• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum KPH Ngawi Kondisi Geografis KPH Ngawi

Disesuaikan dengan data Statistik Tahun 2009-2013 pada Ngawi (2014), Wilayah KPH Ngawi terletak di Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan posisi geografisnya, posisi KPH Ngawi terletak diantara 7021’- 7031’ Lintang Selatan dan 110010’-111040’ Bujur Timur. Kondisi iklim di KPH ngawi ditunjukkan pada Tabel 4. Secara geografis batas-batas dari wilayah KPH Ngawi adalah sebagai berikut:

 Utara : Kab. Grobogan, Kab. Blora (Jawa Tengah), Kab. Bojonegoro

 Timur : Kab. Madiun

 Selatan : Kab. Madiun, Kab. Magetan

 Barat : Kab. Karanganyar, Kab. Sragen (Jawa Tengah) Tabel 4 Kondisi iklim KPH Ngawi

Kondisi Iklim Keterangan

Curah hujan tertinggi bulan Januari 281,04 mm Temperatur tertinggi bulan Januari dan November 34,8o C Temperatur terendah bulan Agustus, Februari 14,8o C

Kelembapan suhu udara min 42%; max 98%

Tekanan udara tertinggi bulan September min 1.005,6 milibar; max 1.015,3 milibar

Rata-rata penyinaran matahari terlama di bulan Februari dan terendah di bulan Desember

89,0% dan 24,3% Sumber: BPS 2014

Kondisi Demografi KPH Ngawi

Berdasarkan data BPS (2014), jumlah penduduk Kabupaten Ngawi akhir tahun 2013 adalah 915.493 jiwa (terdiri dari 449.947 penduduk laki-laki dan 465.546 penduduk perempuan), jumlah penduduk Kabupaten Ngawi per kecamatan berdasarkan jenis kelamin pada akhir tahun 2013 dapat di lihat pada Tabel 5. Data BPS menyebutkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Ngawi meningkat sebesar 0,29% dibandingkan tahun 2012. Kecamatan Paron memiliki jumlah penduduk terbesar sebanyak 89.134 jiwa, sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil yaitu Kecamatan Kasreman sebanyak 24.727 jiwa.

Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Ngawi pada tahun 2013 yaitu sebesar 706 jiwa/km2. Tingkat kepadatan per kecamatan tertinggi adalah Ngawi (1.202 jiwa/km2) sedangkan tingkat kepadatan per kecamatan terendah adalah Kecamatan Karanganyar (231 jiwa/km2), tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Ngawi per kecamatan pada akhir tahun 2013 dapat di lihat pada Tabel 5. Jumlah kelahiran selama tahun 2013 adalah 8.271 jiwa (terdiri dari 4.268 bayi laki-laki dan 4.003 bayi perempuan). Jumlah kematian pada tahun 2013 tercatat sebesar 5.704 jiwa (terdiri dari 2.897 penduduk laki-laki dan 2.807 penduduk perempuan). Di bidang pendidikan, data BPS (2014) menunjukkan bahwa jumlah Taman Kanak-kanak (TK) di Kabupaten Ngawi terdapat sebanyak 604 lembaga dengan

14

jumlah murid 16.583 siswa, dengan rasio murid-sekolah sebesar 27,9. Jumlah Sekolah Dasar (SD) sederajat ada 671 lembaga. mempunyai murid 74.798 siswa dengan rasio murid-sekolah sebesar 111. Jumlah murid Sekolah Mengengah Pertama (SMP) dan sederajat sebanyak 36.740 siswa yang tersebar di 120 sekolah dengan rasio murid-sekolah sebesar 306. Jumlah murid Sekolah Menengah Umum/Sekolah Menengah Kejuruan (SMU/SMK) sebanyak 28.083 siswa yang tersebar di 70 sekolah, dengan rasio murid-sekolah sebesar 401.

Tabel 5 Luas daerah dan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Ngawi per kecamatan pada akhir tahun 2013

No. Kecamatan Luas

daerah (Km2)

Laki-laki Perempuan Jumlah

penduduk Kepadatan penduduk (Jiwa/Km2) 1 Sine 80,22 23.432 26.453 49.885 622 2 Ngrambe 57,49 22.150 22.311 44.461 773 3 Jogorogo 65,84 24.107 24.498 48.605 738 4 Kendal 84,56 28.963 29.352 58.315 690 5 Geneng 52,52 27.880 28.264 56.144 1.069 6 Gerih 34,52 18.551 19.643 38.194 1.106 7 Kwadungan 30,30 14.111 14.497 28.608 944 8 Pangkur 29,41 14.178 14.770 28.948 984 9 Karangjati 66,67 23.256 25.144 48.400 726 10 Bringin 62,62 16.020 16.477 32.497 519 11 Padas 50,22 17.509 17.793 35.302 703 12 Kasreman 31,49 12.380 12.347 24.727 785 13 Ngawi 70,56 42.078 42.722 84.800 1.202 14 Paron 101,14 43.964 45.170 89.134 881 15 Kedunggalar 129,65 36.596 37.056 73.652 568 16 Pitu 56,01 14.108 14.256 28.364 506 17 Widodaren 92,26 34.794 36.705 71.499 775 18 Mantingan 62,21 19.889 22.121 42.010 675 19 Karanganyar 138,29 15.981 15.967 31.948 231 Jumlah 1.295,98 449.947 465.546 915.493 706 Tahun 2012 1.295,98 448.637 464.230 912.867 704 Tahun 2011 1.295,98 448.424 463.487 911.911 704 Tahun 2010 1.295,98 439.536 455.139 894.675 690 Tahun 2009 1.295,98 438.223 453.828 892.051 688 Sejarah Perusahaan

Berdasarkan Laporan Triwulan IV tahun 2013 KPH Ngawi, disebutkan sejarah KPH Ngawi adalah sebagai berikut:

 Tahun 1865 - 1961: de Dienst v/h Boswezen/Jawatan Kehutanan (1865), Inrichtings Brigade/Bagian Tata Hutan (1895), Jati Bedrijf (1925), Brigade

Planologi Kehutanan (1933), Departemen Pertanian (1945), Direktorat Kehutanan dan Tata Bumi (1955)

 Perusahaan Negara Perhutani (1961)

 PP Nomor 15 tahun 1972, Perum Perhutani berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Wilayah kerja Perum Perhutani adalah kawasan hutan negara di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur

 PP Nomor 2 tahun 1978, kawasan wilayah kerja diperluas sampai dengan kawasan hutan negara di Provinsi Jawa Barat

 PP Nomor 36 tahun 1986, tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani)

 PP Nomor 53 tahun 1999, tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani)

 PP Nomor 14 tahun 2001, Pemerintah menetapkan Perhutani sebagai BUMN dengan bentuk Perseroan Terbatas (PT)

 Pada tahun 2003, Mahkamah Agung membatalkan PP Nomor 14 tahun 2001 dan memberlakukan kembali PP Nomor 53 tahun 1999 yangsekaligus bermakna mengembalikan bentuk perusahaan dari PT menjadi Perum

 PP Nomor 30 tahun 2003, tentang Perum Perhutani

 PP RI Nomor 72 tahun 2011, tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara

Wilayah Kerja

Wilayah kerja Perum Perhutani KPH Ngawi seluas 45.909,7 ha terdiri dari hutan produksi seluas 42.476,5 ha; hutan lindung seluas 19,40 ha; dan wilayah yang diperuntukkan bagi TBP/LDTI/Alur seluas 3.413,80 ha.

Secara administratif, KPH Ngawi berada dalam wilayah sebagi berikut:

 Kabupaten Daerah Tingkat II Ngawi, seluas 35.204,4 ha

 Kabupaten Daerah Tingkat II Blora, seluas 8.257,7 ha

 Kabupaten Daerah Tingkat II Bojonegoro, seluas 2.447,6 ha

Wilayah kerja Perum Perhutani KPH Ngawi terbagi kedalam 14 BKPH dan 55 RPH. Adapun pembagian wilayah di KPH Ngawi berdasarkan BKPH dan RPH, dapat dilihat pada Lampiran 1.

Kondisi Umum Desa Karanganyar Letak dan Luas

Desa Karanganyar terletak di Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Wilayah administratif pemerintahan desa, terbagi kedalam 7 Dusun (Talok temugiring, Bendo, Banyuasin timur, Banyuasin barat, Karanganyar, Banteng tremas, dan Bamban). Luas wilayah Desa Karanganyar yaitu 5.159.806 Ha yang terbagi menjadi luas wilayah pemukiman (157.500 Ha), sawah (201 Ha), ladang/tegalan (389.875 Ha), dan hutan (4.612.230Ha). Secara administratif, batas-batas dari Desa Karanganyar adalah sebagai berikut:

 Sebelah Utara : Desa Bangklean, Mundu, Kec. Jati Blora

 Sebelah Selatan : Desa Widodaren Kec. Widodaren

 Sebelah Barat : Desa Mengger, Pandean Kec. Karanganyar

16

Jumlah Penduduk

Desa Karanganyar merupakan salah satu desa dari 7 desa di Kecamatan Karanganyar, atau dapat juga disebutkan bahwa Desa Karanganyar merupakan salah satu desa dari 217 desa yang terdapat di Kabupaten Ngawi. Adapun Desa Karanganyar itu sendiri terbagi kedalam 7 Dusun (Talok temugiring, Bendo, Banyuasin timur, Banyuasin barat, Karanganyar, Banteng tremas, dan Bamban). Desa Karanganyar itu sendiri terbagi kedalam 7 Rukun Warga (RW), dimana satu dusun mewakili satu RW. Selain itu, Desa Karanganyar juga terbagi kedalam 34 Rukun Tetangga (RT) di dalamnya. Lebih lanjut, pembagian wilayah Desa Karanganyar yang terbagi kedalam RW, Dusun dan RT dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah Kepala Keluarga per-RT di Desa Karanganyar

RW Dusun Jumlah KK per-RT Total

KK RT 1 RT 2 RT 3 RT 4 RT 5 RT 6 RT 7 RT 8 1 Karanganyar 34 47 68 46 69 45 32 341 2 Banyuasin Timur 77 72 97 36 38 49 37 72 478 3 Banyuasin Barat 81 50 49 63 40 37 42 362 4 Talok 55 73 82 48 258 5 Bendo 49 37 38 124 6 Bamban 56 56 7 Tremas 38 33 50 39 160

TOTAL KK di Desa Karanganyar 1779

Data Kepala Keluarga yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa tahapan. Pertama dilakukan wawancara kepada Kepala Desa setempat guna memperoleh data jumlah KK per-RT. Selanjutnya dilakukan crosscheck atau konfirmasi ke ketua RT ataupun ketua RW guna memastikan akurasi data. Hal ini dilakukan karena data yang dimiliki oleh Kepala Desa merupakan data tahun 2013.

Lokasi Desa

Lokasi Desa Karanganyar dikelilingi oleh hutan milik Perhutani, dan dilewati oleh Sungai Bengawan Solo. Meskipun dikelilingi oleh hutan, lokasi Desa Karanganyar tidaklah jauh ke Kecamatan Karanganyar. Aksesibilitas antara Desa Karanganyar dan Kecamatan Karanganyar tidaklah jauh. Adapun jarak dari desa ke kecamatan yaitu sekitar 3,5 km. Jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor, jarak dari desa ke kecamatan dapat ditempuh selama 30 menit. Di lapangan, Desa Karanganyar merupakan desa enclave di dalam hutan Perhutani. Enclave itu sendiri berasal dari bahasa Latin inclavatus yang artinya terkurung atau terkunci. Enclave juga dapat diartikan sebagai pemilikan hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan hutan yang dapat berupa permukiman dan atau lahan garapan

Berdasarkan kondisi tersebut, dimana jarak dari desa tidak begitu jauh ke kecamatan, maka Desa Karanganyar ini mendapatkan pengaruh dari Kecamatan Karanganyar. Maka untuk kepentingan penelitian, dusun-dusun di Desa Karanganyar, yang letaknya lebih dekat ke Kecamatan, dan juga lebih dekat ke pusat desa tidak dijadikan sebagai sampel untuk penentuan responden. Hal ini dilakukan untuk mengurangi munculnya bias. Selain itu, Dusun yang merupakan

pusat desa juga tidak diambil karena kegiatan penduduknya yang jarang berinterkasi dengan kegiatan di dalam hutan. Oleh karena hal itu, hanya diambil 3 dusun dari total 7 dusun yang ada di Desa Karanganyar. Adapun Dusun yang dijadikan lokasi pengambilan sampel responden yaitu Dusun Karanganyar RT 3, RT 4, RT 5, dan RT 6. Sedangkan Dusun Karanganyar RT 1, RT 2 dan RT 7 tidak dijadikan sebagai sampel karena dusun/RT tersebut berdekatan lokasinya pusat desa Karanganyar. Selain Dusun Karanganyar, dusun lainnya yang diambil sebagai lokasi pengambilan sampel responden yaitu Dusun Bamban dan Dusun Tremas. Dilihat saat di lapangan, ketiga dusun ini dapat dikatakan dusun paling ujung dari Desa Karanganyar. Dimana Dusun Tremas dan Dusun Bamban berbatasan langsung dengan Kabupaten Blora. Berikut ini adalah gambaran lokasi Desa Karanganyar (Gambar 4).

Gambar 4 Peta Desa Karanganyar

Setelah dilakukan penentuan dusun yang akan dijadikan sebagai sampel penelitian, selanjutnya dilakukan penyaringan KK yang akan dijadikan sampel

18

penelitian. Setelah dilakukan penyaringan, maka diperoleh hasil seperti terlihat pada Tabel 7. Adapun kriteria dari penyaringan ini adalah :

1. KK yang sudah pindah ke luar desa/kota secara permanen 2. Memiliki hubungan dengan Perhutani

3. Memiliki hubungan dengan LMDH

4. Memiliki masalah pendengaran (penyandang tuli)

5. Jika dalam satu rumah terdapat lebih dari 1 KK dengan 1 sumber ekonomi yang sama, maka dilebur menjadi 1 KK.

Tabel 7 Jumlah KK per-RT setelah dilakukan penyaringan

RW Dusun Jumlah KK per-RT Total

KK RT 1 RT 2 RT 3 RT 4 RT 5 RT 6 RT 7 RT 8 1 Karanganyar 54 51 59 41 317 6 Bamban 48 48 7 Tremas 35 28 44 37 144 TOTAL 509

Berdasarkan pada Tabel 7 diatas, dapat diketahui bahwa KK pada Dusun Karanganyar berkurang menjadi 317 KK dari jumlah semula yaitu 341 KK. Pengurangan ini mayoritas disebabkan oleh banyaknya KK yang pindah ke desa lain dan memiliki hubungan dengan Perhutani. Sedangkan pada Dusun Bamban jumlah KK berkurang dari 56 KK menjadi 48 KK, pengurangan ini mayoritas disebabkan karena dalam satu rumah terdapat lebih dari 1 keluarga dengan 1 sumber ekonomi. Sedangkan di Dusun Tremas, pengurangan mayoritas terjadi karena KK sudah pindah ke luar kota secara permanen.

Penentuan responden bersumber pada Tabel 7, metode yang dilakukan untuk penarikan sampel yaitu dengan cara random sampling dengan intensitas sampling sebanyak 20% pada masing-masing RT. Banyaknya responden pada masing-masing RT di dusun Karanganyar, Bamban, dan Tremas dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Jumlah responden per-RT

RW Dusun Jumlah Responden per-RT (α = 20%) Total

KK RT 1 RT 2 RT 3 RT 4 RT 5 RT 6 RT 7 RT 8 1 Karanganyar 11 10 12 8 41 6 Bamban 10 10 7 Tremas 7 6 9 7 29 TOTAL RESPONDEN 80

Keterangan: α = intensitas sampling

Berdasarkan pada Tabel 8, dapat dilihat bahwa total responden yang harus di wawancara adalah 80 responden. Namun pada kenyataannya di lapangan, terdapat beberapa kendala yang ditemui, seperti: ada responden yang keberatan untuk diwawancara, susah diketemui, sakit, dan ada pula responden yang sudah terlalu tua sehingga susah untuk dilakukan wawancara. Dengan adanya hambatan tersebut, maka responden yang berhasil diwawancara adalah sebanyak 75 responden.

Karakteristik Individual Masyarakat

Anggota masyarakat yang menjadi sampel sekaligus menjadi responden berjumlah 75 orang yang merupakan anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) dalam program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang diselenggarakan Perum Perhutani.

Gambaran responden dalam penelitian ini ditinjau dari karakteristik individual dan karakteristik sosial ekonomi. Data yang telah diperoleh di lapangan, dianalisis dengan membuat persentase serta tabel dan grafik. Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan perhitungan sederhana untuk mendapatkan angka jumlah, frekuensi, rataan, persentase dan sebagainya. Karakteristik individual anggota masyarakat yang diteliti meliputi: (1) umur, (2) pendidikan, dan (3) pekerjaan.

Umur

Pendeskripsian umur anggota masyarakat bertujuan untuk mengetahui sebaran umur produktif. Umur merupakan salah satu karakteristik individu yang mempengaruhi fungsi biologis, psikologis dan sosiologis. Teori Havigurst (1972), menyebutkan bahwa umur muda dikategorikan pada kisaran kurang dari 30 tahun, dewasa antara 31 – 45 tahun dan kategori tua pada umur lebih dari 46 tahun. Bila dikaitkan dengan pekerjaan di bidang pertanian, maka usia paling produktif adalah pada usia 18 – 40 tahun, karena pada usia ini berada pada puncak efisiensi fisik, kemampuan motorik, kecepatan respon, kemampuan mental, dan berkeinginan kuat untuk mandiri. Kemampuan-kemampuan ini akan menurun perlahan mulai usia 30 tahunan dan akan menurun drastis sejak usia 40 tahun (Havigurst, 1972). Di lokasi penelitian, sebaran umur responden dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Sebaran umur responden

Hasil dari pengumpulan data di lapangan, didapatkan bahwa rata-rata umur responden yaitu 52 tahun. Responden paling tua berusia 76 tahun sedangkan yang paling muda berusia 21 tahun. Sebaran responden terbesar pada kisaran umur antara 41- 50 tahun yaitu sebanyak 24 orang atau sebesar 32%. Sebaran responden terkecil pada kisaran umur antara 20-30 tahun yaitu hanya sebanyak 2 orang atau sebesar 2,67%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat yang berpartisipasi tergolong berumur tua. Masyarakat yang berusia muda lebih tertarik mencari pekerjaan di luar kota (seperti Solo, Surabaya, Jakarta, dll) ataupun di luar pulau

20

(seperti Kalimantan, Sumatera, dll), kebanyakan dari mereka bekerja di bidang wiraswasta ataupun konstruksi bangunan. Pekerjaan ini dirasakan lebih menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi.

Memperhatikan umur responden yang berusia tua ini berimplikasi bahwa responden atau masyarakat petani hutan tidak produktif. Havigurst (1972) dan Hurlock (1992) menyebutnya dengan usia pertengahan/dewasa lanjut (middle age) (umur 40–60 tahun) dimana kemampuan indra menurun, fungsi fisiologis menurun, kesehatan menurun, menopause/klimakterik. Pada usia ini juga timbul perubahan sikap dan perilaku, timbul tanda-tanda ketuaan, mengalami kemunduran mental, terutama pada orang yang mempunyai kemampuan intelektual rendah. Kemampuan fisik dan mental ini terus menurun pada usia tua (later maturity) (umur lebih dari 60 tahun). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sumberdaya masyarakat desa sekitar hutan di KPH Ngawi dapat dikategorikan rendah dan tidak produktif.

Pendidikan

Pendidikan mempunyai peranan penting dalam membentuk pola pikir masyarakat dalam bertindak. Melalui pendidikan, seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat bermanfaat bagi diri dan masyarakat. Pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak seseorang. Tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi pola pikir masyarakat, sehingga sulit menerima hal-hal baru atau inovasi yang dapat menambah wawasan, pengalaman dan pengetahuan. Masyarakat akan cenderung untuk tidak berpikir untuk jangka panjang, tetapi hanya untuk kehidupan saat itu. Implikasinya mempunyai kecenderungan pasrah pada nasib dan tidak mau merubah diri serta sering bersikap irasional (Sanim et al. 2006).

Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikasi tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka terdapat kemungkinan untuk lebih mudah memperoleh lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian (Yatap 2008). Data mengenai pendidikan formal yang diperoleh responden (Gambar 6) dikelompokkan menjadi tidak sekolah, SD, SMP, SMA, dan S1.

Gambar 6 Sebaran pendidikan responden

Berdasarkan pada gambar diatas, diketahui bahwa terdapat banyak responden yang tidak sekolah, yaitu sebanyak 26 orang atau sebanyak 34,67%. Banyaknya responden yang tidak bersekolah tersebut, menempati posisi kedua

terbanyak setelah banyaknya responden yang menyelesaikan jenjang pendidikan SD sebagai posisi pertama. Banyaknya responden yang menyelesaikan SD yaitu 40 orang atau 53,33%.

Hal ini berimplikasi bahwa tingkat pemahaman dan kemampuan melakukan suatu, kemampuan mengembangkan pengetahuan dan pengalaman responden sangat terbatas. Hal ini juga sejalan dengan pendapat de Cecco (1968) yang mengemukakan bahwa pendidikan yang rendah akan berimplikasi pada rendahnya kesiapan belajar. Demikian pula dengan rendahnya pendidikan yang pernah diperoleh masyarakat maka cara berfikir dan bertindaknya masih belum sesuai dengan harapan. Kenyataan ini juga berkaitan dengan produktifitas sebagaimana disampaikan oleh Madrie (1986) bahwa warga masyarakat yang berpendidikan formal rendah dan mempunyai keterampilan yang rendah, akan cenderung rendah pula produktifitasnya. Yusuf (1982) juga mengemukakan bahwa melalui pendidikan formal dapat dikembangkan pengetahuan (knowledges), ketrampilan (skill), sikap (attitude) dan nilai- nilai (values), artinya tanpa pendidikan, pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai- nilai individu tidak berkembang.

Faktor yang mempengaruhi banyaknya responden untuk tidak bersekolah dan banyaknya responden yang hanya mampu menyelesaikan sampai tingkat SD yaitu disebabkan karena faktor lokasi desa yang boleh dikatakan terpencil. Berdasarkan pada profil desa, sampai dengan tahun 2013 hanya terdapat 5 unit SD. Responden yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan SMP dan SMA, responden perlu menempuhnya di Kecamatan/Kabupaten. Begitupula dengan Sekolah Tinggi, responden yang ingin melanjutkan ke Sekolah Tinggi, maka responden perlu menempuhnya ke tingkat Kabupaten ataupun keluar kota. Pekerjaan

Masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar hutan umumnya mempunyai pekerjaan pokok sebagai petani. Mata pencaharian ini menggambarkan tingkat ketergantungan masyarakat akan sumberdaya alam (SDA) dan lahan. Selain itu menunjukkan tekanan/ancaman terhadap sumberdaya hutan (Sanim et al. 2006).

Sebagian besar kepala keluarga di Desa Karanganyar bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani ataupun sebagai buruh tani. Bentuk kegiatan yang dilakukan yaitu berupa mengolah sawah, mengolah kebun, ataupun mengolah tanah Perhutani dengan cara tumpagsari. Sedangkan pada sektor non-pertanian, kepala keluarga bekerja sebagai peternak, wiraswasta, pamong desa, dan PNS. Sebaran pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 7.

22

Berdasarkan pada gambar diatas, dapat dilihat bahwa terdapat banyaknya responden yang bekerja sebagai petani yaitu sebanyak 44 orang (58,67%). Responden yang bekerja sebagai buruh tani, menempati posisi kedua terbanyak yaitu terdapat 15 orang (20%). Hasil utama dari bertani diantaranya yaitu berupa padi, sayur-sayuran, buah-buahan, tebu, dan kayu rakyat. Responden yang tidak memiliki lahan pertanian dan menggarap lahan pertanian milik orang lain, dalam penelitian ini disebutkan sebagai buruh tani.

Peningkatan atau penurunan penduduk yang bekerja di bidang pertanian ini memungkinkan terjadinya perubahan penutupan lahan khususnya lahan budidaya. Semakin banyak penduduk yang bekerja di bidang pertanian, maka kebutuhan akan lahan budidaya semakin meningkat, hal ini dapat mendorong penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupam lahan menjadi lahan budidaya. Menurut Yatap (2008), terbatasnya jumlah masyarakat yang bekerja di luar sektor pertanian dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah dengan terbatasnya lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian.

Dibutuhkan perubahan terhadap pola pikir warga desa pada usaha mereka dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Dibutuhkan keahlian baru pada berbagai bidang pekerjaan, sehingga ketergantungan terhadap usaha di bidang pertanian akan semakin berkurang, beralih pada sektor industri, perdagangan, jasa, ataupun pariwisata.

Kontribusi PHBM terhadap Pendapatan Rumah Tangga Pengolahan Andil

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang diterapkan oleh Perum Perhutani mulai dari tahun 2001 menyebabkan lebih banyak campur tangan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat yang tinggal di desa sekitar hutan. Partisipasi masyarakat yang menjadi anggota LMDH telah tertuang dalam Nota Perjanjian Kerjasama (NPKS) yang ditandatangani oleh Kepala Administratur KPH dengan Ketua LMDH terkait.

Partisipasi masyarakat desa hutan dalam kegiatan Perhutani menghasilkan perolehan andil oleh masyarakat untuk di garap/diolah. Andil itu sendiri adalah, sebidang tanah milik Perhutani yang oleh masyarakat tersebut bisa dilakukan pengolahan berupa kegiatan pertanian dengan secara langsung memelihara tanaman milik Perhutani yang ada di atasnya. Kegiatan masyarakat yang umumnya dilakukan di andil miliknya yaitu berupa kegiatan tumpangsari.

Andil yang di garap oleh responden kebanyakan berupa lahan kering, penduduk lokal biasa menyebutnya dengan istilah “Baon”. Responden yang menggarap lahan ini biasanya melakukan kegiatan tumpangsari. Responden biasanya menanam jagung dan singkong. Selain “Baon”, ada pula responden yang menggarap andil berupa tanah becek. Penduduk setempat menyebutnya dengan istilah “corah”. Corah ini terbentuk karena lokasinya yang berada di samping sungai, dan kontur tanahnya cenderung miring. Pada lahan corah tersebut, responden biasanya menanam padi. Padi yang ditanam pada corah ini, hanya dilakukan satu kali dalam setahun (musim penghujan saja), karena corah ini besifat seperti sawah tadah hujan. Selebihnya di musim kering, responden bisa menanam jagung ataupun sayuran, ataupun bahkan tanahnya dibiarkan

menganggur. Perbandingan kepemilikan luasan andil antara baon dan corah, dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Perbandingan kepemilikan luasan andil antara baon dan corah

No Kategori Luas andil Baon Corah

Σ Responden % Σ Responden % 1 0,00 - 0,25 17 22,67 72 96,00 2 0,26 - 0,50 17 22,67 2 2,67 3 0,51 - 0,75 5 6,67 1 1,33 4 0,76 - 1,00 15 20,00 0 0,00 5 1,01 - 1,25 4 5,33 0 0,00 6 1,26 - 1,50 5 6,67 0 0,00 7 2,00 - 3,00 3 4,00 0 0,00 TOTAL 66 88,00 75 100,00

Andil responden di tanah perhutani memiliki luas yang berbeda-beda. Hal ini tergantung dari keinginan dan kemampuan responden untuk mengolah, mengelola dan menjaganya. Terdapat responden yang hanya memiliki satu andil garapan tetapi ada yang pula responden yang menggarap lebih dari satu andil garapan. Responden lebih banyak mengelola baon daripada corah. Hal ini dikarenakan ketersedian corah yang sedikit, selain itu diperlukan kebutuhan yang lebih banyak dalam mengolah corah dibandingkan baon. Rata-rata luas andil garapan responden dapat di lihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Rata-rata luas andil garapan responden Luas Andil Garapan (Ha) Baon Corah

Luas rata-rata 0,75 0,16

Luas minimal 0,11 0,01

Luas maksimal 2,00 0,70

Pada setiap andil garapan responden ditanami oleh jati sebagai tanaman pokok milik Perhutani. Pada tiap andil responden, jati yang ditanam memiliki tahun tanam yang berbeda sesuai dengan rencana penanaman yang telah direncanakan oleh pihak KPH Ngawi. Jarak tanam jati yang dipakai di tiap andil garapan responden berbeda-beda pula tergantung dari kemiringan lahan. Tanaman yang biasa dijadikan sebagai tanaman tepi di andil responden yaitu dari jenis mahoni.

Warga Desa Karanganyar, erat hubungannya dengan kegiatan tumpangsari di lahan milik perhutani, tetapi disamping itu mereka tetap melakukan aktifitas pertanian di lahan milik sendiri. Lahan milik sendiri punya masyarakat diantaranya berupa sawah, ladang, dan pekarangan. Tanaman yang dibudidayakan di lahan milik sendiri ini biasanya berupa padi, jagung, singkong, pisang, kacang tanah, dan tebu. Dalam perhitungannya, luas ladang dan pekarangan digabungkan

Dokumen terkait