• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Nutrien Ransum

Penelitian ini menggunakan bahan pakan yang berasal dari limbah pertanian yaitu jerami padi, dedak padi. Selain itu digunakan beberapa bahan lain, yaitu tepung ikan, molasses, tepung daun (gamal, kembang sepatu, singkong, turi, lamtoro), dan ampas teh yang belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga penggunaannya dapat menjadi pakan alternatif yang menguntungkan. Ketersediaan yang melimpah pada suatu daerah dapat memudahkan peternak untuk mendapatkan pakan yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi ternak. BATAN (2005) menambahkan bahwa suplemen yang tersusun dari kombinasi bahan limbah sumber protein dengan tingkatan jumlah tertentu dapat mendukung pertumbuhan, perkembangan dan kegiatan mikroba secara efisien di dalam rumen. Menurut Yulistiani et al. (2003), berbagai teknologi untuk memperbaiki kualitas nutrien jerami padi telah tersedia, antara lain melalui perlakuan secara fisik, kimiawi, biologis, suplementasi, atau kombinasi di antaranya. Astuti (2006) menyebutkan bahwa suplementasi secara keseluruhan dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap peningkatan protein mikroba, daya cerna dan konsumsi pakan sehingga dapat diperoleh keseimbangan yang baik antara asam amino dan energi di dalam zat-zat makanan yang terserap. Dalam percobaan ini, perbaikan penggunaan jerami padi dilakukan dengan upaya penggunaan konsentrat yang berbasis dedak padi dan tepung daun.

SKN dibuat untuk memperbaiki zat-zat makanan dari jerami padi yang ketersediaannya kurang di dalam ransum sehingga terjadi perbaikan nutrisi pada pakan berbasis jerami padi. Keadaan ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas ternak sehingga mampu meningkatkan keuntungan bagi peternak. Hal ini dikarenakan SKN merupakan sumber protein dan energi yang memiliki keserasian dan keseimbangan gizi baik jumlah rataan protein (16.05% BK) dan rataan energi TDN (64.29% BK) yang cukup (Tabel 2) untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian Wahyuni (2008), yang menyatakan bahwa penggunaan SKN (ampas teh dan kembang sepatu) dalam ransum komplit perlakuan ternyata dapat meningkatkan kandungan protein ransum. Hal ini disebabkan adanya protein kasar yang terkandung dalam SKN (28.09%) lebih tinggi dibandingkan dengan protein kasar yang terkandung dalam konsentrat (8.54%). SKN pada penelitian ini mengandung protein bypass dan agen defaunasi yang diharapkan berperan dalam meningkatkan fermentabilitas dan degradabilitas in vitro ransum komplit. Menurut Chaerani (2004), penggunaan ransum suplemen sebanyak 1 kg ekor-1 hari-1 dapat meningkatkan kandungan PK ransum (12.2% BK) dan TDN (63.5% BK) jika dibandingkan dengan PK ransum kontrol (33% hijauan : 67% konsentrat) sebesar 11.8% BK dan TDN sebesar 62% BK.

10

Komposisi SKN yang dibuat merupakan hasil modifikasi dari SKN yang digunakan oleh Suryahadi et al. (2012). Berdasarkan hasil analisis proksimat, konsentrat memiliki kandungan PK berkisar 15.22 sampai 16.49% dan kandungan TDN berkisar antara 63.05% sampai 65.23% (Tabel 2). Pada penelitian ini telah dilakukan perbaikan terhadap kandungan protein dari konsentrat yang diujikan sebelumnya sebesar 5.26%, dan kandungan energi sebesar 10.32% (Saputra 2011). Dengan demikian, SKN dapat digunakan sebagai suplemen dalam ransum yang akan sedikit meningkatkan kandungan PK dan TDN, dan pemakaian suplemen telah ditingkatkan jumlahnya dan diintegrasikan dengan dedak padi dalam bentuk ransum komplit jerami padi (Tabel 3).

Tabel 3 Kandungan nutrien ransum perlakuan berdasarkan perhitungan

Nutrien* Ransum Perlakuan

P1 P2 P3 P4

% BK

Bahan kering (% segar) 85.13 89.01 89.05 89.09

Abu 16.13 16.33 16.30 16.34 Protein kasar 11.20 11.22 11.05 10.71 Lemak kasar 3.05 2.98 2.96 2.94 Serat kasar 25.59 25.69 25.97 25.83 BETN 44.03 43.77 43.74 44.19 TDN 55.82 55.55 55.46 54.95 Calsium 0.68 0.73 0.72 0.73 Phospor 0.34 0.34 0.34 0.34

*Perhitungan berdasarkan data Sutardi (1980); P1 = jerami padi + SKN A1; P2 = jerami padi + SKN A2; P3 = jerami padi + SKN A3; P4 = jerami padi + SKN A4.

Penggunaan SKN di dalam ransum dasar jerami padi menunjukkan kandungan PK dalam ransum penelitian berkisar 10.71% sampai 11.22% dan kandungan TDN berkisar 54.95% sampai 55.82% (berdasarkan perhitungan). Kandungan PK terendah dimiliki oleh Ransum P4 yang merupakan ransum dengan penambahan SKN A4 (daun gamal, daun kembang sepatu, dan ampas teh) sebesar 10.71%, sedangkan kandungan PK untuk P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah 11.20%, 11.22%, dan 11.05%. Perbedaan bahan yang digunakan dalam ransum dapat menghasilkan kandungan PK dan TDN yang berbeda pula.

Konsentrasi NH3 (Amonia)

Konsentrasi (amonia) merupakan hasil fermentasi dan degradasi pakan di dalam rumen. Konsentrasi amonia menunjukkan sifat degradabilitas protein bahan makanan di dalam rumen (Sutardi 1980). Amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein mikroba (Sakinah 2005).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi amonia dipengaruhi oleh kelompok (P<0.01), tetapi tidak ada pengaruh faktor ransum, waktu inkubasi, dan interaksi antara faktor ransum dan waktu inkubasi (Tabel 4). Pada ransum perlakuan tidak terjadi peningkatan konsentrasi amonia yang signifikan. Konsentrasi amonia pada penelitian ini berkisar antara 6.19 sampai 6.97 mM. Rataan konsentrasi amonia pada percobaan ini sudah memenuhi konsentrasi

11 amonia untuk pembentukan protein mikroba, yaitu 4 sampai 12 mM (Sutardi 1979) atau 6 sampai 12 mM (McDonald et al. 2002). Konsentrasi amonia percobaan ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2011) yang menghasilkan konsentrasi amonia sekitar 2.68 mM sampai 3.61 mM. Rataan konsentrasi amonia tertinggi pada ransum P4 (3.61 mM) yaitu ransum komplit dan terendah pada ransum P1 (2.68 mM) yaitu ransum jerami padi tanpa penambahan suplemen kaya nutrien (Saputra 2011). Tabel 4 menunjukkan data konsentrasi amonia.

Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap rataan konsentrasi amonia

Waktu Inkubasi

Ransum Perlakuan Rataan ±

SD P1 P2 P3 P4 mM 1 Jam 7.09 ± 6.63 7.31 ± 7.58 5.82 ± 5.42 6.29 ± 5.12 6.63 ± 6.19 3 Jam 6.67 ± 5.72 6.44 ± 5.75 6.64 ± 5.82 6.00 ± 5.19 6.44 ± 5.62 5 Jam 7.15 ± 6.46 6.16 ± 5.11 6.86 ± 5.67 6.26 ± 5.17 6.61 ± 5.60 Rataan ± SD 6.97 ± 6.27 6.64 ± 6.15 6.44 ± 5.64 6.19 ± 5.16 6.56 ± 5.80

P1 = jerami padi+SKN A1; P2 = jerami padi+SKN A2; P3 = jerami padi+SKN A3; P4 = jerami padi+SKN A4.

Adanya penambahan SKN yang berbeda pada setiap perlakuan tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap konsentrasi amonia. P1 menggunakan SKN A1 (daun lamtoro dan daun turi) seperti yang digunakan pada penelitian sebelumnya (Saputra 2011); penggunaan daun turi dan lamtoro diganti dengan daun gamal dalam P2; sebagian daun gamal diganti dengan ampas teh dalam P3; dan dalam P4, penggunaan daun gamal semakin berkurang dan diganti dengan ampas teh dan kembang sepatu. Dengan tidak adanya perbedaan diantara ke empat ransum tersebut, menunjukkan bahwa beberapa bahan yang ditambahkan atau digantikan seperti lamtoro, turi, gamal, ampas teh dan kembang sepatu, dapat digunakan sebagai suplemen yang dapat menunjang ketersediaan amonia. Tidak adanya perbedaan yang nyata dalam konsentrasi amonia diantara perlakuan ransum dapat disebabkan kandungan protein setiap perlakuan yang tidak signifikan yaitu berkisar 10.71% sampai 11.22%. Perbaikan terhadap kandungan protein dari SKN yang diujikan sebelumnya mengakibatkan perbaikan pula pada konsentrasi amonia yaitu sebesar 3.36 mM. Kandungan protein ransum yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 yang relatif tinggi di dalam rumen (McDonald et al. 2002).

Daun singkong merupakan salah satu sumber protein yang tidak tahan terhadap degradasi yang terjadi di dalam rumen selain urea, daun kacang dan ampas tahu (Sigit 1983), sehingga konsentrasi amonia yang dihasilkan dalam penelitian cukup baik. Penambahan daun lamtoro dan daun turi pada ransum P1 dapat menghasilkan konsentrasi amonia yang baik yaitu 6.97 mM. Hartadi et al. (2005) mengatakan bahwa daun lamtoro mempunyai kualitas protein yang baik karena keseimbangan asam aminonya. Salah satu pakan yang dapat dijadikan sebagai sumber protein mudah didegradasi adalah daun gamal (Gliricidia sepium) yang ditambahkan pada ransum P2, 66% dari total protein yang dikandungnya dapat memacu sintesis protein tubuh mikroba (Sutardi 1995). Penambahan ampas

12

teh dan daun kembang sepatu ke dalam ransum perlakuan diduga dapat meningkatkan konsentrasi amonia. Penambahan ampas teh pada ransum P3 menghasilkan konsentrasi amonia yang tidak berbeda bila dibandingkan dengan P1, P2 dan P4, hal ini diakibatkan oleh penggunaan ampas teh dalam ransum yang relatif rendah sehingga kadar tanin pun jumlahnya sedikit dan tidak bersifat racun. Menurut (Wahyuni 2008), penambahan ampas teh dapat digunakan untuk pencernaan pasca rumen atau bypass karena tanin yang terkandung dalam ampas teh dapat mengikat protein agar tidak didegradasi terlalu banyak oleh mikroba di dalam rumen sehingga protein mikroba dapat lolos ke usus halus sehingga dapat digunakan untuk pertumbuhan ternak. Penggunaan 100% kembang sepatu dapat meningkatkan konsentrasi amonia dan penggunaan kombinasi ampas teh dan daun kembang sepatu dengan perbandingan 1:1 secara in vitro menunjukkan hasil yang terbaik bagi produksi amonia (Setiani 2002). Kembang sepatu dapat menghasilkan konsentrasi amonia yang cukup baik. Protein kembang sepatu lebih mudah dihidrolisis menjadi asam amino daripada protein ampas teh, hal ini dikarenakan tingkat degradasinya cukup tinggi (Despal 1993), sehingga dapat tercukupi untuk pembentukan protein mikroba.

Waktu inkubasi 1, 3, dan 5 jam tidak mempengaruhi konsentrasi amonia. Hal ini tidak sebanding dengan pernyataan Nuraeni (1993) yang menyatakan bahwa konsentrasi amoniadapat dipengaruhi oleh waktu inkubasi. Sutardi (1980) menyatakan bahwa pada 1 sampai 1.5 jam waktu inkubasi pakan merupakan awal penentu dari kadar NH3 suatu pakan yang berasal dari solubilitas dari pakan itu sendiri. Hal ini diduga karena kelarutan pakan antar perlakuan relatif sama.

Konsentrasi VFA

Karbohidrat di dalam rumen diubah menjadi volatile fatty acid (VFA) yang merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Produksi gas yang dihasilkan didalam rumen menunjukkan terjadinya proses fermentasi bahan pakan oleh mikroba rumen yaitu menghidrolisa karbohidrat menjadi monosakarida dan disakarida yang kemudian difermentasi lebih lanjut menjadi asam lemak terbang (VFA) dan gas metan dan CO2 (Astuti 2006). McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa proporsi molar dari VFA terdiri dari 65% asetat, 21% propionat dan 14% butirat, proporsi ini sangat dipengaruhi oleh jenis pakan yang dikonsumsi. VFA sangat penting karena merupakan sumber energi yang memenuhi sekitar 50 sampai 70% dari kebutuhan energi ternak ruminansia (Damron 2006).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi VFA dipengaruhi oleh faktor kelompok (P<0.01) yaitu cairan rumen yang digunakan, dan faktor waktu inkubasi (P<0.05), tetapi tidak dipengaruhi faktor ransum (faktor P), dan interaksi antara faktor ransum dan waktu inkubasi. Uji ortogonal polinomial pada faktor waktu inkubasi menunjukkan bahwa konsentrasi VFA total menunjukkan pola linier Y= -7.2834x + 162.1 dengan nilai R² = 0.36 yang menurun dari waktu inkubasi 1 jam ke 3 jam dan 5 jam. Waktu inkubasi yang dihasilkan pada konsentrasi VFA tertinggi adalah waktu inkubasi 1 jam yaitu sekitar 162.75mM, kemudian menurun pada waktu inkubasi 3 jam yaitu sekitar 124.37 mM dan terjadi kenaikan kembali pada waktu inkubasi 5 jam yaitu sekitar 133.62 mM. Tabel 5 menunjukkan konsentrasi VFA total yang diperoleh pada percobaan ini.

13 Tabel 5 Pengaruh perlakuan terhadap rataan konsentrasi VFA Total

Waktu Inkubasi Ransum Perlakuan Rataan ± SD Signifikan P1 P2 P3 P4 mM 1 Jam 187.63±56.09 159.02±9.27 150.67±52.01 153.69±30.12 162.75±36.87 Linier* 3 Jam 127.93±60.44 127.78±70.86 110.87±28.43 130.92±54.60 124.37±53.58 5 Jam 142.14±64.66 127.78±46.72 122.24±21.53 142.30±27.10 133.62±40.00 Rataan ± SD 150.90±60.40 138.20±42.30 127.93±33.99 142.30±37.27 140.01±43.49

P1 = jerami padi+SKN A1; P2 = jerami padi+SKN A2; P3 = jerami padi+SKN A3; P4 = jerami padi+SKN A4. Signifikansi: *(P<0.05) (Uji Ortogonal Polinomial).

Lamanya waktu inkubasi dapat mempengaruhi produksi VFA yang dihasilkan, proses metabolisme karbohidrat yang mudah difermentasi akan menghasilkan konsentrasi VFA yang tinggi pada awal inkubasi. Hasil ini makin diperkuat dengan pernyataan Rahmawati (2001), yaitu semakin lamanya waktu inkubasi menyebabkan konsentrasi VFA menurun karena telah digunakan oleh mikroba rumen untuk membentuk protein mikroba. Hal ini senada dengan Sutardi (1980) bahwa pada 1 sampai 1.5 jam waktu inkubasi pakan merupakan awal penentu dari kadar NH3 dan atau VFA suatu pakan yang berasal dari solubilitas dari pakan itu sendiri. Hasil ini dapat menunjukkan bahwa penggunaan SKN dapat menjadi sumber energi (VFA) diawal waktu inkubasi.

Menurut McDonald et al. (2002), konsentrasi VFA total sangat bervariasi bergantung kepada pakan dan lama waktu setelah makan dengan konsentrasi VFA, normalnya yaitu 70 sampai 150 mM. Konsentrasi rata-rata VFA total dari seluruh perlakuan adalah 127.928 sampai 150.897 mM. Konsentrasi ini termasuk ke dalam kisaran normal VFA yang dinyatakan oleh McDonald et al. (2002). Produksi VFA dipengaruhi oleh sumber energi, produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak (Sakinah 2005). Sumber karbohidrat mudah tercerna yang terdapat dalam konsentrat dapat menyumbang kadar energi untuk ransum perlakuan. Penambahan konsentrat yang berbeda pada P1, P2, P3 dan P4 tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap konsentrasi VFA. Hal ini dapat dikarenakan pada seluruh perlakuan menggunakan molases sebagai bahan organik yang mudah terfermentasi. Pakan yang mengandung gula yang mudah terfermentasi (molases) akan memenuhi kebutuhan mikroba secara cepat setelah pemberian pakan (Dixon 1986). Penambahan ampas teh dan daun kembang sepatu ke dalam ransum P3 dan P4 dapat meningkatkan produksi VFA total. Hal ini didukung oleh pernyataan Setiani (2002), fermentasi karbohidrat dari kombinasi 50% ampas teh dan 50% kembang sepatu merupakan kombinasi optimal untuk menghasilkan produksi VFA tinggi. Hal ini diduga karena terjadinya degradasi sempurna fraksi-fraksi yang mudah difermentasi dari daun kembang sepatu dan ampas teh. Penambahan agen defaunasi, mineral organik dan protein bypass (ampas teh) sebenarnya bernilai positif jika digunakan untuk pencernaan di organ pasca rumen (usus halus) pada ternak ruminansia.

Penambahan SKN yang berbeda dari masing-masing ransum perlakuan menghasilkan konsentrasi VFA yang berbeda pula. Menurut Sutardi (1980), konsentrasi VFA total dalam rumen berkurang karena digunakan oleh mikroba

14

rumen sebagai sumber energi dan diserap oleh dinding rumen. Akan tetapi, penelitian ini dilakukan secara in vitro sehingga VFA tidak mungkin untuk diserap oleh dinding rumen. Aktivitas mikroba yang bervariasi dalam mencerna diduga juga dapat mempengaruhi VFA yang terbentuk.

Populasi Bakteri Total

Mikroorganisme yang ada di dalam rumen dapat hidup dan melakukan aktivitasnya apabila kondisi lingkungannya mendukung. Populasi bakteri rumen total merupakan salah satu cerminan metabolisme yang terjadi di dalam rumen. Bakteri dapat hidup optimum pada pH 5.5 sampai 7.0 dalam kondisi tanpa oksigen, suhu antara 39 sampai 40 ºC dan adanya produk fermentasi pada konsentrasi sedang (Hungate 1966). Bakteri rumen dapat mentoleransi asam organik yang tinggi tanpa mempengaruhi metabolisme yang akan merugikan bakteri tersebut (Kamra 2005). Bakteri total yang terdapat dalam cairan rumen berdasarkan jenis bahan yang difermentasi dan hasil akhirnya terdiri atas bakteri pemanfaat selulosa, bakteri pemanfaat hemiselulosa, bakteri pemanfaat pati, bakteri penghasil metan, bakteri pemanfaat gula, bakteri pemanfaat asam, bakteri pemanfaat asam, dan bakteri pemanfaat lipid (Dehority dan Burk 2003).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum (faktor P) tidak mempengaruhi populasi bakteri total, demikian juga dengan perlakuan waktu inkubasi (faktor B) maupun interaksi keduanya. Total bakteri yang didapatkan pada masing-masing perlakuan menghasilkan rataan berkisar 11.94 sampai 12.03 log cfu bakteri ml-1 cairan rumen, hasil rataan tersebut masih dalam kisaran normal jumlah bakteri di dalam rumen. Kamra (2005) menyatakan bakteri dalam rumen dapat mencapai 1010 sampai 1011 cfu ml-1. Berdasarkan hasil yang didapat, jumlah bakteri total pada penelitian ini menghasilkan jumlah yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Sari 2012) yang mendapatkan hasil total bakteri sebanyak 105cfu ml-1. Hal ini dapat disebabkan kandungan SK ransum yang lebih tinggi pada penelitian Sari (2012), sehingga bakteri membutuhkan waktu yang lama untuk menaikkan populasinya. Tabel 6 menunjukkan data rataan populasi bakteri total.

Tabel 6 Pengaruh perlakuan terhadap rataan populasi bakteri total Waktu

inkubasi

Ransum Perlakuan

Rataan ± SD

P1 P2 P3 P4

Log cfu bakteri ml-1 cairan rumen

1 Jam 11.96± 0.13 11.97 ± 0.06 11.79± 0.59 12.10±0.02 11.95± 0.20 3 Jam 11.95± 0.12 11.97 ± 0.10 12.02± 0.08 11.99± 0.06 11.98± 0.09 5 Jam 11.97± 0.06 11.95 ± 0.10 12.01± 0.10 12.01± 0.07 11.98± 0.08 Rataan ± SD 11.96± 0.10 11.94 ± 0.10 11.94 ± 0.26 12.03 ± 0.05 11.99± 0.13 P1 = jerami padi+SKN A1; P2 = jerami padi+SKN A2; P3 = jerami padi+SKN A3; P4 = jerami padi+SKN A4

Hasil populasi menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata diantara ransum perlakuan P1, P2, P3 dan P4, hal ini dapat dikarenakan konsentrasi

15 amonia yang dihasilkan pada percobaan ini tidak berbeda nyata pula antar perlakuan. Penambahan daun lamtoro pada ransum P1 yang mengandung protein yang baik karena keseimbangan asam aminonya dapat menyebabkan bakteri akan distimulasi pertumbuhannya. Wallace et al. (2003) menyebutkan bahwa bakteri selulolitik akan distimulasi pertumbuhannya dengan adanya asam amino. Menurut Danirih (2004), faktor N-NH3 merupakan faktor nutrien yang paling penting secara kuantitatif untuk bakteri.

Mikroba rumen dapat mentolerir antinutrisi dalam ransum. Zat antinutrisi seperti tanin dan saponin yang terdapat dalam ransum P3 dan P4 disintesis oleh tanaman untuk melindungi diri dari serangan mikroba, oleh karena itu zat antinutrisi ini memiliki aktivitas antimikroba (Kamra 2005). Saponin mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan dengan kolesterol yang ada pada membran sel eukariotik, tetapi tidak pada sel prokariotik, sehingga adanya saponin hanya akan mempengaruhi populasi protozoa tanpa menghambat pertumbuhan bakteri (Wina et al. 2005). Tanin merupakan senyawa polifenol yang mampu mengikat protein dan membentuk senyawa komplek (Makkar 2003). Secara umum tanin mempunyai pengaruh menurunkan penggunaan pakan secara in vivo, terutama penggunaan protein dan menurunkan berbagai aktivititas enzim. Selain itu tanin juga menurunkan serangan mikrobial terhadap pakan (Suhartati 2005).

Lama waktu inkubasi juga tidak mempengaruhi populasi bakteri total. Secara umum terjadi peningkatan jumlah populasi dengan semakin lamanya waktu inkubasi. Waktu inkubasi 1 jam bakteri memiliki makanan yang cukup dari media sehingga dapat tumbuh sebagaimana seharusnya. Peningkatan populasi bakteri dengan semakin lamanya waktu inkubasi akan mampu menstimulasi pencernaan karbohidrat kompleks yang lebih baik dan lebih cepat. Menurut Saragi (2012), karbohidrat kompleks dari pakan berserat tinggi dirubah menjadi VFA oleh mikroba selulolitik. Church (1979) menyatakan bahwa makanan adalah faktor terpenting yang mempengaruhi jumlah dan proporsi relatif dari spesies yang berbeda dalam rumen. Mikroba akan beradaptasi dengan substratnya untuk mencapai keseimbangan baru. Church (1979) menyatakan bahwa konsentrasi VFA total sangat berhubungan dengan populasi mikroba rumen, khususnya bakteri selulolitik dan amilolitik.

Populasi Protozoa Total

Mikroorganisme dalam rumen didominasi oleh populasi bakteri, protozoa dan fungi. Protozoa berperan dalam memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena kemampuan yang sangat rendah untuk mensintesis asam amino dan vitamin B komplek (Arora 1995). Kamra (2005) menyatakan bahwa kisaran normal rataan populasi protozoa pada berbagai ternak ruminansia adalah 104 sampai 106 sel ml-1 cairan rumen. Protozoa dibagi berdasarkan fungsinya menjadi pengguna gula terlarut, pendegradasi pati dan ligno-selulosa (Kamra 2005). Populasi protozoa dapat dilihat pada Tabel 7.

16

Tabel 7 Pengaruh perlakuan terhadap rataan populasi protozoa total Waktu

inkubasi

Ransum Perlakuan Rataan ±

SD Signifikan

P1 P2 P3 P4

Log sel ml-1 cairan rumen

1 Jam 4.75±0.12 4.72± 0.20 4.81± 0.24 4.80±0.09 4.77±0.16 Linier* 3 Jam 4.81±0.13 4.86± 0.20 4.80± 0.07 4.83± 0.14 4.82±0.13 5 Jam 4.86±0.18 4.86± 0.10 4.87± 0.11 4.95± 0.15 4.88±0.14 Rataan ± SD 4.81± 0.14 4.81± 0.17 4.83± 0.14 4.86 ± 0.13 4.83±0.14

P1 = jerami padi+SKN A1; P2 = jerami padi+SKN A2; P3 = jerami padi+SKN A3; P4 = jerami padi+SKN A4. Signifikansi: *(P<0.05) (Uji Ortogonal Polinomial).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa populasi protozoa total dipengaruhi oleh kelompok (P<0.01) yaitu cairan rumen yang digunakan, dan waktu inkubasi (B) (P<0.05), tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor ransum perlakuan (faktor P), dan interaksi antara kedua faktor. Uji ortogonal polinomial pada faktor B (perlakuan waktu inkubasi) menunjukkan bahwa meningkatnya waktu inkubasi dapat meningkatkan jumlah protozoa total di dalam rumen (P<0.05) yang mengikuti persamaan y = 0.0282x + 4.7411 dengan R² = 0.66.

Populasi protozoa yang dihasilkan dari penambahan SKN pada ransum P1, P2, P3 dan P4 tidak berbeda. Hal ini dapat terjadi karena protozoa banyak menempel dan mencerna pakan yang ada seperti yang dikatakan oleh Jouany (1991) bahwa sebenarnya sebagian besar mikroba rumen juga menempel pada partikel makanan dalam rumen. Selain itu adanya saponin dalam tepung daun kembang sepatu dalam konsentrat dapat menurunkan populasi protozoa (Goel et al. 2008). Walaupun penurunan yang terjadi tidak signifikan, protozoa mampu beradaptasi terhadap keberadaan saponin, sehingga saponin tidak memiliki kapasitas menekan populasi protozoa secara kuat. Wina et al. (2005) menyatakan bahwa bakteri rumen memiliki kemampuan untuk mendegradasi sebagian saponin, sehingga saponin tidak memiliki kapasitas untuk menekan populasi protozoa. Penggunaan agen defaunasi (daun kembang sepatu) dalam ransum P4 diduga dapat mengurangi jumlah populasi protozoa yang meningkat akibat sumber pati (molases) yang ditambahkan ke dalam ransum P1, P2, P3 dan P4. Populasi protozoa yang berkurang akan menyebabkan bakteri rumen banyak mendapatkan pakan untuk didegradasi maupun untuk pertumbuhan bakteri rumen itu sendiri tanpa persaingan dengan protozoa (Wahyuni 2008). Oleh karena itu, pengembangan SKN yang baru dapat menghasilkan efek yang sama dengan SKN yang digunakan oleh Saputra (2011).

Sintesis Protein Mikroba

Protein adalah salah satu nutrien yang penting bagi ternak ruminansia. Kebutuhan protein digunakan untuk pertumbuhan sel atau jaringan, membentuk enzim, hormon dan proses metabolik lainnya. Protein yang masuk ke dalam usus berasal dari protein pakan yang tidak terdegradasi di dalam rumen dan protein yang berasal dari mikroba rumen. Sekitar 60% sumber protein bagi ternak ruminansia berasal dari protein mikroba, yang pertumbuhan dan

17 perkembangannya dikendalikan oleh ketersediaan energi, kerangka karbon, nitrogen, mineral dan nutrien lainnya (Owens dan Goestch 1988). Protein mikroba mengandung 80% asam amino dengan kecernaan nyata di dalam usus sekitar 80%, sedangkan protein pakan yang tidak terdegradasi oleh mikroba rumen mempunyai kecernaan yang bervariasi 50% sampai 90%, tergantung dari jenis bahan pakan (Verite dan Peyraund 1989). Rataan sintesis protein mikroba dapat dilihat pada Tabel 8.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa sintesis protein mikroba tidak dipengaruhi oleh faktor perlakuan pakan (faktor P), waktu inkubasi (faktor B), dan inkubasi antara kedua faktor, tetapi dipengaruhi oleh kelompok (P<0.01) yaitu cairan rumen. Kandungan protein yang cukup didalam ransum perlakuan akan menghasilkan konsentrasi amonia yang cukup untuk sintesis protein mikroba.

Tabel 8 Pengaruh perlakuan terhadap rataan sintesis protein mikroba Waktu Inkubasi Ransum Perlakuan Rataan ± SD P1 P2 P3 P4 mg N g-1 BOTC 1 Jam 288.46±281.82 254.90±132.55 186.26±68.76 161.44±29.46 222.76±128.15 3 Jam 189.70±105.11 195.86±77.57 150.38±76.42 220.47±235.15 189.10±123.56 5 Jam 174.62±94.08 138.08±51.36 154.28±69.26 140.43±62.18 151.85±69.22 Rataan ± SD 217.59±160.34 196.28±87.16 163.64±71.48 174.11±108.93 187.91±106.98

P1 = jerami padi+SKN A1; P2 = jerami padi+SKN A2; P3 = jerami padi+SKN A3; P4 = jerami padi+SKN A4.

Konsentrasi amonia yang tidak berbeda dari masing-masing perlakuan ransum menjadikan sintesis protein mikroba yang dihasilkan juga tidak berbeda nyata. Konsentrasi amonia pada penelitian ini berkisar 6.19 sampai 6.97 mM dan konsentrasi VFA berkisar 127.93 sampai 150.90 mM; konsentrasi amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein mikroba (Sakinah 2005). Menurut Owens dan Goestch (1988), prekusor penyusun mikroba adalah NH3 sebagai sumber N, kerangka karbon, mineral dan unsur nutrisi lainnya. Tingkat degradasi protein dan energi yang sinkron juga mempengaruhi sintesis protein mikroba. Efisiensi sintesis protein mikroba terjadi bila amonia yang tersedia diikuti dengan ketersediaan amonia dan kerangka karbon, sehingga kondisi yang ideal bagi terbentuknya protein mikroba terjadi apabila sumber karbohidrat terfermentasi tersedia serempak bersamaan dengan sumber protein (Widyobroto 1992). Selain itu Kalbande dan Thomas (2001) menyatakan bahwa amonia akan digunakan oleh mikroba rumen untuk dikonversi menjadi protein mikroba dan VFA digunakan sebagai sumber energi dalam melakukan sintesis asam amino atau protein mikroba tersebut. Penggunaan SKN pada penelitian ini dapat membantu mensingkronkan amonia dengan VFA (Tabel 4 dan 5), karena SKN yang digunakan mengandung protein dari berbagai daun (lamtoro, singkong, gamal, turi, ampas teh, dan kembang sepatu) dan karbohidrat seperti molases yang

Dokumen terkait