• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Responden

Responden yang diambil berasal dari tiga desa terdiri atas dua desa di dalam kawasan hutan PT SBK Unit Seruyan, yaitu Desa Tanjung Paku dan Desa Tumbang Kaburai, dan satu desa di luar kawasan hutan yaitu Desa Nanga Siai. Distribusi responden berdasarkan kelompok disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi responden berdasarkan lokasi desa

Lokasi Jumlah Responden (orang) Persentase (%) Ds. Tanjung Paku 15 48,39 Desa di dalam kawasan hutan

Ds. Tumbang Kaburai 6 19,35

Desa di luar kawasan hutan Ds. Nanga Siai 10 32,26

Total 31 100

Umur Responden

Kisaran umur responden di tiga desa terpilih yaitu 25-65 tahun dengan rata-rata umur responden di Desa Tanjung Paku adalah 46 tahun, di Desa Tumbang Kaburai adalah 43 tahun dan di Desa Nanga Siai adalah 48 tahun. Distribusi jumlah responden berdasarkan umurnya diasajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi responden berdasarkan kelompok umur Jumlah Responden (%)

No Umur Tanjung Paku Tumbang Kaburai Nanga Siai Rata-rata

1 19-25 0 0 10 3,23 2 26-30 6,67 0 10 6,45 3 31-35 26,66 16,67 10 19,35 4 36-40 6,67 16,67 0 6,45 5 41-45 6,67 33,33 20 16,12 6 46-50 20 33,33 10 19,35 7 >50 33,33 0 40 29,03 Total 100 100 100 100 Sebagian besar kisaran umur responden di Desa Tanjung Paku adalah diatas 50 tahun (33,33%), responden Desa Tumbang Kaburai antara 41-45 tahun dan 46-50 tahun (33,33%), dan responden Desa Nanga Siai berumur diatas 50 tahun (40%). Secara umum kisaran umur masyarakat di sekitar hutan produksi PT SBK Unit Seruyan adalah diatas 50 tahun (29,03%). Bakir dan Manning (1984)

23

dalam Agussabti (1997) mengemukakan bahwa umur produktif untuk bekerja di negara-negara berkembang umumnya adalah 15-55 tahun. Berdasarkan klasifikasi umur tersebut maka dapat dikatakan bahwa komposisi umur responden pada ketiga lokasi tersebut masih dapat digolongkan ke dalam umur produktif kerja. Tingkat Pendidikan

Anggaraspati (2002) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya status seseorang di masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dalam suatu masyarakat maka status sosialnya semakin tinggi. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikannya di ketiga lokasi penelitian disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Tingkat pendidikan responden

Jumlah responden (%) Tingkat Pendidikan

Tanjung Paku Tumbang Kaburai Nanga Siai Rata-rata

Tidak Sekolah 13,33 0 40 19,35 Tidak Lulus SD/SR 40 33,33 40 38,70 SD/SR 13,33 0 20 12,90 SMP 20 33,33 0 16,13 SMU 13,33 33,33 0 12,90 Perguruan tinggi 0 0 0 0 Total 100 100 100 100

Sebagian besar responden di ketiga lokasi penelitian mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, hal ini terlihat dari banyaknya jumlah responden yang tidak lulus Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Rakyat (SR) yaitu sebanyak 38,70%. Sebanyak 40% responden Desa Tanjung Paku dan responden Desa Nanga Siai, serta 33,33% responden Desa Tumbang Kaburai tidak lulus SD atau SR . Rata-rata lama pendidikan formal di masing-masing desa adalah 6 tahun untuk Desa Tanjung Paku, 8 tahun untuk Desa Tumbang Kaburai dan 3 tahun untuk Desa Nanga Siai. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut terutama disebabkan oleh kurangnya sarana pendidikan yang tersedia di desa yang menjadi lokasi penelitian.

24

Jumlah Anggota Rumah Tangga

Responden di ketiga desa mempunyai kisaran jumlah anggota rumah tangga yang berbeda-beda. Sebagian besar responden Desa Tanjung Paku (53,33%) dan responden Desa Nanga Siai (50%) mempunyai jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4-6 orang. Sedangkan sebagian besar responden Desa Tumbang Kaburai (50%) responden mempunyai jumlah anggota rumah tangga 7-9 orang. Distribusi responden berdasarkan jumlah anggota rumah tangga disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Distribusi responden berdasarkan jumlah anggota rumah tangga Jumlah responden (%) Jumlah Anggota Rumah Tangga (orang) Tanjung Paku Tumbang

Kaburai Nanga Siai Rata-rata

1-3 13,33 16,67 30 19,35

4-6 53,33 33,33 50 48,39

7-9 26,67 50 20 29,03

>9 6,67 0 0 3,23

Total 100 100 100 100

Agussabti (1997) mengemukakan bahwa besarnya jumlah tanggungan akan dapat berakibat jumlah pendapatan petani semakin meningkat atau semakin menurun. Apabila besarnya jumlah tanggungan dapat membantu usaha tani keluarganya atau membantu keluarganya dengan bekerja di sektor lain, maka pendapatan total keluarga tani akan dapat meningkat. Namun, apabila besarnya jumlah tanggungan itu hanya akan menambah angka pengangguran dalam keluarga, sedangkan pendapatan keluarga hanya tertumpu pada satu orang yaitu ayah sebagai kepala keluarga, maka akan menyebabkan konsumsi keluarga sering tidak dapat ditutupi oleh pendapatan yang diterimanya.

Mata Pencaharian dan Tingkat Pendapatan

Mata pencaharian Responden dikelompokkan berdasarkan mata pencaharian utama dan mata pencaharian tambahan. Data distribusi responden berdasarkan masing-masing kelompok mata pencaharian dan pendapatan responden disajikan pada Tabel 10, Tabel 11 dan Tabel 12.

25

Tabel 10. Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian utama Mata Pencaharian Utama (%)

Desa

Petani Pegawai Buruh tidak bekerja

Total (%) Tanjung Paku 80 0 20 0 100 Tumbang Kaburai 50 50 0 0 100 Nanga Siai 80 0 10 10 100 Rata-rata 70 16,67 10 3,33 100

Tabel 11. Perbandingan responden berdasarkan mata pencaharian tambahan Mata Pencaharian Tambahan (%)

Desa

Petani Pegawai Buruh pedagang pengrajin peternak berburu Total (%) Tanjung Paku 20 0 0 0 0 13,33 40 73,33 Tumbang Kaburai 33,33 16,67 0 16,67 16,67 0 16,37 99,71 Nanga Siai 0 0 40 0 0 0 20 60 Rata-rata 17,78 5,56 13,33 5,56 5,56 4,44 25,56 77,79 Tabel 12. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan

Jumlah Responden (%) Tingkat

Pendapatan Tanjung Paku Tumbang Kaburai Nanga Siai

Rata-rata 0-500.000 60 66,66 50 58,06 500.001-1.000.000 13,33 16,67 30 19,35 >1.000.000 26,67 16,67 20 22,58 Total 100 100 100 100

Berdasarkan data pada Tabel 10. dapat diketahui bahwa sebagian besar responden bermatapencaharian sebagai petani (70%) baik petani sawah, ladang terutama perladangan berpindah, dan petani kebun dengan jenis tanaman karet, durian, padi, palawija seperti cabe, singkong, jagung, bawang, kacang, dan lain lain. Sedangkan sisanya bekerja sebagai pegawai pemerintahan Desa setempat dan buruh harian di PT SBK. Di Desa Nanga Siai terdapat 1 orang atau 10% responden yang tidak memiliki pekerjaan, biaya hidup sehari-harinya hanya dengan mengandalkan kiriman dari anaknya berupa padi dan bahan-bahan pokok lainnya.

Berdasarkan data pada Tabel 11. diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki mata pencaharian tambahan disamping mata pencaharian

26

utama. Sebanyak 77,79% responden memiliki mata penceharian tambahan, dimana sebagian besar (25,56%) mata pencaharian tambahan responden adalah berburu satwaliar di hutan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka, sedangkan sisanya bekerja sebagai pegawai Taman Nasional Bukit Raya-Baka, buruh harian di PT SBK, pedagang, pengrajin rotan, dan peternak ayam. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan sulitnya mencari pekerjaan selain bekerja sebagai petani tradisional serta menggantungkan hidupnya dari hasil hutan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.

Dilihat dari tingkat pendapatan responden di ketiga desa sebagian besar responden mempunyai tingkat pendapatan yang tergolong rendah yaitu sebanyak 58,06% mempunyai kisaran tingkat pendapatan sebesar Rp 0-500.000 /bulan Besarnya rata-rata pendapatan responden di ketiga desa contoh berbeda- beda yaitu rata-rata tingkat pendapatan responden Desa Tanjung Paku adalah sebesar Rp 1.505.644/bulan/KK, responden Desa Tumbang Kaburai Rp 455.100/bulan/KK, dan Desa Nanga Siai Rp 742.772 /bulan/KK (Lampiran 1). Tingkat pendapatan yang tergolong rendah ini terkait dengan jenis mata pencaharian responden di lokasi penelitian yang sebagian besar sebagai petani.

Nilai Ekonomi Satwaliar di Kawasan Hutan Produksi PT SBK Unit Seruyan Kawasan hutan produksi PT SBK mempunyai kekayaan alam yang sangat beragam termasuk diantaranya kekayaan jenis satwaliar. Berbagai jenis satwaliar hidup di dalam kawasan hutan ini, diantaranya adalah jenis-jenis satwaliar dari kelas mamalia. Jenis-jenis tersebut antara lain babi hutan, beruang madu, kancil atau pelanduk, kelasi atau lutung merah, kijang, klempiau, landak, musang hutan, orang utan, rusa, trenggiling, kucing hutan, dan lain-lain. Sebagian dari jenis-jenis satwaliar tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan sehingga satwaliar tersebut mempunyai nilai ekonomi baik yang sudah memiliki harga pasar maupun yang belum memiliki harga pasar.

Nilai ekonomi satwaliar sebagai hasil hutan bukan kayu di kawasan PT SBK Unit Seruyan diidentifikasi di tiga lokasi yaitu Desa Tanjung Paku, Desa Tumbang Kaburai dan Desa Nanga Siai dengan spesifikasi nilai yang diidentifikasi di masing-masing lokasi adalah nilai guna satwa dan nilai pilihan satwa.

27

Potensi Satwaliar Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat

Potensi satwaliar di Hutan Produksi PT SBK Unit Seruyan yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal diidentifikasi melalui studi kasus di Desa Tanjung Paku, Desa Tumbang Kaburai dan Desa Nanga Siai. Manfaat yang diidentifikasi di masing-masing desa tersebut adalah manfaat sebagai bahan makanan, dijual atau untuk dipelihara.

Sebagian besar masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan produksi PT SBK Unit Seruyan sudah memanfaatkan satwaliar dari hutan yang berada tidak jauh dari tempat tinggal mereka dengan cara berburu. Kegiatan berburu satwaliar sudah dilakukan sejak lama oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan. Pada awalnya kegiatan berburu ini dilakukan di dalam hutan yang masih utuh atau hutan perawan, namun seiring dengan terjadinya perubahan penutupan lahan hutan akibat adanya kegiatan pengusahaan hutan berupa kegiatan penebangan pohon-pohon di dalam hutan maka kegiatan berburu perlahan-lahan bergeser ke kawasan hutan bekas tebangan dan ladang.

Kegiatan berburu biasanya dilakukan sendiri atau ada juga yang pergi secara berkelompok 2 orang sampai 7 orang. Pada saat pergi berburu ke dalam hutan biasanya masyarakat akan membawa beberapa ekor anjing yang akan membantu mereka dalam menemukan mangsanya. Alat buru yang biasa mereka gunakan adalah Lantak, yaitu alat yang berupa senjata api rakitan yang berbentuk seperti senapan dengan menggunakan peluru berbentuk bundar yang terbuat dari bubuk mesiu. Selain Lantak mereka juga bisa menggunakan tombak dan jerat. Lantak dan tombak digunakan oleh mereka yang berburu didalam hutan, sedangkan jerat digunakan untuk berburu di sekitar ladang. Jerat ini biasanya dipasang mengelilingi ladang sebanyak 15-70 jerat dan akan diperikasa setiap hari atau tiga hari sekali. Frekuensi berburu dari masyarakat lokal ini beragam, ada yang pergi berburu hanya 1 kali dalam setahun ada juga yang pergi berburu setiap hari. Bagi masyarakat yang berada di sekitar hutan produksi PT SBK Unit Seruyan tidak ada musim khusus untuk pergi berburu, kapan saja mereka menginginkan untuk pergi berburu maka mereka akan melakukannya. Akan tetapi tidak setiap kali pergi berburu mereka akan memperoleh hasil buruannya, adakalanya setelah beberapa kali pergi berburu mereka baru akan mendapatkan

28

hasil buruan. Jumlah hasil yang diperoleh tidak selalu sama pada setiap waktu berburu, kadang-kadang hanya memperoleh satu ekor satwa dan kadang-kadang memperoleh lebih dari satu ekor. Satwa hasil berburu ini bisa berupa induknya dan bisa juga anaknya baik jantan maupun betina. Jenis-jenis satwaliar yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat di ketiga desa contoh terdiri dari lima jenis.Jenis- jenis satwa yang dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan produksi PT SBK Unit Seruyan disajikan pada Tabel 13.

29

Tabel 13. Jenis-jenis satwaliar yang dimanfaatkan dan jumlah pemanfaat

Jenis Tanjung Paku Tumbang Kaburai Nanga Siai

Rata-rata

Nama Lokal Nama Latin

Jumlah Pemanfaat (orang) Persentase (%) Jumlah Pemanfaat (orang) Persentase (%) Jumlah Pemanfaat (orang) Persentase (%) pemanfaat (orang) persentase (%)

Babi hutan Sus barbatus 15 100 5 83,33 8 80 28 90,32

Kancil Tragulus javanicus 5 33,33 3 50 6 60 14 45,16

Kijang Muntiacus muntjak 6 40 2 33,33 5 50 13 41,94

Rusa Cervus unicolor 11 73,33 4 66,67 7 70 22 70,97

Trenggiling Manis javanica 0 0 0 0 3 30 3 9,68

30

Berdasarkan hasil tabulasi diatas dapat diketahui bahwa secara umum satwa yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan produksi PT SBK Unit Seruyan adalah babi hutan yang dimanfaatkan oleh 90,32% responden. Hal ini disebabkan oleh mewabahnya babi hutan sebagai hama yang menyerang tanaman yang ada di ladang-ladang masyarakat sehingga dianggap dapat merugikan masyarakat tersebut. Oleh sebab itu masyarakat menganggap perlu untuk memburu babi hutan sebagai upaya untuk memberantas hama yang menyerang tanaman yang ada di ladang untuk menghindari kerugian yang mungkin terjadi.

Bentuk-bentuk pemanfaatan satwaliar oleh masyarakat lokal sekitar kawasan hutan PT SBK berbeda satu dengan yang lainnya. Diantara masyarakat yang memanfaatkan satwaliar dalam kehidupan sehari-harinya ada yang memanfaatkannya untuk dikonsumsi rumah tangga sendiri dan ada juga yang menjualnya. Akan tetapi tidak ada responden yang memanfaatkan satwa hasil buruannya untuk dipelihara. Bentuk-bentuk pemanfaatan satwaliar oleh masyarakat disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Bentuk-bentuk pemanfaatan satwa oleh masyarakat di sekitar hutan

produksi PT SBK dan jumlah pemanfaat. Jumlah Responden yang

Memanfaatkan Untuk Lokasi

Jenis Satwa

Dijual Makanan Dipelihara

Besar Pemanfaatan Rata-rata

(ekor /KK/tahun)

Tanjung Paku babi hutan 11 10 0 26,4

kancil 4 3 0 16,4

kijang 5 5 0 2,67

rusa 9 7 0 14,73

trenggiling 0 0 0 0

Tumbang Kaburai babi hutan 4 4 0 12,6

kancil 3 0 0 17

kijang 2 1 0 7

rusa 4 3 0 5

trenggiling 0 0 0 0

Nanga Siai babi hutan 4 7 0 25

kancil 2 5 0 11.8

kijang 1 4 0 15

rusa 3 6 0 12,57

trenggiling 1 2 0 45,67

Pemanfaatan satwaliar oleh masyarakat sekitar hutan produksi PT SBK Unit Seruyan ini didukung oleh preferensi atau tingkat kesukaan seseorang terhadap suatu jenis satwa yang ingin mereka buru. Preferensi responden terhadap jenis-jenis satwaliar di tiap- tiap desa berbeda satu dengan lainnya. Preferensi ini menunjukkan

31

jenis satwaliar yang paling disukai untuk diburu responden yang didasari oleh beberapa alasan, antara lain karena satwa tersebut bersifat hama bagi tanaman di ladang sehingga responden menganggap perlu untuk memburu jenis satwa tersebut untuk melindungi tanaman yang ada di ladang, atau karena satwa tersebut memiliki daging yang banyak dan rasa daging yang enak sehingga responden menganggap akan sangat menguntungkan jika dijual. Preferensi responden terhadap jenis-jenis satwaliar di tiap-tiap desa disajikan pada Tabel 15, Tabel 16 dan Tabel 17.

Satwa yang mempunyai skor preferensi paling tinggi belum tentu menjadi satwa yang paling sering diperoleh responden pada saat berburu. Adakalanya satwa yang diinginkan untuk diburu merupakan satwa yang sangat susah diperoleh. Biasanya hasil buruan yang bisa diperoleh seseorang dipengaruhi oleh alat dan jumlah orang yang berburu.

Tabel 15. Skor tingkat preferensi responden Desa Tanjung Paku terhadap suatu jenis satwaliar

Skor Tingkat Preferensi Nama Jenis 1 2 3 4 5 Total babi hutan 65 4 3 0 0 72 kancil 0 4 3 6 0 13 kijang 0 12 9 0 0 21 rusa 10 24 6 2 0 42 trenggiling 0 0 0 0 0 0

Tabel 16. Skor tingkat preferensi responden Desa Tumbang Kaburai terhadap suatu jenis satwaliar

Skor Tingkat Preferensi Nama Jenis 1 2 3 4 5 Total babi hutan 20 4 0 0 0 24 kancil 0 0 3 4 0 7 kijang 0 0 6 0 0 6 rusa 5 12 0 0 0 17 trenggiling 0 0 0 0 0 0

32

Tabel 17. Skor tingkat preferensi responden Desa Nanga Siai terhadap suatu jenis satwaliar

Skor Tingkat Preferensi Nama Jenis 1 2 3 4 5 Total babi hutan 35 4 0 0 0 39 kancil 0 0 6 8 0 14 kijang 5 0 12 0 0 17 rusa 0 28 0 0 0 28 trenggiling 5 0 0 0 2 7

Secara umum urutan tingkat preferensi masyarakat terhadap satwaliar yang paling tinggi adalah preferensi terhadap babi hutan dengan total skor tingkat preferensi sebesar 135, preferensi terhadap rusa dengan total skor tingkat preferensi sebesar 87, preferensi terhadap kijang dengan total skor tingkat preferensi sebesar 44, preferensi terhadap kancil dengan total skor tingkat preferensi sebesar 34, dan preferensi terhadap trenggiling dengan total skor tingkat preferensi sebesar 7. Alasan yang dapat menjadikan suatu jenis satwaliar mempunyai tingkat preferensi tinggi adalah karena jenis tersebut mempunyai daging yang banyak dan rasanya sangat enak, serta adanya kandungan lemak yang sangat enak dan berguna bagi mereka yaitu sebagai pengganti minyak goreng. Alasan lain adalah karena suatu jenis satwaliar dianggap sebagai hama yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap produksi pertanian, hewan ini merusak berbagai tanaman terutama di ladang yang lokasinya berdekatan dengan hutan, sehingga untuk mengendalikannya maka masyarakat berusaha untuk memburunya. Responden cenderung akan kurang menyukai suatu jenis satwa apabila responden menganggap jenis tersebut mempunyai daging yang sedikit atau rasa daging yang kurang enak. Selain itu, jenis yang dianggap susah diperoleh seperti trenggiling akan cenderung kurang disukai oleh responden.

Nilai Guna Satwaliar

Satwaliar sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu memiliki nilai guna (use value) terutama bagi masyarakat di sekitar hutan. Nilai guna satwaliar bagi masyarakat di desa-desa sekitar hutan produksi PT SBK Unit Seruyan terukur dari pemanfaatan jenis-jenis satwaliar oleh masyarakat yang didasarkan pada harga jual setiap jenis satwa tersebut. Satwa-satwa hasil buruan masyarakat setempat biasanya dijual kepada tetangga satu kampung, kampung-kampung tetangga dan karyawan

33

perusahaan PT SBK yang tinggal di camp. Hampir tidak ada responden yang menjual satwa hasil buruannya ke pasar kecuali untuk menjual sisik trenggiling yang biasa dijual ke pasar di Nanga Pinoh atau pasar Nanga Nuak, hal ini disebabkan oleh lokasi pasar yang jauh dari tempat tinggal mereka dan sarana transportasi yang sulit untuk menuju pasar tersebut. Satwa-satwa yang dijual biasanya sudah dalam bentuk daging potong, kecuali untuk kancil yang dijual masih dalam bentuk utuh satu ekor dan trenggiling yang dijual bagian sisiknya saja. Harga jual tersebut beragam sesuai dengan jenisnya dan akan berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Nilai guna satwaliar bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan produksi PT SBK Unit Seruyan disajikan ada Tabel 18.

32

Tabel 18. Nilai guna satwaliar bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan produksi PT SBK Unit Seruyan

Desa Keterangan Babi Kancil Kijang Rusa Trenggiling Total

(Rp/tahun/KK)

Volume (ekor/tahun/KK) 26,4 16,4 2,67 14,73 0 60,2

Nilai (Rp/ekor) 454.813 68.335 227.073 795.690 1.545.911 Tanjung Paku

Nilai Total (Rp/tahun/KK) 12.007.063 1.120.694 606.285 11.720.514 0 25.454.556

Volume (ekor/tahun/KK) 12,6 17 7 5 0 41,6

Nilai (Rp/ekor) 454.813 68.335 227.073 795.690 1.545.911 Tumbang Kaburai

Nilai Total (Rp/tahun/KK) 5.730.644 1.161.695 1.589.511 3.978.450 0 12.460.300

Volume (ekor/tahun/KK) 25 11,8 15 12,57 45,67 110

Nilai (Rp/ekor) 454.813 68.335 227.073 795.690 243.750 1.789.661 Nanga Siai

Nilai Total (Rp/tahun/KK) 11.370.325 806.353 3.406.095 10.001.823 11.132.063 36.716.659 Rataan Jenis (Rp/tahun/KK) 9.702.677 1.029.581 1.867.297 8.566.929 11.132.063 32.298.547

35

Dari hasil perhitungan diketahui bahwa nilai guna satwaliar bagi masyarakat lokal di sekitar hutan produksi PT SBK Unit Seruyan adalah sebesar Rp32.298.547/tahun/KK dengan kontribusi terbesar berasal dari trenggiling dan babi hutan .

Nilai Pilihan Pelestarian Jenis Satwaliar

Menurut pengetahuan responden, jumlah populasi satwaliar yang sudah dimanfaatkan pada saat sekarang sudah mengalami prerubahan karena mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi pada saat 10 tahun dan 5 tahun yang lalu. Semakin menurunnya kondisi populasi satwa-satwa tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah terjadinya perubahan penutupan lahan hutan yang disebabkan oleh penebangan yang berpengaruh terhadap terjadinya perubahan kondisi habitat satwaliar tersebut, selain itu juga karena semakin bertambahnya penduduk sehingga jumlah orang yang melakukan perburuan semakin meningkat. Faktor lainnya adalah besarnya pemanfaatan satwaliar yang jauh diatas riap, sehingga lama-kelamaan jumlah satwaliar di alam akan menjadi habis, padahal satwaliar ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Perbandingan kondisi satwaliar antar waktu berdasarkan persepsi masyarakat disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Perbandingan populasi satwaliar antar waktu berdasarkan persepsi masyarakat.

Perbandingan Populasi Antar Waktu (%)

Jenis Satwa 10 tahun lalu 5 tahun lalu sekarang Babi hutan hutan 48,94 (100) 29,97 (61,23) 21,72 (44,38) Rusa 54,96 (100) 27,96 (50,87) 19,71 (35,86) Kijang 56,38 (100) 26,91 (47,73) 16,72 (29,66) Kancil 51,82 (100) 28,79 (55,56) 17,60 (33,96) Rata-rata 53,14 (100) 28,41 (53,46) 18,94 (35,64) Keterangan : angka di dalam kurung menunjukkan angka perbandingan populasi antar waktu

dengan asumsi kondisi pada 10 tahun lalu sebagai tahun dasar.

Menurut hasil perhitungan pada Tabel 19 dapat diketahui bahwa berdasarkan perbandingan populasi antar waktu telah terjadi penurunan populasi dari kondisi pada saat 10 tahun lalu, 5 tahun lalu sampai kondisi pada saat sekarang. Perubahan populasi terbesar terjadi dari kondisi pada saat 10 tahun lalu ke kondisi pada saat 5 tahun lalu yaitu menurun hampir setengah dari kondisi populasi pada saat 10 tahun lalu.

36

Terjadinya penurunan kondisi populasi satwaliar tersebut menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat sekitar hutan. Sebagian besar responden di lokasi penelitian mempunyai perhatian terhadap pelestarian satwaliar disamping pemanfaatannya. Mereka takut jika satwaliar yang ada di hutan tidak dilestarikan maka anak cucu mereka tidak akan bisa merasakan manfaatnya. Menurut responden ada beberapa jenis satwaliar baik jenis yang sudah dimanfaatkan maupun yang belum dimanfaatkan yang dianggap mempunyai nilai harapan pada masa yang akan datang sehingga perlu untuk dilestarikan. Persepsi masyarakat terhadap pelestarian jenis-jenis satwaliar disajikan pada Tabel 20 dan Tabel 21. Tabel 20. Persepsi masyarakat terhadap pelestarian jenis satwaliar yang sudah

dimanfaatkan

Jumlah Responden (%) Jenis Satwa

Tanjung Paku Tumbang Kaburai Nanga Siai

Rata-rata (%) Babi hutan 25 40 37,5 20,60 Kancil 12,5 40 37,5 18,09 Kijang 25 2 25 14,07 Rusa 87,5 60 62,5 42,21 Trenggiling 12,5 0 12,5 5,03 Total 162,5 160 175 Rataan 32,66 32,16 35,18 100

Tabel 21. Persepsi masyarakat terhadap pelestarian jenis satwaliar yang belum dimanfaatkan.

Jumlah Responden (%) Jenis Satwa

Tanjung Paku Tumbang Kaburai Nanga Siai

Rata-rata (%) Aji Bulan 0 25 0 5,41 Orang Utan 75 25 62,5 35,14 Klempiau 37,5 25 37,5 21,62 Burung Ruai 0 0 12,5 2,70 Kelasi 0 0 12,5 2,70 Beruang Madu 37,5 0 12,5 10,81 Burung Beo 12,5 0 0 2,70 Monyet 25 0 0 5,41 Kucing Hutan 12,5 0 0 2,70 Macan Akar 12,5 25 0 8,11 Kera 12,5 0 0 2,70 Total 225 100 137,5 Rataan 48,65 21,62 29,73 100

37

Menurut persepsi masyarakat yang menaruh perhatian terhadap pentingnya pelestarian jenis-jenis satwaliar disamping pemanfaatannya, jenis satwaliar yang memiliki nilai harapan masa yang akan datang untuk jenis yang sudah dimanfaatkan yang cukup signifikan adalah rusa, sedangkan untuk jenis yang belum dimanfaatkan yang cukup signifikan adalah orang utan dan klempiau. Masyarakat Desa Nanga Siai mempunyai persepsi yang lebih tinggi dari kedua desa lainnya terhadap pelestarian jenis satwa yang sudah dimanfaatkan dan memiliki nilai harapan akan datang (35,18%), sedangkan masyarakat yang mempunyai persepsi paling tinggi terhadap pelestarian jenis satwa yang belum dimanfaatkan dan memiliki nilai harapan akan datang adalah masyarakat Desa Tanjung Paku (48,65%).

Responden di ketiga desa contoh mengatakan bahwa jenis-jenis yang sudah dimanfaatkan perlu untuk dilestarikan selain karena jenis-jenis satwa tersebut kecuali babi bukan hama bagi tanaman di ladang juga agar keberadaannya di masa yang akan datang tetap terjaga dan tidak terjadi kepunahan, sehingga manfaatnya masih dapat terus dirasakan oleh generasi yang akan datang. Mereka berharap di masa yang akan datang mereka masih dapat menjadikan kegiatan berburu sebagai salah satu sumber mata pencaharian yang dapat memberikan penghasilan tambahan. Jenis-jenis satwa yang belum dimanfaatkan perlu untuk dilestarikan karena beberapa alasan, antara lain sebagian dari jenis-jenis tersebut termasuk jenis yang sudah dilindungi oleh hukum atau keberadaannya yang sudah mulai langka akibat dari adanya perburuan secara liar oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab dan ingin mengambil keuntungan untuk kepentingan diri sendiri, sehingga jika dibiarkan

Dokumen terkait