• Tidak ada hasil yang ditemukan

Grits Jagung Pembuatan Grits Jagung

Proses penyosohan jagung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara basah dan kering. Proses penyosohan secara basah dalam larutan alkali lebih efektif dalam menghilangkan perikarp dari biji (Mistry & Eckhoff 1992; Eckhoff

et al. 1999; Lazaro & Favier 2000), tidak merusak granula pati (Mistry & Eckhoff 1992) tetapi hanya panjang dan lebarnya saja yang berkurang 1 µm (He & Suzuki 1988), prosesnya mudah, singkat dan sederhana. Sebaliknya, proses penyosohan secara kering dapat menyebabkan kerusakan terhadap granula pati (He & Suzuki 1988).

Proses pembuatan grits jagung dilakukan secara basah, yaitu sebelum dilakukan proses penyo sohan, jagung direndam terlebih dahulu dalam larutan NaOH (sodium hidroksida) 0.05% mendidih, kemudian dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan HCl (asam klorida) 0.05%, masing- masing dengan perbandingan larutan : bahan adalah 1 : 1 selama 10 menit. Ketika dilakukan pemasakan dalam larutan NaOH terjadi perubahan warna pada biji jagung yang semula putih menjadi orange, demikian pula ketika dilakukan perendaman dalam larutan HCl warna jagung menjadi kuning muda.

Perendaman dalam larutan HCl menyebabkan perubahan warna jagung menjadi kuning. Hal ini disebabkan karena HCl memiliki sifat asam yang kuat dimana selama hidrolisis terjadi dehidrasi antarmolekul glukosa menjadi 5-hidroksimetil- furfural yang kemudian sebagian hilang menjadi levulinik dan asam format. Selanjutnya diikuti oleh reaksi yang memberikan warna kuning hingga coklat, disebut melanoidin (Dziedzic & Kearsley 1984).

Perendaman jagung dalam larutan NaOH memberikan warna orange. Floyd

et al. (1995) menyatakan bahwa warna jagung dapat dibedakan menjadi putih

hingga kuning, orange, merah, ungu, dan coklat. Pigmen ini terdapat dalam lapisan perikarp, aleuron, endosperma dan skutelum. Akibatnya lapisan perikarp tertutupi oleh lapisan aleuron yang banyak mengandung pigmen sehingga warna

jagung lebih cerah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mistry dan Eckhoff (1992) bahwa jagung yang direndam dalam larutan alkali akan berwarna lebih cerah atau lebih gelap. Demikian pula yang dikemukakan oleh Ram et al. (2002) bahwa perendaman dalam larutan alkali menyebabkan terjadinya perubahan warna pada gandum (gandum merah menjadi merah tua; gandum putih menjadi kuning). Hal ini disebabkan karena berkurangnya proton asam ferulik pada senyawa fenolik dan asam karboksilat (Ram et al. 2003).

Penambahan NaOH dimaksudkan untuk memisahkan kulit biji dari endosperma (Anonim 2000). Selanjutnya penetralan dilakukan dengan menambahkan larutan HCl 0.05%. Kemudian jagung dikeringkan pada suhu 40oC selama 15 jam dengan menggunakan pengering kabinet sehingga dihasilkan kadar air bahan 10-13%.

Tahap akhir dari proses pembuatan grits jagung ini adalah melakukan proses pengecilan ukuran biji (penyosohan) dengan menggunakan alat sosoh

Satake Grain Testing Mill (Gambar 19) selama 1 menit sebanyak 100 g setiap kali

proses. Selama proses penyosohan dihasilkan jagung sosoh, grits jagung pecah, menir besar, menir kecil, dedak, tepung jagung, kulit biji dan lembaga. Adapun besarnya rendemen yang dihasilkan selama proses penyosohan jagung ini disajikan pada Tabel 8.

(a) (b) (c)

Tabel 8 Rendemen hasil penyosohan biji jagung

Komponen Rendemen (%)

Grits jagung sosoh 51.55

Grits jagung pecah 11.67

Menir besar 5.46

Menir kecil 3.37

Dedak 8.58

Tepung 11.56

Kulit biji dan lembaga 1.01

Hilang 6.8

Grits jagung sosoh merupakan fraksi yang tidak lolos ayakan 2.36 mm (8

mesh) sedangkan grits jagung pecah tidak lolos ayakan 1.7 mm (12 mesh). Menir besar diperoleh pada pengayakan yang tidak lolos 1.18 mm sedangkan menir kecil merupakan hasil yang tidak lolos 0.85 mm (20 mesh). Dedak diperoleh pada ayakan yang tidak lolos 0.3 mm dan tepung pada ayakan yang lolos 0.3 mm (50 mesh). Adapun kulit biji dan lembaga dipisahkan dengan cara ditampi.

Tabel 9 Komposisi kimia jagung pipil dan jagung sosoh

Komponen Jagung Pipil Jagung Sosoh

Energi (kkal) 382.04 364.19 Kadar air (% bk) 11.45 10.71 Lemak (% bk) 6.81 0.97 Protein (% bk) 9.78 6.93 Karbohidrat (% bk) 81.34 91.68 Abu (% bk) 2.07 0.41 Amilosa (% bk) 2.8 -

Komposisi kimia jagung pipil mengalami perubaha n setelah dilakukan proses penyosohan (Tabel 9). Hal ini dipengaruhi oleh faktor penggilingan dimana bagian perikarp, endosperma, lembaga dan tip cap telah dikeluarkan. Dimana

bagian perikarp banyak mengandung serat, lembaga banyak mengandung lemak, endosperma banyak mengandung karbohidrat dan tip cap merupakan tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung.

Dari hasil analisis proksimat ternyata hanya karbohidrat yang mengalami kenaikan sedangkan zat gizi yang lainnya mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pada saat penyosohan biji jagung, lapisan aleuron dan germ

banyak yang hilang sedangkan lapisan endospermanya sedikit mengalami kehilangan akibatnya komponen non-karbohidrat yaitu abu, lemak dan protein mengalami penurunan. Di sisi lain, Juliano (1981) mengemukakan bahwa komponen zat gizi tersebut tidak tersebar sama rata dalam biji. Selain itu, sebagian besar karbohidrat utamanya pati terdapat dalam jumlah yang besar pada endosperma sedangkan komponen non-pati lainnya banyak terdapat pada lapisan aleuron dan germ yang justru banyak hilang pada saat penyosohan biji jagung. Erywiyatno dan Kristianto (2003) menjelaskan bahwa perendaman beras dalam larutan alkali menyebabkan protein akan membentuk ikatan silang dengan amilosa sehingga mudah menyerap air dan molekul protein-amilosa berdifusi meninggalkan granula dan larut dalam larutan perendam yang kemudian akan terbuang selama proses pencucian sehingga semakin tinggi konsentrasi larutan perendam yang digunakan semakin rendah kadar protein beras instan yang dihasilkan.

Optimasi Lama Masak Grits Jagung Instan

Setelah diperoleh grits jagung sosoh selanjutnya dilakukan optimasi lama masak grits jagung sehingga diperoleh grits jagung instan. Pemasakan dilakukan menggunakan alat tanak sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 20. Pemasakan meliputi pengaronan dan pengukusan. Pada saat pengaronan, rak penyangga yang berisi muk-muk diturunkan sehingga grits jagung seluruhnya terendam dalam air mendidih sedangkan pada saat pengukusan rak penyangga dinaikkan. Berat grits jagung untuk setiap muk adalah 25-30 g dengan total air 6.5 L untuk sekali proses pemasakan.

Gambar 20 Alat tanak laboratorium (Altanalab)

Proses pengaronan masing- masing selama 20, 15, 10 dan 5 menit diikuti dengan proses pengukusan masing- masing selama 15, 10 dan 5 menit. Grits

jagung yang diaron selama 20, 15 dan 10 menit dengan lama pengukusan 15, 10 dan 5 menit menghasilkan penampakan yang saling lengket satu sama lain. Berbeda halnya jika grits jagung diaron selama 5 menit dan dikukus selama 10 menit dihasilkan penampakan yang lebih baik yaitu tidak terjadi pelengketan satu sama lain.

Winarno (1997) menyatakan bahwa pati merupakan unit- unit glukosa yang terdiri dari fraksi amilosa dan amilopektin. Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas. Pengembangan granula pati bersifat reversible (bolak-balik) jika tidak melewati suhu gelatinisasi tetapi ketika telah melewati suhu gelatinisasi maka akan terjadi perubahan struktur granulanya. Terdapat tiga fase mekanisme gelatinisasi. Fase pertama, air secara perlahan- lahan dan bolak-balik berimbisi ke dalam granula. Fase kedua, granula akan mengembang dengan cepat dan akhirnya kehilangan sifat birefringence-nya pada suhu 60-85oC dan pada fase ketiga bilamana suhu terus naik maka molekul-molekul amilosa terdifusi keluar granula akibatnya granula hanya mengandung amilopektin saja dan membentuk gel.

Hal inilah yang menyebabkan semakin lama waktu pemasakan maka gel yang dihasilkan akan semakin banyak terbentuk. Akibatnya setelah dilakukan pengeringan maka akan terjadi pelengketan nasi jagung instan satu sama lain sehingga sangat sulit untuk dipisahkan. Deskripsi penampakan grits jagung instan pada berbagai lama masak disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Deskripsi penampakan grits jagung instan pada lama masak yang berbeda

Lama masak Penampakan Deskripsi

aron 20 menit - tergelatinisasi sempurna

kukus 15 menit - warna putih

- banyak sekali gel keluar

- saling lengket satu sama lain dan sulit dipecah setelah dikeringkan aron 15 menit - tergelatinisasi sempurna

kukus 10 menit - warna putih

- banyak gel keluar

- saling lengket satu sama lain dan sulit dipecah setelah dikeringkan aron 10 menit - tergelatinisasi sempurna

kukus 5 menit - warna putih

- gel keluar

- saling lengket dan sulit dipecah setelah dikeringkan

aron 5 menit - tidak tergelatinisasi sempurna

kukus 10 menit - warna putih

- pengeluaran gel minim sekali - pelengketan sangat minim dan

mudah dipecah setelah dikeringkan

Optimasi Jenis Pengering

Pengeringan didefinisikan sebagai operasi pemindahan panas secara simultan untuk memisahkan sejumlah air dan cairan lainnya dari suatu sistem sehingga diperoleh bahan padat kering yang masih mengandung sejumlah sisa air yang dapat diterima. Pada penelitian dilakukan proses pengeringan dengan

menggunakan empat jenis pengering untuk menetapkan satu jenis pengering yang terbaik. Penilaian terhadap karakteristik sampel yang dikeringkan adalah produk berwarna seragam dan bersifat porous sehingga cepat direhidrasi.

1. Pengering fluidized bed

Prinsip kerja pengering fluidized bed adalah produk berada pada ruang pengering yang dihembuskan udara panas dari bagian bawah pada suhu dan kecepatan tertentu sehingga produk terangkat ke atas. Setelah sampel diberi perlakuan aron kukus selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan pengering fluidized bed. Suhu yang digunakan 40oC. Setelah pengeringan selama 2 jam diperoleh hasil ternyata sampel nasi jagung di bagian luarnya kering tetapi di bagian dalamnya masih basah, sehingga jika pengeringan dilanjutkan maka nasi jagung akan menjadi hangus bagian luarnya dan lama kelamaan menjadi coklat. Hal ini disebabkan karena proses pindah panas terjadi secara cepat di permukaan bahan. Sagara (1990) menyatakan bahwa kecepatan pengeringan bahan tergantung pada laju pindah panas dan massa antara permukaan bahan.

Pemanasan terjadi dari permukaan bahan secara cepat. Akibatnya permukaan bahan yang kontak langsung dengan udara pengering memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan bagian dalam bahan. Sehingga jika proses pengeringan dilanjutkan maka bahan menjadi berwarna kecoklatan (Desrosier 1988). Mujumdar (1995) mengemukakan bahwa pengering

fluidized bed merupakan jenis pengering yang memiliki kecepatan pindah

panas dan massa yang tinggi karena bahan kontak langsung dengan udara pengering. Izadifar dan Mowla (2003) menyatakan bahwa kecepatan pengeringan pada padi dipengaruhi oleh suhu pengering dan ketebalan bed.

Semakin tinggi suhu dan panjang bed maka kadar air produk akan semakin rendah. Demikian pula halnya pada produk nasi instan, pada suhu yang tinggi menyebabkan produk berwarna coklat (Ramesh & Rao 1996). Penampakan produk yang dikeringkan menggunakan pengering fluidized bed disajikan pada Gambar 21.

Kerusakan utama yang terjadi pada pengeringan jagung adalah terjadinya perubahan warna yang tidak diinginkandan case hardening. Perubahan warna ini diakibatkan oleh tingginya kandungan karbohidrat pada bahan (Desrosier 1988). Case hardening terjadi akibat laju pengeringan yang terlalu cepat sehingga laju penguapan air oleh udara pengering menjadi lebih cepat dibanding laju difusi air dari dalam ke permukaan produk. Akibatnya bagian luar produk menjadi kering dan mengeras sehingga menghambat keluarnya uap air dari dalam dan bagian dalam produk masih tetap berair (Winarno 1993). Muljohardjo (1987) menyatakan bahwa case hardening terjadi pada bahan yang mengandung banyak gula terlarut, dalam proses pengeringan air beserta gula- gula terlarut bergerak dari dalam ke permukaan bahan. Air akan menguap sedangkan gula beserta padatan lainnya, tetap tinggal di permukaan bahan dan lama kelamaan akan mengeras dan menyebabkan air yang berada dalam bahan tidak dapat menguap keluar.

2. Pengering kabinet

Sampel dikeringkan pada suhu 40oC selama 15 jam. Hasilnya, penampakan sampel kurang baik yaitu warna tidak seragam dan tidak porous. Porositas produk dipengaruhi oleh cara pengeringan (Karathanos et al. 1996), pengeringan yang tidak cepat dan tepat menyebabkan tidak terbentuk struktur berpori pada produk. Brooker et al. (1981) mengemukakan bahwa suhu, kelembaban relatif dan kecepatan aliran udara pengering sangat berpengaruh terhadap proses pengeringan. Semakin besar suhu udara pengering maka Gambar 21 Pengering fluidized bed (a) dan grits jagung yang dihasilkan (b)

sampel kering sampel basah

perbedaan antara suhu bahan dan suhu pengering akan semakin besar dan ini merupakan faktor pendorong pindah panas dari udara pengering ke bahan. Hasil pengeringan sampel disajikan pada Gambar 22.

tidak begitu porous

(a) (b)

Gambar 22 Pengering kabinet (a) dan grits jagung yang dihasilkan (b)

3. Pengering oven

Sampel dikeringkan pada suhu ± 40oC selama 6 jam. Kualitas produk yang dikeringkan tergantung pada kondisi pengeringan. Laju panas dan pindah massa yang tinggi antara produk dan udara sekeliling menyebabkan waktu pengeringan lebih singkat dengan kualitas produk yang lebih baik. Adanya

blower dapat meningkatkan laju pengeringan dengan cara mengalirkan udara

secara cepat di sekeliling bahan (Sjoholm & Gekas 1995) sehingga proses pengeringan berjalan cepat. Akibatnya nasi jagung yang dihasilkan memiliki penampakan yang baik, berwarna putih, produk lebih seragam dan lebih porous. Kecepatan proses pengeringan dapat dipengaruhi oleh faktor interna l dan eksternal. Faktor- faktor internal adalah sifat kimia dan struktur fisik serta ukuran bahan sedangkan faktor- faktor eksternal meliputi suhu udara dan kecepatan udara (Fellows 1992). Laju pengeringan dalam proses pengeringan suatu bahan mempunyai arti penting, dimana laju pengeringan menggambarkan kecepatan pengeringan (Taib et al. 1988). Hasil pengeringan sampel menggunakan pengering oven diperlihatkan pada Gambar 23.

(a) (b)

Gambar 23 Pengering oven (a) dan grits jagung yang dihasilkan (b)

4. Pengering vakum

Pengering vakum merupakan jenis pengering yang digunakan untuk produk pangan yang sensitif terhadap panas (Barbosa-Canovas & Vega-Mercado 1996) dan mudah berubah warna pada suhu tinggi (Sagara 1990).

Sampel dikeringkan pada suhu 40oC selama 15 jam. Hasil pengeringan yang diperoleh hampir sama dengan hasil pengeringan sampel yang dikeringkan dengan pengering fluidized bed dimana nampak bahwa sampel di bagian luar kering tetapi bagian dalam masih tetap basah (Gambar 24). Hal ini disebabkan karena pengering vakum memiliki suhu pengering yang lebih rendah. Akibatnya kecepatan laju panas dan pindah massa antara produk dan pengering juga rendah. Sehingga produk akan memiliki kadar air yang lebih rendah di permukaan dibandingkan bagian dalam produk. Karenanya, produk harus dikeringkan secara cepat dan tepat. Ramesh dan Rao (1996) menyatakan bahwa suhu pengering yang terlalu tinggi atau rendah menyebabkan produk nasi instan memiliki kualitas yang rendah.

(a) (b)

Gambar 24 Pengering vakum (a) dan grits jagung yang dihasilkan (b)

basah kering

Karakteristik mutu grits jagung instan yang dihasilkan dipengaruhi oleh karakteristik pengeringan atau ditentukan oleh metode pengeringan yang tepat. Beberapa kerugian seperti penyimpangan bentuk, kerusakan dan hasil yang tidak baik pada saat rehidrasi merupakan hasil dari prosedur pengeringan yang salah. Semakin cepat produk dikeringkan semakin baik kualitas proses rehidrasi. Proses pengeringan akan menghasilkan struktur porous yang akan memudahkan air untuk meresap ke dalam produk pada waktu rehidrasi. Karenanya, dari keempat jenis pengering yang digunakan tersebut di atas maka pengering oven merupakan jenis pengering yang terpilih.

Pembuatan Grits Jagung Instan

Pembuatan grits jagung dilakukan denga n 3 metode, yaitu metode aron-kukus, pembekuan lambat dan pembekuan cepat yang masing- masing direndam dalam larutan CaCl2 dan Na sitrat selama 2 jam. Konsentrasi CaCl2 yang digunakan yaitu 0.05%, 0.1% dan 0.2% sedangkan konsentrasi Na sitrat adalah 0.1%, 0.5% dan 1%. Dari ketiga metode ini kemudian dipilih 2 jenis metode berdasarkan lama masak. Grits jagung dengan waktu masak terlama tidak dilanjutkan.

Perendaman grits jagung dalam larutan CaCl2 dan Na sitrat dilakukan selama 2 jam. Perendaman ini dimaksudkan untuk membuat struktur bahan lebih porous. Setelah itu dilakukan proses aron-kukus. Pengaronan dilakukan selama 5 menit dan pengukusan dilakukan selama 10 menit. Kemudian nasi jagung instan yang diperoleh dikeringkan dengan oven pada suhu 50oC selama 6 jam. Hasil dari

grits jagung instan yang diberi perlakuan aron kukus disajikan pada Gambar 25.

Metode pembekuan lambat, yaitu dilakukan setelah proses aron kukus kemudian nasi jagung dimasukkan dalam freezer bersuhu -20oC selama 44 jam. Setelah itu dilakukan proses thawing selama 1 jam. Proses thawing dimaksudkan untuk mengeluarkan air dan meningkatkan porositas dari produk. Selanjutnya dilakukan pengeringan menggunakan oven selama 6 jam pada suhu 50oC. Pada metode pembekuan cepat, setelah dilakukan proses aron kukus kemudian nasi jagung dibekukan dengan CO2 padat pada suhu -50oC selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan proses thawing selama 1 jam dan dikeringkan dengan oven. Gambar 26 menyajikan hasil grits jagung instan yang dibekukan secara lambat dan cepat.

Gambar 26 Penampakan grits jagung instan dengan metode pembekuan cepat (a) dan pembekuan lambat (b)

Pembekuan lambat dapat merusak bahan pangan yang dibekukan karena kristal es yang dihasilkan ukurannya besar dimana kristal es yang berukuran relatif besar dapat merusak dinding sel, kerusakan mitokondria, kehilangan struktur protein dan pelepasan enzim (Hamm & Gottesmann 1984). Hal ini menyebabkan tekstur bahan berubah karena dinding sel pecah akibatnya bahan bersifat lebih porous. Berbeda halnya jika dilakukan proses pembekuan cepat dimana dihasilkan kristal es yang kecil sehingga dinding sel bahan tetap utuh akibatnya bahan tidak bersifat porous. Pada metode aron kukus telah terjadi proses gelatinisasi maksimal sehingga mudah terehidrasi (Wulandari et al. 2000).

Setelah diperoleh grits jagung instan selanjutnya dilakukan proses optimasi lama masak untuk ketiga metode pemasakan ini. Hasil dari optimasi lama masak ini disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan tabel tersebut nampak bahwa dengan melakukan proses penginstanan dibutuhkan waktu masak yang lebih singkat jika dibandingkan dengan kontrol. Demikian pula dengan perlakuan perendaman dalam larutan yang berbeda dihasilkan waktu masak yang berbeda pula dari ketiga metode penginstanan tersebut. Metode pembekuan cepat dihasilkan waktu masak yang terlama kemudian diikuti metode aron kukus dan pembekuan lambat.

Tabel 11 Optimasi lama masak grits jagung instan

Lama Masak (menit)

Perlakuan CaCl2 (%) Na sitrat (%) 0.05 0.1 0.2 0.1 0.5 1.0 Aron kukus 15.3 13.3 12.3 13.7 12.7 11.7 Pembekuan cepat 22.7 20.7 19.3 21.3 19.7 15.3 Pembekuan lambat 12.7 10.3 8.7 10.3 9.3 7.3 Kontrol 42.7

Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan makin singkat waktu rehidrasi yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena adanya ikatan silang yang kuat dan menyebabkan dinding sel pati menjadi lebih terbuka akibatnya air dengan mudah terperangkap ke dalam granula (Erywiyatno & Kristianto 2003).

Berdasarkan jenis larutan perendam yang digunakan maka perendaman dalam larutan Na sitrat 1% menghasilkan waktu rehidrasi yang tercepat. Hal ini disebabkan karena sifat dari Na sitrat yang dapat mengganggu dan menguraikan struktur protein dan mempercepat waktu rehidrasi. Hal yang sama juga ditemukan oleh peneliti lain, bahwa perendaman grits jagung dalam larutan Na sitrat 1% memberikan hasil yang terbaik untuk waktu rehidrasi, penyerapan air dan pengembangan volume (Mulyana 1988 ; Oktavia 2002 ; Hartono 2004).

Karakteristik Fisik Grits Jagung Instan

Rendemen

Rendemen diperoleh dari perbandingan berat akhir grits jagung instan dengan berat awal grits jagung. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa larutan perendam berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap rendemen grits

jagung instan baik pada metode pembekuan lambat (Lampiran 3) maupun metode aron kukus (Lampiran 5), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perendaman grits jagung dalam larutan CaCl2

(0.05;0.1;0.2%) dan Na sitrat (0.1;0.5;1%) berpengaruh nyata terhadap rendemen

grits jagung instan baik pada metode pembekuan lambat (Lampiran 4) maupun

metode aron kukus (Lampiran 6).

Berdasarkan Lampiran 4 dan 6 tersebut bahwa perendaman dalam larutan kimia dapat menurunkan rendemen dari nasi jagung instan. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin rendah rendemen yang dihasilkan (Gambar 27). Hal ini disebabkan karena adanya pengeluaran gel pada saat pemasakan yang ditandai dengan air pemasakan menjadi keruh. Dalam hal ini tela h terjadi proses gelatinisasi dimana bila grits jagung yang dimasak telah tergelatinisasi sempurna maka kandungan karbohidrat yang sebagian besar dalam bentuk pati menjadi semakin berkurang akibatnya berat yang dihasilkan akan semakin kecil dan berdampak pada rendemen yang semakin kecil pula.

Di sisi lain, Hoseney (1998) mengemukakan bahwa perendaman dalam Na sitrat dan kalsium klorida menyebabkan struktur protein dirusak dan mengakibatkan grits jagung menjadi lebih bersifat porous sehingga meningkatkan penyerapan air.

85 86 87 88 89 90 91 92 Rendemen (%) CaCl2 0.05% CaCl2 0.1% CaCl2 0.2% Na sitrat 0.1% Na sitrat 0.5% Na sitrat 1 % Perlakuan

Gambar 27 Rendemen grits jagung instan dengan metode aron kukus ( ) dan pembekuan lambat ( ) pada berbagai perlakuan

Densitas Kamba

Densitas kamba dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan itu sendiri (g/ml) yang sangat dipengaruhi oleh kadar air, jenis bahan, bentuk dan ukuran bahan. Densitas kamba ini sangat penting untuk pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan dimana bahan yang mempunyai densitas kamba kecil membutuhkan tempat yang lebih besar jika dibandingkan dengan bahan yang mempunyai densitas kamba besar.

Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa larutan perendam berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap densitas kamba grits jagung instan baik pada metode pembekuan lambat (Lampiran 7) maupun pada metode aron kukus (Lampiran 9), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perendaman grits jagung dalam larutan CaCl2 0.05% dan Na sitrat 0.1% berpengaruh nyata dengan konsentrasi perendam lainnya terhadap densitas kamba

grits jagung instan pada metode pembekuan lambat (Lampiran 8), sedangkan pada

metode aron kukus Na sitrat 0.1% berpengaruh nyata dengan konsentrasi perendam lainnya terhadap densitas kamba grits jagung instan (Lampiran 10).

Semakin tinggi konsentrasi larutan perendam yang digunakan maka semakin rendah densitas kambanya sebagaimana yang disajikan pada Gambar 28. Hal ini dipengaruhi oleh kadar air produk dimana pada kadar air tinggi menyebabkan peningkatan densitas (Wirakartakusumah et al. 1992). Metode pembekuan menghasilkan densitas kamba yang lebih rendah dibandingkan aron

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 Densitas kamba (g/ml) CaCl2 0.05% CaCl2 0.1% CaCl2 0.2% Na sitrat 0.1% Na sitrat 0.5% Na sitrat 1 % Perlakuan

kukus. Singh dan Heldman (2001) menyatakan bahwa densitas es lebih rendah daripada densitas air, dengan demikian densitas pangan beku akan lebih rendah dibandingkan pangan tanpa pembekuan.

Gambar 28 Densitas kamba grits jagung instan dengan metode aron kukus ( ) dan pembekuan lambat ( ) pada berbagai perlakuan

Porositas

Porositas memiliki peranan yang sangat penting terhadap sifat instanisasi suatu bahan. Denga n terbukanya pori-pori bahan maka akan memudahkan rehidrasi dan mempercepat waktu rehidrasi. Selain itu suhu pengeringan juga

Dokumen terkait