• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Lahan di DAS Krueng Seulimum

Satuan Lahan Pengamatan Intensif

Penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum terdiri atas hutan yaitu seluas 7 090.73 (27.87%), semak belukar seluas 5 907.87 (23.22%), pertanian lahan kering seluas 5 543.76 (21.79%) dan padang penggembalaan (savana) seluas 5 111.25 (20.09%). Lahan di DAS Krueng Seulimum didominasi oleh jenis (grup) tanah Eutropepts (16 560.93 ha atau 65.44%).

Hasil tumpang tindih peta jenis tanah, peta lereng dan peta penggunaan lahan, DAS Krueng Seulimum dengan luasan 25 444.35 hektar terdiri atas 24 satuan lahan (SL). Selanjutnya yang menjadi pengamatan intensif pada penelitian ini adalah pada satuan lahan 1 - 22 (Tabel 10 dan Gambar 9).

Tabel 10 Satuan lahan di DAS Krueng Seulimum

Satuan Lahan

Kemiringan

Lereng Jenis Tanah Penggunaan Lahan

Luas

(Ha) (%)

1 0 - 8% Eutrandepts Padang Penggembalaan 847.68 3.33

2 0 - 8% Eutrandepts Semak Belukar 972.13 3.82

3 0 - 8% Eutrandepts Pertanian Lahan Kering 889.54 3.50

4 0 - 8% Eutrandepts Hutan Sekunder 398.79 1.57

5 0 - 3% Eutropepts Padang Penggembalaan 2 716.15 10.67

6 0 - 3% Eutropepts Semak Belukar 4 301.19 16.90

7 0 - 3% Eutropepts Pertanian Lahan Kering 2 671.05 10.50

8 0 - 8% Eutropepts Hutan Sekunder 2 502.72 9.84

9 0 - 3% Tropaquepts Padang Penggembalaan 834.81 3.28

10 0 - 3% Tropaquepts Pertanian Lahan Kering 1 687.23 6.63

11 8 - 15% Eutrandepts Padang Penggembalaan 166.14 0.65

12 8 - 15% Eutrandepts Semak Belukar 174.09 0.68

13 8 - 15% Eutrandepts Hutan Sekunder 419.87 1.65

14 8 - 15% Eutropepts Padang Penggembalaan 546.47 2.15

15 8 - 15% Eutropepts Semak Belukar 267.87 1.05

16 8 - 15% Eutropepts Pertanian Lahan Kering 295.94 1.16

17 8 - 15% Eutropepts Hutan Sekunder 1 559.24 6.13

18 15 - 25% Dystropepts Hutan Sekunder 285.84 1.12

19 15 - 25% Eutrandepts Semak Belukar 192.59 0.76

20 15 - 25% Eutrandepts Hutan Sekunder 550.12 2.16

21 15 - 25% Eutropepts Hutan Sekunder 498.09 1.96

22 25 - 40% Dystropepts Hutan Sekunder 876.06 3.44

23 – 24 0 - 3% Eutropepts Pemukiman dan sawah 1 790.73 7.04

Total 25 444.35 100.00

Gambar 9 Peta satuan lahan di DAS Krueng Seulimum

Berdasarkan karakteristik dari masing-masing satuan lahan (SL 1 - SL 22) dan kriteria penilaian sifat tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah (1983) (Lampiran 25), umumnya tanah di DAS Krueng Seulimum mempunyai tingkat kesuburan tanah sangat rendah hingga rendah sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan hara bagi tanaman. Karakteristik tersebut harus menjadi pertimbangan dalam pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum. Untuk itu dalam pengembangan pertanian yang berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum tindakan agroteknologi perlu di rancang sedemikian rupa. Oleh karena itu sebelumnya harus dilakukan evaluasi lahan (kemampuan dan kesesuaian lahan). Hasil evaluasi lahan akan memberikan alternatif penggunaan lahan dan tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan dapat digunakan secara lestari (Arsyad 2010). Kemampuan dan kesesuaian lahan juga merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan sistem pertanian konservasi (SPK).

Kelas Kemampuan Lahan

Hasil pengamatan lapang dan penilaian terhadap sampel tanah (analisis fisika dan kimia tanah) dari masing-masing satuan lahan (Lampiran 15 dan 16), selanjutnya dinilai dengan kriteria sistem klasifikasi kemampuan lahan (Klingebiel dan Montgomery 1973 diacu dalam Arsyad 2010), DAS Krueng Seulimum memiliki kelas kemampuan lahan kelas III, IV dan VI, dengan faktor penghambat untuk seluruh kelas kemampuan lahan adalah kepekaan tanah terhadap erosi (sedang - agak tinggi), lereng (bergelombang - agak curam), erosi (ringan - sedang) dan batuan di permukaan tanah (sedikit - sedang) (Tabel 11 Lampiran 17 dan 18).

Tabel 11 Kelas kemampuan lahan (KKL) di DAS Krueng Seulimum KKL Satuan Lahan L U A S Ha (%) III-KE4,e2 1, 5 3 563.83 14.01 III-e2b1 2, 4 1 370.92 5.39 III-KE4,e2,b1 3 889.54 3.50 III-e2 6, 7, 8, 9 10, 23,24 13 787.74 54.18 III-l2,e2,b1 11, 12 340.23 1.34 III-l2,b1 13 419.87 1.65 III-l2,e2 14 546.47 2.15 III-l2,KE4 15 267.87 1.05 III-l2 16, 17 1 855.18 7.29 IV-l3 18, 21 783.93 3.08 IV-l3,b2 19, 20 742.71 2.92 VI-l4 22 876.06 3.44 Jumlah 25 444.35 100.00

Keterangan : Angka romawi menunjukkan kelas kemampuan lahan; KE = faktor penghambat erodibilitas tanah; e = faktor penghambat erosi; b = faktor penghambat kerikil/batuan di permukaan tanah ; I = faktor penghambat kemiringan lereng; angka latin menunjukkan level faktor penghambat. Sumber : Analisis data primer (2013).

Tabel 11 menunjukkan bahwa lahan di DAS Krueng Seulimum didominasi oleh kelas kemampuan lahan III-e2 dengan faktor pembatas erosi seluas 13 787.74 ha (54.18%) yang terdapat pada satuan lahan 6, 7, 8, 9,10, 23 dan 24. Faktor erosi merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya penurunan kesuburan tanah, mengganggu pertumbuhan tanaman dan menurunkan hasil panen. Mengendalikan erosi tanah berarti mengurangi pengaruh faktor-faktor erosi tersebut sehingga prosesnya dapat dihambat atau dikurangi. Meyer (1981) mengemukakan bahwa upaya pengendalian erosi atau konservasi tanah dapat berupa (1) meredam energi hujan, (2) meredam daya gerus aliran permukaan (3) mengurangi kuantitas aliran permukaan dan (4) memperlambat laju aliran permukaan serta (5) memperbaiki sifat-sifat tanah yang peka erosi. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengendalikan erosi pada satuan lahan 6, 7, 8, 9,10, 23 dan 24 adalah dengan pemilihan teknik konservasi tanah yang tepat, yang salah satunya adalah dengan pembuatan teras gulud mengingat pelaksanaannya sangatlah mudah dan sederhana. Pembuatan teras gulud juga dapat menekan erosi pada tahun-tahun berikutnya. Ini sesuai dengan hasil penelitian Gunasari (2005), dimana dengan penerapan teras gulud bisa terjadi pengurangan erosi di tahun kedua sebesar 70%. Cara lain untuk menekan erosi adalah dengan pemberian mulsa, karena peran mulsa disamping untuk melindungi tanah, mengurangi penguapan juga bisa menciptakan kondisi lingkungan yang baik bagi aktivitas mikroorganisme. Efektifitas mulsa dalam mengendalikan erosi sangat tergantung pada jenis mulsa. Sisa tanaman yang baik untuk dijadikan mulsa adalah yang mengandung lignin tinggi, seperti jerami padi, sorgum dan batang jagung (Suwardjo 1981). Selanjutnya Lal (1976 dalam Sinukaban et al. 2007)

juga mengemukakan bahwa pemberian mulsa jerami sebanyak 4 - 5 ton ha-1 dapat menekan erosi menjadi sangat rendah pada lahandengan kemiringan 15%.

Lahan kelas III KE4,e2 dengan faktor pembatas kepekaan tanah (erodibilitas tanah) dan faktor erosi terdapat pada satuan lahan 1 dan 5 seluas 3 563.83 ha (14.01%). Faktor erodibilitas tanah umumnya terjadi akibat faktor curah hujan. Negara tropis seperti Indonesia, kekuatan jatuh air hujan dan kemampuan aliran permukaan menggerus permukaan tanah adalah merupakan penghancur utama agregat tanah. Menurut Hudson (1978), selain sifat tanah, faktor pengelolaan/ perlakuan terhadap tanah juga sangat berpengaruh terhadap tingkat erodibilitas tanah. Wischmeier dan Mannering (1969) juga menambahkan bahwa tanah dengan kandungan debu tinggi adalah tanah yang paling mudah tererosi. Usaha yang perlu dilakukan pada faktor pembatas erodibilitas tanah adalah dengan pemberian bahan organik agar terjaga stabilitas agregat tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Vorone et al. (1981), erodibilitas tanah turun secara linier dengan kenaikan atau penambahan bahan organik dalam tanah. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tanah dengan kandungan bahan organik tinggi mempunyai erodibilitas yang tinggi (Asdak 2002).

Lahan kelas III-l2,b1 dengan faktor pembatas lereng dan batuan dipermukaan terdapat pada satuan lahan 13 dengan luasan 419.87 ha (1.65%). Satuan lahan ini apabila digunakan untuk budidaya pertanian maka diperlukan tindakan konservasi tanah seperti pembuatan teras gulud atau teras gulud bersaluran, penanaman yang dilakukan dalam strip dan penggunaan mulsa, sedangkan faktor pembatas batuan dipermukaan tanah tindakan yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pengalihan penanaman ke tempat yang lain.

Lahan kelas IV-l3 dengan faktor pembatas lereng 15-25% yang terdapat pada satuan lahan 18 dan 21 seluas 783.93ha (3.08%) bila digunakan untuk usaha pertanian diperlukan pengelolaan yang hati-hati mengingat tindakan konservasi yang akan diterapkan akan sedikit sulit diterapkan dan dipelihara.

Lahan kelas VI-l4 dengan faktor pembatas lereng 25-40% yang terdapat pada satuan lahan 22 seluas 876.06 ha (3.44%), mengingat tutupan lahannya adalah hutan, maka sesuai dengan kriteria dari klas kemampuan satuan lahan ini sebaiknya dihutankan saja. Secara keseluruhan lahan di DAS Krueng Seulimum dapat digunakan untuk tanaman pertanian, dimana kelas kemampuan lahan yang didapat termasuk dalam kelas III dan IV yang arahannya sesuai untuk pertanian.

Kelas Kesesuaian Lahan

Evaluasi lahan merupakan suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu yang hasilnya akan memberikan informasi atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Sedangkan kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu dengan mencocokkan karakteristik lahan (sifat-sifat lahan dan lingkungannya) dengan kreiteria dari masing-masing tanaman.

Karakteristik lahan yang digunakan dalam penentuan kelas kesesuaian lahan meliputi bentuk wilayah/lereng, drainase tanah, kedalaman tanah, tekstur tanah, pH tanah, KTK, salinitas, kandungan pirit, banjir/genangan dan singkapan batuan di permukaan tanah. Data iklim terdiri dari curah hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara diperoleh dari stasiun pengamat iklim. Hasilnya selanjutnya akan diuraikan pada setiap peta satuan lahan.

Kesesuaian Lahan Tanaman Kakao

Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di DAS Krueng Seulimum menunjukkan bahwa lahan di DAS Krueng Seulimum terdiri dari kelas cukup sesuai (S2) dan kelas sesuai marjinal (S3), dengan faktor pembatas ketersediaan air (wa) yaitu lamanya bulan kering dan kelembaban relatif, retensi hara (nr) yaitu kejenuhan basa, C-organik dan media perakaran (rc) yaitu faktor kedalaman tanah sedangkan kelas tidak sesuai (N) dengan faktor pembatas bahaya erosi (lereng). Uraian lebih rinci kelas kesesuaian lahan tanaman kakao dapat dilihat pada Tabel 12, Lampiran 19 dan 20.

Tabel 12 Lokasi tanaman kakao pada berbagai kelas kesesuaian lahan di DAS Krueng Seulimum

Klas Kesesuaian Satuan Lahan L U A S

Ha (%) S2wa,nr,eh 3, 4, 6, 7, 8, 10, 15, 16, 23, 24 14 805.07 58.19 S2wa,eh 12 174.09 0.68 S3rc,nr 9 834.81 3.28 S3nr 2, 13, 17 2 951.24 11.60 S3rc 1, 5, 11, 14 4 276.44 16.81 S3eh 18, 19, 20, 21 1 526.64 6.00

Keterangan : S2= cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, wa = ketersediaan air, nr = retensi hara, rc = media perakaran, eh = bahaya erosi.

Sumber : Analisis data primer (2013)

Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa faktor pembatas retensi hara (nr) merupakan faktor pembatas yang paling dominan, untuk itu diperlukan usaha-usaha perbaikan agar kualitas lahan yang terdapat dilokasi penelitian dapat memberikan produksi dan pendapatan yang tinggi secara lestari. Adapun usaha perbaikan yang perlu dilakukan adalah dengan pemberian bahan organik, pengapuran, pemupukan, dan penerapan teknik konservasi tanah dan air. Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun akibat proses dekomposisi mineralisasi maka dianjurkan sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun, karena tanpa pemberian bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan terjadinya pemadatan tanah. Faktor pembatas kejenuhan basa selalu dihubungkan sebagai petunjuk mengenai kesuburan suatu tanah. Kemudahan dalam melepaskan ion yang dijerat untuk tanaman tergantung pada derajat kejenuhan basa. Tanah sangat subur bila kejenuhan basa > 80%, tingkat kesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50-80% dan tidak subur jika kejenuhan basa < 50 %. Hal ini didasarkan pada sifat tanah dengan kejenuhan basa 80% akan membebaskan kation basa dapat dipertukarkan lebih mudah dari tanah dengan kejenuhan basa 50%. Secara keseluruhan tanaman kakao sesuai untuk dikembangkan di lokasi penelitian, kecuali pada SL 22 yang termasuk kedalam kelas tidak sesuai (N) dengan faktor pembatas lereng. Satuan lahan 22 lebih disarankan untuk dihutankan, mengingat bila lahan tersebut tetap dipaksakan untuk pengembangan kakao akan

banyak membutuhkan biaya untuk tindakan konservasi tanah yang akan dilakukan.

Kesesuaian Lahan Tanaman Pisang

Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman pisang di DAS Krueng Seulimum menunjukkan bahwa lahan di DAS Krueng Seulimum terdiri dari kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N). Kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dengan faktor pembatas retensi hara (kejenuhan basa dan c - organik) dan faktor pembatas bahaya erosi terdapat pada SL 2, 3, 4, 6, 8, 10 dan 12, untuk itu usaha perbaikan yang perlu di lakukan pada kelas cukup sesuai (S2) adalah dengan pemberian kapur dan pemupukan. Sedangkan kelas kesesuaian lahan sesuai marjinal (S3) dengan faktor pembatas media perakaran (kedalaman tanah), retensi hara (KB dan c-organik) dan faktor bahaya erosi. Berdasarkan faktor pembatas yang muncul pada masing-masing satuan lahan, terlihat bahwa lokasi penelitian sesuai untuk dikembangkan tanaman pisang, kecuali pada SL - 22 (lahan tidak sesuai) dengan faktor pembatas lereng (25-40%). Lebih jelasnya kesesuaian lahan tanaman pisang dapat dilihat pada Tabel 13, Lampiran 21 dan 22.

Tabel 13 Lokasi tanaman pisang pada berbagai kelas kesesuaian lahan di DAS Krueng Seulimum

Klas Kesesuaian Satuan Lahan L U A S

Ha (%) S2nr,eh 2, 3, 4, 6, 8, 10, 12 10 925.69 42.94 S3rc,nr 5, 9 3 550.96 13.96 S3eh,nr 18, 19, 21 976.52 3.84 S3nr 7, 13, 15, 16, 17, 23, 24 7 004.71 27.53 S3rc 1, 11, 14 1 560.29 6.13 S3eh 20 550.12 2.16

Keterangan : S2 = cukup sesuai, S3 = sesuai marginal, nr = retensi hara, rc = media perakaran, eh = bahaya erosi.

Sumber : Analisis data primer (2013)

Kesesuaian Lahan Tanaman Pinang

Analisis kesesuaian lahan untuk tanaman pinang dikarenakan belum adanya kriteria kesesuaian lahan tanaman pinang, maka untuk menilai kesesuaian lahan tanaman pinang, dapat dibangun model kesesuaian yang dikembangkan dari korelasi karakteristik lahan (Krisnohadi, 2008). Karakteristik lahan yang ikut dinilai diantaranya faktor tanah dan iklim yang nantinya dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan/ produksi suatu tanaman di lapangan. Tingkat produksi nantinya dibagi menjadi sangat baik, baik, sedang dan buruk. Kelas S1 merupakan assosiasi antara kualitas lahan tanpa faktor pembatas dengan tingkat produksi sangat baik (> 80%) dari produksi maximum. Kelas S2 merupakan assosiasi antara kualitas lahan dengan faktor pembatas ringan dengan tingkat produksi baik (60-80%) dari produksi maksimum dan kelas S3 antara kualitas lahan dengan

faktor pembatas berat dengan tingkat produksi sedang (23-60%). Dilihat dari syarat tumbuhnya, tanaman pinang akan sangat baik tumbuh dan berproduksi optimal pada ketinggian 0 - 1000 m dpl dan lebih idealnya ditanam pada ketinggian dibawah 600 m di atas permukaan laut. Tanah yang baik untuk pengembangan pinang adalah tanah beraerasi baik dengan solum tanah yang dalam, pH tanah 4 - 8. Curah hujan yang dikehendaki tanaman pinang antara 750-4.500 mm tahun-1 dan sangat sesuai pada daerah yang bertipe iklim sedang, suhu optimum antara 20º - 32ºC dan kelembaban udara antara 50 - 90 %. Melihat syarat tumbuh yang diinginkan oleh tanaman pinang dan dicocokkan dengan keadaan di lokasi penelitian, maka tanaman pinang sangat sesuai untuk dikembangkan di lokasi penelitian.

Evaluasi Erosi, ETol dan Prediksi Erosi

Evaluasi Erosi

Pengukuran terhadap aliran permukaan dan erosi dilakukan pada tipe usahatani berbasis kakao, yaitu kakao monokultur (K), tumpangsari kakao dengan pinang (KP) dan tumpangsari kakao dengan pisang (KPs) masing-masing pada lereng 7%, 14% dan 21% dan ditambah dengan perlakuan pemberian mulsa pada tiap tipe usahatani berbasis kakao dan padang penggembalaan (lereng 7%, 14% dan 21%).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai erosi yang terbesar terjadi pada penggunaan lahan padang penggembalaan (1341.7 kg ha-1) dan terendah pada penggunaan lahan KPM (141.8 kg ha-1). Selanjutnya dalam pembahasan nantinya hanya dilakukan pada tipe usahatani berbasis kakao saja.

Hasil uji nilai tengah pengaruh tipe usahatani berbasis kakao terhadap aliran permukaan dan erosi disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Pengaruh tipe usahatani berbasis kakao terhadap aliran permukaan dan erosi

Tipe Usahatani Aliran Permukaan Erosi (kg ha-1) (mm) PG 44.74 a 1341.7 a*) K 23.21 b 657.4 b KPs 19.48 bc 569.8 bc KP 16.00 bc 400.7 bc KM 13.35 bc 199.0 bc KPsM 9.26 c 184.7 bc KPM 7.29 c 141.8 c Keterangan :

PG = padang penggembalaan, K = kakao, KPs = kakao+pisang, KP = kakao + pinang,

KM = kakao + mulsa, KPsM = kakao+pisang+mulsa, KPM = kakao+pinang+mulsa Angka-angka dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf 5% menurut uji BNT.

Jumlah curah hujan selama satu tahun pengamatan = 1270.51 mm.

*) pengukuran PG sering mengalami gangguan, dikarenakan lokasinya yang tidak terkontrol.

Hasil pengukuran terhadap aliran permukaan menunjukkan bahwa tipe usahatani kakao monokultur (K) nyata menyebabkan aliran permukaan tertinggi yang diikuti oleh tipe usahatani kakao dengan pisang (KPs) dan tipe usahatani kakao dengan pinang (KP). Pemberian mulsa jerami 18 kg petak-1 (5 ton ha-1) pada setiap perlakuan (K, KPs dan KP) juga nyata menurunkan aliran permukaan. Mulsa jerami sangat berperan untuk menekan pertumbuhan gulma, mempertahankan agregat tanah dari hantaman air hujan serta dapat mencegah penguapan air. Kohnke dan Bertrand (1959 dalam Sinukaban 2007) mengemukakan bahwa mulsa yang digunakan di atas permukaan tanah dapat mencegah kehilangan air melalui evaporasi, memperkecil proses dispersi, merangsang agregasi tanah, memperbaiki struktur tanah serta menekan aliran permukaan. Tabel 14 juga menunjukkan bahwa erosi nyata tertinggi disebabkan oleh tipe usahatani kakao monokultur (K) dan tipe usahatani berbasis kakao yang menyebabkan erosi nyata terendah adalah pada tipe usahatani campuran kakao dengan pinang. Namun dengan pemberian mulsa 18 kg petak-1 (5 ton ha-1) pada setiap tipe usahatani berbasis kakao (KM, KPsM dan KPM) nyata dapat menekan erosi dan ini terlihat pada tipe usahatani kakao monokultur + mulsa jerami (KM).

Terdapat dua kegiatan utama dalam proses erosi yaitu proses pelepasan butir-butir tanah dan proses pengangkutan butir tanah yang telah terdispersi. Jadi semakin rapat tutupan pada tanah maka proses terdispersinya tanah oleh butiran hujan juga semakin kecil. Untuk itu hujan yang akan menjadi aliran permukaan terendah adalah pada tipe usahatani campuran, hal ini sangat relevan bila dilihat pada hasil yang tertera pada Tabel 14. Arsyad (2010) juga mengemukakan bahwa air hujan yang jatuh ke tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi dan jika intensitas hujan tersebut melebihi kapasitas infiltrasi tanah maka air akan mengalir di atas permukaan tanah. Aliran permukaan dapat terjadi setelah proses intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi, tambatan permukaan dan evapotranspirasi terpenuhi akan tetapi air hujan masih berlebih (Sinukaban 2004). Selanjutnya Arsyad (2010) juga menambahkan bahwa sifat aliran permukaan (jumlah, kecepatan, laju dan gejolak aliran permukaan) sangat mempengaruhi untuk menimbulkan erosi.

Hasil pengamatan pada petak erosi juga menunjukkan bahwa aliran permukaan dan erosi sangat dipengaruhi oleh tingkat penutupan tajuk demikian pula dengan pemberian mulsa dimana aliran permukaan dan erosi dapat ditekan seminimal mungkin. Suwardjo (1981) juga mengemukakan bahwa pemberian mulsa sangat efektif dalam menekan aliran permukaan dan erosi pada kemiringan hingga 25%. Pemberian mulsa jerami sebanyak 4 - 5 ton hektar-1 dapat menekan erosi menjadi sangat rendah pada lereng 15% (Lal 1976).

Manfaat lain dari mulsa adalah selain dapat menekan gulma sehingga tidak terjadinya kompetisi hara didalam tanah juga dapat menekan energi air hujan, sehingga tanah tetap stabil dan terhindar dari proses penghancuran.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap erosi tanah adalah faktor kemiringan lereng. Menurut Arsyad (2010) faktor lereng (kemiringan dan panjang lereng) adalah dua sifat topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Semakin miring lereng, maka jumlah butir-butir tanah yang terpercik oleh tumbukan butir hujan juga semakin banyak. Hal ini juga terlihat bahwa hasil pengamatan petak erosi dilapangan menunjukkan bahwa pada lereng 21% erosi yang terjadi sangat besar bila dibandingkan pada lereng 7%.

Tabel 14 menunjukkan bahwa erosi yang terjadi dari hasil pengukuran langsung di lapangan hanya dapat menggambarkan perbedaan erosi antar tipe usahatani berbasis kakao, sedangkan erosi keseluruhan pada setiap penggunaan lahan diprediksi dengan model USLE.

Erosi yang Dapat Ditoleransi

Nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) di lokasi penelitian sangat bervariasi pada setiap satuan lahan. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan jenis tanah, kedalaman tanah, kedalaman minimum perakaran dari tiap tanaman dan berat volume tanah.

Berdasarkan Lampiran 6, nilai faktor kedalaman tanah untuk sub order Tropept sebesar 1.00, Aquept sebesar 0.95 dan Andept sebesar 1.00. Kedalaman tanah minimum tanaman kakao adalah 50 cm, hutan sebesar 75 cm, padang penggembalaan sebesar 15 cm dan semak belukar sebesar 30 cm (Lampiran 7). Bobot isi tanah bervariasi antara 1.03 - 1.29 gr cm3 -1. Laju pembentukan tanah ditetapkan sebesar 1.00 mm thn-1 (Hardjowigeno, 2010). Umur Guna tanah ditetapkan sebesar 250 tahun (untuk pemakaian secara terus menerus dan intensif, Sinukaban, 1989). Maka berdasarkan persamaan Wood dan Dent (1983), besarnya erosi yang masih dapat ditoleransikan (Etol) di lokasi penelitian berkisar antara 39.11 - 40.96 ton ha-1thn-1 (Lampiran 23).

Prediksi Erosi

Prediksi erosi di DAS Krueng Seulimum dilakukan pada setiap satuan lahan (SL) dan tipe usahatani berbasis kakao (K, KPs dan KP) berdasarkan persamaan USLE (Universal of Soil Loss Equation). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai prediksi erosi terbesar terjadi pada penggunaan lahan semak belukar dan pertanian lahan kering. Nilai prediksi erosi pada penggunaan lahan semak belukar pada lahan dengan kemiringan lereng lebih besar dari 3% berkisar antara 87.98 - 292.98 ton ha-1 thn-1. Nilai ini masih jauh berada diatas nilai erosi yang dapat ditoleransi (Etol) yaitu 31.50 - 40.96 ton ha-1thn-1. Penggunaan lahan semak belukar dengan kemiringan lahan 15-25% (SL 19) menunjukkan nilai prediksi erosi tertinggi yaitu 292.98 tonha-1thn-1, sedangkan nilai prediksi erosi terendah terdapat pada SL 6 (30.71 ton ha-1thn-1) dan masih diatas nilai Etol (31.50 ton ha

-1thn-1). Prediksi erosi pada penggunaan lahan pertanian lahan kering berkisar antara 27.60 - 118.19 ton ha-1thn-1, dimana dari 4 satuan lahan (SL 3, 7, 10 dan 16) hanya pada SL 7 dan 10 (lereng 0-3%) yang memiliki nilai prediksi erosi dibawah nilai ETol yaitu 27.60 – 29.88 ton ha-1thn-1 (Etol 39.11- 40.96 ton ha

-1thn-1) , sedangkan pada SL 3 (3-8%) dan SL 16 (8-15%) nilai prediksi erosi yang didapat berada di atas nilai ETol yaitu 105.30 ton ha-1thn-1 pada SL 3 (Etol 40.64 ton ha-1thn-1) dan 118.19 ton ha-1thn-1pada SL 16 (Etol 39.78 ton ha-1 thn-1). Nilai prediksi erosi yang didapat pada penggunaan lahan padang penggembalaan juga masih berada diatas nilai Etol dan hanya pada SL 9 dan 5 yang nilai prediksi erosinya berada dibawah nilai Etol yaitu 9.92 ton ha-1thn-1- 12.48 ton ha-1thn-1 (Etol 22.16 ton ha-1thn-1 - 23.04 ton ha-1thn-1 ). Penggunaan lahan hutan sekunder pada berbagai kemiringan lereng (0-8% sampai dengan 25-40%) menghasilkan nilai prediksi erosi yang jauh berada di bawah nilai ETol. Penggunaan lahan hutan sekunder pada SL 8 dan 5 dengan kemiringan lereng (3-8%) prediksi erosi yang terjadi sebesar 1.31-1.51 ton ha-1thn-1 (Etol 27.36 - 27.84 ton ha-1thn-1), SL 13 dan 17 pada kemiringan lereng 8 - 15% prediksi erosi yang terjadi sebesar 1.26-2.64

ton ha-1thn-1 (Etol 26.40 - 29.28 ton ha-1thn-1) selanjutnya SL 21 dan 20 pada kemiringan lereng 15 - 25% prediksi erosi yang terjadi sebesar 3.68 - 4.87 ton ha

-1thn-1(Etol 23.98 - 29.52 ton ha-1thn-1) sedangkan pada kemiringan lereng yang curam (25 - 40%) prediksi erosi yang terjadi sebesar 6.94 ton ha-1thn-1 (Etol 26.16 ton ha-1thn-1). Lebih rinci rekapitulasi hasil perhitungan prediksi erosi disajikan pada Tabel 15 dan nilai ETol pada tiap SL pada Lampiran 23. Secara keseluruhan nilai prediksi erosi yang terjadi di DAS Krueng Seulimum adalah sebesar 731 110.19 ton thn-1 dengan nilai rata-rata sebesar 28.73 ton ha-1thn-1.

Berkaitan dengan judul penelitian optimalisasi lahan usahatani berbasis kakao, maka penggunaan lahan pertanian lahan kering ( SL 3, 7, 10 dan 16) dirinci menjadi pertanaman kakao monokultur (K), pertanaman kakao dengan pisang (KPs) dan pertanaman kakao dengan pinang (KP).

Tabel 15 Rekapitulasi prediksi erosi pada setiap satuan lahan di DAS Krueng Seulimum

SL Penggunaan Lahan Kemiringan

Lereng Luas (Ha) Prediksi Erosi (ton/ha/thn) Erosi Total (ton/thn) 1 Padang Penggembalaan 0 - 8% 847.68 29.65 25 137.16 2 Semak Belukar 0 - 8% 972.13 87.98 85 524.70 3 Pertanian Lahan Kering 0 - 8% 889.54 105.30 93 670.51 4 Hutan Sekunder 0 - 8% 398.79 1.51 602.17 5 Padang Penggembalaan 0 - 3% 2 716.15 12.48 33 885.21 6 Semak Belukar 0 - 3% 4 301.19 30.71 132 084.45 7 Pertanian Lahan Kering 0 - 3% 2 671.05 27.60 73 711.46 8 Hutan Sekunder 0 - 8% 2 502.72 1.31 3 278.56 9 Padang Penggembalaan 0 - 3% 834.81 9.92 8 278.30 10 Pertanian Lahan Kering 0 - 3% 1 687.23 29.88 50 412.49 11 Padang Penggembalaan 8 - 15% 166.14 45.37 7 538.03 12 Semak Belukar 8 - 15% 174.09 135.39 23 569.79 13 Hutan Sekunder 8 - 15% 419.87 1.26 529.04 14 Padang Penggembalaan 8 - 15% 546.47 62.98 34 418.03 15 Semak Belukar 8 - 15% 267.87 190.63 51 064.94 16 Pertanian Lahan Kering 8 - 15% 295.94 118.19 34 977.93 17 Hutan Sekunder 8 - 15% 1 559.24 2.64 4 116.39 18 Hutan Sekunder 15 - 25% 285.84 4.49 1 283.42 19 Semak Belukar 15 - 25% 192.59 292.98 56 424.77 20 Hutan Sekunder 15 - 25% 550.12 4.87 2 679.08 21 Hutan Sekunder 15 - 25% 498.09 3.68 1 832.97 22 Hutan Sekunder 25 - 40% 876.06 6.94 6 079.86 Total 731 110.19

Berdasarkan perbedaan tingkat kerapatan pertanaman campuran dan karakteristik tanaman penutup tanah, besarnya erosi ditentukan oleh nilai C (tingkat pengelolaan tanaman) dan nilai P (tindakan konservasi tanah). Nilai faktor C untuk pertanaman kakao sebesar 0.8 dan kebun campuran dengan

kerapatan tinggi memiliki nilai faktor C sebesar 0.1 sedangkan kebun campuran

Dokumen terkait