• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Tepung Sukun

Tepung sukun dibuat dengan menggunakan buah sukun masak yang berusia 15-19 minggu. Ciri-ciri dari buah sukun yang masak adalah kulitnya berwarna kuning atau kuning kecoklatan, kulitnya halus, daging buahnya terasa agak manis, dan berwarna krem (Ragone 2006). Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum, (Widowati et.al. 2001).

Pembuatan tepung sukun dilakukan melalui tahap pengupasan, perendaman dengan larutan natrium metabisulfit 0,3%. Perendaman ini dilakukan untuk mencegah terjadinya perubahan warna pada daging sukun yang telah dikupas (pencoklatan) (Winata 2001). Tahapan selanjutnya adalan pembuatan sawut dengan cara diiris. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan sehingga daging sukun lebih cepat kering dan lebih mudah dihaluskan.

Tahapan terpenting dalam pembuatan tepung sukun adalah proses pengeringan dengan oven pada suhu 600C hingga kandungan air hilang atau sawut mudah patah. Waktu yang diperlukan adalah sekitar 8-10 jam. Sawut harus benar-benar kering karena sawut yang masih basah lebih sulit dihaluskan dan akan lebih sulit untuk diayak. Proses selanjutnya adalah penghalusan menggunakan blender dan pengayakan menggunakan ayakan 60 mesh. Rendemen tepung sukun yang dihasilkan dari 36,118 kg adalah 20,33 %. Hal ini menunjukkan hasil yang lebih besar dibandingkan dari penelitian Widowati (2003), bahwa dari total berat daging buah setelah disawut dan dikeringkan menghasilkan rendemen sawut kering sebanyak 11 - 20% dan menghasilkan rendemen tepung sebesar 10 - 18%, tergantung tingkat ketuaan dan jenis sukun. Tepung sukun yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5.

Tabel 8 Komposisi kimia tepung sukun (% bb) Jenis Analisa Tepung sukun

Analisis

Tepung sukun* Tepung terigu**

Air 9,2 8,68 11,2 Protein 2,83 2,84 8,9 Lemak 0,38 0,37 1,3 Abu 1,9 0,62 1,3 Karbohidrat 85,65 87,94 77,3 * Sumber : Yohani (1995) ** Sumber : DKBM (2005) Kadar Air

Kadar air merupakan bagian penting dalam bahan pangan. Penghilangan air dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga meningkatkan umur simpan bahan pangan tersebut (Belitz 1999). Kadar air tepung sukun sebesar 8,68% (Tabel 8) dan lebih kecil dibandingkan tepung terigu, ini menunjukkan bahwa daya simpan tepung sukun dapat lebih lama dibandingkan tepung terigu. Selain itu, kadar air tepung sukun sesuai dengan persyaratan kadar air untuk tepung yaitu kurang dari 14% sehingga dapat mencegah pertumbuhan kapang (Winarno dan Jenie 1974, diacu dalam Wulandari 2011). Kadar Abu

Kadar abu menunjukkan bahan anorganik (mineral) dalam bahan pangan (Winarno 1997). Berdasarkan hasil analisis, kadar abu tepung sukun adalah 1,9%. Kadar abu hasil uji berbeda dengan penelitian Yohani (1995) yaitu 0,62% dan kadar abu tepung terigu 1,3%. Kadar abu yang berbeda dengan hasil penelitian Yohani (1995) dimungkingkan akibat proses pengeringan yang dilakukan. Tepung sukun hasil penelitian Yohani (1995) menggunakan metode

drum dryer sedangkan tepung sukun yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode oven. Perbedaan kadar abu mengindikasikan kandungan mineral yang berbeda.

Kadar Protein

Kadar protein hasil analisis adalah sebesar 2,83%, hampir sama dengan analisis sebelumnya yaitu 2,84% dan lebih rendah dari tepung terigu. Karakteristik protein tepung terigu yang tidak terdapat dalam tepung sukun adalah gluten. Tepung sukun termasuk dalam kategori tepung protein rendah dan merupakan tepung yang tidak memiliki kandungan gluten. Tepung berprotein rendah baik digunakan dalam pembuatan kue nonfermentasi berbeda dengan tepung berprotein tinggi yang banyak digunakan dalam pembuatan kue fermentasi, seperti roti (Martinus 2008). Hal ini disebabkan gas karbodioksida

yang dihasilkan yeast atau ragi terperangkap oleh protein dalam bentuk gluten yang banyak terkandung dalam tepung terigu.

Kadar Lemak

Lemak memiliki peran yang signifikan berkaitan dengan umur simpan produk, menciptakan aroma (odor) berupa ketengikan, dan rasa gurih produk (Alice et al. 2012). Hasil analisis kadar lemak yang dilakukan diketahui bahwa kadar lemak adalah 0,38% tidak jauh berbeda dengan penelitian Yohani (1995) yaitu 0,37% namun lebih rendah dari tepung terigu. Kandungan lemak pada tepung terigu adalah 1,3%. Hal ini dapat menyebabkan cita rasa yang berbeda antara tepung sukun dan tepung terigu.

Kadar Karbohidrat

Karbohidrat merupakan salah satu zat gizi yang terdiri atas unsur-unsur C (karbon), H (hidrogen), dan O (oksigen) (Winarno 1997). Menurut Golden & Williams (2010), karbohidrat dalam 100 gram tepung sukun terdiri dari arabinosa (468 mg), sukrosa (415 mg), dan glukosa (365 mg). Kandungan sukrosa pada tepung sukun juga memberikan rasa manis (Suprapti 2002). Tepung sukun yang dianalisis memiiliki kadar karbohidrat 85,65% tidak jauh berbeda dengan penelitian Yohani (1995) yaitu 87,94% dan lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu. Karbohidrat diukur melalui karbohidrat by difference.

Formulasi Kudapan PMT AS Berbahan Dasar Tepung Sukun

Kudapan PMT AS dibuat sebanyak tiga buah. Jenis kudapan dibuat dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: (1) kemampuan tepung sukun mensubtitusi kudapan minimal 50% karena kudapan yang dihasilkan harus berbahan dasar tepung sukun (2) kudapan tersebut diolah dengan cara yang berbeda (dipanggang, digoreng, dan dikukus) (3) keefektifan kudapan tersebut untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein. Takaran saji kudapan tersebut tidak berlebihan dalam hal jumlah namun dapat mencukupi batas minimal zat gizi yang disarankan dalam pedoman PMT-AS. Seluruh kudapan yang dibuat disubtitusi dengan tepung sukun di atas 50% karena kudapan yang dihasilkan berbahan dasar tepung sukun.

Brownies

Kudapan pertama yang dipilih adalah jenis kue basah, yaitu brownies. Kudapan ini dipilih karena bahan-bahan dasar dalam pembuatannya mengandung energi, yaitu tepung, telur, coklat bubuk, coklat batang, dan margarin. Penetapan formulasi dalam pembuatan kudapan ini didasarkan pada penelitian

Vania (2010) dan mengacu dari proses trial and error yang telah dilakukan bahwa brownies dengan tepung sukun di atas 60% memiliki tekstur yang lebih baik. Tingkat subtitusi yang dilakukan adalah 70%, 80%, 90%, dan 100% atau F1, F2, F3, dan F4. Proses pembuatan brownies dilakukan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Vania (2010). Brownies dengan tingkat subtitusi tertinggi (F4) memiliki warna yang lebih gelap. Hal ini disebakan tepung sukun mengandung enzim polifenolase yang dapat menyebabkan

browning pada saat pemanasan berlangsung (Suprapti 2002). Brownies yang telah masak dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Brownies kukus sukun

Proses pembuatan brownies tepung sukun sama seperti pembuatan brownies pada umumnya. Tahap pembuatan adonan dimulai dengan pengayakan tepung, pengocokan (mixing), penambahan tepung komposit, penambahan margarin, penuangan kedalam cetakan kemudian pengukusan atau pemanggangan. Sama seperti pembuatan cake, tahapan yang terpenting dalam pembuatan brownies adalah mixing. Metode yang digunakan dalam pembuatan brownies adalah sugar batter method. Tahapan dalam metode ini adalah pengocokan shortening, gula, dan beberapa bahan kering dengan kecepatan rendah atau sedang hingga tercampur merata dan mengembang dan kemudian ditambahkan telur, susu, dan tepung (Tireki 2007).

Proses akhir dari pembuatan brownies kukus adalah pengukusan. Brownies dengan tingkat subtitusi tepung sukun lebih tinggi memiliki waktu kukus yang lebih lama. Hal ini disebabkan perbedaan sifat antara tepung sukun dan tepung terigu. Tidak terdapatnya gluten pada tepung sukun menyebabkan koagulasi terjadi lebih lama. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Potter (1973) bahwa lama pengukusan brownies bervariasi sesuai dengan sifat bahan. Selain itu, penelitian Meilani (2002) menunjukkan bahwa tepung sukun memiliki suhu gelatinisasi dan viskositas yang lebih tinggi dari tepung terigu. Hal ini

menunjukkan bahwa suhu dan waktu pematangan tepung sukun lebih lama dibandingkan dengan tepung terigu.

Pia

Kudapan selanjutnya adalah pia atau bakpia. Kudapan ini dipilih karena mengandung kacang hijau sebagai sumber protein nabati sehingga diharapkan dapat mencukupi syarat protein kudapan PMT-AS. Formulasi untuk produk pia kacang hijau yang dilakukan adalah 50%, 60%, 70%, dan 80% atau F1, F2, F3, dan F4. Formulasi ini ditetapkan berdasarkan proses trial and error. Berbeda dengan produk brownies yang dapat disubtitusi hingga 100%, produk pia dengan subtitusi di atas 80% menjadi kurang kompak dan tekstur kulitnya pecah setelah dipanggang. Hal ini disebabkan tepung sukun tidak memiliki gluten. Sama halnya dengan brownies, warna pia dengan tingkat subtitusi 80% menjadi lebih gelap.

Produk pia diolah dengan cara pemanggangan. Proses pembuatan pia dimulai dengan pengadukan bahan kulit, penggilingan, pengadukan bahan isi, penyatuan adonan kulit dan isi, serta pemanggangan. Bahan kulit dibuat dua lapisan yang terdiri dari bahan yang berbeda di setiap lapisannya. Lapisan pertama terdiri dari tepung, gula, garam, air, dan minyak.Lapisan kedua terdiri dari tepung dan air. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kulit yang berlapis sesuai dengan karakteristik pia. Isi dari pia adalah kacang hijau yang ditambah dengan gula, susu, margarin, dan santan yang bertujuan untuk menambah nilai gizi dari produk. Seperti halnya pada brownies, semakin tinggi tingkat subtitusi tepung sukun pada kulit pia akan mengakibatkan waktu pemanggangan semakin lama. Pia yang telah dipanggang dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Produk pia sukun Kroket

Produk terakhir yang dibuat adalah kroket. Kudapan ini dipilih karena mengacu pada produk PMT-AS yang telah dibuat pada tahun 2010 dan berdasarkan sifatnya yang dapat disubtitusi tepung sukun. Kroket yang dibuat berbahan dasar tepung terigu dengan bahan pengisi daging ayam, kentang, dan

wortel. Kudapan ini diolah dengan cara digoreng, sehingga terdapat tambahan energi yang berasal dari minyak. Tepung sukun digunakan sebagai pengganti tepung terigu.

Formulasi yang digunakan dalam pembuatan kroket adalah 50%, 60%, 70%, dan 80% atau F1, F2, F3, dan F4. Formulasi ini didasarkan pada proses

trial and error yang dilakukan. Subtitusi di atas 80% membuat produk ini menjadi lengket dan sulit untuk dibentuk. Menurut penelitian Meilani (2002), tepung sukun memiliki kandungan amilosa yang lebih rendah atau kandungan amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan tepung terigu. Menurut Winarno (1997), semakin tinggi kandungan amilopektin maka akan semakin lekat. Jumlah tepung sukun yang semakin tinggi juga menyebabkan warna bagian dalam kroket menjadi semakin gelap dan waktu penggorengan semakin lama. Warna kroket bagian luar hampir sama karena sebelum digoreng, kroket dimasukkan ke dalam telur dan tepung panir. Tujuan penggunaan tepung panir dan telur adalah untuk menyeragamkan warna bagian luar kroket, menambah nilai gizi, dan membuatnya lebih menarik. Gambar 8 menyajikan produk kroket matang.

Gambar 8 Kroket sukun matang Karakteristik Organoleptik Kudapan Brownies

Karakteristik mutu hedonik dan tingkat kesukaan panelis terhadap parameter mutu produk brownies disajikan pada Gambar 9 dan Gambar 10 serta persentase kesukaan panelis terhadap brownies Gambar 11.

Gambar 9 Diagram karakteristik mutu hedonik brownies

Keterangan:

Warna : 1=Amat sangat pucat 9=Amat sangat gelap Aroma : 1=Amat sangat lemah 9=Amat sangat kuat Rasa sukun : 1=Amat sangat lemah 9=Amat sangat kuat Rasa manis : 1= Amat sangat lemah 9=Amat sangat kuat Tekstur : 1=Amat sangat lunak 9=amat sangat keras

Gambar 10 Diagram tingkat kesukaan brownies

Keterangan:

Warna : 1=Amat sangat tidak suka 9=Amat sangat suka Aroma : 1=Amat sangat tidak suka 9=Amat sangat suka Rasa : 1=Amat sangat tidak suka 9=Amat sangat suka Tekstur : 1=Amat sangat tidak suka 9=Amat sangat suka

3,50 4,50 5,50 6,50 Warna Aroma Rasa Sukun Rasa Manis Tekstur 70% 80% 90% 100% 5,00 5,50 6,00 6,50 7,00Warna Aroma Rasa Tekstur 70% 80% 90% 100%

Gambar 11 Diagram persentase kesukaan panelis terhadap brownies Warna

Kesan pertama yang didapat dari sebuah produk adalah warna. Warna merupakan karakteristik yang menentukan penerimaan atau penolakan terhadap suatu produk. Menurut Balya (2011), penerimaan warna suatu bahan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat penerima. Warna dapat berperan sebagai indikator yang menentukan mutu, kesegaran, dan tingkat kematangan.

Nilai rataan mutu warna pada produk brownies berada pada kisaran 5,90-6,70. Secara deskriptif nilai tersebut berarti agak gelap sampai gelap. Hasil uji ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perbedaan jumlah tepung sukun berpengaruh nyata (p<0,05 ) terhadap warna produk, artinya semakin banyak tepung yang ditambahkan maka warna yang dihasilkan semakin gelap. Hal ini disebabkan tepung sukun memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan tepung terigu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alice et al. (2012), yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan terhadap kualitas sensori makanan dengan jenis cake akibat penambahan tepung sukun di atas 30%.

Rataan nilai kesukaan warna produk brownies adalah 6,14-6,625. Nilai tersebut dapat dideskripsikan agak suka sampai suka. Hasil uji ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan warna. Persentase kesukaan warna brownies tertinggi berdasarkan Gambar 11 adalah produk F3 atau mengandung 90% tepung sukun. Produk brownies yang paling disukai panelis adalah yang berwarna agak gelap. 91,67 91,67 91,67 91,67 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Warna Aroma Rasa Tekstur

Aroma

Aroma produk dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan. Aroma pada masing-masing produk kudapan berasal dari bahan yang berbeda. Aroma dalam produk brownies berasal dari tepung sukun dan cokelat (dark cooking chocolate

dan cokelat bubuk).

Nilai rataan mutu aroma sukun pada produk brownies berada pada kisaran 3,9-4,2. Secara deskriptif nilai tersebut berarti agak lemah. Hasil uji ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perbedaan jumlah tepung sukun tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap karakteristik aroma brownies. Hal ini dikarenakan produk brownies memiliki aroma lain yang lebih kuat yaitu dari cokelat.

Rataan nilai kesukaan aroma produk brownies adalah 6,14-7,08. Nilai tersebut dapat dideskripsikan agak suka sampai suka. Hasil uji ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan aroma brownies. Persentase kesukaan aroma produk tertinggi adalah produk F3 atau mengandung 90% tepung sukun. Produk brownies yang paling disukai panelis adalah yang beraroma sukun agak lemah.

Rasa

Pembuatan produk untuk PMT-AS mengutamakan rasa dalam pembuatannya dibandingkan karakteristik organoleptik lainnya. Hal ini dikarenakan pada anak usia sekolah rasa merupakan atribut sensori yang paling diterima. Rasa pada produk brownies terbagi menjadi rasa sukun dan rasa manis. Nilai rataan rasa sukun pada produk brownies berada pada kisaran 3,87-4,28. Secara deskriptif nilai tersebut berarti agak lemah . Hasil uji ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perbedaan jumlah tepung sukun terhadap tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap rasa sukun produk. Hal ini dikarenakan produk brownies memiliki rasa lain yang lebih kuat yaitu rasa manis dari cokelat.

Rasa manis pada brownies berasal dari gula dan cokelat, baik dark cooking chocolate maupun cokelat bubuk. Nilai rataan rasa manis pada produk brownies adalah 5,22-5,99. Secara deskriptif nilai tersebut dapat diartikan biasa (kuat tidak, lemah juga tidak) hingga agak kuat. Hasil uji ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perbedaan jumlah tepung sukun berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap rasa manis produk. Hal ini dapat disebabkan sifat tepung sukun yang terasa lebih manis dari tepung terigu (Suprapti 2002).

Rataan nilai kesukaan rasa pada produk brownies adalah 5,95-6,55. Nilai tersebut dapat dideskripsikan agak suka sampai suka. Hasil uji ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan rasa brownies. Produk dengan rasa yang paling disukai panelis memiliki rasa sukun agak lemah dan rasa manis agak kuat.

Tekstur

Produk brownies memiliki rataan nilai mutu tekstur kisaran 3,94-4,59. Nilai tersebut dapat dideskripsikan lunak hingga agak lunak. Hasil uji ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa penambahan tepung sukun tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tekstur brownies. Brownies bertekstur agak bantat sehingga tidak membutuhkan pengembangan gluten. Penambahan tepung sukun dalam masing-masing formula tidak terlalu mempengaruhi tekstur brownies (Sunaryo 1985 dalam Sulistiyo 2006).

Rataan nilai kesukaan tekstur produk brownies adalah 5,63-6,64. Nilai tersebut dapat dideskripsikan agak suka sampai suka. Hasil uji ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan tekstur brownies. Persentase kesukaan tekstur produk tertinggi adalah 91,67% yaitu pada produk F3 atau yang mengandung 90% tepung sukun. Produk brownies yang paling disukai panelis adalah bertekstur lunak. Hal ini dapat diartikan semakin lunak dan lembut produk, maka tingkat kesukaan akan bertambah. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Sunaryo (1985) dalam Sulistiyo (2006), bahwa tekstur brownies yang baik adalah jika dimakan terasa lembut dan lembab.

Pia

Karakteristik mutu hedonik dan tingkat kesukaan produk pia disajikan pada Gambar 12 dan Gambar 13, serta persentase kesukaan pada Gambar 14.

Gambar 12 Diagram karakteristik mutu hedonik pia

Keterangan:

Warna : 1=Amat sangat pucat 9=Amat sangat gelap Aroma : 1=Amat sangat lemah 9=Amat sangat kuat Rasa sukun : 1=Amat sangat lemah 9=Amat sangat kuat Rasa asin : 1= Amat sangat lemah 9=Amat sangat kuat Rasa manis : 1= Amat sangat lemah 9=Amat sangat kuat Tekstur : 1=Amat sangat lunak 9=amat sangat keras

Gambar 13 Diagram tingkat kesukaan pia Keterangan:

Warna : 1=Amat sangat tidak suka 9=Amat sangat suka Aroma : 1=Amat sangat tidak suka 9=Amat sangat suka Rasa : 1=Amat sangat tidak suka 9=Amat sangat suka Tekstur : 1=Amat sangat tidak suka 9=Amat sangat suka

2,50 3,50 4,50 5,50 6,50 Warna Aroma Rasa Sukun Rasa Gurih Rasa Manis Tekstur 50% 60% 70% 80% 4,00 4,50 5,00 5,50 6,00 Warna Aroma Rasa Tekstur 50% 60% 70% 80%

Gambar 14 Diagram persentase kesukaan panelis terhadap pia Warna

Produk pia memiliki nilai rataan mutu warna pada kisaran 4,97-5,67. Angka ini dideskripsikan biasa hingga agak gelap. Hasil uji ragam (Lampiran 5) yang dilakukan menunjukkan bahwa perbedaan jumlah tepung sukun tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap warna produk pia. Hal ini dimungkinkan akibat warna kecoklatan pada pia dapat diatur karena selama pemanggangan pia terus dibolak-balik agar memiliki warna yang seragam.

Rataan nilai kesukaan warna produk pia adalah 5,07-6,34. Nilai tersebut dapat dideskripsikan biasa sampai agak suka. Hasil uji ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan warna produk pia. Persentase kesukaan warna produk tertinggi adalah produk F2 atau mengandung 60% tepung sukun. Produk pia yang paling disukai panelis adalah yang berwarna gelap tidak, pucat juga tidak (biasa). Aroma

Produk pia memiliki nilai rataan mutu aroma pada kisaran 5,15-6,04. Secara deskripsi, angka ini dapat berarti biasa (kuat tidak lemah juga tidak) hingga agak kuat. Hasil uji ragam (Lampiran 5) yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh nyata (p>0,05) antara perlakuan dengan aroma sukun produk pia. Rataan nilai kesukaan aroma produk pia adalah 4,5-5,24. Nilai tersebut dapat dideskripsikan agak tidak suka sampai biasa (suka tidak, tidak suka juga tidak). Hasil uji ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa penambahan tepung sukun tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan aroma pia. Hal ini dikarenakan seluruh produk memiliki aroma sukun yang

63,33 78,33 68,33 73,33 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00

Warna Aroma Rasa Tekstur

dominan. Persentase kesukaan aroma produk tertinggi adalah produk F2 atau mengandung 60% tepung sukun. Produk pia yang paling disukai panelis adalah yang memiliki aroma sukun yang tidak kuat dan tidak lemah (biasa).

Rasa

Rasa produk pia diujikan menjadi 3 karakteristik yang berbeda, yaitu rasa sukun, rasa asin, dan rasa manis. Nilai rataan rasa sukun berada pada kisaran 5,07-5,80. Secara deskriptif, angka ini dapat diartikan biasa (kuat tidak lemah juga tidak) hingga agak kuat. Hasil uji ragam (Lampiran 5) yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh nyata (p>0,05) antara perlakuan dengan rasa sukun produk pia. Rasa gurih memiliki nilai rataan antara 3,07-3,35 atau dideskripsikan agak lemah. Hasil uji ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perbedaan jumlah tepung sukun tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap rasa gurih produk pia. Hal ini dapat disebabkan jumlah garam dan margarin sebagai pembentuk rasa gurih ditambahkan dalam jumlah yang sama.

Rataan mutu pada rasa manis adalah 2,97-3,62 atau diartikan memiliki rasa manis yang sangat lemah hingga agak lemah. Hasil uji ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap rasa manis pada produk pia. Hal ini disebabkan tepung sukun hanya ditambahkan pada kulit pia sehingga tidak terlalu mempengaruhi keseluruhan rasa manis pia.

Rataan nilai kesukaan rasa produk pia adalah 4,96-5,52. Nilai tersebut dapat dideskripsikan agak tidak suka sampai biasa (suka tidak tidak suka juga tidak). Hasil uji ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa penambahan tepung sukun tidak mempengaruhi secara nyata (p>0,05) tingkat kesukaan terhadap rasa produk pia. Persentase kesukaan rasa tertinggi adalah produk F2 atau dengan subtitusi tepung sukun sebesar 60%. Produk pia yang paling disukai adalah yang memiliki rasa sukun biasa, rasa gurih dan manis yang agak lemah. Tekstur

Tekstur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan seseorang terhadap produk pangan. Menurut Riwan (2011), tekstur dan konsistensi bahan akan mempengaruhi cita rasa suatu bahan. Perubahan tekstur dan viskositas bahan dapat mempengaruhi rasa dan bau yang timbul. Parameter tekstur yang digunakan dalam setiap produk dalam penelitian ini adalah keempukan.

Produk pia memiliki nilai rataan mutu tekstur pada kisaran 3,12-4,27. Angka ini dideskripsikan lunak hingga agak lunak. Hasil uji ragam (Lampiran 5)

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata (p<0,05) antara penambahan tepung dengan tekstur produk pia. Hal ini dimungkinkan akibat penambahan tepung sukun berpengaruh terhadap kekerasan produk kering. Sifat tepung sukun yang tidak memiliki gluten menyebabkan tekstur kulit pia kurang kompak dan agak keras (Suprapti 2002). Hal ini sejalan dengan pendapat Sutardi & Suprianto (1996) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa sifat tepung sukun yang berbeda dengan tepung terigu dan dapat mempengaruhi karakteristik mutu olahannya.

Rataan nilai kesukaan tekstur produk pia adalah 4,71-5,38. Nilai tersebut dapat dideskripsikan agak tidak suka hingga biasa. Hasil uji ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa tekstur penambahan tepung sukun tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan tekstur produk pia. Persentase kesukaan tekstur produk tertinggi adalah produk F2 atau mengandung 60% tepung sukun. Produk pia yang paling disukai panelis adalah yang bertekstur agak lunak. Kroket

Karakteristik mutu hedonik dan tingkat kesukaan produk kroket pada Gambar 15 dan Gambar 16, serta persentase kesukaan pada Gambar 17.

Gambar 15 Diagram karakteristik mutu hedonik kroket

Keterangan:

Warna : 1=Amat sangat pucat 9=Amat sangat gelap

Dokumen terkait