• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subkloning Gen araA ke dalam Vektor Ekspresi

Gen araA yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penyandi enzim

L-AI berasal dari isolat G. stearothermophilus yang diisolasi dari Tanjung Api, Poso, Indonesia. Enzim L-AI dapat mengisomerisasi D-galaktosa menjadi D -tagatosa. Sebagai gula rendah kalori, D-tagatosa dapat digunakan sebagai pemanis pengganti sukrosa. Secara umum proses isomerisasi berjalan pada temperatur tinggi, oleh kerena itu digunakan gen penyandi L-AI yang berasal dari bakteri termofilik G. stearothermophilus. Isomerisasi pada temperatur tinggi memiliki beberapa kelebihan, yaitu hasil atau produk konversi yang lebih tinggi, laju reaksi cepat, dan viskositas substrat rendah (Liu et al. 1996). Pada studi sebelumnya, L -AI yang berasal dari G. stearothermophilus (GSAI) sangat sesuai untuk memproduksi D-tagatosa pada skala besar karena memiliki tingkat konversi D -tagatosa yang tinggi (Kim et al. 2003; Ryu et al. 2003). Gen araA dari G. stearothermophilus sebelumnya telah diisolasi dan diklon di dalam plasmid pET-21b. Hasil isolasi plasmid pET21b yang mengandung gen araA dapat dilihat pada Gambar 11. Isolasi gen araA selanjutnya telah dilakukan dengan teknik PCR, yaitu dengan mengamplifikasi gen araA pada pET-21b-araA menggunakan pasangan susunan primer spesifik PPAI-F dan PPAI-R (Gambar 12).

Gambar 11 Hasil isolasi plasmid pET-21b-araA

Amplifikasi gen dengan cara PCR membutuhkan sepasang primer yang sesuai. Susunan basa primer (primer forward dan reverse) didesain berdasarkan urutan nukleotida gen yang akan diamplifikasi dan urutan sisi pengenalan enzim restriksi yang terdapat pada multiple cloning site (MCS) dari vektor ekspresi yang digunakan (Sambrook dan Russel 2001). Pada primer PPAI-F ditambahkan situs pemotongan SalI dan polihistidin (tag His), sedangkan pada primer PPAI-R ditambahkan situs pemotongan Kpn2I. Penambahan situs restriksi dimaksudkan untuk mempermudah proses subkloning gen ke dalam pJ912-AGα. Pemilihan situs restriksi yang berbeda pada posisi yang berbeda dimaksudkan untuk kloning yang efisien dan menghindari orientasi yang tidak benar dari DNA insert yang terklon. Setiap situs yang dipilih memiliki sekuen nukleotida yang overlap antara gen araA dan vektor pJ912-AGα. Hal ini diperlukan untuk membatasi adanya nukleotida tambahan dalam konstruksi yang didesain yang dapat mempengaruhi fungsionalitas protein yang diekspresikan.

Gambar 12 Skema amplifikasi PCR dan pemotongan gen araA

Hasil PCR gen target selanjutnya telah dipotong menggunakan enzim restriksi SalI dan Kpn2I. Hasil analisis dengan elektroforesis gel agarosa terhadap hasil pemotongan tersebut menunjukkan adanya pita tunggal berukuran 1515 pb yang sesuai dengan ukuran gen target yang diharapkan (Gambar 12).

Gambar 13 Hasil analisis elektroforesis gel agarosa terhadap hasil isolasi gen target. Keterangan: M= Marker 1 kb, 1= produk PCR gen araA, 2= purifikasi hasil PCR gen araA, 3= pemotongan dengan enzim SalI, 4= Pemotongan dengan enzim Kpn2I, 5= Pemotongan dengan enzim

SalI-Kpn2I, 6= purifikasi hasil pemotongan dengan enzim SalI-Kpn2I

Plasmid pJ912-AGα merupakan vektor ekspresi yang memiliki perangkat gen yang penting untuk mengekspresikan protein target, yaitu promotor alkohol oksidase 1 (PAOX1) sebagai promotor terinduksi metanol, gen MF-α (mating factor-α) sebagai gen penyandi sinyal peptida yang dapat mensekresikan protein

keluar sel, gen She ble sebagai gen penyandi resisten terhadap antibiotik zeocin yang digunakan sebagai marker selektif untuk transforman, pUC ORI sebagai titik awal replikasi pada E.coli, dan gen AGα1 yang merupakan gen penyandi ujung C dari α-agglutinin yang berfungsi sebagai protein penahan pada permukaan sel khamir.

Gambar 14 Skema pemotongan plasmid pJ912-AGα dengan enzim restriksi SalI dan Kpn2I

Plasmid pJ912-AGα telah diperbanyak di dalam sel E. coli DH5α dan diperoleh dengan cara isolasi menggunakan QIAprep Spin Miniprep KIT

(Qiagen). Plasmid hasil isolasi tersebut kemudian dipotong menggunakan enzim restriksi SalI dan Kpn2I. Hasil pemotongan dianalisis dengan elektroforesis gel agarosa dan menunjukkan adanya pita berukuran 4813 pb dan 750 pb sesuai dengan ukuran plasmid linier teoritis (Gambar 15).

Gambar 15 Visualisasi hasil isolasi plasmid pJ912-AGα dan pemotongan menggunakan enzim restriksi. Keterangan : M= Marker 1 kb, 1= hasil isolasi plasmid pJ912-AGα, 2= pJ912-AGα dipotong dengan enzim SalI, 3= pJ912-AGα dipotong dengan enzim SalI dan dipurifikasi, 4= pJ912-AGα dipotong dengan enzim Kpn2I, 5= pJ912-AGα dipotong dengan enzim Kpn2I dan dipurifikasi, 6= pJ912-AGα dipotong dengan enzim SalI-Kpn2I.

Vektor rekombinan telah diperoleh melalui proses ligasi gen araA dengan vektor pJ912-AGα menggunakan enzim ligase. Enzim ligase berfungsi untuk mensintesis pembentukkan ikatan fosfodiester yang menghubungkan antar nukleotida sehingga diperoleh vektor rekombinan. Struktur vektor rekombinan dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Vektor rekombinan pJ912-AGα-araA

Selanjutnya vektor rekombinan telah diintroduksikan kedalam E.coli DH5α

dengan metode kejut panas (heat shock) dan telah ditumbuhkan dalam media seleksi LSLB agar yang mengandung antibiotik zeocin 25 μg/mL. Banyak faktor yang mempengaruhi efisiensi transformasi, diantaranya kondisi inkubasi, konsentrasi vektor rekombinan, kondisi relatif sel kompeten dan kehadiran DNA kontaminan (Classen et al. 2002). Dari hasil transformasi diperoleh sebanyak 25 koloni yang diduga membawa vektor rekombinan (Gambar 17).

Gambar 17 Koloni hasil transformasi pada E. coli DH5α. Keterangan: A=

pJ912-AGα, B= pJ912-AGα-araA, C= sel kompeten E. coli DH5α pada medium dengan zeocin, D= sel kompeten E. coli DH5α pada medium tanpa zeocin

Koloni E.coli yang diduga membawa vektor rekombinan telah diverifikasi dengan isolasi vektor rekombinan, PCR vektor rekombinan, analisis pemotongan menggunakan enzim restriksi dan analisis sekuen DNA. Terlebih dahulu vektor rekombinan telah diperbanyak di dalam sel E. coli DH5α dan kemudian diisolasi menggunakan QIAprep Spin Miniprep Kit (Qiagen). Hasil isolasi vektor rekombinan pJ912-AGα-araA dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Hasil isolasi vektor rekombinan pJ912-AGα-araA. Keterangan: M= Marker 1 kb, 1 dan 2= vektor rekombinan pJ912-AGα-araA

PCR vektor digunakan untuk memastikan keberadaan sisipan gen di dalam vektor pJ912-AGα. PCR vektor rekombinan dilakukan menggunakan pasangan primer AOX1-F dan AOX1-R (Gambar 19).

Gambar 19 Skema amplifikasi PCR vektor rekombinan pJ912-AGα-araA

menggunakan primer AOX-F dan AOX-R

Hasil analisis pada gel agarosa menunjukkan dari 3 koloni yang diverifikasi diperoleh dua koloni yang positif mengandung vektor rekombinan dtunjukkan dengan diperolehnya pita DNA berukuran sekitar 2924 pb (Gambar 20). Tidak semua koloni yang diverifikasi mengandung vektor rekombinan, hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan proses ligasi. Faktor efisiensi ligasi turut mempengaruhi keberhasilan insersi gen ke dalam vektor Proses ligasi akan memberikan hasil yang optimal apabila seluruh komponen yang terlibat dalam proses ligasi berada dalam kondisi yang optimum. Komponen ligasi yang penting adalah DNA vektor, DNA gen sisipan dan enzim ligase. Perbandingan antara DNA vektor dan DNA gen sisipan akan sangat menentukan keberhasilan proses ligasi. Perbandingan yang tidak tepat antara DNA vektor dengan DNA gen sisipan akan membuat komponen tersebut tidak akan mengalami ligasi yang diharapkan, yaitu antara DNA vektor dengan DNA gen sisipan. Konsentrasi enzim ligase dan waktu inkubasi juga mempengaruhi keberhasilan ligasi. Temperatur yang tidak tepat akan menyebabkan menurunnya aktivitas enzim sehingga proses ligasi tidak akan optimal. Demikian juga dengan konsentrasi enzim ligase. Selain itu, faktor efisiensi ligasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti posisi situs restriksi, jenis situs restriksi dan urutannya, dan jenis enzim yang memotong situs restriksi (Dhesi, 2005). Berbagai jenis enzim restriksi telah diteliti untuk menentukan pengaruh konten nukleotida G-C dan /

atau panjang nukleotida yang menggantung yang mungkin menjadi faktor dalam ligasi oleh T4 DNA ligase. Bola (2005) menyatakan bahwa ujung kohesif yang kaya nukleotida G-C memiliki efisiensi ligasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan ujung kohesif lainnya. Efisiensi ligasi ujung kohesif yang mengandung nukleotida A, T, G, C akan lebih tinggi jika memiliki ujung yang menggantung lebih panjang dibandingkan ujung kohesif dengan nukleotida yang menggantung sedikit. Ujung kohesif kaya nuleotida A-T akan memiliki efisiensi ligasi yang lebih rendah.

Gambar 20 Hasil amplifikasi vektor rekombinan pJ912-AGα-araA dengan menggunakan primer AOX-F dan AOX-R. Keterangan: M= Marker

O‟gene ruler 1 kb plus, 1-3= sampel plasmid transforman, 4= pET-21b-araA, dan 5= ddH2O

Hasil analisis restriksi dengan digesti tunggal maupun digesti ganda menggunakan enzim rekstriksi SalI dan NcoI (Gambar 22) dilakukan untuk memastikan keberadaan sisipan gen araA pada vektor rekombinan. Hasil digesti tunggal menggunakan enzim SalI dan NcoI menunjukkan pita tunggal yang berukuran sekitar 6334 pb, dan hasil digesti ganda menggunakan kedua enzim tersebut menghasilkan dua pita yang berukuran masing-masing 3412 pb dan 2922 pb. Hal itu sesuai dengan ukuran plasmid rekombinan yang diharapkan (Gambar 21).

Gambar 21 Skema pemotongan vektor rekombinan pJ912-AGα-araA dengan enzim restriksi SalI dan NcoI

Lebih lanjut, hasil tersebut didukung oleh hasil analisis sekuensing yang menunjukkan gen target yang benar sesuai dengan sekuen pJ912-AGα-araA yang didesain (Lampiran 6). Dari hasil sekuensing, tidak ditemukan adanya mutasi pada vektor rekombinan. Penggunaan DNA polimerisasi yang memiliki akurasi tinggi dapat menghindari terjadinya mutasi pada proses replikasi. Ketelitian DNA

polymerase pada saat replikasi DNA didapatkan karena adanya proses pemeriksaan secara akurat setiap nukleotida yang disintesis.

Gambar 22 Hasil analisis restriksi pJ912-AGα-araA. Keterangan: M= Marker

O‟gene ruler 1 kb plus, 2= pJ912-AGα-araA dipotong dengan enzim

SalI-NcoI, 3= pJ912-AGα-araA dipotong dengan enzim SalI, 3= pJ912-AGα-araA dipotong dengan enzim NcoI, dan 4= pJ912-AGα -araA tidak dipotong

Introduksi P. pastoris dengan Vektor Rekombinan

P. pastoris yang digunakan dalam proses transformasi ini adalah P. pastoris

GS115 yang memiliki genotip his4 serta fenotip Mut+. Konstruksi plasmid rekombinan pJ912-AGα-araA telah berhasil diintroduksikan ke dalam genom P. pastoris GS115. Vektor rekombinan menyisip ke dalam genom P. pastoris

melalui mekanisme rekombinasi homologus dengan memanfaatkan kesamaan sekuen PAOXI yang terdapat pada genom P. pastoris dan vektor pJ912-AGα (Cregg 2007). Proses integrasi diawali dengan dipotongnya vektor ekspresi menggunakan enzim SacI pada bagian promotor AOX1. Selanjutnya DNA vektor yang berbentuk linier menstimulasi terjadinya rekombinasi homologus di lokus yang terpotong melalui peristiwa pindah silang tunggal. Fragmen DNA linier yang dihasilkan mengandung cassette ekspresi dan gen penanda resistensi zeocin yang diapit oleh 5' dan 3' AOX1. Kondisi ini merangsang terjadinya pergantian gen pada AOX1 genom sehingga menyebabkan gen AOX1 digantikan oleh cassette

ekspresi beserta gen penanda resistensi zeocin (Li et al. 2007). Oleh karena itu, sebelum proses transformasi dilakukan vektor rekombinan dipotong terlebih dahulu menggunakan enzim restriksi SacI (Gambar 23). Proses linierisasi vektor rekombinan merupakan salah satu hal penting dalam proses transformasi P. pastoris karena proses linierisasi vektor rekombinan dapat menstimulasi rekombinasi ketika vektor ditransformasikan ke dalam genom P. pastoris

Gambar 23 Hasil analisis restriksi pJ912-AGα-araA dengan enzim SacI. M=

marker O‟gene ruler 1 kb plus, 1= sampel vektor rekombinan

dipotong dengan SacI, 2= vektor rekombinan yang tidak dipotong

Vektor ekspresi pJ912-AGα dirancang untuk berintegrasi ke dalam genom

P. pastoris sehingga memungkinkan ekspresi protein yang stabil, namun efisiensi transformasi akan menjadi sangat rendah. Efisiensi transformasi P.pastoris

menjadi sangat rendah karena vektor tidak hanya masuk ke dalam sel inang, tetapi juga harus berintegrasi ke dalam genom sel inang. Efisiensi transformasi yang rendah biasanya terjadi karena situs integrasi yang tidak efisien, DNA sisipan yang sulit dan kondisi transformasi yang tidak optimal. Konsentrasi dan jumlah DNA, kepadatan sel kompeten, situs integrasi vektor dalam genom P. pastoris,

dan kondisi elektroporasi seperti voltase, kapasitas dan resistan pada saat transformasi, mempengaruhi tingkat efisiensi transformasi pada P. pastoris (Wu dan Letchworth 2004).

Gambar 24 Integrasi vektor reokombinan pada genom P. pastoris (Invitogen 2002)

Transformasi ke dalam sel P. pastoris menggunakan metode elektroporasi. Prinsip metode elektroporasi adalah menggunakan kejutan listrik untuk memperbesar pori-pori membran sel sehingga meningkatkan permeabilitas membran. Sinyal listrik akan menginduksi pembesaran pori-pori membran sehingga molekul DNA dapat masuk ke dalam sel (Invitrogen, 2001). Setelah dielektroporasi kultur P. pastoris ditumbuhkan pada medium yang mengandung

antibiotik zeocin 100 μg/mL karena vektor ekspresi yang digunakan dirancang mengandung gen She ble dari Streptoalloteichus hindustanus yang merupakan gen penyandi resisten terhadap antibiotik zeocin. Mekanisme kerja dari zeocin dalam menyeleksi koloni-koloni yang mengandung vektor rekombinan adalah sebagai berikut: zeocin mengandung kelat tembaga (Cu) yang jika tidak digunakan berada dalam bentuk non aktif. Ketika antibiotik masuk ke dalam sel, kation tembaga direduksi dari Cu2+ menjadi Cu+ dan dipindahkan oleh senyawa sulfhydryl yang terdapat di dalam sel. Selama pemindahan tembaga zeocin menjadi aktif dan akan berikatan dengan DNA dan merusaknya, sehingga menyebabkan kematian sel (Invitrogen 2001).

Pada penelitian ini diperoleh 107 koloni P. pastoris transforman dan tidak ada koloni non transforman yang dapat tumbuh pada medium mengandung zeocin 100 μg/mL (Gambar 25). Keseluruhan koloni transforman yang tumbuh merupakan hasil transformasi menggunakan 5 μg vektor rekombinan per reaksi transformasi sesuai dengan jumlah plasmid yang disarankan untuk memperoleh hasil yang baik. Dengan jumlah DNA 5-10 μg disebutkan dapat diperoleh sedikitnya 1×103 sampai 1×104 koloni transforman dengan kondisi transformasi yang optimal (Invitrogen 2008).

Gambar 25 Sel P. pastoris hasil transformasi. Keterangan: A= P. pastoris GS115 dengan pJ912-AGα-araA pada media YPDS dengan zeocin 100

μg/mL. B= P. pastoris GS115 pada media YPDS tanpa zeocin. C= P. pastoris GS115 pada media YPDS dengan zeocin 100 μg/mL

Seleksi Transforman P. pastoris

Analisis gen araA pada genom diperlukan untuk membuktikan bahwa gen taret telah terintegrasi ke dalam genom P. pastoris. Selanjutnya dilakukan PCR koloni terhadap koloni transforman menggunakan primer spesifik gen target PPAI-F dan PPAI-R untuk memastikan keberadaan sisipan gen araA di dalam genom P. pastoris (Gambar 26). Hasil analisis pada gel agarosa menunjukkan bahwa 1 dari 3 koloni yang diverifikasi mengandung sisipan sesuai dengan ukuran gen target araA dengan pita DNA berukuran sekitar 1521 pb (Gambar 27). Sedangkan P. pastoris non transforman tidak menghasilkan pita DNA berukuran 1521 pb, hal itu disebabkan karena tidak ada vektor ekspresi yang diintegrasikan ke dalam genom. Tidak semua koloni transforman yang dianalisis menghasilkan pita DNA gen target, hal itu dapat disebabkan oleh terjadinya gene loss pada genom sel khamir transforman selama proses regenerasi sehingga membuat tidak

keseluruhan vektor rekombinan yang diintroduksikan terintegrasi ke dalam genom

P. pastoris. Fenomena gene loss dapat terjadi ketika proses perbanyakan sel dan duplikasi genom (Lin et al. 2014).

Gambar 26 Skema amplifikasi PCR vektor rekombinan pJ912-AGα-araA

menggunakan primer PPAI-F dan PPAI-R

Gambar 27 Hasil PCR koloni P. pastoris transforman dengan menggunakan primer PPAI-F dan PPAI-R. Keterangan: M= Marker O‟gene ruler 1

kb plus, 1-3= Sampel koloni P. pastoris transforman, 4= Kontrol negatif, 5= Kontrol positif

Ekspresi Protein Rekombinan

Ekspresi protein rekombinan dilakukan menggunakan sistem ekspresi P. pastoris. P. pastoris memiliki kelebihan sebagai sistem ekspresi terutama kemudahan dalam hal manipulasi pada tingkat molekuler, modifikasi pasca translasi, pelipatan protein, dan sekresi protein secara ekstraseluler (Cereghino dan Cregg 2000). Proses produksi yang mudah, peralatan produksi yang relatif murah, dan kemudahan dalam proses scale up membuat sistem ekspresi P. pastoris lebih diminati untuk memproduksi protein rekombinan (Balamurugan et al. 2007). Proses scale up membuat sistem ekspresi P. pastoris dapat lebih besar dibandingkan sistem ekspresi E. coli (Vozza et al. 1996). Sistem ekspresi pada beberapa kasus dapat mengekspresikan protein rekombinan lebih tinggi dibandingkan sistem ekspresi khamir konvensional menggunakan S. cerevisiae

Sistem ekspresi menggunakan khamir P. pastoris diawali dengan peningkatan biomassa khamir kemudian dilanjutkan dengan sistem induksi ekspresi L-AI. Peningkatan biomassa P. pastoris dilakukan pada media BMGY. Media BMGY mengandung gliserol yang merupakan sumber karbon. Gliserol bersifat represi terhadap kerja PAOX1 sehingga aliran karbon hanya akan digunakan untuk peningkatan biomassa sel (Cereghino dan Cregg 2000; Fickers 2014). Tahap selanjutnya adalah sistem induksi ekpresi protein L-AI pada media BMMY yang mengandung metanol sebagai sumber karbon. P. pastoris merupakan khamir metilotropik yang menggunakan metanol sebagai sumber karbon dan energi (Krainer et al. 2012).

Ekspresi protein rekombinan dilakukan dengan menambahkan metanol pada media pertumbuhan. Penambahan metanol dimaksudkan untuk mengingkatkan hasil ekspresi protein rekombinan karena promotor yang digunakan untuk ekspresi protein rekombinan adalah alkohol oksidase 1 (PAOX1) yang akan tertekan ketika P. pastoris tumbuh dalam media yang mengandung glukosa atau gliserol, tapi akan terinduksi kuat pada media metanol (Cereghino et al. 2002). Namun, konsentrasi metanol yang terlalu tinggi bersifat toksik dan dapat menghambat pertumbuhan P. pastoris sedangkan konsentrasi metanol yang rendah tidak mampu menginisiasi proses transkripsi, sehingga penambahan mentanol ke dalam media ekspresi menentukan efisiensi produksi protein rekombinan (Poutou-Pinales et al. 2010).

Protein yang telah diekspresikan dianalisis menggunakan teknik

immunofluorescence dan SDS-PAGE. SDS-PAGE dapat memberikan informasi tentang ukuran (bobot molekul) dari protein dengan cara membandingkan pita yang dihasilkan dengan ukuran marker dalam satuan kiloDalton (kDa), sedangkan

immunofluoresence dapat memberi informasi ekspresi protein rekombinan pada permukaan sel khamir. Sampel yang digunakan dalam analisis SDS-PAGE merupakan sampel protein yang telah diberi perlakuan tanpa dan diinduksi metanol. Sebelumnya P. pastoris yang telah mengekspresikan protein rekombinan diberi perlakukan penambahan enzim selulase untuk memisahkan protein rekombinan dengan debris sel P. pastoris. Protein rekombinan tertambat pada permukaan sel P. pastoris dengan bantuan protein permukaan α-agglutinin sebagai jangkar protein. α-agglutinin sebagai mannoprotein permukaan dapat melekat pada dinding sel melalui ikatan kovalen dengan polisakarida penyusun

dinding sel yaitu β-1,6-glukan. Pada ujung C α-agglutinin terdapat modifikasi GPI dan terdapat banyak situs glikosilasi. GPI termodifikasi berikatan kovalen dengan

β-1,6-glukan dan membantu menahan protein pada dinding sel (Gambar 28).

Proses ekstraksi protein target yang berikatan dengan α-agglutinin dilakukan melalui reaksi enzimatik untuk mendegradasi rantai glukan pada dinding sel.

Ctec2 merupakan selulase kompleks yang mengandung enzim selulase, β -glukosidase dan hemiselulase. Selulase kompleks ini akan memotong rantai

glukan melalui mekanisme hidrolisis sehingga protein α-agglutinin yang berikatan dengan protein target dapat diekstraksi dari dinding sel P. pastoris (Gambar 29). Selanjutnya proses pemisahan dilakukan dengan cara sentrifugasi untuk memisahkan antara debris sel P. pastoris dengan supernatan yang mengandung protein rekombinan. Supernatan hasil ekstraksi kemudian di pekatkan menggunakan pelarut aseton dan diinkubasi pada suhu ˗20o

C. Kelarutan protein tergantung pada konstanta dielektrik larutan. Secara umum, molekul pelarut dengan konstanta elektrik yang besar, misalnya air dapat menstabilkan interaksi antara protein dengan molekul pelarutnya yaitu air sehingga protein larut. Namun, aseton yang merupakan pelarut organik yang memiliki konstanta dielektrik yang rendah dapat mencegah dispersi molekul protein dalam media. Dengan demikian, kelarutan protein dapat diturunkan dan presipitasi dapat diinduksi dengan menurunkan konstanta dielektrik efektif dari media. Penggunaan aseton memiliki kelebihan antara lain pelarut aseton relatif murah dan tersedia dalam bentuk murni (Simpson dan Beynon 2010).

Gambar 29 Ekstraksi protein target dari dinding sel P. pastoris rekombinan dengan menggunakan enzim selulase

Hasil visualisasi pita SDS-PAGE menunjukkan adanya pita protein berukuran sekitar 91 kDa (Gambar 30), sedangkan protein native L-AI adalah 56.7 kDa. Perbedaan bobot molekul tersebut disebabkan adanya penambahan fragmen tag His yang terletak pada ujung C-terminal serta fragmen tag Flag dan

α-agglutinin pada bagian N-terminal araA. Fragmen tag His membantu proses deteksi dan purifikasi protein rekombinan. Fragmen tag Flag dapat membantu proses purifikasi karena mengandung situs potong enzim enterokinase. Fragmen

α-aggllutinin berperan dalam pengikatan protein rekombinan pada permukaan sel khamir P. pastoris. Berat molekul protein rekombian sebesar 91.4 kDa diperoleh melalui konversi asam amino menjadi berat molekul protein menggunakan program expasy. Nilai yang tidak jauh berbeda diperoleh jika perhitungan dilakukan secara manual dengan mengkalikan keseluruhan jumlah asam amino dari protein rekombinan dengan berat molekul asam amino rata-rata yaitu 110 Da

(Nelson dan Cox 2013). Berdasarkan perhitungan manual akan diperoleh protein rekombinan dengan berat molekul berkisar 91.6 kDa.

Gambar 30 Visualisasi SDS-PAGE supernatan protein rekombinan bebas sel. Keterangan: M=Marker protein , 1= Sampel ekstrak P. pastoris

rekombinan tanpa induksi, 2= Sampel ekstrak P. pastoris

rekombinan diinduksi metanol 1.0%

Uji ekspresi protein rekombinan di permukaan sel khamir dengan teknik

Immunofluorescene menggunakan antibodi spesifik FITC-conjugated rabbit polyclonal antibody to His6. Senyawa FITC (Fluorescein isothiocyanate) merupakan senyawa fluoresence yang difusikan dengan antibodi antiHis yang akan berikatan dengan protein His yang ada dipermukaan sel khamir, dan senyawa FITC akan menghasilkan pendaran berwarna hijau dibawah paparan sinar UV. Dengan demikian sel yang menghasilkan pendaran berwarna hijau pada permukaan sel menunjukkan protein rekombinan yang membawa protein tag His terekspresi di permukaan sel dan sel yang tidak mengekspresikan protein tag His tidak akan menghasilkan pendaran berwarna hijau. Protein tag His yang berpendar jika berinteraksi dengan antibodi anti-His yang membawa senyawa FITC digunakan sebagai protein penanda ekspresi protein rekombinan karena hasilnya dapat diamati secara visual menggunakan mikroskop fluoresence. Pendaran yang dihasikan dapat menunjukkan ekspresi, lokalisasi, translokasi, interaksi antar protein, atau degradasi dari protein fusi (Chudakov et al. 2010).

Hasil immunofluorescence ekspresi protein L-AI menunjukkan bahwa sel P. pastoris non rekombinan yang tidak mengekspresikan protein rekombinan tidak menghasilan pendaran berwarna hijau di bawah paparan sinar UV (Gambar 31 dan 31B). Sedangkan sel P. pastoris rekombinan yang mengekespresikan protein rekombinan meghasilkan pendaran berwarana hijau pada permukaan selnya (Gambar 31C dan 31D). Selain itu diperoleh juga sel P. pastoris rekombinan yang berpendar tidak hanya pada permukaannya melainkan pada bagian dalam sel juga

Dokumen terkait