• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bobot Potong

Bobot potong diperoleh dengan cara penimbangan bobot akhir kelinci setelah dipuasakan selama 6-10 jam Kartadisastra (1997). Data rataan bobot potong kelinci Rex jantan dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11. Rataan bobot potong kelinci Rex jantan selama penelitian (g/ekor)

Perlakuan Ulangan U1 U2 U3 Total rataan sd P0 1459,00 1448,00 1430,00 4337,00 1445,67 14,64 P1 1491,00 1440,00 1456,00 4387,00 1462,33 26,08 P2 1576,00 1598,00 1433,00 4607,00 1535,67 89,59 P3 1277,00 1500,00 1391,00 4168,00 1389,33 111,51 P4 1214,00 1282,00 1308,00 3804,00 1268,00 48,54 P5 - 1268,00 1148,00 2416,00 1208,00 84,85 P6 1154,00 - 1148,00 2302,00 1151,00 4,24 Total 8171,00 8536,00 9314,00 26021,00 9460,00 Rataan 1361,83 1422,67 1330,57 3717,29 1351,43

Dari Tabel 11 di atas, data rataan bobot potong tertinggi pada P2 1535,67 g/ekor (kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal 30%) dan rataan bobot potong terendah pada P6 1151,00 g/ekor (kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum 45%). Untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit

pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal dan fermentasi Trichoderma harzianum terhadap bobot potong, maka dilakukan analisis ragam

Tabel 12. Analisis ragam bobot potong kelinci Rex jantan SK dB JK KT F Hit F Tabel 0,05 0,01 Perlakuan 6,00 305828,07 50971,35 13,06** 2,85 4,45 Galat 14,00 54640,67 3902,90 Total 20,00 360468,74

Ket : **=sangat nyata

Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa pemberian kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal dan Trichoderma harzianum terhadap bobot potong berpengaruh sangat nyata (P>0.01), hal ini disebabkan pertambahan bobot badan yang terus meningkat karena tingkat konsumsi yang tinggi akibat dari palatabilitas kelinci terhadap ransum sehingga bobot potong menjadi nyata, hal ini sesuai dengan pernyataan Kartadisastra (1997) yang menyatakan bobot tubuh ternak berbanding lurus dengan tingkat konsumsi pakan. Kulit pisang raja yang difermentasi dengan (MOL) mikroorganisme lokal lebih disukai kelinci karena aroma yang lebih wangi sementara kulit pisang raja yang difermentasi dengan Trichoderma harzianum aroma yang ditimbulkan seperti aroma tanah.

Sementara pada ransum yang tanpa fermentasi kurang disukai kelinci hal ini dipengaruhi oleh warna dan aroma. Warna yang ditimbulkan dari ransum ini cokelat kehitam-hitaman dan aroma yang dikeluarkan bau kulit pisang yang dominan.

Untuk mengetahui perbandingan pengaruh pemberian kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal dan Trichoderma harzianum terhadap setiap perlakuan maka dilakukan uji lanjut ortogonal kontras seperti pada Tabel 13 di bawah ini.

Tabel 13. Uji ortogonal kontras bobot potong pada kelinci Rex jantan SV F hit FTabel Perlakuan 0,05 0,01 P0 VS P123 0,0180tn 4,60 8,86 P0VS P456 3,5878tn 4,60 8,86 P123VS P456 8,2290* 4,60 8,86 P1 VS P23 0,00002tn 4,60 8,86 P0VS P36 1,7537tn 4,60 8,86 P4 VS P56 0,4459tn 4,60 8,86

Ket : *= nyata, tn= tidak nyata

Dari Tabel 13 di atas diperoleh P0 tidak nyata dengan P1, P2 dan P3. Dimana P0 (kulit pisang raja tanpa fermentasi 45%) dan P1, P2 dan P3 (kulit pisang raja fermentasi dengan mikroorganisme lokal masing masing dengan level 15%, 30% dan 45%).

Perbedaan fermentasi pada setiap perlakuan dapat mengurangi konsumsi pakan diakibatkan hasil setelah fermentasi pada setiap perlakuan berbeda-beda dimana pada perlakuan P0 (tanpa fermentasi) warnanya kuning kecoklatan, aroma dominan kulit pisang. Pada perlakuan fermentasi mikroorganisme lokal (P1, P2, P3) warnanya cokelat, aroma seperti bau tape yang disebabkan mikrooganisme (rhyzopus sp, saccaromycess, lactobacillus sp) dan pada perlakuan fermentasi Trichoderma harzianum (P4, P5, P6) warnanya coklat kehitaman (seperti tanah) aroma bau tanah yang disebabkan oleh mikroorganisme Trichoderma sp dan ditumbuhi kapang putih. Diantara ketiga perlakuan ini yang disukai kelinci yaitu fermentasi mikroorganisme lokal kemudian tanpa fermentasi dan yang kurang disukai kelinci pada fermentasi Trichoderma harzianum.

Dari data di atas diperoleh juga P0 tidak nyata dengan P4, P5, dan P6, dimana P4, P5 dan P6 merupakan kulit pisang raja fermentasi dengan Trichoderma harzianum dengan masing-masing level 15%, 30% dan 45%.

Dari perolehan data di atas bahwa P1, P2 dan P3 (kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal level 15%, 30% dan 45%) memberi pengaruh yang nyata dibandingkan dengan P4, P5 dan P6 (kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum dengan level 15%, 30% dan 45%).

Berdasarkan Tabel 13 di atas P1 dengan P2 dan P3 (kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal level 15%, 30% dan 45%) memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap bobot potong, sama seperti P4 dengan P5 dan P6 (kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum level 15%, 30% dan 45%), P0 (kulit pisang raja tanpa fermentasi 45%) dengan P3 dan P6 (kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal dan Trichoderma harzianum level 45%) tidak nyata terhadap bobot potong.

Perbedaan bobot potong pada setiap perlakuan di atas dapat disebabkan oleh stress sebelum pemotongan, seperti pada iklim, tingkah laku yang agresif diantara ternak atau gerakan yang berlebihan dan pemuasaan yang terlalu lama mempunyai pengaruh yang besar terhadap penurunan atau habisnya glikogen otot soeparno (1994) karena pada saat pemotongan cuaca cukup panas dan mengakibatkan kelinci menjadi stress dan banyak bergerak.

Bobot Karkas

Bobot karkas adalah bobot yang diperoleh dari hasil penimbangan dari daging bersama tulang kelinci yang telah dipisahkan dari kepala sampai batas pangkal leher dan dari kaki sampai batas pergelangan kaki, isi rongga perut,

darah, ekor dan kulit Sarwono (2001). Data bobot karkas dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini.

Tabel 14. Rataan bobot karkas kelinci Rex jantan selama penelitian (g/ekor)

Perlakuan Ulangan U1 U2 U3 Total Rataan sd P0 655,38 650,15 641,93 1947,46 649,15 6,78 P1 670,20 646,99 653,74 1970,94 656,98 11,94 P2 726,54 737,00 660,47 2124,00 708,00 41,49 P3 572,99 674,55 624,56 1872,10 624,03 50,78 P4 540,23 570,87 582,84 1693,95 564,65 21,98 P5 - 564,26 510,75 1075,01 537,50 37,84 P6 512,72 - 509,94 1022,66 511,33 1,97 Total 3678,07 3843,83 4184,23 11706,12 4251,65 Rataan 613,01 640,64 597,75 1672,30 607,38

Dari Tabel 14 di atas rataan bobot karkas tertinggi yang diperoleh dari hasil penelitian pada P2 708,00 g/ekor dan terendah diperoleh pada P6 511,33 g/ekor. Untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal dan fermentasi Trichoderma harzianum terhadap bobot karkas, maka dilakukan analisis ragam seperti pada Tabel 15 di bawah ini.

Tabel 15. Analisis ragam bobot karkas kelinci Rex jantan

SK dB JK KT F Hit F Tabel

0,05 0,01

Perlakuan 6,00 76066,66 12677,78 15,60** 2,85 4,45 Galat 14,00 11380,27 812,88

Ket : **= sangat nyata

Berdasarkan hasil analisis ragam bahwa pemberian kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal dan Trichoderma harzianum berpengaruh sangat nyata terhadap bobot karkas. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan bobot karkas yang tinggi pula. Hal ini didukung oleh pendapat Sarwono (2001) yang menyatakan bahwa besarnya bobot karkas tergantung besarnya kelinci yang akan dipotong, selain itu kondisi kelinci juga sangat berpengaruh diantaranya yang memiliki bentuk badan bulat, berdada lebar, padat dan singset menunjukkan keadaan fisik yang prima dan bertenaga kuat. Bentuk badan yang kuat mencerminkan kandungan dagingnya banyak dan merupakan penghasil karkas yang baik.

Untuk melihat pengaruh pemberian kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal dan Trichoderma harzianum terhadap bobot karkas setiap perlakuan dapat dilakukan uji ortogonal kontras seperi pada Tabel 16 di bawah ini.

Tabel 16. Uji ortogonal kontras bobot karkas pada kelinci Rex jantan

SV F hit F Tabel Perlakuan 0,05 0,01 P0 vs p1P2P3 0,0590tn 4,60 8,86 P0Vs p456 3,8116tn 4,60 8,86 P123vs P456 9,6381** 4,60 8,86 P1 vs P23 0,02233tn 4,60 8,86 P0Vs P36 8,2220* 4,60 8,86 P4 vs P56 0,4425tn 4,60 8,86

Dari Tabel 16 di atas diperoleh P0 (kulit pisang raja tanpa fermentasi 45%) tidak nyata dengan P1, P2 dan P3 (kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme 15%, 30% dan 45%). Artinya pemberian ransum kulit pisang raja tanpa fermentasi dan fermentasi mikroorganisme lokal dengan level yang berbeda memberi pengaruh yang sama terhadap bobot karkas kelinci Rex jantan.

Pada perlakuan P0 (kulit pisang raja tanpa fermentasi 45%) tidak berbeda nyata dengan P4, P5 dan P6 (kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum 15%, 30% dan 45%). Artinya pemberian ransum kulit pisang raja tanpa fermentasi dan fermentasi Trichoderma harzianum dengan level yang berbeda memberi pengaruh yang sama terhadap bobot karkas kelinci Rex jantan.

Berdasarkan uji ortogonal kontras di atas P1, P2 dan P3 (kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal level 15%, 30% dan 45%) memberikan pengaruh sangat nyata dibandingkan P4, P5 dan P6 (kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum level 15%, 30% dan 45%) terhadap bobot karkas. Pada perlakuan P1 dengan P2, P3 (kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal level 15% dengan 30%, 45%) memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap bobot karkas, sedangkan pada perlakuan P0 dengan P3 dan P6 (kulit pisang raja tanpa fermentasi level 45% dengan kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal 45% dan kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum 45%) memberi pengaruh nyata dalam meningkatkan bobot karkas. Pada P4 (kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum 15%) dengan P5, P6 (kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum level 30%, 45%) tidak nyata terhadap bobot karkas.

Faktor yang mempengaruhi bobot karkas pada dasarnya adalah faktor genetis dan lingkungan. Faktor lingkungan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu fisiologi dan kandungan zat makanan dalam pakan. Zat makanan merupakan faktor penting yang mempengaruhi komposisi karkas terutama proporsi kadar lemak Lesson (2000), hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana perbedaan bobot karkas setiap perlakuan diakibatkan kandungan zat makanan dalam pakan berbeda sehingga zat makanan yang terkandung dalam pakan dicerna dengan baik dan mengakibatkan karkas menjadi tinggi demikian sebaliknya.

Rataan bobot karkas yang tinggi terdapat pada perlakuan P2 yang disebabkan bobot potong pada perlakuan ini tinggi hal ini akan mempengaruhi berat karkas. Menurut Soeparno (1994) menyatakan faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin atau tipe ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan ternak dan jumlah lemak intramuscular di dalam otot.

Persentase Karkas

Persentase karkas diperoleh dengan cara membagikan bobot karkas dengan bobot potong dikali 100 % Soeparno (1994). Data rataan persentase karkas pada kelinci Rex jantan dapat dilihat pada Tabel 17 di bawah ini.

Tabel 17. Rataan persentase karkas kelinci Rex jantan selama penelitian (%) Perlakuan Ulangan U1 U2 U3 Total Rataan Sd P0 44,92 44,90 44,89 134,71 44,90 0,02 P1 44,95 44,93 44,90 134,78 44,93 0,03 P2 46,10 46,12 46,09 138,31 46,10 0,02 P3 44,87 44,97 44,90 134,74 44,91 0,05 P4 44,50 44,53 44,56 133,59 44,53 0,03 P5 - 44,50 44,49 88,99 44,50 0,01 P6 44,43 - 44,42 88,85 44,43 0,01 Total 269,77 269,95 314,25 853,97 314,40 Rataan 44,96 44,99 44,89 122,00 44,90

Dari Tabel 17 di atas rataan persentase karkas tertinggi yang diperoleh dari hasil penelitian pada P2 46,10 % dan terendah pada P6 44,43 %. Mengetahui pengaruh pemberian kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal dan fermentasi Trichoderma harzianum terhadap persentase karkas, maka dilakukan analisis ragam seperti pada Tabel 18 di bawah ini.

Tabel 18. Analisis ragam persentase karkas kelinci Rex jantan

SK dB JK KT F Hit F Tabel

0,05 0,01

Perlakuan 6,00 5,50 0,92 920** 2,85 4,45 Galat 14,00 0,01 0,001

Total 20,00 5,51

Berdasarkan hasil analisis ragam bahwa pemberian kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal dan Trichoderma harzianum berpengaruh sangat nyata terhadap persentase karkas. Bobot karkas yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot karkas yang tinggi pula. Hal ini didukung oleh pendapat Muryanto dkk (1993) dan Kartadisastra (1998) yang menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Hal ini disebabkan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah selaras dengan ukuran bobot tubuh. Besar persentase bobot karkas tersebut sangat tergantung pada besar tubuh kelinci, sistem pemeliharaan, kualitas bibit, macam dan kualitas pakan, kesehatan ternak dan perlakuan sebelum dipotong. Persentase karkas yang dihasilkan sangat tergantung pada besar tubuh kelinci, dan sebagai patokan, besar karkas kelinci yang baik seharusnya berkisar antara 40 % - 52 % dari berat potongnya.

Untuk melihat pengaruh pemberian kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal dan Trichoderma harzianum terhadap persentase karkas setiap perlakuan dapat dilakukan uji ortogonal kontras seperti pada Tabel 19 di bawah ini.

Tabel 19. Uji ortogonal kontras persentase karkas pada kelinci Rex jantan SV F hit F Tabel Perlakuan 0,05 0,01 P0 vs P123 63,15** 4,60 8,86 P0Vs P456 65,91** 4,60 8,86 P123vs P456 516,21** 4,60 8,86 P1 vs P23 112,37** 4,60 8,86 P0 Vs P36 18,21** 4,60 8,86 P4 vs P56 1,62tn 4,60 8,86

Ket : *= nyata, tn= tidak nyata

Dari Tabel 19 di atas diperoleh P0 (kulit pisang raja tanpa fermentasi 45%) berpengaruh sangat nyata dibandingkan P1, P2 dan P3 (kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal 15%, 30% dan 45%). Berpengaruh sangat nyata yang dimaksud disini yaitu menurunkan persentase karkas karena pada P1, P2 dan P3 rataan persentase karkas masih tertinggi pada perlakuan ini.

Berbeda dengan perlakuan P0 (kulit pisang raja tanpa fermentasi 45%) sangat nyata dengan P4, P5 dan P6 (kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum 15%, 30% dan 45%). Artinya pemberian ransum kulit pisang raja tanpa fermentasi dan fermentasi Trichoderma harzianum dengan level yang berbeda memberi pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase karkas kelinci Rex jantan. Sementara pada perlakuan ini sangat nyata dalam meningkatkan persentase karkas, karena rataan pada P0 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P4, P5 dan P6

Berdasarkan uji ortogonal kontras di atas P1, P2 dan P3 (kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal level 15%, 30% dan 45%) memberikan

pengaruh sangat nyata dibandingkan P4, P5 dan P6 (kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum level 15%, 30% dan 45%) terhadap persentase karkas. Pada perlakuan P1 dengan P2, P3 (kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal level 15% dengan 30%, 45%) memberikan pengaruh sangat nyata terhadap persentase karkas, sama seperti P0 dengan P3 dan P6 (kulit pisang raja tanpa fermentasi level 45% dengan kulit pisang raja fermentasi mikroorganisme lokal 45% dan kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum 45%) memberi pengaruh sangat nyata dalam meningkatkan persentase karkas. Pada P4 (kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum 15%) dengan P5, P6 (kulit pisang raja fermentasi Trichoderma harzianum level 30%, 45%) tidak berbeda nyata terhadap persentase karkas.  

Fariasi jumlah daging yang dihasilkan dari karkas seperti halnya kualitas daging dan produk daging dipengaruhi oleh faktor genetik termasuk faktor fisiologi dan nutrisi. Umur dan berat hidup juga dapat mempengaruhi jumlah daging yang dihasilkan dari berbagai spesies ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lesson (2000) faktor lingkungan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu fisiologi dan kandungan zat makanan dalam pakan. Zat makanan merupakan faktor penting yang mempengaruhi komposisi karkas terutama proporsi kadar lemak.

Perbedaan persentase karkas kelinci dipengaruhi oleh umur kelinci, jenis kelamin dan berat hidup kelinci, hal ini sesuai dengan pernyataan Farel dan Raharjo (1984) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah umur potong dan jenis kelamin. Kelinci jantan umur 5 bulan menghasilkan karkas sebesar 46 % dan betina 44 %. Kelinci jantan umur 8 bulan

menghasilkan karkas sebesar 50 % dan betina 55 %. Seekor kelinci jantan dapat menghasilkan karkas sebanyak 43-52 % dan betina 50-59 % dari berat hidupnya.

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Tabel 20. Rekapitulasi hasil penelitian kelinci Rex jantan

Perlakuan Bobot potong

(g/ekor) Bobot karkas (g/ekor) Persentase karkas (%) P0 1445,67 649,15 44,90 P1 1462,33 656,98 44,93 P2 1535,67 708,00 46,10 P3 1389,33 624,03 44,91 P4 1268,00 564,65 44,53 P5 1208,00 537,50 44,50 P6 1151,00 511,33 44,43

Berdasarkan hasil rekapitulasi hasil penelitian di atas diperoleh bahwa pemanfaatan kulit pisang raja difermentasi MOL (mikroorganisme lokal) dibandingkan Trichoderma harzianum sebagai pakan berbentuk pelet memberikan pengaruh sangat nyata terhadap bobot potong, bobot karkas dan persentase karkas kelinci Rex jantan lepas sapih.

Dokumen terkait