• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Industri Biodiesel di Indonesia

Perkembangan industri biodiesel di Indonesia tergolong lambat bila dibandingkan dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki potensi bahan baku yang sangat melimpah. Upaya untuk memanfaatkan biodiesel sebenarnya sudah mulai dikembangkan sejak tahun 1992, namun karena tidak mampu bersaing dengan solar maka biodiesel tidak berkembang.

Menyadari bahwa cadangan minyak di Indonesia semakin menipis dan harga minyak bumi semakin mahal, maka sejak tahun 1999/2000 pemanfaatan biodiesel mulai dipopulerkan kembali oleh lembaga pemerintah, pendidikan, dan organisasi non pemerintah yang peduli lingkungan. Pada tahun 2000 lembaga- lembaga seperti BPPT, Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Lemigas, dan PPKS banyak mengadakan seminar.

Pada tahun 2001 BPPT melakukan uji coba penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar bus milik BPPT. Pada September 2004 BPPT kembali melakukan uji coba menggunakan bahan bakar biodiesel pada bus BPPT dan melakukan road test biodiesel Jawa/Bali, sedangkan uji coba dan sosialisasi biodiesel terus dilakukan hingga bulan Desember 2004. Setelah itu mulai banyak pihak yang melakukan uji coba penggunaan biodiesel.

Pertamina sejak bulan Mei tahun 2006 mulai memasarkan biosolar (campuran biodiesel ke dalam solar) di tiga SPBU di Jakarta yaitu Kemayoran, Mampang dan Pecenongan. Target pemasaran Pertamina saat itu adalah 180 SPBU di Jakarta dan 5 SPBU di Surabaya. Akan tetapi karena terbatasnya pasokan biodiesel dari produsen, maka target pemasaran biosolar terpaksa diturunkan. Pada tahun 2006, terdapat tujuh perusahaan dan lembaga pemerintah yang memasok biodiesel yaitu BPPT, PT Energi Alternatif Indonesia, PPKS, ITB, PT RAP, PT Eterindo, dan PT Surya.

Industri biodiesel mulai mengalami perkembangan dengan banyaknya investor baru yang membangun pabrik. Kondisi ini didorong oleh keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2006 tanggal 25 Januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain kemudian diikuti dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Dirjen Minyak dan Gas Bumi No 3674/24/DJM/2006 yang melegalkan produk pencampuran minyak nabati.

Tahun 2006 dalam program bahan bakar nabati, pemerintah menetapkan harga jual biodiesel tidak boleh melebihi harga jual solar. Tetapi penetapan harga jual biodiesel berdampak pada harga bahan baku utama yaitu CPO. Biaya produksi tampaknya sulit ditekan karena apabila harga CPO meningkat tajam maka biaya produksi biodiesel akan meningkat (Dharmosamoedero 2012). Kondisi yang terburuk pernah dialami oleh produsen biodiesel, pada tahun 2009 dari 20 produsen yang berinvestasi pada industri biodiesel, 18 produsen menghentikan aktivitas produksinya karena harga jual yang tidak menguntungkan untuk menjalankan produksi.

Kondisi yang sama juga dialami oleh produsen biodiesel sampai sekarang. Berdasarkan data Kementerian ESDM (2013), dari 25 produsen yang terdaftar

memiliki izin niaga bahan bakar nabati, hanya 13 produsen yang masih aktif berproduksi. Produsen yang memiliki izin niaga BBN dapat dilihat pada Tabel 31.

Tabel 31 Produsen biodiesel di Indonesia

No Nama produksi Kapasitas pabrik

(kL/tahun)

Lokasi pabrik

1 PT. Indo Biofuels Energy 68.966 Cilegon, Banten

2 PT. Anugerah Inti Gemanusa 45.977 Gresik, Jawa Timur

3 PT. Eterindo Nusa Graha 45.977 Gresik, Jawa Timur

4 PT. Wilmar Bioenergi Indonesia * 1.206.897 Medang Kampai, Dumai

5 PT. Darmex Biofuels 172.414 Bekasi Utara, Jabar

6 PT. Pelita Agung Industri * 229.885 Bengkalis, Riau

7 PT. Musim Mas * 977.011 Batam, Kep. Riau

8 PT. Sintong Abadi 35.000 Kab Asahan Sumut

9 PT. Multi Energi Nabati 22.989 Cikarang Barat, Banten

10 PT. Cemerlang Energi Perkasa * 459.770 Dumai, Riau

11 PT. Bioenergi Pratama Jaya 75.862 Muara Wahau, Kutai

12 PT. Ciliandra Perkasa * 287.356 Pekanbaru, Riau

13 PT. Wilmar Nabati Indonesia* 793.103 Gresik, Jatim

14 PT. Sinar Alam Permai* 47.586 Kalimantan Tengah

15 PT. Petro Andalan Nusantara 150.000 Dumai, Pelintung

16 PT. Primanusa Palma Energi 24.000 Pluit, Jakarta Utara

17 PT. Sumi Asih OleoChemical 114.943 Bekasi, Jawa Barat

18 PT. Eternal Buana Chemical Industries 45.977 Tangerang, Banten

19 PT. Pasadena Biofuels Mandiri 10.240 Cikarang, Bekasi

20 PT. Wahana Abdi Tritatehnika Sejati 13.200 Jakarta Utara

21 PT. Alia Mada Perkasa 11.000 Kosambi, Tangerang

22 PT. Damai Sentosa Cooking 137.931 Surabaya

23 PT. Oil Tanking Merak 579.310 Cilegon, Banten

24 PT. Tjengkareng Djaya 82.759 Daan Mogot, Jakarta

25 PT. Energi Alternatif 8.046 Tanjung Priok, Jakarta

Sumber: ESDM (2013)

Kapasitas pabrik biodiesel di Indonesia terus berkembang dan sampai tahun 2014 telah menghasilkan total kapasitas terpasang biodiesel sebesar 5 646 999 kilo liter biodiesel per tahun (ESDM 2013). Dari 25 produsen biodiesel yang masih memiliki badan usaha pemegang izin usaha niaga BBN biodiesel, hanya 13 produsen menghentikan produksinya (ESDM 2013).

Pada tanggal 15 Februari 2012 persentase pencampuran biodiesel pada solar hanya sebesar 7.5%. Sejak tanggal 1 September 2013 persentase pencampuran biodiesel pada solar ditingkatkan menjadi 10%. Peningkatan penggunaan biodiesel ke dalam solar masih belum mampu meningkatkan kapasitas produksi biodiesel nasional. Data produksi biodiesel Indonesia dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Kapasitas dan produksi biodiesel Indonesia (Aprobi 2014) Tabel 32 Proyeksi kebutuhan biodiesel Indonesia

Tahun Kebutuhan Solar (juta kL) Kebutuhan Biodiesel (juta kL)

2014 34 3.4 2015 36.72 3.67 2016 39.66 7.93 2017 42.83 8.57 2018 46.26 9.25 2019 49.96 9.99 2020 53.95 16.19 2021 58.27 17.48 2022 62.93 18.88 2023 67.97 20.39 2024 73.40 22.02 2025 79.28 23.78 Sumber: Aprobi (2014)

Berdasarkan Gambar 16 diketahui bahwa sejak tahun 2007 produsen biodiesel lebih memilih ekpor biodiesel daripada menjual dalam negeri karena harga jual biodiesel ekspor lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga jual biodiesel dalam negeri. Sementara dengan adanya kebijakan mandatori BBN akan meningkatkan kebutuhan biodiesel dalam negeri. Proyeksi kebutuhan biodiesel dalam negeri akan semakin meningkat sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 32..

Tabel 32 memperlihatkan peningkatan kebutuhan biodiesel dalam negeri. Apabila dilakukan pencampuran 20% biodiesel dalam solar, maka kebutuhan biodiesel dalam negeri pada tahun 2016 sebesar 7.93 juta kL. Sementara kapasitas terpasang industri biodiesel Indonesia saat ini sebesar 5.67 juta kL, berarti dalam memenuhi kebutuhan biodiesel tahun 2016 perlu dilakukan peningkatan kapasitas dengan cara pemanfaatan kapasitas yang tidak terpakai dan penambahan kapasitas dengan membuka peluang investasi baru industri biodiesel.

Sub Model Bahan Baku Biodiesel Berbasis Minyak Sawit

Bahan baku yang dikaji pada penelitian ini adalah bahan baku biodiesel berbasis minyak sawit yang digunakan oleh produsen biodiesel di Indonesia yaitu CPO, RPO, RBDPO, RBD olein, RBD stearin, dan PFAD. Perbandingan bahan baku tersebut dapat dilihat pada Lampiran 10.

CPO adalah bahan baku biodiesel yang berasal dari pabrik kelapa sawit (PKS), sedangkan RPO, RBDPO, RBD olein, RBD stearin, dan PFAD adalah bahan baku biodiesel yang berasal dari pabrik pemurnian (refinery plant).

Secara garis besar, dari pengolahan 1 ton tandan buah segar di PKS dapat menghasilkan 22% CPO, pengolahan CPO di pabrik pemurnian menghasilkan 20/9% RPO, 20.5% RBDPO, 14.9% RBD olein, 4.3% RBD stearin dan, 1.3 % PFAD. Ilustrasi perbandingan bahan baku berbasis minyak sawit yang digunakan untuk biodiesel disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17 Proporsi bahan baku biodiesel

Bahan baku biodiesel yang digunakan oleh beberapa produsen biodiesel dapat dilihat pada Tabel 33.

Tabel 33 Karakteristik bahan baku biodiesel berbasis minyak sawit

Bahan baku Produsen

CPO RPO RBDPO RBD Olein RBD Stearin PFAD PTPN IV PT Wilmar PT Musim Mas

PT Musim Mas, PT Eterindo, dan PT Wilmar PT Musim Mas, PT Eterindo, dan PT Wilmar PT Musim Mas, PT Eterindo, dan PT Wilmar PTPN IV pada saat memiliki pabrik biodiesel, menggunakan bahan baku CPO. PT Musim Mas menggunakan bahan baku biodiesel dari RBDPO, RBD olein, RBD stearin, dan PFAD. PT Wilmar menggunakan bahan baku RPO, RBD olein, RBD stearin, dan PFAD. PT Eterindo Wahanatama Tbk juga menggunakan bahan baku RBD olein, RBD stearin, dan PFAD.

Beberapa alasan pemakaian bahan baku biodiesel oleh produsen adalah proses teknologi/peralatan, ketersediaan bahan baku, harga bahan baku, dan standar kualitas yang diminta oleh konsumen. Minyak sawit adalah produk yang memiliki harga yang sangat fluktuatif, dipengaruhi oleh harga bahan baku, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Harga bahan baku total dipengaruhi oleh harga minyak sawit tingkat produsen, harga minyak mentah (crude oil), permintaan, dan nilai tukar rupiah.

P

rm(total)

= f(P

rm

, P

crude oil

, P

Demand

,P

Currency

)

Keterangan:

Prm(total) : Harga minyak sawit (total)

Prm : Harga minyak sawit tingkat produsen

Pcrude oil : Harga minyak mentah

PDemand : Permintaan

PCurrency : Nilai tukar rupiah

Minyak sawit mengalami kenaikan yang signifikan pada tahun 2011 dan mengalami penurunan pada tahun 2014. Tahun 2011 nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berada pada Rp 9 000 per dolar dan tahun 2014 berada pada Rp 12 040 per dolar Amerika. Namun harga minyak mentah yang naik pada tahun 2011 (rata-rata 111 dolar per barel) dan mengalami penurunan pada tahun 2014 (78,54 dolar per barel). Permintaan minyak sawit setiap tahun cenderung mengalami kenaikan baik itu untuk pangan maupun non pangan. Permintaan minyak sawit di presentasikan pada permintaan minyak nabati dunia yang disajikan pada Gambar 18.

Berdasarkan hal tersebut, faktor yang sangat mempengaruhi fluktuasi harga minyak sawit adalah minyak mentah. Grafik pengaruh hubungan minyak mentah terhadap minyak sawit diperlihatkan pada Lampiran 11, sedangkan fluktuasi harga minyak sawit diperlihatkan pada Gambar 19 (ditampilkan lebih terperinci pada Lampiran 12).

Gambar 19 Fluktuasi harga minyak sawit dan minyak mentah (crude oil) Kajian selanjutnya adalah proses yang akan dilalui oleh bahan baku. Penelitian ini mengkaji bahan baku biodiesel yang banyak digunakan oleh produsen di Indonesia yaitu CPO, RPO (ALB <5%), RBDPO, RBD Olein, RBD Stearin (ALB<1%), dan PFAD (ALB<90%). Asam lemak yang tinggi (>1%) harus melewati tahapan esterifikasi untuk dikonversi menjadi trigliserida sebelum ditransesterifikasi, sedangkan refined oil dengan kandungan asam lemak rendah dapat langsung dilakukan transesterifikasi. Kandungan pengotor juga mempengaruhi tahapan reaksi. CPO dengan pengotor (warna dan pengotor) harus dilakukan bleaching dan degumming.

B

Stream(i)

= f(A

i

, I

i

)

dengan ;

BStream(i) : Aliran proses biodiesel bahan baku i

Ai : Kandungan asam lemak bebas bahan baku ke i

Ii : Kandungan pengotor bahan baku ke i

Sub Model Teknologi Proses Produksi Biodiesel Berbasis Minyak Sawit Penentuan teknologi proses didasarkan pada kandungan ALB dan pengotor serta trigliserida. Pengaruh kadar ALB dan kadar air memiliki keterkaitan yang kuat dengan jenis katalis yang digunakan selama proses transesterifikasi (Ahmad

et al. 2013). Kadar ALB yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penyabunan pada proses transesterifikasi dengan menggunakan katalis basa. Pada bahan baku dengan kadar ALB tinggi, yaitu lebih dari 1%, proses konversi minyak atau lemak menjadi biodiesel dilakukan dua tahap, yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Pada tahapan pertama dilakukan proses esterifikasi antara ALB dengan metanol menggunakan katalis asam sehingga kandungan ALB menjadi kurang dari 1%. Selanjutnya dilakukan proses transesterifikasi dengan menggunakan katalis basa.

Proses dua tahap ini dapat meningkatkan rendemen biodiesel yang dihasilkan (Ghadge dan Raheman 2005; Veljkovic et al. 2006; Tiwari et al. 2007).

Berdasarkan jenis bahan baku maka berkembang tiga varian teknologi dan penyedia teknologi yang ditunjukkan pada Gambar 18.

a)

Connemenn b)

Meroloni, Lurgi, Inizio, Lian Juan, Axen c)

Desmet Balestra

Gambar 20 Varian teknologi proses produksi biodiesel berdasarkan bahan baku Varian teknologi yang pertama adalah teknologi proses produksi biodiesel menggunakan bahan baku yang berasal dari pabrik pemurnian dengan kandungan ALB < 1% yaitu RBDPO, RBD olein dan RBD stearin. Proses produksi biodiesel menggunakan transesterifkasi menjadi biodiesel. Penyedia teknologi yang memproses bahan baku ini adalah Connemen.

Varian teknologi yang kedua adalah teknologi proses produksibiodiesel menggunakan variasi bahan baku yaitu CPO dengan ALB < 5%, Refined oil

(RBDPO, RBD olein, RBD stearin) dengan ALB < 1% dan RPO dengan ALB < 5% tetapi tidak memiliki kotoran dan PFAD dengan ALB < 90%. Teknologi proses produksi biodiesel menggunakan esterifikasi dan transesterifikasi kemudian menjadi biodiesel. Penyedia teknologi yang memproses bahan baku ini adalah Merloni, Lurgi, Grand Inizio, Lian Juan, dan Axen.

Varian teknologi yang ketiga adalah teknologi proses produksi biodiesel menggunakan bahan baku CPO dengan kandungan ALB <5% dan proses produksi dilakukan dengan 2 cara yaitu cara pertama CPO dimurnikan terlebih dahulu hingga menghasilkan ALB <1% kemudian dilakukan proses transesterifikasi menjadi biodiesel. Cara kedua dengan pemurnin bahan baku, kemudian esterifikasi menjadi biodiesel. Penyedia teknologi yang memproses bahan baku ini

Standar CPO (ALB < 5%) Crude Stearin (ALB < 1%) PFAD (ALB <

90%)

Esterifikasi Transesterifikasi Biodiesel

Standar CPO (ALB < 5 %) Esterifikasi Refinery/Dea cidifikasi Refined Oil (ALB < 1 %) Transesterifikasi Standar CPO (ALB < 5 %) Biodiesel Refined Oil (ALB<1%) Transesterifikasi

adalah Desmet dan Balestra. Deskripsi masing-masing penyedia teknologi pada Gambar 20 dapat dilihat pada Tabel 34.

Tabel 34 Deskripsi pemilik teknologi proses produksi biodiesel No Nama perusahaan Teknologi Bahan baku Negara

1 Lurgi Continuous transesterifikasi Minyak dengan ALB <5% Jerman 2 Connemen Continuous transesterifikasi Minyak dengan ALB <5% Jerman 3 Merloni Esterifikasi dan

transesterifikasi

Semua variasi bahan baku

Italia 4 Grand Inizio Esterifikasi dan

transesterifikasi dengan dry washing Semua variasi bahan baku Malaysia

5 Lian Juan Esterifikasi dan transesterifikasi

Semua variasi bahan baku

Indonesia

6 Axen Esterifikasi dan

transesterifikasi

Semua variasi bahan baku

Perancis 7 Desmet Balestra Continuous

transesterifikasi

Minyak dengan ALB <5%

Italia Sumber: BUMN PT X

Keunggulan suatu teknologi ditentukan dari efisiensinya. Ada beberapa parameter yang dapat meningkatkan kinerja (performance) teknologi baik dari segi teknis maupun ekonomis (CIC 2007), antara lain adalah:

1. Efektivitas alat, berkaitan dengan penggunaan alat sehingga dapat menghemat tempat, utilitas dan waktu operasi.

2. Penghematan utilitas, pada proses pengolahan pemurnian biodiesel dari sabun, gliserol, dan air digunakan pencucian dengan menggunakan air (wet washing) sehingga berakibat pada banyaknya limbah cair. Adanya teknologi yang terbaru telah berhasil mengembangkan sistem pencucian tanpa air (dry washing) yang hampir tidak menggunakan air pada proses pencuciannya, sehingga limbah cair dapat ditekan.

3. Penghematan tempat, pada proses pengolahan biodiesel, teknologi untuk pemisahan air, gliserol, dan metanol yang tidak bereaksi digunakan settling tank berukuran besar sehingga membutuhkan area yang luas. Perkembangan teknologi terbaru mampu mengganti fungsi settling tank dengan centrifuge

yang ukurannya jauh lebih kecil sehingga menghemat luasan area. Tetapi alat ini tidak menguntungkan karena membutuhkan tenaga listrik yang sangat besar.

4. Efisiensi operasional

a. Tingkat perolehan rendemen (yield), penyedia teknologi yang menghasilkan teknologi proses produksi biodiesel yakin bahwa proses

yang digunakan dapat menghasilkan biodiesel dengan perbandingan antara bahan baku: produk adalah 1:1 dengan rendemen mendekati 100% dan

loss semakin meningkat.

b. Inovasi katalis, pada teknologi proses produksi biodiesel katalis yang digunakan setelah reaksi akan terbuang bersama dengan limbah cair. Hal ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar, karena penggunaan katalis hanya sekali pakai dan dapat meningkatkan biaya operasi. Perkembangan teknologi saat ini telah menemukan katalis padat yang memungkinkan penggunaannya secara berulang–ulang sehingga dapat mengurangi biaya operasi dan akan mengurangi konsentrasi limbah buangan.

Pada umumnya terdapat tahapan proses produksi biodiesel yang digunakan berdasarkan kandungan ALB, yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah ALB dalam bahan baku menjadi biodiesel. Kandungan ALB yang tinggi di dalam minyak terutama bila berikatan dengan air akan berpotensi untuk menyebabkan terjadinya penyabunan pada saat proses transesterifikasi. Untuk mempercepat konversi ALB menjadi metil ester pada proses esterifikasi diperlukan katalisator. Jenis katalis yang dapat digunakan yaitu katalis asam.

Transesterifikasi merupakan tahap konversi minyak atau lemak dalam struktur trigliserida menjadi metil ester dengan mencampurkan minyak atau lemak dengan alkohol atau metanol (Nagi et al. 2008; Ivanoui et al. 2011; Ahmad et al. 2013). Metanol merupakan alkohol yang paling banyak digunakan untuk proses transesterifikasi karena ikatan rantainya yang pendek sehingga mempercepat reaksi dan harganya yang murah serta kandungan air yang rendah (Srivastava 2000). Biodiesel yang dihasilkan melalui reaksi transesterifikasi dapat langsung digunakan dalam bentuk campuran dengan solar sesuai dengan rekomendasi manufaktur mesin yang menghasilkan gas buangan relatif lebih ramah lingkungan. Selain biodiesel, reaksi transesterifikasi menghasilkan hasil samping berupa gliserol (Lee 2013).

Teknologi proses produksi yang mampu mengolah variasi bahan baku tersebut adalah varian teknologi 2. Penyedia teknologi yang memproses bahan baku dengan variasi yang berbeda adalah Merloni, Grand Inizio, Lian Juan, dan Axen. Teknologi Lurgi yang banyak digunakan oleh produsen biodiesel di Indonesia saat ini sudah dimodifikasi sehingga dapat mongolah bahan baku yang mengandung kotoran dan asam lemak bebas yang cukup tinggi.

Secara garis besar ketiga varian di atas, selalu terdiri dari 3 kumpulan unit operasi kimia yaitu unit proses persiapan bahan baku meliputi pembersihan bahan baku (physical refining), unit reaksi kimia pembentukan FAME, dan unit pemurnian produk (Meher 2006; Melero 2014).

Proses produksi bahan baku menjadi biodiesel secara umum akan melalui beberapa tahap diantaranya:

1. Tahap persiapan bahan baku, terdapat 2 kegiatan yang dilakukan pada tahapan persiapan bahan baku yaitu :

a. Persiapan minyak dengan penghilangan gum (lipoprotein pada minyak) melalui proses penghilangan gum dan filtrasi.

b. Persiapan metanol dan katalis, yaitu mempersiapkan campuran metanol sebagai bahan baku dengan katalis, baik asam maupun basa, yang akan digunakan pada tahap reaksi baik esterifikasi maupun transesterifikasi. 2. Tahap reaksi merupakan tahap perubahan bahan baku menjadi biodiesel

menggunakan tahap reaksi esterifikasi maupun transesterifikasi pada kondisi operasi yang telah ditentukan.

3. Tahap purifikasi dilakukan terhadap produk utama dan produk samping. Tahapan ini dilakukan untuk memenuhi spesifikasi dari produk agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Tahap purifikasi pada biodiesel dilakukan untuk menghilangkan kandungan air dan pengotor, sedangkan purifikasi untuk gliserol adalah penghilangan kadar air, bau, pengotor, dan warna.

4. Tahap daur ulang metanol dilakukan agar sisa metanol yang tidak ikut dalam reaksi dapat diambil kembali sehingga penggunaan metanol menjadi lebih efisien.

Teknologi proses produksi yang umum digunakan merupakan deskripsi generik. Dalam aplikasinya, beberapa kekhususan terjadi karena perbedaan jenis bahan baku dan bahan penolong yang digunakan. Bahan baku dalam produksi biodiesel memiliki konsekuensi terhadap tahapan proses produksi serta jenis dan jumlah bahan tambahan yang diperlukan. Bahan baku yang digunakan dalam proses produksi biodiesel dikategorikan menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah bahan baku dengan kandungan ALB antara 1-5% yaitu CPO dan RPO, kategori kedua adalah bahan baku dari produk turunan CPO atau bahan baku dengan kandungan ALB kurang dari 1%, diantaranya adalah RBDPO, RBD olein, dan RBD stearin. Kategori ketiga adalah bahan baku dengan kandungan ALB <90 % yaitu bahan baku dari sisa pengolahan pabrik pemurnian yaitu PFAD. Pengolahan masing-masing kategori bahan baku menjadi biodisel membawa konsekuensi terhadap poses produksi yang harus dilalui serta jenis katalis dan bahan tambahan yang digunakan.

Penelitian ini membandingkan dua teknologi yang digunakan di Indonesia untuk mengolah minyak sawit menjadi biodiesel yaitu Grand Inizio dan Lurgi. Asumsi yang digunakan dalam sub model teknologi proses adalah:

1. Kedua teknologi ini memiliki kemampuan menghasilkan biodiesel dari bahan baku dengan rentang ALB yang sangat jauh berbeda.

2. Basis perhitungan neraca massa adalah 200 000 ton biodiesel/tahun. 3. Total hari kerja dalam setahun 330 hari.

4. Ouput biodiesel yang dihasilkan sama untuk semua bahan baku yaitu 606 060 kg/hari.

5. Jumlah tenaga kerja pada bagian proses sebanyak 5 orang dalam satu shift sehingga total kebutuhan tenaga kerja sebanyak 15 orang.

6. Kapasitas peralatan yang digunakan adalah untuk kebutuhan 200 000 ton biodiesel/tahun dengan konversi dari harga dan kapasitas supplier

dilakukan dengan perhitungan indeks harga mesin. 7. Proses esterifikasi sama untuk kedua teknologi.

Berdasarkan Teknologi Grand Inizio dan Lurgi, peralatan proses yang digunakan dalam produksi biodiesel secara umum meliputi:

1. Unit pretreatment berupa reaktor degumming dan filtrasi.

2. Unit reaksi berupa reaktor esterifikasi dan reaktor transesterifikasi.

3. Unit purifikasi berupa settling tank, centrifuge, washing column, dryer, dan filter.

4. Unit recovery berupa flash drum dan destilasi.

Secara umum peralatan pabrik biodiesel dikelompokkan atas peralatan utama dan peralatan penunjang. Peralatan utama berisi alat-alat yang memiliki fungsi penting dan menentukan keberhasilan pengolahan biodiesel, yang termasuk dalam kelompok peralatan utama adalah:

1. Reaktor degumming

2. Reaktor esterifikasi 3. Reaktor transesterifikasi 4. Separator

Teknologi proses menurut jenis bahan baku berdasarkan teknologi Grand Inizio dan Lurgi dapat dilihat pada Tabel 35.

Tabel 35 Teknologi proses produksi menurut jenis bahan baku

Peralatan pendukung adalah alat–alat yang memiliki fungsi untuk melengkapi dan menunjang peralatan utama pada proses pengolahan biodiesel. Yang termasuk ke dalam kelompok peralatan pendukung meliputi: tangki penyimpanan, filter, heat exchanger, pompa dan ejektor, valve dan fitting, alat instrumen, dan control.

Teknologi Grand Inizio

Keunggulan teknologi Grand Inizio mampu mengolah berbagai jenis bahan baku tersebut dalam satu proses produksi. Peralatan dan instalasi pada

No Tahapan Bahan baku

1 Persiapan bahan baku

CPO, RPO (tanpa

degumming) Refined oil (RBDPO, RBD olein, RBD stearin) PFAD Minyak Degumming - - Metanol dan katalis Dicampur dengan katalis asam dan katalis basa

Dicampur dengan katalis basa

Dicampur dengan katalis asam dan katalis basa

2 Reaksi 2 tahap yaitu esterifikasi– transesterifikasi 1 tahap yaitu transesterifikasi 2 tahap yaitu: esterifikasi– transesterifikasi 3 Purifikasi Produk utama

(biodiesel) dan produk samping (gliserol) Produk utama (biodiesel) dan produk samping (gliserol) Produk utama (biodiesel dan sedikit gliserol) 4 Recovery Recovery metanol Recovery metanol Recovery metanol

Teknologi Grand Inizio sangat fleksibel dan dapat diperoleh dari dalam negeri sehingga murah dalam biaya perawatan.

Proses produksi yang diterapkan pada teknologi Grand Inizio mempunyai karakteristik produksi kontinu. Katalis yang digunakan antara lain katalis asam paratoluene sulfonat (PTSA) dan katalis basa soda kaustik (NaOH). Penggunaan katalis PTSA mempunyai keunggulan pada rendahnya konsentrasi sulfur pada produk biodiesel, dibandingkan dengan katalis asam sulfur meskipun reaksi yang dihasilkan lebih cepat (BUMN PT X, Verche et al. 2011). Proses destilasi atau pemisahan menggunakan bahan tambahan silika, sedangkan proses penyaringan menggunakan bahan eco-sponge untuk menjernihkan produk. Diagram alir dan

Dokumen terkait