• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suhu Lingkungan

Suhu lingkungan kandang selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Domba yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis domba Garut yang diperoleh dari daerah Garut dengan suhu lingkungan 23 – 250C. Suhu kandang selama penelitian pada pagi hari masih tergolong sejuk, namun ketika siang hari sangat panas yaitu berkisar antara 320C ± 1. Hal ini tentu sangat mempengaruhi proses adaptasi domba dengan suhu lingkungan kandang. Pada awal kedatangan domba hingga 10 hari, terjadi adaptasi yang mengakibatkan konsumsi ransum belum stabil, sebagai salah satu mekanisme untuk menurunkan produksi panas tubuh dan juga mengakibatkan pertambahan bobot badan pada periode tersebut negatif.

Peningkatan suhu lingkungan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan fisiologis pada domba, diantaranya adalah kenaikan suhu tubuh yang akan mempercepat proses metabolisme sehingga terjadi timbunan energi yang harus segera dibuang guna mempertahankan keadaan homeostasis.

0 10 20 30 40 1 2 3 4 5 6 Minggu Ke S u h u L in g k u n g a n ( o C ) Pagi Siang

24

Konsumsi

Ransum yang bernilai DCAB berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum pada domba Garut jantan. Pemberian ransum dengan penambahan Zn fitat maupun pemberian nilai DCAB +40 dan -10 meq/100 g BK tidak mempengaruhi palatabilitas pakan dan diduga tidak mengganggu selera makan yang dikendalikan syaraf pusat. Roche et al. (2003b) menyatakan bahwa apabila dilakukan penurunan DCAB ransum dari +69 menjadi -12 meq/100 g BK, mengakibatkan penurunan konsumsi ransum. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa pemberian ransum dengan DCAB +40 dan -10 meq/100 g BK secara terus menerus selama 7 minggu tidak mempengaruhi konsumsi, karena domba diduga telah mengalami adaptasi terhadap ransum dengan DCAB yang cukup ekstrim. Rataan konsumsi nutrien oleh domba penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Penelitian pada ikan didapat hasil bahwa konsumsi ransum dan pertumbuhan meningkat seiring dengan makin tingginya nilai DCAB. Peningkatan laju pertumbuhan dicapai dengan tingginya konsumsi ransum (Dersjant-Li et al. 1999). Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya hewan cenderung menyukai ransum yang bersifat basa daripada asam. Kecukupan ransum pada ternak berhubungan dengan pemeliharaan homeostasis tubuh. DCAB -100 meq/kg pada ikan membutuhkan energi lebih untuk menjaga keseimbangan asam basa tubuhnya, oleh karena itu untuk aktivitas makan ternak kekurangan energi, yang menyebabkan konsumsi dan pertumbuhan rendah pada perlakuan ini (Dersjant-Li et al. 1999).

Hasil penelitian menggambarkan bahwa keseimbangan asam basa tubuh tidak berpengaruh terhadap DCAB +40 dan -10, sehingga nilai DCAB yang digunakan pada pada penelitian ini masih dalam kisaran aman untuk konsumsi domba.

25 Tabel 6. Rataan konsumsi ransum domba penelitian

Perlakuan Peubah Basal RN RB RA Konsumsi BK(g/hari) 764 ± 234 729 ± 20 649 ± 283 895 ± 66 Konsumsi BO (g/hari) 699 ± 214 668 ± 18 581 ± 254 800 ± 59 Konsumsi PK (g/hari) 117 ± 36 112 ± 3 101 ± 44 140 ± 10 Konsumsi LK (g/hari) 34 ± 10 32 ± 1 29 ± 13 41 ± 3 Konsumsi SK (g/hari) 122 ± 37 116 ± 3 104 ± 46 146 ± 11 Konsumsi Ca (g/hari) 1.65 ± 0.50 1.58 ± 0.04 1.42 ± 0.62 1.97 ± 0.15 Konsumsi P (g/hari) 1.74 ± 0.53 1.66 ± 0.04 1.49 ± 0.65 2.08 ± 0.15 Konsumsi Mg (g/hari) 1.65 ± 0.50 1.58 ± 0.04 1.42 ± 0.62 1.97 ± 0.15 Konsumsi Na (g/hari) 0.35 ± 0.11 0.33 ± 0.01 0.30 ± 0.13 0.42 ± 0.03 Konsumsi K (g/hari) 8.94 ± 2.74 8.56 ± 0.23 7.68 ± 3.35 10.70 ± 0.79 Konsumsi Cl (g/hari) 1.56 ± 0.48 1.50 ± 0.04 1.34 ± 0.59 1.87 ± 0.14 Konsumsi S (g/hari) 1.30 ± 0.40 1.25 ± 0.03 1.12 ± 0.50 1.56 ± 0.12 Konsumsi/BB (g) 18 ± 4 19 ± 2 25 ± 23 22 ± 4 Konsumsi/Bobot Metabolis (g) 23 ± 5 22 ± 2 18 ± 6 26 ± 2 Kecernaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa DCAB ransum perlakuan tidak berpengaruh terhadap KCBK dan KCBO ransum. Nilai DCAB +40 dan -10 meq/100 g BK ransum yang diberikan kemungkinan tidak mempengaruhi aktifitas mikroba rumen dan pencernaan enzimatis pasca rumen. KCBK dan KCBO ransum penelitian mempunyai nilai yang tinggi dan berarti bahwa ransum perlakuan yang diberikan kepada domba penelitian berkualitas baik. Nilai KCBK dan KCBO pakan yang diberikan kepada domba garut dapat dilihat pada Tabel 6.

Semakin tinggi angka kecernaan suatu bahan makanan maka menunjukkan bahwa bahan makanan tersebut berkualitas baik untuk dikonsumsi ternak dan dimanfaatkan untuk proses metabolisme tubuhnya. Hal ini dikarenakan pada umumnya pakan dengan kandungan zat makanan yang dapat dicerna tinggi, maka akan tinggi pula nilai gizinya (Suarti 2001).

26 Menurut Anggorodi (1994), nilai gizi makanan antara lain diukur dari jumlah zat-zat makanan yang dicerna, sedangkan kualitas suatu bahan makanan dicerminkan dari angka konsumsi bahan kering. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecernaan, yaitu: suhu, laju perjalanan makanan pada organ pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi ransum, dan pengaruh perbandingan dari zat-zat makanan lainnya.

Absorbsi mineral dapat dilihat pada Tabel 7. Ransum dengan nilai DCAB -10 (RA) menurunkan absorbsi mineral Ca. Rendahnya absorpsi terkait dengan tingginya kadar Ca dalam feses. Hal ini menggambarkan bahwa Ca ransum tidak tersedia dan sulit diabsorpsi dalam kondisi nilai DCAB ransum negatif. Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa kadar protein yang tinggi cenderung mengurangi utilisasi Ca, walaupun tidak mempengaruhi absorbsinya(Underwood 1997). Hal ini diduga terkait dengan jumlah sulfur yang disumbangkan protein dalam mengendalikan asam basa tubuh dan metabolisme Ca. Ransum dengan nilai DCAB yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap absorbsi mineral lain selain Ca. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya kation atau anion dalam ransum tidak mengganggu ketersediaan dan kebutuhan ternak terhadap P, Mg dan Zn. Tabel 7. Rataan kecernaan dan absorpsi mineral domba penelitian

Perlakuan Peubah Basal RN RB RA KcBK (%) 66.32 ± 0.60 67.45 ± 2.23 69. 57 ± 3.56 69.17 ± 3.54 KcBO (%) 71.41 ± 0.09 72.68 ± 1.94 74.41 ± 3.34 75.52 ± 2.75 Absorbsi Ca (%) 81.77 ± 2.03b 77.63 ± 0.59b 80.80 ± 2.41b 59.04 ± 7.19a Absorbsi P (%) 99.61 ± 0.15 99.52 ± 0.02 99.65 ± 0.16 99.44 ± 0.12 Absorbsi Mg (%) 87.13 ± 2.78 87.27 ± 1.27 84.01 ± 0.97 86.68 ± 1.36 Absorbsi (Zn) 53.39 ± 14.04 64.49 ± 6.55 57.57 ± 6.63 63.73 ± 3.40

Keterangan : Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

pH Urine dan Produksi Urine Domba

Tabel 8 menunjukkan perubahan pH urine dan produksi urine domba penelitian yang mendapat ransum dengan DCAB yang berbeda. Ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap pH urine dan produksi urine domba. Hal ini berarti bahwa ransum perlakuan pada penelitian ini tidak mengganggu ekskresi urine. Namun Tucker et al. 1992 menyatakan bahwa pH urine akan

27 meningkat dengan adanya peningkatan DCAB. Data tersebut menggambarkan bahwa domba Garut dapat beradaptasi dengan perubahan nilai DCAB ransum antara 40 sampai dengan -10. Proses adaptasi domba salah satunya adalah dengan cara memperbanyak konsumsi air minum yang dapat dilihat dari jumlah produksi urine. Ternak secara alami akan menjaga homeostasis tubuhnya dengan cara mengambil air dalam jumlah yang banyak apabila tubuhnya kehilangan air yang banyak pula, sebaliknya akan menghindari pemasukan air yang terlalu banyak kedalam tubuhnya apabila air yang keluar juga sedikit (Isnaeni 2006).

Penelitian pada kambing menunjukkan bahwa dengan penggunaan DCAB +75 Meq/kg akan menyebabkan pH urine turun tapi dengan periode waktu akan meningkat dan kemudian akan semakin turun hingga mencapai 6.5, dan bersifat acidosis, sedangkan untuk DCAB 0, -75 dan -150 Meq/kg akan lebih stabil dengan pH 5.5 – 6.0. Selain itu, pengambilan urine 5 – 7 jam setelah pemberian ransum dan garam memberikan waktu yang baik untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap nilai pH, dikatakan bahwa pada waktu tersebut urine mulai menunjukkan perubahan pH (Jones 2006).

Hasil penelitian dengan menggunakan DCAB -10 dan +40 Meq/100 g BK memberikan nilai pH dalam kisaran normal yaitu 8.0 – 9.1, hal ini mungkin dikarenakan pengambilan urine yang terlalu lama setelah pemberian pakan dan garam, sehingga telah tercampur dengan urine yang sudah beradaptasi dengan konsumsi air minum.

Tabel 8. Rataan pH urine dan produksi urine domba penelitian Perlakuan Peubah Basal RN RB RA pH urine 8.6 ± 0.5 9.1 ± 0.1 8.7 ± 0.4 8.0 ± 0.5 Produksi urine (ml/hari) 1271 ± 153 730 ± 123 1066 ± 360 723 ± 407

28

Pertambahan Bobot Badan Domba

Tabel 9 menggambarkan rataan pertambahan bobot badan domba yang mendapat ransum dengan nilai DCAB berbeda. Ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan domba. Pakan yang diberikan berkualitas baik. Konsumsi ransum dan kecernaan nutrien domba menunjukkan nilai yang tinggi dan baik. Respon pertumbuhan domba yang rendah terhadap ransum yang diberikan diduga terkait dengan kondisi domba yang aktif, karena domba yang digunakan pada penelitian ini merupakan jenis domba tangkas sehingga memerlukan asupan energi yang lebih tinggi.

Pertumbuhan yang bervariasi terkait dengan faktor umur dan ukuran tubuh. Domba yang digunakan dalam penelitian ini merupakan domba yang telah mencapai kematangan seksual (sexual maturity) dengan umur sekitar 2.5 tahun dengan bobot awal 40 – 54 kg, sehingga bukan termasuk domba yang masih dalam tahap pertumbuhan, oleh karena itu pengaruh pakan terhadap pertambahan bobot badan tidak terlihat.

Selain karena aktivitas dan umur domba, suhu kandang diduga berpengaruh kuat terhadap pertambahan bobot badan. Cekaman panas yang dialami domba tidak dapat dihindarkan, karena suhu dalam kandang penelitian berkisar antara 25 – 340C. Tidak berpengaruhnya ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan mungkin diakibatkan sebagai salah satu mekanisme untuk menurunkan produksi panas tubuh

Tabel 9. Rataan bobot badan domba penelitian

Perlakuan Basal RN RB RA n (ekor) 3 3 3 3 Bobot awal (kg) 48 ± 5 46 ± 5 48 ± 7 46 ± 6 Bobot perlakuan (kg) 46 ± 5 43 ± 6 47 ± 9 45 ± 7 Bobot akhir (kg) 50 ± 7 47 ± 4 53 ± 10 49 ± 6 Pbb adaptasi (g/hari) -72 ± 54 -89 ± 38 -33 ± 67 -22 ± 19 Pbb perlakuan (g/hari) 105 ± 51 93 ± 62 93 ± 33 78 ± 27

29

Kualitas Makroskopis Semen Domba

Penilaian kualitas makroskopis semen domba selama penelitian dilakukan dua kali, pertama pada saat awal perlakuan dan kedua pada saat akhir perlakuan (hari ke-49). Nilai yang terdapat pada tabel yang dicantumkan merupakan penilaian semen pada awal dan akhir perlakuan. Sebelum akhir perlakuan, satu ekor domba yang digunakan dalam penelitian mati, sehingga data domba tersebut tidak dapat diambil kembali pada pemeriksaan kualitas semen di akhir perlakuan.

Nilai rataan volume dan pH semen dapat dilihat pada Tabel 10. Pengukuran volume semen dilakukan untuk megetahui berapa kadar pengenceran yang perlu ditambahkan untuk keperluan inseminasi buatan. Volume ejakulat domba berkisar antara 0.5 – 2.5 ml (Toelihere 1993). Ternak muda menghasilkan ejakulat dengan volume yang lebih rendah dibandingkan dengan ternak yang lebih tua. Pada penelitian ini digunakan domba dengan umur yang hampir sama sehingga diasumsikan perbedaan volume tidak disebabkan oleh faktor umur. Tabel 10. Kualitas makroskopis semen domba penelitian

Perlakuan Peubah Basal RN RB RA Volume (ml) Awal 0.98 ± 0.26 0.69 ± 0.13 0.97 ± 0.22 0.81 ± 0.28 Akhir 1.03 ± 0.21ab 0.74 ± 0.25a 1.30 ± 0.28b 0.52 ± 0.19a pH Awal 6.3 ± 0.2 6.7 ± 0.7 6.5 ± 0.3 6.2 ± 0.0 Akhir 6.7 ± 0.7 6.8 ± 0.6 6.4 ± 0.0 6.4 ± 0.3 Warna

Awal Krem pucat Krem pucat Krem pucat Krem pucat

Akhir krem pucat krem pucat krem pucat krem pucat

Konsistensi

Awal Kental/sedang Kental Kental/sedang Kental/sedang

Akhir kental kental/sedang kental kental

Keterangan : Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

Pada penelitian ini didapatkan bahwa ransum perlakuan berpengaruh nyata terhadap volume semen pada akhir perlakuan. Domba dengan ransum kaya kation (DCAB +40) mempunyai volume semen yang tertinggi dibandingkan dengan domba yang mendapat ransum perlakuan lainnya. Walaupun demikian semua ransum perlakuan mempunyai pengaruh yang baik terhadap volume semen dan volume ejakulat masih dalam kisaran normal (Toelihere 1993).

30 Penambahan ransum yang bersifat basa ternyata mempunyai pengaruh yang baik untuk volume semen domba. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya penambahan kation dalam bentuk Na dan K yang merupakan kation utama dalam cairan tubuh sehingga dengan demikian dapat membantu terbentuknya semen yang merupakan salah satu bentuk cairan tubuh.

Nilai pH semen yang berkisar antara 6.4 - 6.7 pada penelitian ini merupakan nilai pH yang baik (Salisbury&Vandemark 1985). Nilai pH yang baik lebih cenderung kearah asam, yaitu sekitar 6.5 – 6.9, sedangkan pH normal semen berkisar antara 6 – 8. Nilai pH dipengaruhi oleh komposisi cairan yang terdapat dalam semen yang sebagian besar berasal dari kelenjar pelengkap. Semakin banyak cairan dari kelenjar pelengkap, maka semakin tinggi pH semen.

Warna semen normal adalah seperti susu atau krem keputihan dan keruh. Derajat kekeruhan tergantung pada konsentrasi sperma. Semen dengan konsentrasi sperma yang tinggi cenderung berwarna krem (Toelihere 1993). Warna semen domba yang diuji secara umum berwarna krem dan normal.

Ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap konsistensi semen domba. Konsistensi semen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi sperma yang terkandung didalam semen, semakin banyak jumlah sperma didalam semen, maka konsistensi semen akan semakin kental. Penambahan ransum dalam bentuk suplementasi mineral maupun DCAD ternyata tidak berpengaruh terhadap konsistensi semen, konsistensi semen yang dihasilkan masih dalam kisaran yang normal dan baik untuk reproduksi.

Pengamatan gerakan massa diperlukan untuk menilai motilitas sperma (Salisbury&Vandemark 1985). Semakin besar pergerakan gelombang yang terjadi, semakin tinggi motilitas sperma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap gerakan massa sperma. Hal ini dapat dilihat dari semua ransum perlakuan pada umumnya menunjukkan gerakan massa yang baik.

31

Gambar 5. Gerakan massa spermatozoa domba dengan nilai +++ (Terimakasih kepada Dr. drh. Iman Supriatna atas izin penggunaan foto gerakan massa

spermatozoa domba)

Dengan demikian hal yang menentukan dalam menghasilkan kualitas sperma yang baik untuk dijadikan pejantan tangguh adalah kualitas makanan yang dapat dirombak tubuh untuk menjadi sperma yang berasal dari kelenjar kelamin. Sehingga diperlukan adanya suatu ilmu nutrisi yang dapat memperbaiki kualitas sperma sebagai upaya untuk menjadikan pejantan yang dapat menghasilkan bibit unggul. Manipulasi nilai DCAB ransum yang diberikan pada penelitian ini tidak akan mengganggu kualitas semen domba.

Kualitas Mikroskopis Semen Domba

Kualitas mikroskopis semen domba yang diamati meliputi motilitas, viabilitas (persentase hidup mati sperma), konsentrasi dan morfologi. Rataan semua peubah disajikan pada Tabel 11.

32 Tabel 11. Kualitas mikroskopis semen domba penelitian

Perlakuan Peubah Basal RN RB RA Gerakan massa Awal +++ +++ +++ ++ Akhir +++ +++ +++ +++ Motilitas (%) Awal 60 ± 8 45 ± 7 73 ± 7 56 ± 15 Akhir 61 ± 18 70 ± 14 73 ± 7 71 ± 6 Viabilitas (%) Awal 71 ± 4 62 ± 15 80 ± 7 76 ± 16 Akhir 74 ± 17 88 ± 1 86 ± 8 88 ± 2 Konsentrasi (106) Awal 3563 ± 371 3463 ± 1326 2500 ± 726 3625 ± 1226 Akhir 3275 ± 283 3037 ± 407 3113 ± 18 2958 ± 756 Morfologi normal (%) Awal 88 ± 1 88 ± 4 88 ± 1 87 ± 2 Akhir 87 ± 3 92 ± 1 88 ± 1 88 ± 2

Semua ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah kualitas mikroskopis sperma. Hal ini menandakan bahwa ransum perlakuan yang diberikan pada penelitian ini tidak memberikan efek terhadap kualitas mikroskopis spermatozoa.

Motilitas atau daya gerak sperma menjadi salah satu patokan atau cara yang paling sederhana dalam penilaian semen untuk inseminasi buatan. Hal ini karena motilitas atau pergerakan sperma memegang peranan penting sewaktu pertemuan dengan ovum. Motilitas juga digunakan sebagai ukuran kesanggupan spermatozoa untuk membuahi (Toelihere 1993). Motilitas semen domba yang baik berkisar antara 60 – 80%.

Penambahan DCAD pada ransum baik yang bernilai positif (RB) maupun negatif (RA) mempunyai pengaruh yang baik untuk motilitas sperma. Dengan nilai motilitas berturut-turut 73 ± 7; 71 ± 6. Hal ini dimungkinkan karena dengan adanya penambahan kation dan anion dalam ransum yang merupakan kation anion utama yang terdapat dalam sperma dapat merangsang spermatozoa untuk bergerak lebih cepat karena tersedianya bahan pembentuk yang cukup untuk kebutuhan hidup sperma.

33 Pergerakan spermatozoa memerlukan energi yang berasal dari perombakan adenosin triphosphat (ATP) di dalam selubung mitokondria melalui reaksi-reaksi penguraiannya menjadi adenosin diphosphat (ADP) dan adenosin monophosphat (AMP). Selain itu pergerakan ini juga melibatkan berbagai proses fosforilasi protein yang bergantung mobilisasi ion kalsium.

Viabilitas atau persentase hidup mati sperma menggambarkan spermatozoa yang hidup pada saat semen dicampur dengan zat warna yang menyebabkan perbedaan afinitas zat warna antara sel-sel spermatozoa yang mati dan hidup (Hafez 1993). Spermatozoa yang mati akan menyerap warna sedangkan yang hidup tidak menyerap warna, hal ini dikarenakan pada spermatozoa yang hidup permeabilitas selnya masih aktif sehingga tidak akan menyerap warna yang masuk.

Sama dengan hasil yang didapatkan pada motilitas, viabilitas menunjukkan pengaruh yang baik dengan adanya penambahan DCAD positif maupun negatif, dengan nilai berturut-turut 86 ± 8; 88 ± 2. Dengan nilai motilitas dan viabilitas yang tinggi maka dapat dipastikan konsentrasi sperma yang didapatkan untuk RB dan RA juga akan tinggi.

Viabilitas spermatozoa sangat ditentukan oleh keutuhan membran plasma dan kemampuan sistem transpor membran. Dengan adanya penambahan kation anion dalam ransum mungkin dapat menjaga keutuhan membran plasma sehingga viabilitas sperma terjaga dengan baik.

Konsentrasi spermatozoa merupakan jumlah spermatozoa yang terkandung dalam setiap mililiter semen. Konsentrasi sperma merupakan salah satu parameter yang sangat penting untuk diukur. Hal ini karena konsentrasi spermatozoa menggambarkan kualitas semen yang menentukan berapa betina yang dapat diinseminasikan dengan ejakulat yang diperoleh (Hafez 1993). Pada domba konsentrasi sperma normal berkisar 2000 – 3000 x 106/ml semen (Hafez 1993).

Dari hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 11, untuk semua ransum perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi sperma, namun demikian semua ransum perlakuan tidak memberikan efek negatif terhadap konsentrasi sperma. Hal ini dibuktikan dengan jumlah konsentrasi sperma yang masih dalam kisaran normal untuk domba.

34 Untuk data morfologi didapatkan untuk semua ransum perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap morfologi sperma. Abnormalitas adalah persentase kerusakan spermatozoa yang ditandai dengan adanya kelainan pada kepala dan ekor, dihitung dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran objektif 40 kali. Standar persentase abnormalitas spermatozoa kambing yang layak digunakan untuk inseminasi buatan tidak boleh lebih dari 15% (Evans&Maxwell 1987).

Bila dilihat morfologi untuk ransum perlakuan pada penelitian ini terlihat bahwa persentase abnormalitas tidak lebih dari 15%, yang menandakan bahwa ransum perlakuan yang diberikan tidak memberikan efek negatif terhadap morfologi sperma, terbukti dengan didapatkannya nilai morfologi yang layak digunakan untuk inseminasi buatan.

Motilitas, viabilitas, konsentrasi dan morfologi semen domba yang dikaji tidak dipengaruhi nilai DCAB ransum. Manipulasi ransum melalui perubahan nilai DCAB tidak mempengaruhi kualitas mikroskopis semen domba Garut.

Dokumen terkait