• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usahatani Kakao

Kakao (Theobroma cacao, L) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan bagi petani. Tanaman kakao berasal dari daerah hutan hujan tropis di Amerika Selatan. Di daerah asalnya, kakao merupakan tanaman kecil di bagian bawah hutan hujan tropis dan tumbuh terlindung pohon-pohon yang besar. Oleh karena itu dalam budidayanya tanaman kakao memerlukan naungan.

Di Indonesia tanaman kakao mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tahun 1969-1970 produksi kakao Indonesia hanya sekitar 1.0 Ton (peringkat ke 29 dunia), kemudian Tahun 1980-1981 meningkat menjadi sekitar 16 Ton (peringkat 16 dunia) (AAK 2004).

Tanaman kakao yang ditanam di perkebunan pada umumnya adalah kakao jenis Forastero (bulk cocoa atau kakao lindak), Criolo (fine cocoa atau kakao mulia), dan hibrida (hasil persilangan antara jenis Forastero dan Criolo). Pada perkebunan - perkebunan besar biasanya kakao yang dibudidayakan adalah jenis mulia (Siregar et al. 2007).

Tahun 2000 luas kepemilikan perkebunan kakao lebih didominasi oleh perkebunan rakyat yaitu 86% dari total area perkebunan kakao di Indonesia, kemudian diikuti oleh perkebunan besar negara 7% dan perkebunan besar swasta 7% (AAK 2004).

Perkembangan kakao di propinsi Aceh tidak terlepas dari berbagai masalah yang dijumpai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Beberapa masalah di sektor hulu antara lain produktivitas tanaman yang masih rendah. Permasalahan di sektor hilir mengenai rendahnya kualitas mutu biji terutama biji yang tidak difermentasi. Meskipun areal dan produksi kakao di NAD selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan, namun dari segi aspek produktivitas menurun 4,25 % per tahun (Disbunhut Aceh 2008).

Di propinsi Aceh luas areal tanaman kakao dari tahun ke tahun terus meningkat, tahun 2004 jumlah areal tanam seluas 24 491.00 ha sedangkan tahun 2008 luas areal tanaman kakao meningkat menjadi 70 873.00 ha dan ini umumnya dilakukan oleh petani sehingga perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao di propinsi Aceh (Disbunhut 2008). Luas areal tanaman kakao di propinsi Aceh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel di atas terlihat bahwa perkembangan luas areal TBM terus mengalami peningkatan, ini menunjukkan bahwa minat petani terhadap pengembangan kakao di propinsi Aceh cukup besar yang juga didukung oleh kondisi dan prospek harga kakao di pasaran internasional yang cukup bagus.

Saat ini di propinsi Aceh juga telah terbentuk Forum Pengembangan Kakao Aceh (FKA) yang berkelanjutan yang disepakati oleh Pemda Aceh dan beberapa NGO (APED, UNDP, GTZ) dengan upaya untuk promosi dan implementasi pengembangan kluster di Propinsi Aceh yang terfokus dan terarah (APED 2007)

Tabel 1 Luas tanaman kakao di propinsi Aceh Tahun Luas Areal (Ha) Jumlah

TBM TM TR (Ha) 2004 9 309 13 689 1 493 24 491 2005 12 213 17 216 2 866 32 295 2006 15 836 17 677 4 921 38 434 2007 19 639 21 533 5 256 46 427 2008 32 283 32 612 5 978 70 873

Keterangan : TBM = Tanaman belum menghasil TM = Tanaman menghasilkan, TR = Tanaman rusak

Sumber : Disbunhut Aceh (2008)

Dilihat dari luas areal tanam yang terus meningkat, namun dari segi produktivitas masih sangat rendah yaitu 300 - 450 kg ha-1 dan ini merupakan hasil panen terendah di pulau sumatera (500 - 700 kg ha-1) (FKA 2010). Rendahnya produktivitas kakao di propinsi Aceh diakibatkan karena minimnya pengetahuan petani setempat akan budidaya tanaman kakao disamping akibat konflik yang berkepanjangan (lahan kakao yang diterlantarkan).

Menurut FKA (2010), produksi kakao yang dicapai menunjukkan bahwa petani kakao di Aceh masih miskin, ini disebabkan karena produktivitas lahan yang rendah. Penyebabnya adalah rusaknya kebun, tidak terawat, hama penyakit lokal seperti monyet dan tupai serta hama penggerek buah kakao (PBK). Faktor lain yang mengakibatkan rendahnya produksi kakao di Aceh adalah bibit kakao yang digunakan tidak semuanya menggunakan bibit unggul. Akibatnya adalah harga jual yang rendah, karena kualitas yang kurang baik. Umumnya tanaman kakao di Aceh memiliki buah dan biji yang kecil, bahkan ada juga sebagian petani yang memanen muda buah kakao, karena kuatir dengan serangan hama. Secara umum petani kakao di Aceh hanya mampu menghasilkan biji kakao sebanyak 50-400 kg ha-1 tahun-1 bila dibandingkan dengan sebuah kebun kakao yang baik dapat menghasilkan panen minimal 1.00 ton hektar-1 tahun-1 nya (FKA 2010), sedangkan produksi optimum adalah 1.00 -1.2 ton hektar-1 tahun-1 (AAK 2004)

Untuk itu FKA mengemukakan, strategi yang akan didorong oleh pihaknya adalah mengefektifkan penggunaan bibit kakao bersertifikasi internasional, dan selain itu juga melakukan sertifikasi terhadap produksi kakao Aceh, hal ini sangat penting sehingga nantinya akan semakin meningkatkan kepercayaan internasional terhadap produksi kakao Aceh.

Faktor lain yang harus di perhatikan dalam budidaya kakao adalah teknik pemangkasan, perlakuan ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan dan produksi kakao. Teknik pemangkasan terdiri atas :

- Pemangkasan bentuk dilakukan pada tanaman yang belum menghasilkan. - Pemangkasan pemeliharaan dan produksi, cabang yang dipangkas adalah

cabang sakit, cabang balik, cabang terlindung atau cabang yang melindungi, frekuensi 6-8 kali pertahun, tunas air dibuang 2-4 minggu sekali.

- Pemangkasan pemendek tajuk, tujuannya membatasi tinggi tajuk tanaman maksimum 3.5 - 4.0 m. dilakukan setahun sekali pada awal musim hujan.

- Pemangkasan tidak dibenarkan pada saat tanaman berbunga lebat atau ketika sebagian besar buah masih penti (Prawoto 1996).

Kendala lain yang dihadapi oleh petani kakao di propinsi Aceh selama ini adalah : 1) penerapan teknologi budidaya secara benar masih sangat kurang. 2) produktivitas kakao di propinsi Aceh masih rendah, 3) kualitas kakao yang dihasilkan petani masih di bawah standar ekspor, 4) penanganan pascapanen kakao masih minim dan 5) pemasaran hasil kakao hanya di pasarkan keluar provinsi (propinsi Sumatera Utara) sehingga terjadi fluktuasi harga.

Sebagai daerah tropis, Indonesia yang terletak antara 6o LU – 11o LS merupakan daerah yang sesuai untuk tanaman kakao. Tanaman Kakao merupakan tanaman perkebunaan berprospek menjanjikan. Tetapi jika faktor tanah yang semakin keras dan miskin unsur hara terutama unsur hara mikro dan hormon alami, faktor iklim dan cuaca, faktor hama dan penyakit tanaman, serta faktor pemeliharaan lainnya tidak diperhatikan maka tingkat produksi dan kualitasnya akan rendah.

Tanaman kakao akan tumbuh lebih baik bila mengikuti acuan kriteria kesesuaian lahannya (Djaenudin et al. 2003). Kakao dalam pertumbuhannya memerlukan curah hujan yang cukup dan terdistribusi merata, dengan jumah curah hujan 1500 - 2500 mm tahun-1, bulan kering tidak lebih dari 3 bulan dan memerlukan suhu rata-rata antara 15 - 30oC dengan suhu optimum 25.5oC.

Keadaan tanah yang diinginkan oleh tanaman kakao adalah tanah yang bersolum > 150 cm, tekstur lempung liat berpasir dengan komposisi 30 ‐ 40% liat, 50% pasir, dan 10 ‐ 20% debu, struktur tanah yang remah dengan agregat yang mantap sehingga tanah mempunyai daya menahan air, aerasi dan drainase yang baik, reaksi tanah (pH) 6 - 7, dan kandungan bahan organik tidak kurang dari 3% (Siregar et al. 2007).

Dilihat dari habitat aslinya tanaman kakao hidup pada hutan tropika basah, yaitu tumbuh di bawah naungan pohon-pohon tinggi. Habitat seperti ini masih dipertahankan dengan cara memberi tanaman penaung. Untuk itu walaupun telah diperoleh lahan yang sesuai, sebelum penanaman kakao tetap diperlukan persiapan naungan yang bertujuan untuk mengurangi pencahayaan penuh. Cahaya matahari yang terlalu banyak menyoroti tanaman kakao akan mengakibatkan lilit batang kecil, daun sempit, dan tanaman relatif pendek. Tanpa persiapan naungan yang baik, pengembangan tanaman kakao akan sulit diharapkan keberhasilannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan juga bagi tanaman penaung adalah tumbuhnya menyemak tetapi tegak, perakarannya tidak dalam dan melebar agar tidak terjadi persaingan dengan tanaman kakao dan pembongkarannya mudah (PPKKI 2004).

Tanaman pisang ( Musa sp) dapat ditanam sebagai tanaman penaung bagi tanaman kakao muda dengan jarak tanam 3x6 m untuk kakao yang jarak tanamnya 3x3 m. Dilihat dari aspek populasi, tanaman pisang tidak menampakkan pengaruh yang jelas terhadap pertumbuhan kakao muda, akan tetapi semakin tinggi populasi semakin besar pendapatannya. Manfaat lain dari tanaman pisang adalah limbah dari tanaman pisang dapat dipakai sebagai mulsa bagi tanaman kakao sebagai upaya efisiensi dalam siklus unsur hara dan bahan organik (Prawoto 1995).

Tanaman pinang (Areca catechu) digunakan sebagai tanaman pelindung karena tanaman ini memiliki tajuk yang tinggi dan sistem perakarannya tidak

tumpang tindih dengan sistem perakaran kakao dan ini sering dilakukan di negara India (Lim 1978).

Evaluasi Lahan

Kebutuhan akan lahan yang semakin meningkat dan langkanya lahan pertanian yang subur dan potensial, serta adanya persaingan dalam penggunaan lahan, maka sangat diperlukan penilaian lahan dalam upaya mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan.

Beberapa indikator yang memprihatinkan hasil evaluasi kegiatan pertanian hingga saat ini, yaitu : (1) tingkat produktivitas lahan menurun, (2) konversi lahan pertanian semakin meningkat, (3) luas lahan kritis semakin meluas, (4) tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat, (5) daya dukung lingkungan merosot, (6) tingkat pengangguran di pedesaan meningkat, (7) daya tukar petani berkurang, (8) penghasilan dan kesejahteraan keluarga petani menurun, (9) kesenjangan antar kelompok masyarakat meningkat. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya mengatasi masalah tersebut. Langkah pertama dalam upaya tersebut adalah evaluasi lahan.

Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumberdaya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan.

Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities) dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan atau pertumbuhan tanaman.

Berdasarkan tujuannya, evaluasi lahan dapat berupa klasifikasi kemampuan lahan (land capability classification) atau klasifikasi kesesuaian lahan (land suitability classification). Klasifikasi kemampuan lahan digunakan untuk penggunaan pertanian secara umum, sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan digunakan untuk penggunaan pertanian yang lebih khusus untuk jenis tanaman tertentu (crop specific) (Arsyad 2010).

Klasifikasi Kemampuan Lahan

Klasifikasi kemampuan lahan (Land capability clasification) adalah

penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad 2010). Sitorus (2004) juga mengemukakan klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian potensi lahan bagi penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dan tidak membicarakan peruntukan jenis tanaman tertentu atau tindakan-tindakan pengelolaannya. Lahan dengan kemampuan yang tinggi diharapkan nantinya berpotensi yang tinggi dalam berbagai penggunaan.

Sistem evaluasi kemampuan lahan mengelompokkan lahan ke dalam sejumlah kategori yang diurut menurut faktor penghambat permanen. Sistem ini dilakukan dengan cara menguji nilai-nilai dari sifat tanah dan lokasi melalui

proses penyaringan. Nilai yang pertama diuji terhadap kriteria untuk kelas lahan yang terbaik, dan jika tidak semua kriteria dapat dipenuhi, lahan tersebut secara otomatis jatuh ke dalam kelas yang lebih rendah hingga kelasnya ditemukan dan semua kriteria dipenuhi.

Klasifikasi kemampuan lahan dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampun tanah, karena bila suatu penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuannya maka akan terjadi degradasi lahan. Demikian pula bila penggunaan lahan untuk pertanian tidak disertai dengan tindakan pengelolaan lahan yang baik, maka akan menimbulkan permasalahan erosi pada lahan pertanian tersebut (Kahirun 2000).

Sistem klasifikasi kemampuan lahan (land capability) yang dikembangkan oleh Hockensmith dan Steele (1943) ; Klingebiel dan Montgomery (1973) dalam Arsyad (2010) membagi lahan ke dalam sejumlah kategori menurut faktor penghambat terhadap pertumbuhan tanaman. Selanjutnya Dent dan Young (1981) mengemukakan bahwa klasifikasi kemampuan lahan merupakan proses pengelompokkan lahan ke dalam kelas-kelas tertentu, terutama didasarkan atas faktor-faktor pembatas permanen. Ada tiga kategori yang digunakan, yaitu kelas,

sub kelas dan satuan kemampuan. Penggolongan ke dalam tiga katagori tersebut

berdasarkan atas kemampuan lahannya untuk produksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang (Arsyad 2010).

Pengelompokan lahan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat dari kekas I sampai dengan kelas VIII, dimana resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah semakin tinggi kelasnya (Hardjowigeno 2010). Tanah kelas I – IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian (tanaman semusim dan tanaman tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2010).

Kelas

Kelas merupakan tingkat yang tertinggi dan bersifat luas dalam struktur klasifikasi. Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat, dimana tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas VIII. Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek, resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat semakin besar sehingga pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. Tanah kelas I sampai IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan tanah kelas V sampai VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian dan bila diperuntukkan untuk usaha pertanian diperlukan biaya yang sangat tinggi dalam pengelolaannya.

Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan tanah disajikan pada Gambar 2.

Kelas Kemampuan

Lahan

Intensitas dan Pilihan Penggunaan Meningkat

Hambatan meningkat, kesesuaian dan pilihan penggunaan lahan berkurang Cagar Alam Hutan Penggembalaan Garapan

Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat Intensif I II III IV V VI VII VIII

Gambar 2 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan (Klingebiel dan Montgomery 1973 dalam Arsyad 2010).

Sub Kelas

Pengelompokkan di dalam sub kelas didasarkan atas jenis faktor penghambat atau ancaman kerusakan. Terdapat beberapa jenis faktor penghambat, yaitu ancaman erosi (e), keadaan drainase (w), (3) hambatan daerah perakaran (s) dan hambatan iklim (c).

Satuan Kemampuan (Capability Unit)

Pengelompokkan di dalam satuan kemampuan lahan memberi keterangan yang lebih spesifik dan terinci untuk setiap bidang lahan dari pada sub kelas (Arsyad 2010). Satuan kemampuan merupakan pengelompokan lahan yang sama atau hampir sama kesesuaiannya bagi tanaman dan memerlukan pengelolaan yang sama. Lahan ini mempunyai sifat yang sama dalam hal (a) kemampuan memproduksi tanaman pertanian atau tanaman rumput untuk makanan ternak, (b) memerlukan tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama di bawah vegetasi penutup yang sama, dan (c) untuk jenis tanaman yang sama akan memberi hasil kurang lebih sama (produksi rata-rata dengan sistem pengelolaan yang sama tidak akan berbeda lebih dari 25 %) (Suripin 2001).

Secara ringkas kriteria klasifikasi kemampuan lahan berdasarkan faktor penghambat dapat disusun dalam suatu matriks (Tabel 2) dan kriteria masing-masing faktor penghambat disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 2 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan

Faktor penghambat/ Pembatas 1)

Kelas Kemampuan Lahan

I II III IV V VI VII VIII

1. Lereng Permukaan A (l0) B (l1) C (l2) D (l3) A(l0) E (l4) F (l5) G (l6)

2. Kepekaan erosi KE1,KE2 KE3 KE4,KE5 KE6 (*) (*) (*) (*)

3. Tingkat erosi e0 e1 e2 e3 (**) e4 e5 (*)

4. Kedalaman tanah k0 k1 k2 k2 (*) k3 (*) (*)

5. Tekstur lapisan Atas t1,t2, t1,t2, t1,t2, t1,t2, (*) t1,t2, t1,t2, t5

t3 t3 t3,t4 t3,t4 t3,t4 t3,t4

6. Tekstur lap. bawah sda sda sda sda (*) sda sda t5

7. Permeabilitas P2,P3 P2,P3 P2,P3 P2,P3 P1 (*) (*) P5 P4 P4 8. Drainase d1 d2 d3 d4 d5 (**) (**) d0 9. Kerikil/batuan b0 b0 b1 b2 b3 (*) (*) b4 10. Ancaman banjir O0 O1 O2 O3 O4 (**) (**) (*) 11.Garam/salinitas (***) g0 g1 g2 (**) g3 g3 (*) (*)

Catatan: (1) = kriteria masing-masing faktor penghambat disajikan pada Lampiran 1 (*) = dapat mempunyai sembarang sifat

(**) = tidak berlaku

(***) = umumnya terdapat di daerah beriklim kering Sumber : Arsyad ( 2010)

Secara skematis klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut :

Gambar 3 Skematis klasifikasi kemampuan lahan

Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Menurut FAO (1976) kerangka dari sistem Klasifikasi kesesuaian lahan dibagi atas 4 (empat) kategori, yaitu :

Ordo : menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu.

Kelas : menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan.

I II III IV V VI VII VIII

Vs1 Vs2 Vs3 Vs4

e w s c

Kelas

Sub Kelas

Sub kelas : menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas.

Unit : menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang ber pengaruh dalam pengelolaan suatu sub kelas.

Ordo dan kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, sub-kelas untuk pemetaan tanah semi detail, dan unit untuk pemetaan tanah detail. Ordo juga digunakan dalam pemetaan tanah pada skala yang lebih besar.

Kesesuaian Lahan pada Tingkat Ordo (Order)

Pada tingkat ordo ditunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu : 1. Ordo S (sesuai). Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat

digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya.

2. Ordo N (tidak sesuai). Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam berbatu-batu dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan).

Kesesuaian Lahan pada Tingkat Kelas

Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari ordo dan menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang ditulis dibelakang symbol ordo, dimana nomor itu menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek jika makin tinggi nomornya (Hardjowigeno 2010).

Banyaknya kelas dalam setiap ordo sebetulnya tidak terbatas, akan tetapi dianjurkan hanya memakai tiga sampai lima kelas dalam ordo S dan dua kelas dalam ordo N. Jumlah kelas tersebut harus didasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan-tujuan penafsiran.

Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo S (sesuai) dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N (tidak sesuai), maka pembagian serta definisinya secara kualitatif adalah sebagai berikut (FAO 1976) :

1. Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.

2. Kelas S2: cukup sesuai (moderately) lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.

3. Kelas S3: sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan

yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkat masukan yang diperlukan.

4. Kelas N1: tidak sesuai pada saat itu (currently not suitable). Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

5. Kelas N2: tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable). Lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

Kesesuaian Lahan pada Tingkat Sub Kelas

Sub kelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut.

Tiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub- kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas itu ditunjukkan dengan symbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Misalnya kelas S2 yang mempunyai pembatas kedalaman efektif (s) dapat menjadi sub-kelas S2s. Dalam satu sub kelas dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga symbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan. Misalnya, dalam sub-kelas S2ts maka pembatas keadaan topografi (t) adalah pembatas yang paling dominan dan pembatas kedalaman efektif (s) adalah pembatas kedua atau tambahan (Hardjowigeno 2010)

Kesesuaian Lahan pada Tingkat Unit

Kesesuaian lahan pada tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari sub-kelas berdasarkan atas besarnya faktor pembatas. Semua unit yang berada dalam satu sub-kelas mempunyai tingkat kesesuaian yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkat sub kelas.

Unit yang satu berbeda dengan unit lainnya karena kemampuan produksi atau dalam aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan detail dari pembatas-batasnya. Diketahuinya pembatas secara detail, akan memudahkan penafsiran dalam mengelola rencana suatu usaha tani.

Erosi dan Faktor yang Mempengaruhinya

Erosi adalah peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat yang terangkut ke tempat yang lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut kemudian diendapkan di tempat lain.

Dalam konteks suatu DAS, erosi tanah merupakan masalah yang serius. Dampak dari erosi telah dikenal luas yakni : menurunnya produktivitas tanah, dan meningkatnya sedimentasi yang berakibat pendangkalan sungai dan saluran irigasi, berkurangnya secara tajam umur pemanfaatan waduk.

Terjadinya erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan dan aliran permukaan atau karena kekuatan angin. Sebagian besar daerah tropika basah

seperti Indonesia, erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir hujan dan aliran permukaan.

Proses terjadinya erosi melalui beberapa tahap, yaitu pelepasan (detachment), pemindahan (transportation) dan pengendapan (deposition). Hujan yang jatuh di permukaan tanah akan menghancurkan partikel tanah dan memercikkan partikel tersebut ke atas kemudian berpindah ke tempat lain. Dampak yang ditimbulkan akibat berpindahnya partikel-partikel tanah tersebut yaitu akan terjadi penyumbatan pori-pori tanah sehingga akan mengurangi infiltrasi tanah karena telah terjadinya pemadatan tanah (surface crusting). Apabila hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka akan terjadi run off yang akan menghancurkan partikel tanah dan mengangkutnya dengan tenaga aliran run

off. Jika kecepatan aliran menjadi lambat atau terhenti, partikel akan mengalami

deposisi atau sedimentasi. Banyaknya air mengalir di permukaan tanah

Dokumen terkait