler 1998).

Virus dengue di dalam tubuh nyamuk berkembang secara siklo propagative (bertambah tanpa mengalami perubahan fisik). Perkembangan aktivitas vektor DBD digolongkan menjadi 4 fase, yaitu (1) berkembang dari telur hingga dewasa, (2) dewasa mencari darah dan kawin, (3) beristirahat dan mematangkan telurnya (oogenis), dan (4) bertelur kemudian mencari darah lagi (siklus gonotrofik) (Hadi 2016).

(18)

4

skala laboratorium, virus DEN-2 mampu ditransmisikan secara vertikal (transovarial) pada telur generasi F2 dengan usia rata-rata 2 hari dengan transovarial infection rate (TIR) 52% (Seran dan Prasetyowati 2012).

Penularkan virus dengue secara trans-ovari melalui nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dapat dideteksi dengan menggunakan metode imunositokimia. Pramestuti et al. (2013), melaporkan dari 223 sampel larva yang diambil dari alam/lapangan di Kabupaten Banjarnegara kemudian di pelihara dan menjadi nyamuk dewasa memperlihatkan 21 nyamuk positif antigen dengue. Pada sediaan

pencet kepala (head squash) nyamuk Aedes yang terinfeksi virus dengue terlihat adanya reaksi positif berupa sitoplasma sel yang berwarna coklat dan tersebar di antara jaringan otak nyamuk.

Penelitian lain yang dilakukan di Kelurahan Kombos Barat, Kecamatan Singkil, Kota Manado, mendeteksi keberadaan virus dengue pada nyamuk Ae. aegypti dengan menggunakan metode yang sama, membuktikan bahwa ada potensi nyamuk Ae. aegypti menularkan virus dengue secara transovarial. Telur Ae. aegypti yang diperoleh dari rumah penderita DBD dan ditetaskan menjadi nyamuk dewasa dan sebanyak 50% dari 48 nyamuk terdeteksi positif antigen virus dengue dengan Index Transmisi Transovarial (ITT) berkisar 39,1% - 70% (Mosesa et al. 2016).

Masa inkubasi virus dengue dalam tubuh nyamuk (extrinsic incubation period) antara 7-14 hari, dan bergantung pada strain nyamuk, genotip virus, serta faktor lingkungan seperti kelembapan dan temperatur. Virus bereplikasi di dalam jaringan usus tengah nyamuk, kemudian melalui hemolymph menyebar ke jaringan lain seperti trakea, lemak tubuh, dan kelenjar ludah. Sekali nyamuk tertular virus maka akan menjadi nyamuk yang infektif selamanya (Joshi et al. 2002)

Keberadaan larva Aedes spp. di sekolah dasar telah banyak dilaporkan. Penelitian yang dilakukan oleh Andini (2014) di sekolah dasar Kecamatan Gajah Mungkur, Kota Semarang, larva Aedes spp. banyak ditemukan pada bak mandi (77.27%). Penelitian lain menyebutkan larva Aedes spp. banyak ditemukan dikontainer berupa bak WC (48.4%), berada di dalam gedung (92,3%), berbahan dasar berwarna gelap (76,4%), permukaan bahan kontainer kasar (57%) dan memiliki volume air <50 liter (80.2%) (Budiyanto 2012).

Ukuran kontainer wadah/kontainer sangat berpengaruh terhadap daya tahan larva Aedes spp. untuk bertahan hidup karena cenderung mengandung makanan yang cukup, namun tidak terdapat perbedaan antara peletakan telur di dalam dan di luar bangunan (Harington et al. 2008).

Menurut Hasymi et al. (2009) di daerah endemis DBD Jakarta Selatan, Bekasi dan Tangerang pada saat musim penghujan, larva Ae. aegypti paling banyak ditemukan (94%). Persentase paling banyak sebagai tempat perkembangbiakan (breeding places) Aedes spp. adalah tempat penampungan air (TPA) yang berukuran besar (bak mandi) dan tidak pernah atau jarang diganti airnya (44%). Kontainer yang berwarna gelap yang airnya berasal dari air tanah memiliki volume air antara 5-10 liter dan tidak memiliki tutup paling banyak ditemukan larva Aedes spp.

(19)

21,95-5

25,050C usia nyamuk Ae. aegypti sekitar 50 hari, sedangkan pada suhu rata-rata mingguan luar rumah berkisar antara 22,29-24,470C usia nyamuk Ae. aegypti sekitar 52 hari.

Faktor ketinggian juga berpengaruh terhadap kepadatan populasi Aedes spp. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Karanganyar memperlihatkan bahwa kepadatan nyamuk dewasa pada dataran rendah (<500 meter di atas permukaan laut) 4.5 kali lebih banyak dibandingkan pada dataran tinggi (> 500 meter di atas permukaan laut). Selain itu usia nyamuk di dataran rendah lebih tua daripada temuan nyamuk di dataran tinggi. Larva Ae. aegypti yang ditemukan di dataran rendah 4 kali lebih banyak dibandingkan di dataran tinggi (Wahyuningsih et al. 2004).

Pengendalian Vektor DBD

Pencegahan dan pengobatan penyakit DBD secara vaksinasi hingga saat ini belum dapat diterapkan (WHO 2009; Kemenkes RI 2015). Cara yang paling efektif adalah secara fisik dengan memberantas/meniadakan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. (Hadi 2016).

Pengendalian lain yang sering digunakan yaitu secara kimia (larvasida dan penyemprotan insektisida). Pengendalian secara kimiawi masih menjadi pilihan bagi program pengendalian DBD dan masyarakat. Insektisida yang digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu akan mampu mengendalikan vektor DBD dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran.

Penelitian mengenai pengendalian secara kimia telah banyak dilakukan. Salim et al (2011) melaporkan, pada 2 kelurahan di Kota Palembang Ae. aegypti stadium dewasa masih rentan terhadap malation dosis 5%. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambarita et al. (2015) pada 11 kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan hal yang sama. Secara umum, telah terjadi penurunan sifat kerentanan nyamuk Ae. aegypti terhadap malation sebagai dampak dari penggunaannya dalam kegiatan pengendalian vektor DBD. Penggunaan malation dosis 5% dalam kegiatan pengendalian vektor, masih dapat digunakan namun memerlukan pemantauan kerentanan vektor secara berkala.

Penggunaan insektisida dari jenis yang sama dan dilakukan dalam jangka tertentu akan menimbulkan resistensi vektor DBD (Sukowati 2010). Penelitian yang telah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia mengindikasikan bahwa nyamuk Ae. aegypti telah resisten terhadap berbagai jenis insektisida. Penelitian yang dilakukan di Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Grobogan dan Purbalingga, menggunakan impragnated paper mengandung bahan aktif malathion 0.8% dan permethrin 0.25% menunjukani bahwa nyamuk Ae. aegypti dewasa telah resisten (Sunaryo et al. 2014).

(20)

6

Pengendalian larva Aedes spp. secara biologi cukup efektif ditambah dengan pemantauan larva Aedes spp. secara berkala (Hadi 2016). Pengendalian secara biologi (pemanfaatan hewan predator larva) juga telah banyak dilaporkan. Pujianto et al. (2008) melaporkan dalam skala laboratorium berhasil mengisolasi satu isolat bakteri kitinolitik (isolat LMB1-5) dari sampel air yang diperoleh dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan larva Ae. aegypti. Bakteri ini dapat menyebabkan kematian larva Ae. aegypti sebesar 86.7% dalam waktu 7 hari. Selain berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva Ae. aegypti, bakteri kitinolitik juga berpengaruh terhadap perubahan morfologi larva (mengalami kerusakan struktur eksoskeleton akibat terdegradasi oleh aktivitas kitinase yang dihasilkan oleh bakteri kitinolitik), sehinggga tidak memungkinkan larva mengalami metamorfosis. Semakin tinggi konsentrasi inokulum bakteri yang ditambahkan ke dalam media pemeliharaan larva maka semakin tinggi mortalitas larva. Isolat bakteri kitinolitik LMB1-5 ini sangat berpotensi dikaji dan dikembangkan sebagai galur untuk pengendalian larva nyamuk Ae. aegypti secara biologis.

Selain itu pemanfaatan bakteri juga dapat digunakan dalam pengendalian vektor DBD. Menurut Gama et al. (2010) toksisitas Bacillus thuringiensis isolat Madura dapat membunuh larva nyamuk Ae. aegypti instar I sebanyak 88,89%. Semakin tua usia stadium larva nyamuk maka semakin resisten terhadap serangan toksin yang dihasilkan oleh bakteri ini pada kondisi kepadatan bakteri tertinggi,

Pemanfaatan ikan cupang terbukti efektif dalam pengendalian DBD. kemampuan makan ikan cupang (Betta spp.) lebih tinggi dibandingkan dengan ikan nila (Oreochromis niloticus) dan ikan mas (Cyprinus carpio) dengan jumlah larva yang dimakan 34,6 – 36,9 ekor larva nyamuk. Kemampuan makan pada berbagai jenis ikan terhadap larva nyamuk dipengaruhi beberapa faktor antara lain keagresifitasan ikan, espesialisasi ikan terhadap makanan, lamanya waktu aktif dan jumlah waktu aktif ikan dalam 24 jam ( Zen 2012).

Pengendalian secara terpadu dengan mengkombinasikan pengendalian secara kimia dan hayati juga telah dilakukan. Menurut Darwin et al. (2013) pengendalian terpadu vektor DBD mengkombinasikan pengendalian kimiawi (pemakaian gorden berinsektisida sipermethrin plus etil selulosa) dengan pengendalian hayati menggunakan predator larva Mesocyclops aspericornis di Kota Salatiga. Aplikasi M. aspericornis dan gorden berinsektisida sipermethrin 10EC, dosis 0.5 gram b.a/m2 plus etil sellulose 0.1% dapat meningkatkan angka bebas larva dan menurunkan ovitrap indeks. Penurunan signifikan angka bebas larva (ABJ) sebesar 96.27% dari semula 85.05%, ovitrap indeks dari 14.49% turun menjadi 8.88% dan daya bunuh gorden berinsektisida sipermethrin plus etil sellulosa terhadap nyamuk Ae. aegypti 82.93% pada minggu ke-15 (3 bulan).

(21)

7

DBD, serta partisipasi masyarakat dalam pengendalian vektor seperti 3 M (menguras, mengubur, menutup) plus, pemberantasan sarang nyamuk (PSN) hingga juru pemantau jentik/larva (jumantik).

Peran serta masyarakat sangat berperan dalam pengendalian vektor DBD. Perilaku manusia yang menyediakan habitat nyamuk, rendahnya pendidikan dan pelatihan mengenai pencegahan DBD serta masih minimnya sarana infrastruktur kesehatan (pengadaan air bersih) menjadi tantangan/permasalahan dalam pengendalian DBD. Strategi pengendalian DBD dengan mengedepankan upaya pemberdayaan dan peran serta masyarakat dapat berperan dalam menekan kejadian DBD. Hal tersebut dapat tercermin dalam pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat mengenai pencegahan DBD (Hadi 2016).

Pengetahuan tentang infeksi virus DBD mempengaruhi cara individu memberikan perhatian lebih terhadap DBD dan kerentanannya untuk terjangkit penyakit tersebut. Kewaspadaan Komunitas Sekolah di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang terhadap penularan DBD masih rendah akibat ketidaktahuan guru dan tenaga kebersihan terhadap infeksi sekunder DBD, siklus hidup nyamuk dan keberadaan nyamuk sebagai vektor. Efektivitas pemberantasan sarang nyamuk (PSN) untuk pengendalian vektor DBD di Kecamatan Tembalang belum mendapat respon positif dari Komunitas Sekolah (Pujiyanti dan Pratamawati 2014).

Sustini et al. (2012) melaporkan pelatihan mengenai penangan DBD dan monitoring larva Aedes spp terhadap guru dan siswa sekolah dasar di Kota Surabaya, dinilai cukup efektif dalam meningkatkan pengetahuan mereka tentang pencegahan DBD. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil pre dan post tes yang semula rata-rata 76.33 menjadi 90.55. Penelitian lain menyebutkan pengetahuan masyarakat terhadap pelaksanaan PSN DBD di wilayah Provinsi Daerah Istimewan Yogyakarta sangat positif namun dari segi perilakunya masih belum banyak diharapkan karena persepsi yang ada masih menganggap fogging adalah metode pengendalian DBD yang terbaik (Subargus 2007).

(22)

8

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan September-Desember 2015. Penelitian dilakukan di sekolah dasar yang berada di bawah lingkungan kerja Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan.

Ukuran Sampel

Jenis penelitian ini observasional deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan observasi dan wawancara. Populasi penelitian adalah sekolah dasar baik negeri maupun swasta yang ada di Kota Palembang di bawah wilayah kerja Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota Palembang. Jumlah sekolah dasar sebanyak 346 (268 sekolah dasar negeri dan 78 sekolah dasar swasta). Penentuan jumlah sampel menurut Slovin dalam Husein (2004) didapatkan sampel sebanyak 186 sekolah dasar dengan perhitungan sebagi berikut :

Rumus :

n = N/ (1 + N . e2)

n = 346 / (1 + 346 x 0.05²) = 346 / 1.865 n = 186 (Sekolah Dasar)

Keterangan :

n = Number of sampel (jumlah sampel)

N = Total population ( jumlah seluruh anggota populasi) e = Error tolerance (taraf signifikansi 0.05)

Pengukuran Kepadatan larva Aedes spp.

Pengukuran indek larva Aedes spp. dilakukan dengan penghitungan HI (house index) yang menunjukan persentase bangunan yang ditemukan larva Aedes spp. sehingga dapat melihat jumlah populasi yang berisiko. CI (container index) menunjukan persentase kontainer yang ditemukan larva Aedes spp. dan digunakan untuk melihat proporsi kontainer yang positif larva Aedes spp. BI (breteau index) merupakan nilai persentase antara kontainer yang positif larva dengan jumlah bangunaan yang diperiksa (WHO 2009) dan ABJ (angka bebas jentik/larva) menunjukan persentase bangunan yang tidak ditemukan larva Aedes spp.

(23)

9

Tabel 1 Kriteria density figure (DF) larva Aedes spp.

HI CI BI DF Kepadatan

Keterangan : HI=house index. CI=container index, BI=bretau index DF=density figure

Koleksi dan Identifikasi Larva Aedes spp.

Koleksi larva Aedes spp. menggunakan metode single larva. Setiap kontainer yang ditemukan larva, maka 1 larva diambil sebagai sampel (Sheppard et al. 1969). Kontainer yang berisi air yang berpotensi menjadi habitat Aedes spp. diperiksa menggunakan senter. Kontainer dengan volume air yang banyak (lebih dari 100 liter), apabila tidak terlihat adanya larva nyamuk, diamati kurang lebih 5 menit (larva Aedes spp. akan bergerak ke permukaan untuk mengambil oksigen) sambil mengetuk-ngetuk tempat perkembangbiakan untuk meyakinkan bahwa benar-benar tidak terdapat larva nyamuk. Setiap larva nyamuk yang diperoleh dari setiap kontainer dimasukan dalam botol larva terpisah yang telah diberi cairan alkohol 70 % sebagai preservasi, kemudian diberi label.

Identifikasi spesies Aedes spp. diamati menggunakan mikroskop di Laboratorium Entomologi Loka Litbang P2B2 Baturaja Kemenkes RI mengunakan kunci identifikasi Aedes spp. (Rueda 2004). Setelah spesies Aedes spp. diketahui, kemudian mengisi hasil identifikasi larva ke dalam formulir larva berdasarkan label botol larva.

Karakteristik Habitat Larva Aedes spp.

(24)

10

Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Praktik Penanggung Jawab Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan petugas kebersihan

Pengukuran pengetahuan, sikap serta praktik penanggung jawab UKS dan petugas kebersihan dari masing-masing sekolah yang menjadi responden dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Kuesioner berisi pertanyaan pengetahuan, sikap dan praktik mengenai pencegahan DBD. Sebelum dilakukan wawancara, responden terlebih dahulu diberikan penjelasan mengenai informasi penelitian dan menandatangani lembar kesediaan (informed consent). Wawancara juga dilakukan untuk melihat bagaimana upaya yang telah dilakukan oleh pihak sekolah berkaitan dengan pengendalian larva Aedes spp. yang ada di lingkungan sekolah.

Analisis Data

Analisis secara univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi dari masing-masing peubah. Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara dua peubah menggunakan uji chi square. Analisis multivariat untuk melihat faktor risiko menggunakan uji regresi logistik dengan menampilkan hasil odds ratio (OR) dan confidence interval (CI) sebesar 95% digunakan untuk mengetahui batas atas dan batas bawah dari nilai OR. Uji regresi logistik menggunakan metode enter, sehingga diperoleh peubah yang signifikan dan peubah lainnya sebagai peubah moderator terhadap keberadaan larva Aedes spp. Untuk mengetahui peubah yang berpengaruh, maka dilanjutkan dengan metode forward conditions dengan memasukkan peubah yang signifikan saja dalam analisis (Riwidigdo 2010).

Data karakteristik habitat larva Aedes spp. dan data pengetahuan, sikap, praktik penanggung jawab UKS serta petugas kebersihan sekolah dasar ditabulasi dan dianalisis menggunakan perangkat komputer melalui program SPSS versi 17.0. Sebelum dilakukan uji antar peubah dilakukan normalisasi data menggunakan nilai skewness dan standar error nya, bila nilai skewness dibagi standar error nya menghasilkan angka ≤ 2, maka distribusinya normal (kategori data menggunakan nilai mean). Apabila nilai skewness dibagi standar errornya menghasilkan angka > 2, maka distribusinya tidak normal (kategori data menggunakan nilai median).

Data mengenai pengetahuan, sikap dan praktik penanggung jawab UKS dinilai berdasarkan jawaban yang benar dari hasil wawancara terstruktur dengan kriteria : pengetahuan responden baik jika nilai (x) ≥ mean, kurang baik jika nilai

(25)

11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geografis dan Demografi Kota Palembang

Kota Palembang adalah ibukota Provinsi Sumatera Selatan yang mempunyai luas wilayah 400.61 km2 dengan jumlah penduduk 1 580 517 jiwa, yang berarti setiap km2 dihuni oleh 3945 jiwa. Kota Palembang terletak antara 2052’–305’ LS dan 104037’–104052’ BT merupakan daerah tropis, suhu cukup panas antara 23,4 0C-31,7 0C dengan curah hujan terbanyak pada bulan April sebanyak 338 mm dan minimal pada bulan September dengan curah hujan 10 mm.

Kota Palembang sebelah utara berbatasan dengan Desa Pangkalan Benteng, Desa Gasing, dan Kenten Laut, Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bakung Kecamatan Inderalaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muara Enim. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Balai Makmur, Kecamatan Banyuasin I, Kabupaten Banyuasin. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sukajadi, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin (Gambar 1)

Kota Palembang terdiri atas 17 kecamatan, yaitu Ilir Timur I, Ilir Timur II, Ilir Barat I, Ilir Barat II, Seberang Ulu I, Seberang Ulu II, Sukarame, Sako, Bukit Kecil, Gandus, Kemuning, Kalidoni, Plaju, Kertapati, Alang-Alang Lebar dan Sematang Borang. Penyebaran DBD hampir merata di seluruh wilayah Kota Palembang. Angka kejadian DBD tertinggi berada di Kecamatan Ilir Barat I, Bukit Kecil, Ilir Timur I, Ilir Timur II, Alang-Alang Lebar, Sako, dan Sukarami (Dinkes Kota Palembang 2014).

Data kasus DBD dari tahun 2010-2015 mengalami fluktuasi dan tertinggi pada tahun 2015. Jumlah kasus DBD tahun 2010-2015 berturut-turut adalah 675 kasus, 723 kasus, 883 kasus, 438 kasus, 622 dan tahun 2015 berjumlah 795 kasus.

(26)

12

Kepadatan Larva Aedes spp.

Hasil pengamatan pada 186 sekolah dasar di Kota Palembang didapatkan sebanyak 65.05% sekolah dasar positif larva Aedes spp. Jumlah kontainer yang diperiksa berjumlah 1221 dengan kontainer terdapat larva Aedes spp. sebanyak 21.50%. Nilai house indeks (HI) sebesar 65.05%, container index (CI) sebesar 21.45 %, nilai breteau index (BI) sebesar 141 dan nilai angka bebas jentik (ABJ) sebesar 34,95%. Berdasarkan nilai HI, CI dan BI maka didapatkan nilai density figure (DF) 8 dan termasuk ke dalam kategori kepadatan tinggi (Tabel 2).

Faktor yang mempengaruhi tingginya indeks larva Aedes spp. di sekolah dasar di Kota Palembang antara lain masih kurangnya perilaku mengenai pengurasan kontainer. Hal ini disebabkan karena kurang lancarnya distribusi air dari perusahaan daerah air minum daerah (PDAM) sehingga pihak sekolah menampung air pada kontainer tanpa dilakukan pengurasan secara rutin (minimal seminggu sekali). Keberadaan kontainer yang berukuran cukup besar dengan volume air yang banyak dan disimpan dalam jangka waktu lama serta jarang dibersihkan, berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan larva Ae. aegypti. Hasil pengamatan diketahui bahwa sekolah dasar yang ditemukan larva Aedes spp. terletak di wilayah pemukiman warga.

Penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto (2012) di sekolah dasar di Kecamatan Baturaja Barat, Kota Baturaja Kabupaten OKU Propinsi Sumatera Selatan menunjukan hal yang sama, dengan kepadatan larva Aedes spp. dikategorikan kepadatan tinggi.

Keberadaan kontainer sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes, karena semakin banyak tempat perindukan maka akan semakin padat populasi nyamuk Aedes (Hall et al. 1996). Semakin tinggi kepadatan larva Aedes spp. suatu daerah maka semakin besar kemungkinan terjadinya transmisi DBD.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan DBD di sekolah yaitu pemantauan larva Aedes spp. secara berkala dengan memanfaatkan peran serta siswa. Andini (2014) melaporkan bahwa keberadaan siswa pemantau larva yang aktif memiliki pengaruh positif terhadap keberadaan larva Aedes spp di sekolah dasar Kecamatan Gajah Mungkur, Kota Semarang. Hal dapat dilihat dari peningkatan angka bebas jentik/larva (ABJ) pada kelompok eksperimen dari 0% menjadi 75%, penurunan CI dari 29.17% menjadi 6.25%, dan terjadi penurunan HI dari 100% menjadi 25%. Pada kelompok kontrol terjadi penurunan ABJ dari 12.5% menjadi 0%, peningkatan CI dari 50% menjadi 62.9%, peningkatan HI dari 87.5% menjadi 100%.

Tabel 2 Kepadatan larva Aedes spp. pada sekolah dasar di Kota Palembang

(27)

13

Identifikasi Larva Aedes spp.

Hasil identifikasi terhadap larva Aedes spp. didapatkan sebanyak 263 larva, di peroleh larva Ae. aegypti sebanyak 96.18,%, dan Ae. albopictus 3.82%. Sedangkan pada sebuah kontainer terdapat 1 larva Culex spp (0,3%) yang tidak berperan sebagai vektor DBD. Banyaknya larva Ae.aegypti yang ditemukan di sekolah dasar di Kota Palembang dikarenakan seluruh sekolah dasar yang diperiksa berada di wilayah perkotaan dan dalam wilayah perkotaan Ae. aegypti lebih dominan. Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor yang utama namun spesies lain seperti Ae. albopictus berperan sebagai vektor skunder (Hadi dan Koesharto 2006).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto (2012) di sekolah dasar Kecamatan Baturaja Timur, Kota Baturaja ditemukan larva Ae. aegypti (91%) dan Sari et al. (2012) di sekolah dasar Kota Semarang ditemukan larva Aedes spp. (78,7%). Penelitian yang dilakukan oleh Olano et al. (2015) di sekolah dasar di Colombia pada saat musim kemarau dan hujan juga ditemukan larva Ae. aegypti (7.5%). Senada dengan penelitian lain yang dilakukan Budiyanto et al. (2008) di permukiman warga di Kota Palembang larva Ae. aegypti paling banyak ditemukan (95%).

Keberadaan larva Aedes spp. di lingkungan sekolah dasar dapat menjadi salah satu indikator dalam evaluasi pelaksanaan pengendalian DBD. Oleh karena itu sekolah dasar sangat berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk vektor DBD. Menurut Borge et al. (2008) keberhasilan dalam pengendalian vektor DBD di sekolah memerlukan kerjasama dengan membangun layanan kesehatan sekolah terpadu, meningkatkan hubungan kerja antara sekolah, kesehatan pusat dan masyarakat.

Karakteristik Habitat Larva Aedes spp.

Jenis Kontainer

Berdasarkan jenisnya kontainer dibagi menjadi 3, yaitu tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, TPA bukan untuk keperluan sehari-hari (non TPA) dan TPA alamiah (Kemenkes 2015). Pada penelitian ini tidak ditemukan TPA alamiah seperti lubang pohon, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu.

Jenis kontainer TPA yang terbanyak yaitu bak WC (41.5%) dan jenis kontainer non TPA terbanyak berupa vas/pot bunga (20.9%). Jenis kontainer yang positif larva terbanyak yaitu bak WC (10.24%), bak mandi (4.01%) dan vas/pot bunga 2.62 % (Tabel 3). Uji stastistik memperlihatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kontainer yaitu TPA dan non TPA dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.112) (Lampiran 1).

(28)

14

Tabel 3 Jenis kontainer pada sekolah dasar di Kota Palembang

Jenis kontainer

Keberadaan larva Aedes spp.

Jumlah %

Selain bak WC, vas/pot bunga juga berpotensi menjadi habitat larva Aedes spp. Keberadaan vas/pot bunga khususnya tanaman hias yang menggunakan air sebagai media pertumbuhan berpotensi sebagai habitat larva Aedes spp. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto (2012) di sekolah dasar Kecamatan Baturaja Timur, Kota Baturaja menunjukan bahwa jenis kontainer yang banyak ditemukan adalah bak WC (48.4%). Menurut Vezzani and Carbajo (2008) kontainer yang paling berisiko menjadi habitat larva Aedes spp. adalah kontainer dengan diameter yang lebar karena akan memudahkan nyamuk untuk keluar masuk dan berkembang biak di tempat tersebut (bak mandi/bak WC).

Penelitian yang dilakukan oleh Badrah dan Hidayah (2011) di Kelurahan Penajam, Kabupaten Penajam, Paser Utara, Propinsi Kalimantan Timur terdapat hubungan yang sinifikan antara jenis TPA dengan keberadaan larva Aedes spp. Bahan Kontainer

Sebagian besar kontainer yang ditemukan di sekolah dasar Kota Palembang berbahan dasar plastik (46.2%) dan keramik (43.8%), sedangkan bahan kontainer yang paling banyak terdapat larva Aedes spp. adalah keramik (10.56%) (Tabel 4). Banyaknya kontainer berbahan dasar keramik yang ditemukan larva Aedes spp. yang ditemukan berkaitan dengan jenis kontainer yang paling banyak terdapat di sekolah-sekolah yakni bak WC yang berbahan dasar keramik.

(29)

15

Tabel 4 Bahan kontainer pada sekolah dasar di Kota Palembang

Bahan kontainer

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari et al. (2012) pada sekolah dasar di Kota Semarang yang menunjukan kontainer yang paling banyak ditemukan berbahan dasar plastik (63.1%) dan persentase tertinggi kontainer yang ditemukan larva Aedes spp. tertinggi juga berbahan dasar plastik (46.9%).

Menurut Ayuningtyas (2013), di Kelurahan Bangetayu Wetan, Kota Semarang bahan kontainer yang paling tinggi positif larva Ae. aegypti adalah semen dan tanah 63.6% dan terdapat perbedaan keberadaan larva Ae. aegypti berdasarkan bahan kontainer (p=0.004).

Pemilihan tempat bertelur nyamuk Aedes spp. dipengaruhi oleh bahan dasar kontainer. Perilaku Aedes spp. yang menempelkan telur pada dinding bagian dalam kontainer dan lebih menyukai permukaan dinding yang kasar. Permukaan dinding kontainer yang kasar lebih mudah dilekati telur dan ditumbuhi lumut sehingga lebih berpotensian menjadi tempat perkembangbiakan larva Aedes spp. (Kemenkes RI 2015).

Hemme et al. (2009), melaporkan bahan kontainer yang terbuat dari baja atau plastik tidak menunjukan adanya perbedaan nutrisi secara signifikan terhadap keberadaan larva Ae. aegypti di Trinidad, West Indies. Keberadaan larva Ae. aegypti

tergantung pada interaksi antara beberapa faktor biotik dan abiotik. Kandungan amonia di dalam air mempengaruhi populasi mikroba sebagai pakan larva nyamuk atau bisa juga menghambat perkembangan sebagai stressor untuk mengembangkan larva.

Warna Kontainer

Pada penelitian ini warna kontainer dibagi menjadi 2 yaitu berwarna gelap dan terang berdasarkan pengematan peneliti. Hasil pengamatan didapatkan sebagian besar kontainer dikategorikan berwarna terang (70.8%) (Tabel 6). Uji statistik memperlihatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara warna gelap dan terang kontainer dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.121) (Lampiran 1).

(30)

16

menunjukan korelasi dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.017). Hal ini dapat dikarenakan perbedaan jumlah kontainer yang positif larva Aedes spp. lebih banyak yang dikategorikan berwarna gelap dibandingkan dengan kontainer yang berwarna terang.

Bartlett et al. (2012) melaporkan bahwa dari 306 kontainer sampel di daerah perkotaan, pinggiran kota dan pedesaan di New Jersey, USA menunjukkan warna kontainer hitam dan abu-abu, berkorelasi dengan kehadiran spesies larva Ae. albopictus dan Ae. japonicus.

Letak Kontainer

Letak kontainer merupakan keberadaan kontainer yang ditempatkan, baik di dalam maupun di luar struktur bangunan. Jumlah kontainer yang ditemukan lebih banyak di dalam bangunan (61.59%) dan kontainer yang terdapat larva Aedes spp. juga banyak ditemukan dalam bangunan (15.31%) (Tabel 5). Uji stastistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara letak kontainer di dalam dan di luar bangunan terhadap keberadaan larva Aedes spp. (p=0.000) (Lampiran 1).

Kebiasaan istirahat nyamuk Ae. aegypti lebih banyak di dalam bangunan atau kadang-kadang di luar bangunan dekat dengan habitatnya yaitu di tempat yang agak gelap dan lembab, tempat-tempat tersebut digunakan nyamuk selama proses pematangan telur. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya. Hal ini sejalan dengan hasil identifikasi larva Aedes spp. yang didapatkan bahwa nyamuk Ae. aegypti lebih dominan.

Tabel 5 Keberadaan larva Aedes spp.berdasarkan warna, letak, kondisi tutup dan asal sumber air kontainer pada sekolah dasar di Kota Palembang

(31)

17

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Budiyanto (2012), di sekolah dasar Kecamatan Baturaja Timur, Kota Baturaja bahwa semua kontainer yang positif larva Ae. aegypti berada di dalam bangunan. Begitu juga penelitian yang di lakukan oleh Zubaidah et al. (2014), di Kelurahan Surgi Mufti, Kota Banjarmasin jumlah kontainer yang lebih banyak ditemukan di dalam bangungan/rumah (75.09%) dan kontainer yang positif larva Aedes spp. juga terbanyak di dalam banguan/rumah (77.5%).

Menurut Fathi et al. (2005), keberadaan kontainer baik yang berada di dalam maupun di luar rumah merupakan faktor yang sangat berperan terhadap transmisi ataupun terjadinya kejadian luar biasa (KLB) DBD di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Penelitian lain melaporkan tidak ada pengaruh banyaknya jumlah kontainer didalam rumah terhadap keberadaan larva Aedes spp. di Dusun Mandingan, Desa Kebon Agung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul (p=0.818) (Imawati dan Sukesi 2015).

Kondisi Tutup Kontainer

Hasil pengamatan di lapangan ditemukan lebih banyak kontainer yang tidak memiliki tutup (96%) dan kontainer yang positif larva Aedes spp. juga ditemukan pada kontainer yang tidak memiliki tutup (21.22%) (Tabel 5). Uji stastistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara kontainer yang tertutup dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.013) (Lampiran 1).

Pada penelitian ini ditemukan kontainer yang memiliki tutup namun ditemukan larva Ae. aegypti. Kontainer yang memiliki tutup apabila digunakan sehari-hari dan dibiarkan dalam kondisi terbuka selama beberapa lama sehingga memungkinkan nyamuk Aedes spp. untuk meletakkan telurnya. Salim dan Febrianto (2005) melaporkan di Desa Saung Naga, Kabupaten OKU, propinsi Sumatera Selatan pada 50 kontainer yang memiliki tutup ditemukan larva Ae. aegypti

(52.78%).

Menurut Hasyimi et al. (2009) sebesar 93% nyamuk bebas masuk ke dalam penampungan air yang tidak memiliki tutup untuk bertelur dibandingkan kontainer memiliki tutup di Bekasi dan Tanggerang. Penelitian lain yang dilakukan di Kelurahan Penajam, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara, dari 207 TPA yang dalam keadaan terbuka terdapat sebanyak 41.5% positif larva Ae.aegypti dan terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi tutup kontainer dengan keberadaan larva Ae.aegypti. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat yang membersihkan TPA secara rutin (seminggu sekali) (Badrah dan Hidayah 2011).

Sumber Air

Sebanyak 230 kontainer (18.84%) yang terdapat larva Aedes spp. berisi air yang berasal dari pengolahan daerah air minum (PDAM). Uji stastistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara sumber air kontainer PDAM dan non PDAM dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.000) (Lampiran 1).

(32)

18

dengan volume air yang banyak dan disimpan dalam jangka waktu yang lama serta jarang dibersihkan/di kuras, berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan larva Ae. aegypti.

Penelitian yang dilakukan oleh Sayono et al. (2011) dalam skala laboratorium terhadap ketahanan hidup larva Ae. aegypti pada air PAM sangat rendah dan tidak dapat tumbuh normal namun dapat hidup sampai 1 bulan. Air PAM pada umumnya mengandung tawas, klor, kapur ataupun bahan-bahan kimia lainnya yang dapat membuat larva nyamuk mengalami kematian bila konsentrasi dari bahan-bahan kimia yang digunakan tersebut berlebihan.

Menurut Ayuningtyas (2013) dari 49 rumah di Kelurahan Bangetayu Wetan, Kota Semarang yang sumber airnya berasal dari air susia gali/artetis 42.9% ditemukan larva Ae. aegypti dan dari 6 rumah yang sumber airnya berasal dari air PDAM hanya 16.7% positif ditemukan larva Ae. aegypti. Secara statistik tidak terdapat pengaruh asal sumber air terhadap keberadaan larva Ae. aegypti.

Pemeliharaan Ikan

Sebagian besar kontainer yang diperiksa tidak terdapat ikan (99.8%) dan semua kontainer yang terdapat larva Aedes spp. juga tidak terdapat ikan, sehingga tidak bisa dilakukan uji statistik (Tabel 6).

Berbagai laporan mengenai pengendalian secara biologi menggunakan ikan cukup efektif dan efisien. Penelitian yang dilakukan di Sumatera Selatan dalam skala laboratorium penggunaan ikan cupang yang berukuran 4 cm dinilai paling efektif karena mampu memakan larva Ae. aegypti sebanyak 100 ekor dalam waktu 8 jam. Selain itu jenis ikan ini memiliki daya tahan yang cukup baik pada air yang mengandung temefos dosis anjuran (1gr/10L air) selama pengamatan 20 hari (Taviv et al. 2007).

Selain ikan cupang ikan mas juga dapat digunakan sebagai pengendalian biologis. Sofiana (2013) melaporkan uji coba ikan sebagai predator biologi di Kelurahan Gajah Mungkur, Kota Semarang selama 2x24 jam menunjukan ikan mas merupakan ikan pemakan larva Ae. aegypti terbanyak dibandingkan terhadap ikan nila dan ikan cethul (guppy). Ikan mas memiliki daya adaptasi dan daya tahan yang baik di bak penampung air. Salah satu keunggulan ikan mas adalah perilakunya yang tenang di bak air sehingga tidak ada kemungkinan melompat dari bak mandi.

Penggunaan Larvasida (temefos)

Hasil pengamatan didapatkan hampir semua kontainer yang diperiksa (99.8%) tidak terdapat temefos dan kontainer yang terdapat larva Aedes spp. semuanya tidak ditemukan penggunaan temefos (21.46%) (Tabel 6). Wawancara dengan petugas UKS maupun petugas kebersihan disekolah bahwa pernah menggunakan temefos dan sebagian besar dengan cara ditabur. Pada penelitian ini residu temefos tidak diukur, hanya berdasarkan pengamatan dan pengakuan dari responden saja.

(33)

19

Tabel 6 Pemelihara ikan, penggunaan larvasida, pH, suhu air dan frekuensi pengurasan dalam kontainer pada sekolah dasar di Kota Palembang

Karakteristik

Pengendalian secara kimia menggunakan temefos cukup efektif dalam mengendalikan larva Aedes spp. Penelitian yang dilakukan oleh Salim et al. (2011) pada dua kelurahan di Kota Palembang menunjukan temefos efektif membunuh larva Ae. aegypti dengan dosis 0,1 g/l dengan kematian 100%.

Menurut Raharjo (2009), dalam skala laboratorium pada wadah keramik, logam, plastik, temefos 1% sangat efektif membunuh larva Ae. aegypti pada sumber air susia maupun PAM dengan rata-rata prosentase kematian 95%-100%.

Pengukuran pH air.

Sebanyak 97.7 % kontainer yang diperiksa memiliki pH 6-7.5 dan pada pH air yang terdapat larva Aedes spp. juga berkisar 6-7.5 (19.90%) (Tabel 6). Uji statistik memperlihatkan terdapat hubungan yang signifikan antara pH optimum dan pH tidak optimum dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.000) (Lampiran 1). pH optimal untuk pertumbuhan larva berkisar antara 6-7.5.

pH air sangat berpengaruh terhadap perkembangan larva Aedes spp. pH netral (7) merupakan media pertumbuhan plankton yang baik untuk menjaga ketersediaan makanan yang cukup untuk larva nyamuk. Menurut Sayono et al. (2011) kontainer yang bersumber dari air PAM dan terdapat larva Ae. aegypti memiliki pH 7.1.

(34)

20

Suhu Air

Hasil pengukuran suhu air di dalam kontainer berkisar antara 27,50C-330C. Kontainer yang paling banyak ditemukan larva Aedes spp. adalah kontainer yang terisi air bersuhu 29.50C, akan tetapi tidak ada hubungan antara suhu air dengan keberadaan larva Aedes spp. (p=0.834) (Lampiran 1).

Penelitian yang dilakukan oleh Mohammed dan Chadee (2011) untuk mengetahui pengaruh suhu air terhadap perkembangan larva Ae. aegypti dalam skala laboratorium di Trinidad, West Indies diketahui suhu optimum berkisar antara 24°C-25°C dengan daya tetas sebesar 98%. Ukuran tubuh Ae. aegypti yang dipelihara pada suhu konstan 24°C-35°C secara signifikan lebih besar daripada larva yang dipelihara di bawah suhu 25-30°C.

Menurut Gonzales et al. (2011) suhu dan kelembaban udara mempunyai hubungan yang signifikan terhadap peningkatan kasus DBD. Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan Ae. aegypti. Nyamuk Aedes akan meletakkan telurnya pada temperatur udara sekitar 20°C-30°C. Telur Aedes akan menetas pada 1 sampai 3 hari pada suhu 30°C, tetapi pada suhu 16°C dibutuhkan waktu selama 7 hari.

Couret et al. (2014) melaporkan perkembangbiakan larva Ae.aegypti pada populasi yang tinggi tidak dipengaruhi oleh suhu melainkan persaingan dalam mendapatkan makanan dan hal ini terjadi pada semua suhu air.

Pengurasan Kontainer

Sebagian besar kontainer yang diamati tidak dikuras seminggu terakhir (65.4%) dan 19,2% nya terdapat larva Aedes spp. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kegiatan menguras kontainer dalam seminggu terakhir terdapat hubungan yang signifikan dengan keberadaan larva Aedes spp. (Lampiran 1).

Banyaknya kontainer yang tidak dikuras merupakan upaya pihak sekolah akibat distribusi air dari PDAM yang tidak lancar, sehingga air lebih lama mengendap dan berpotensi menjadi media perkembangbiakan larva Aedes spp. Pengurasan kontainer hanya berdasarkan informasi dari petugas kebersihan sekolah. Apabila pada saat pengamatan ditemukan pupa maka kontainer tersebut dikategorikan tidak di kuras dalam seminggu terakhir.

Beberapa kontainer ditemukan larva Aedes spp. walaupun sudah dikuras seminggu terakhir, hal ini disebabkan kontainer dikuras tanpa menyikat dinding kontainer sehingga telur nyamuk Aedes spp. masih menempel di permukaan dalam dinding kontainer dan menetas pada saat saat telur tergenang air.

(35)

21

Tabel 7 Faktor jenis, kondisi tutup, pH, frekuensi pengurasan kontainer terhadap risiko keberadaan larva Aedes spp.

Karakteristik

Frekuensi Pengurasan 1.831 0.000 6.238 4.093 9.507

Constanta -4.704

Keterangan : B=Nilai konstanta, OR= odds ratio, CI= confidence interval .

Pengetahuan, sikap dan praktik mengenai pencegahan DBD penanggungjawab usaha kesehatan sekolah (UKS)

Karakteristik Penanggungjawab UKS

Hasil penelitian didapatkan bahwa 84.4% penanggung jawab UKS berjenis kelamin perempuan dan 25.6% laki-laki. Usia respoden yang lebih dari ≥ 50 tahun sebanyak 62.9% dan < 50 tahun 38,1%. Tingkat pendidikan responden terbanyak yaitu S1 (58.1%) (Gambar 2).

Gambar 2 Diagram distribusi jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan penanggungjawab UKS

Pengetahuan, Sikap dan Praktik Penanggungjawab UKS Mengenai Pencegahan DBD.

Gambar 4 menunjukan sebagian besar pengetahuan responden tentang demam berdarah dikategorikan baik dengan distribusi frekuensi sebesar 76.3%. Sikap responden tentang pencegahan demam berdarah di sekolah dikategorikan baik (63.4%). Praktik responden tentang pencegahan demam berdarah di sekolah dikategorikan baik (54.3%) (Gambar 3).

(36)

22

Gambar 3 Diagram distribusi pengetahuan, sikap dan praktik penanggungjawab UKS tentang pencegahan DBD.

Menurut Fahrizal et al. (2006), peran siswa pemantau jentik (wamantik) di sekolah dasar Kodya Surabaya dalam upaya mencegah KLB DBD cukup efektif, Pendidikan kesehatan mengenai pemberantasan larva nyamuk terbukti dapat meningkatkan pengetahuan siswa khususnya mengenai definisi, penyebab, gejala, penularan, pertolongan pertama, komplikasi, ciri-ciri vektor, tempat perkembangbiakkan, tempat istirahat nyamuk dewasa serta pencegahan dan pemberantasan.

Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Tingkat Pendidikan dengan Pengetahuan, Sikap dan Praktik Penanggungjawab UKS Mengenai Pencegahan DBD.

Uji statistik memperlihatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan penanggungjawab UKS terhadap pengetahuan, sikap dan praktik mengenai pencegahan DBD pada sekolah dasar di Kota Palembang (lampiran 2).

Penelitian yang diakukan oleh Monintja (2015), pada masyarakat di Kelurahan Malalayang I, Kecamatan Malalayang, Kota Manado menunjukan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin besar peluang melakukan praktik PSN. Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).

Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Praktik Penanggungjawab UKS Mengenai Pencegahan DBD.

Uji statistik menunjukan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan responden dengan praktik mengenai pencegahan DBD di sekolah dasar (p=0.027) serta berkorelasi positif (t=0.175), begitu juga dengan sikap terdapat hubungan yang signifikan dengan praktik mengenai pencegahan DBD di sekolah dasar (p=0.000) serta berkorelasi positif (t=0.290) (lampiran 3). Dapat dikatakan bahwa semakin baik pengetahuan dan sikap tentang pencegahan DBD maka semakin baik juga praktik mengenai pencegahan DBD yang dilakukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Pujiyanti et al. (2012) di sekolah dasar Kota Semarang, menunjukan bahwa penerapan metode pembelajaran aktif terbukti efektif meningkatkan pengetahuan, perilaku dan self efficacy guru tentang DBD

(37)

23

dibandingkan dengan media poster dan leaflet. Kepercayaan diri guru untuk menjadi promotor kesehatan di sekolah lebih besar pada kelompok yang mendapat pembelajaran aktif daripada kelompok yang menerima poster dan leaflet. Berdasarkan hasil penelitian, metode pembelajaran aktif dapat direkomendasikan untuk guru pendidikan jasmani dalam melakukan pendidikan kesehatan tentang DBD di sekolah.

Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Praktik Penanggungjawab UKS dengan Keberadaan Larva Aedes spp.

Uji statistik memperlihatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap dan praktik penanggung jawab UKS mengenai pencegahan DBD dengan keberadaan larva Aedes spp. pada sekolah dasar di Kota Palembang (lampiran 4). Tidak ada hubungan antara pengetahuan terhadap keberadaan larva Aedes spp. dikarenakan sebagian besar responden berpengetahuan baik tentang penyakit DBD, hampir semua pertanyaan dijawab dengan benar yang berkaitan dengan penyakit demam berdarah, misalnya tentang penyebab, gejala dan bahaya DBD. Hal ini diperkuat oleh pengetahuan responden bahwa telah banyak mendapat informasi tentang penyakit demam berdarah dari berbagai sumber. Begitu juga dengan sikap dan praktik tentang pencegahan DBD di sekolah dasar sebagian besar dikategorikan baik karena hampir semua pertanyaan dijawab dengan benar yang berkaitan dengan penyakit DBD.

Penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto et al. (2008) di Kota Palembang menunjukkan hasil yang sama bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap dan praktik tentang pencegahan DBD terhadap keberadaan larva Ae. aegypti. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suyana et al. (2008), juga tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap responden dengan keberadaan Ae. aegypti di Denpasar Selatan.

Menurut Fathi et al. (2005) sikap masyarakat terhadap penyakit DBD apabila masyarakat semakin bersikap tidak serius dan tidak berhati-hati terhadap penularan penyakit DBD maka akan semakin bertambah risiko terjadinya penularan penyakit DBD (p<0.05) dengan risk ratio =2.24. Penelitian lain menyebutkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dan sikap masyarakat dengan tindakan PSN DBD di Kelurahan Malalayang I, Kecamatan Malalayang, Kota Manado dan sikap masyarakat merupakan faktor yang paling menentukan dalam pelaksanaan PSN DBD (Monintja 2015).

(38)

24

Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Praktik Petugas Kebersihan Mengenai Pencegahan DBD

Karakteristik Petugas Kebersihan

Hasil penelitian didapatkan bahwa 76.3% petugas kebersihan yang menjadi responden berjenis kelamin laki-laki dan 23.7 % perempuan. Usia respoden yang lebih dari ≥ 43 sebanyak 51.6% dan < 43 tahun 48.4%. Tingkat pendidikan responden terbanyak yaitu SMU (66.1%) (Gambar 4).

Gambar 4 Diagram distribusi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan petugas kebersihan.

Pengetahuan, Sikap dan Praktik Petugas Kebersihan Mengenai Pencegahan DBD.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar pengetahuan responden tentang demam berdarah dikategorikan baik dengan 59.1% dan 40.9% dikategorikan kurang baik. Sikap responden tentang pencegahan DBD di sekolah dikategorikan baik (66.1%) dan 33.9% dikategorikan kurang baik. Praktik responden tentang pencegahan demam berdarah di sekolah dikategorikan baik (64.5%) dan 35.5% dikategorikan kurang baik (Gambar 5).

Gambar

Tabel 1  Kriteria density figure (DF) larva Aedes spp.
Gambar 1  Peta Kota Palembang (Pemerintah Kota Palembang)
Tabel 2  Kepadatan larva Aedes spp. pada sekolah dasar di Kota Palembang
Tabel 3  Jenis kontainer pada sekolah dasar di Kota Palembang
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan jentik (p=0,770), tidak terdapat hubungan anatra sikap dengan keberadaan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) 3M plus dengan keberadaan densitas larva Aedes aegypti.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) 3M plus dengan keberadaan densitas larva Aedes aegypti.

Namun dari hasil uji statitik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (ρ -value= 0.126) antara pendidikan kepala keluarga dengan perilaku pencegahan DBD,

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap, dan observasi lingkungan dengan perilaku pencegahan DBD, namun ada hubungan yang

3 Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Padang pada tahun 2012 wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya memiliki angka kejadian DBD tertinggi di Kota Padang yaitu

Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Infeksi Nosokomial dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial INOS Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji Chie Square ada hubungan yang signifikan

Hubungan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dengan sikap pencegahan HIV/AIDS Tabel 3 Hubungan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dengan sikap pencegahan HIV/AIDS Pengetahuan Sikap