• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Koperasi Daya Mitra Primata Lokasi

Lokasi penelitian berada di peternakan Koperasi Daya Mitra Primata yang berada di Desa Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Peternakan ini merupakan unit usaha koperasi pegawai Pusat Studi Satwa Primata LP-IPB yang pada awal berdirinya yaitu pada tahun 2002 masih berlokasi di Jl. Lodaya dan kemudian dipindahkan ke Desa Cikarawang pada tahun 2004. Koperasi Daya Mitra Primata ini masih dalam proses pembentukkan badan hukum yang bergerak dalam usaha peternakan kambing Peranakan Etawah sebagai ternak perah.

Luas areal peternakan ini sekitar 2 ha, yang terdiri atas lahan untuk bangunan kantor dan kandang seluas 1 ha dan sisanya untuk kandang sapi serta kebun rumput. Letak peternakan sekitar 10 km dari kota Bogor ke arah barat. Lokasi peternakan berada pada ketinggian sekitar 145-200 m dpl dengan rerata suhu rata-rata harian sebesar 25° C dengan kelembaban 80%. Jumlah kambing Peranakan Etawah yang terdapat di peternakan ialah 26 ekor induk, 4 ekor dara siap kawin, 4 ekor pejantan, 6 ekor jantan siap kawin, 2 ekor jantan muda, dan 15 ekor cempe.

Manajemen Pemeliharaan

Kambing dipelihara secara semi intensif dengan adanya pengeluaran ternak pada waktu-waktu tertentu. Pemerahan susu dilakukan dua kali sehari yaitu pukul 07.00 WIB dan pukul 15.00 WIB. Susu yang diproduksi didistribusikan pada distributor setiap 20-30 hari dan ada pula yang dijual secara langsung ke konsumen. Pemberian Pakan. Salah satu hal yang penting dalam usaha peternakan ialah mengenai pakan dan pemberiannya. Ternak perah dapat menunjukkan potensi genetiknya sebagai kambing perah secara optimal jika didukung dengan pemberian pakan yang mencukupi kebutuhan nutrisi ternak tersebut. Menurut Ludgate (1989), zat makanan sangat dibutuhkan dan jumlahnya sangat bergantung pada kondisi ternak, misalnya pada ternak muda yang sedang tumbuh dan ternak yang sedang bunting membutuhkan lebih banyak zat makanan.

Pakan yang diberikan pada kambing PE di lokasi penelitian berupa pakan hijauan, bungkil kelapa dan ampas tahu yang diberikan setiap hari. Pakan hijauan rumput diberikan dua kali sehari sesaat setelah pemerahan yaitu pada pukul 08.00 dan 16.00. Anak kambing di lokasi penelitian hanya diberikan rumput lapang kering tanpa tambahan bungkil kelapa dan ampas tahu. Rumput yang biasa diberikan sebagai pakan adalah rumput gajah yang dipotong-potong terlebih dahulu. Rumput yang dipotong pada sore hari akan diberikan untuk pemberian pakan pada pagi hari dan begitu pun sebaliknya. Rumput gajah tersebut diperoleh dari berbagai sumber tergantung pada ketersediaannya. Dedaunan dan rumput lapang juga diberikan bila tersedia. Dedaunan yang diberikan pada ternak kambing berbeda jenisnya setiap hari, misalnya daun nangka, daun gamal, daun lamtoro, daun ubi, dan kulit jagung.

Pemberian rumput untuk setiap ekor kambing masih dilakukan secara perkiraan, melihat kecukupan jumlah rumput dengan ternak yang ada, keefisienan waktu dan tenaga kerja dianggap sebagai alasan untuk hal tersebut. Seharusnya, dalam menentukan jumlah hijauan sebaiknya memperhatikan bobot hidup dan kondisi ternak. Menurut Ludgate (1989) jumlah hijauan yang diberikan pada ternak setiap harinya adalah 10% dari bobot hidup ternak. Pemberian pakan bungkil kelapa untuk ternak dicampur dengan ampas tahu dan mineral dan diberikan satu kali sehari yaitu pada pukul 12.00. Pakan konsentrat selalu habis dikonsumsi oleh ternak, sedangkan pemberian rumput selalu bersisa.

Air minum diberikan satu kali sehari bersamaan dengan pemberian konsentrat dan ampas tahu sebanyak ±5 l ditambah garam secukupnya. Kebutuhan akan air dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, seperti jumlah bahan kering yang dimakan, keadaan pakan, kondisi fisiologi, temperatur air minum, suhu lingkungan, frekuensi minum, genetika ternak (Devendra dan Burns, 1994), tingkat laktasi, kadar air hijauan yang dikonsumsi, aktivitas ternak, serta kadar garam dan mineral dalam konsentrat yang dikonsumsi (Ensminger, 2001).

Kambing dipelihara secara semi intensif dengan adanya pengeluaran ternak pada waktu-waktu tertentu, yakni pada saat pembersihan kandang, memandikan ternak, dan memotong kuku serta bulu ternak. Pemerahan susu dilakukan dua kali sehari yaitu pukul 07.00 dan pukul 15.00. Selama penelitian berlangsung, susu yang diperoleh dari 15 ekor induk laktasi rata-rata ialah 2,85 l per hari dengan

menghiraukan umur dan jumlah laktasi. Susu yang diproduksi didistribusikan pada distributor setiap 30 hari dan ada pula yang dijual secara langsung ke konsumen.

Kandang. Perbedaan luas kandang pada berbagai kategori baik berdasarkan umur atau jenis kelamin tergantung pada manajemen peternak itu sendiri. Luas kandang kambing berbeda sesuai dengan ukuran tubuh, umur, serta kebutuhan kambing. Semakin besar ukuran tubuh dan semakin tua umur serta kepentingan penggunaan kandang baik untuk perkawinan atau kelahiran maka semakin luas ukuran kandang yang dibutuhkan per ekornya. Kandang yang digunakan di lokasi penelitian berupa kandang panggung yang terbuat dari campuran bambu dan kayu, beratap asbes. Bentuk kandang sudah memenuhi syarat yang dianjurkan Devendra dan Burns (1994), yaitu kandang berbentuk panggung. Lantai di bawah kandang di lokasi penelitian terbuat dari semen yang dibuat miring yang bertujuan untuk mempermudah dalam manajemen pemeliharaan terutama dalam membersihkan kandang dan mengumpulkan kotoran (Gambar 1).

Gambar 1. Kandang Panggung Kambing Perah di Koperasi Daya Mitra Primata

Pada peternakan terdapat tiga bangunan kandang yang terdiri atas 16 ruang kandang pada tiap-tiap bangunan. Semua ruangan kandang kambing berukuran 1,75 m2. Kambing betina dewasa kering, bunting, dan laktasi ditempatkan pada tiap kandang sebanyak dua ekor, sedangkan kambing jantan ditempatkan secara individu, dan anak kambing ditempatkan sebanyak tiga sampai empat ekor per kandang. Pada Tabel 2 disajikan luas kandang untuk betina bunting, betina dewasa, kambing muda, anak kambing dan kambing pejantan.

Tabel 2. Luas Kandang Kambing di Koperasi Daya Mitra Primata (DMP) dan Pada Beberapa Hasil Penelitian Lain

Luasan Kandang Sumber Betina bunting Betina dewasa Kambing muda Pejantan Anak kambing --- (m2 per ekor) --- Koperasi DMP 0,87 0,87 0,87 1,75 0,87 Devendra dan Mc Leroy (1982) 1,90 1,50 - 2,80 0,30 Atabany (2001) - - 0,35 1,50 0,25 Rosita (2003) - - 2,76 4,00 -

Berdasarkan Tabel 2, luas kandang untuk betina bunting, dewasa, dan pejantan masih lebih sempit daripada anjuran Devendra dan Mc Leroy (1982). Dibandingkan dengan laporan Atabany (2001) luas kandang kambing muda di koperasi masih lebih luas dan jika dibandingkan dengan laporan Rosita (2003) masih terlalu sempit. Luas kandang anak terhitung lebih luas dibandingkan laporan Devendra dan Mc Leroy (1982) dan Atabany (2001). Perhitungan luas kandang perlu diperhatikan karena menurut Ensminger (2001) kandang yang terlalu sempit dapat menurunkan tingkat kesehatan sedangkan kandang yang terlalu luas dapat menyebabkan pembengkakkan biaya pembangunan. Tomaszewska et al. (1993) melaporkan bahwa kandang jantan yang dibangun dengan ukuran yang terlalu sempit dapat menurunkan libido ternak.

Pengendalian Penyakit. Kesehatan ternak selalu dijaga dengan menjaga kebersihan kandang, ternak, dan lingkungan. Pembersihan lingkungan dilakukan setiap pagi pada pukul 07.00, pembersihan kandang selalu dilakukan sesaat sebelum pemerahan yaitu pada pukul 07.00 dan 15.00. Perawatan kesehatan kambing ialah dengan melakukan pemandian dua minggu sekali. Aktivitas pemotongan kuku dan pencukuran bulu dilakukan sesuai dengan keadaan ternak. Jika terdapat ternak yang sakit maka peternak akan mendatangkan dokter hewan untuk mengobati, dan terkadang melakukan pengobatan sendiri berdasarkan anjuran dari dokter hewan saat terjadi kelahiran atau saat dokter berhalangan tiba. Obat-obatan yang digunakan terdiri atas obat cacing, obat kembung, obat mastitis, antibiotik, antimikroba, antiparasit, penguat otot dan daya tahan tubuh, pemacu pertumbuhan serta multivitamin. Obat-obatan tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhan ternak dan

digunakan berdasarkan petunjuk dokter hewan. Analisis penyakit untuk semua ternak dilakukan dengan mengirim sampel feses ke Rumah Sakit Hewan IPB Bogor setiap ada kejadian penyakit yang banyak terjadi pada ternak.

Dinamika populasi Populasi Ternak

Populasi kambing dipengaruhi oleh angka kelahiran, angka kematian, sistem reproduksi, struktur umur dan sebaran ternak (Sukendar et al., 2005). Populasi kambing PE yang dipelihara terus berkembang selama tahun 2002-2006 karena adanya pemasukan berupa kelahiran dan pembelian serta adanya pengeluaran berupa kematian dan penjualan.

Pada Tabel 3 disajikan rerata jumlah kambing berdasarkan laporan akhir tahun di koperasi DMP. Jumlah induk, dara dan anak betina membentuk segitiga terbalik, hal ini baik untuk usaha ternak perah mengingat bahwa kambing indukanlah yang memberikan pendapatan peternakan secara langsung, yakni produksi susu.

Tabel 3. Populasi Kambing Perah PE di Koperasi Daya Mitra Primata Jumlah kambing pada tahun

Kategori kambing 2002 2003 2004 2005 2006 Rerata jumlah kambing ---(ekor) --- Induk

Dara siap kawin Dara Anak betina Pejantan Jantan dewasa Jantan muda Anak jantan 34 1 6 - 4 2 4 4 33 3 5 - 4 4 5 7 - - 13 4 2 - 9 24 4 - - 4 10 7 - 26 4 - 8 4 6 2 7 29,25 3,00 5,50 4,20 4,00 4,80 3,60 5,40 Jumlah 55 61 28 49 57 59,75

Berdasarkan Tabel 3 tidak terdapat induk dan dara pada tahun 2004. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya data pencatatan pada tahun tersebut. Jumlah populasi terbanyak ialah pada induk. Jumlah induk yang terus menurun disebabkan oleh kematian ternak induk yang tidak segera digantikan dengan dara pengganti induk, sebab rerata umur kawin pertama pada dara pengganti terbilang cukup lama yakni 21 bulan dan sering terjadi berahi tenang. Jumlah induk yang menurun sebenarnya masih dapat ditambah dengan menggantikan induk dengan dara siap kawin yang

tersedia, meningkatkan daya hidup anak dan melakukan pembelian betina pengganti induk. Rerata jumlah dara siap kawin yang tersedia per tahunnya adalah 3 ekor atau 10,25% dari jumlah induk (Tabel 3).

Perkembangan populasi akhir pada tahun 2006 tidak terlalu besar dibandingkan dengan pada awal populasi pada tahun 2002. Rerata komposisi ternak betina dan jantan di Koperasi Daya Mitra Primata selama periode 2002-2006 disajikan pada Gambar 2.

0 5 10 15 20 25 30 Ju m la h ( eko r)

Induk Dara siap kaw in Dara Anak betina Pejantan Jantan dew asa Jantan m uda Anak jantan Kategori Um ur

Gambar 2. Rerata Jumlah Ternak Kambing di Koperasi Daya Mitra Primata Berdasarkan Gambar 2, rerata jumlah induk jauh lebih banyak dari jumlah dara pengganti induk. Jumlah replacement stock induk masih kurang mencukupi, meski pun tidak dilakukan pengafkiran ternak secara kontinyu. Menurut Sudono (1999) jumlah betina pengganti ialah sebanyak betina yang diafkir.

Jumlah pejantan, jantan dewasa, jantan muda dan anak jantan berdasarkan Gambar 3 tidak terpaut jauh. Jumlah pengganti jantan yang berasal dari jantan dewasa, muda, dan anak melebihi jumlah pejantan. Jumlah pengganti jantan masih terlalu banyak meskipun jantan muda dan anak jantan tidak akan terus dipelihara, karena sebagian akan dijual bagi yang membutuhkan. Hal ini akan mengakibatkan rendahnya efisiensi biaya perusahaan dalam pemeliharaan karena menurut Wiener (1994), jumlah pejantan yang dibutuhkan dalam suatu usaha peternakan hanya sedikit sehingga usaha peternakan dapat lebih efisien.

Produktivitas kelompok kambing dapat digambarkan dari rata-rata produksi keturunan atau jumlah yang dilahirkan per betina per tahun (Ost et al., 1980). Pada Tabel 4 disajikan persentase kelahiran anak kambing PE yang terjadi berbanding dengan jumlah betina dewasa dan induk di Koperasi Daya Mitra Primata pada tahun 2002-2006.

Tabel 4. Nisbah Anak Kambing PE berbanding betina Dewasa dan Induk di Koperasi Daya Mitra Primata pada Tahun 2002-2006

Kelahiran Nisbah

2002 2003 2004 2005 2006 Rerata ---(%)--- Anak betina : betina dewasa

Anak betina : induk laktasi Anak jantan : betina dewasa Anak jantan : induk laktasi Anak : induk

Anak : betina dewasa

29,4 28,5 38,2 37,1 67,6 65,7 55,8 54,2 52,9 51,4 108,8 105,7 - - - - - - 20,5 20,0 52,9 51,4 73,5 71,4 29,4 28,5 26,4 25,7 55,9 54,3 33,8 32,8 42,6 41,3 76,5 74,3

Berdasarkan Tabel 4, rerata komposisi kelahiran dengan persentase tertinggi ialah pada komposisi anak jantan per betina dewasa. Hal ini baik untuk penyediaan ternak komersial untuk penambahan pendapatan peternakan namun kurang baik dari segi efisiensi biaya pemeliharaan pada usaha kambing perah. Komposisi terendah ialah pada komposisi anak betina per induk laktasi. Hal ini kurang baik karena penyediaan betina pengganti induk masih belum dapat terpenuhi.

Mempertahankan jumlah anak betina dari lahir hingga dewasa dapat menjadi sokongan sebagai ternak pengganti dan mengurangi jumlah pembelian. Rerata jumlah anak berbanding induk tidak mencapai 100%. Hal ini dapat disebabkan oleh pencatatan yang hilang serta interval beranak yang lama. Berdasarkan hasil penelitian Ost et al. (1980) kambing Etawah dari Tegal dan kambing Bogor yang dipelihara secara intensif di Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak memiliki rata-rata produksi keturunan sebanyak 30,9% pada kambing etawah di Tegal dan 36,8% pada kambing Etawah di Bogor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di Koperasi Daya Mitra Primata bahwa jumlah kelahiran anak berbanding induk tidak mencapai 100%.

Pada Tabel 5 disajikan data penjualan, pembelian dan kematian kambing PE berdasar berbagai kelompok umur dan jenis kelamin.

Tabel 5. Jumlah Penjualan, Pembelian dan Mortalitas Kambing PE Berdasarkan Struktur Umur dan Jenis Kelamin Selama Periode 2002-2006

Penjualan Pembelian Mortalitas Kelompok

Jantan Betina Jumlah Jantan Betina Jumlah Jantan Betina Jumlah

---(ekor)--- Anak 3 2 5 - - - 16 12 28 Muda - - - - 2 2 1 4 5 Dewasa 15 1 16 6 35 41 - 8 8 Total 18 3 21 6 37 43 17 24 41

Tingkat penjualan terbesar terjadi pada ternak jantan, dengan jantan dewasa menempati penjualan terbanyak. Daya jual kambing dewasa yang tinggi terkait dengan hari raya kurban. Sedikitnya jumlah betina yang dijual karena mahalnya harga kambing betina yang merupakan tipe perah. Betina yang dijual terutama sebagai bibit kambing perah. Pembelian ternak kambing terbesar adalah pada betina dewasa diikuti oleh pembelian ternak betina muda. Tingginya pembelian betina dewasa bertujuan untuk memperoleh induk laktasi sesegera mungkin sehingga penerimaan utama berupa produksi susu dapat segera diperoleh dan agar cepat mendapatkan keturunan, sedangkan pembelian betina muda atau dara dimaksudkan sebagai induk pengganti. Pembelian jantan dewasa bertujuan untuk digunakan sebagai pejantan. Pembelian ternak jantan hanya enam ekor sepanjang tahun 2002- 2006, karena peternak mengupayakan pemanfaatan pejantan seefisien mungkin.

Kambing PE di Peternakan biasanya menjual ternak kambingnya jika ada yang membutuhkan, biasanya dengan tujuan untuk Hari Raya Idul Adha atau ada pula yang bertujuan untuk mengembangkan usaha peternakan kambing perah. Kambing jantan yang dijual biasanya dijual pada umur satu tahun dan dijual sebagai kambing potong, sedangkan pada kambing betina biasanya siap kawin dan dijual sebagai bibit. Berdasarkan Tabel 5 jumlah penjualan ternak terbanyak adalah pada ternak jantan, lebih tinggi daripada ternak betina. Hal ini dikarenakan karena

penjualan dilakukan untuk memenuhi permintaan akan daging kambing jantan untuk Hari Raya Idul Adha sedangkan permintaan akan kambing untuk bibit masih jarang terjadi. Jumlah ternak betina yang mengalami kematian secara keseluruhan lebih tinggi dari jantan. Menurut Abdulgani (1981) tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap kematian ternak.

Produktivitas Produksi Susu

Pemerahan di lokasi peternakan dilakukan dua kali dalam sehari dengan selang delapan jam dari setiap waktu perah yang dilakukan, yaitu pukul 07.00 dan 15.00. Jumlah frekuensi pemerahan dilakukan karena hasil susu harian yang tidak terlalu banyak. Produksi susu yang dicatat selama dua bulan masa penelitian pada 15 ekor kambing laktasi, dengan menghiraukan umur, tahapan dan hari laktasi adalah 0,2±0,1 l per ekor per hari dengan rerata produksi susu tertinggi sebanyak 0,46 l dan terendah sebanyak 0,07 l. Pada Tabel 6 disajikan rerata produksi susu kambing per ekor per hari selama dua bulan masa penelitian berdasarkan umur dan bobot badan.

Tabel 6. Produksi Susu Berdasarkan Umur dan Bobot Badan Induk di Koperasi Daya Mitra Primata

Umur Bobot

Badan Produksi susu

Simpangan

baku Jumlah ternak

(tahun) (kg) ---(l/ekor/hari)--- (ekor)

2-3 28,00 0,09 0,01 2

3-4 35,12 0,30 0,12 4

4-5 38,31 0,20 0,10 9

Berdasarkan Tabel 6. Rerata susu yang dihasilkan tiap harinya pada induk berumur dua tahun jauh lebih rendah dari induk laktasi berumur lebih dari tiga tahun. Produksi susu yang lebih rendah pada ternak kambing umur dua hingga tiga tahun dibandingkan umur yang lebih tua dapat disebabkan ternak muda masih mengalami pertumbuhan. Pendistribusian zat makanan pada ternak muda tersebut sebagian masih digunakan untuk pertumbuhan dan sebagian lagi untuk memproduksi susu. Produksi susu terbanyak ialah pada induk laktasi berumur 3-4 tahun dengan rerata bobot badan 35,12 kg. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Devendra dan Burns (1994), bahwa hasil susu maksimum tercapai pada umur empat atau lima tahun, dan tidak menurun secara drastis paling tidak untuk selama tiga tahun berikutnya.

Menurut Gall (1981) induk dengan bobot badan yang lebih tinggi akan memproduksi susu lebih banyak daripada induk dengan bobot badan yang lebih kecil. Ditambahkan olehnya bahwa hal ini dapat pula dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti jumlah laktasi, jumlah anak perkelahiran, nutrisi, laju pertumbuhan, dan suhu.

Menurut Sutama et al. (1995), produksi susu bergantung pada jumlah atau tahapan laktasi. Berdasar urutan laktasi, produksi susu pada kambing bervariasi. Produksi susu berdasarkan jumlah laktasi disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Produksi Susu Berdasarkan Urutan Laktasi Laktasi di Koperasi Daya Mitra Primata

Laktasi ke- Produksi susu Simpangan baku Jumlah ternak

---(l/ekor/hari)--- (ekor) 1 0,09 0,01 2 2 - - - 3 0,26 0,10 8 4 0,19 0,15 4 5 0,13 0,00 1

Produksi susu tertinggi terjadi pada laktasi ketiga dan produksi terendah ialah pada laktasi pertama. Hal ini tidak sesuai dengan laporan Devendra dan Burns (1994) bahwa produksi laktasi tertinggi ialah pada tiga masa laktasi pertama, dan selanjutnya turun secara bertahap sampai laktasi ketujuh. Rendahnya produksi susu pada laktasi pertama disebabkan karena pada lokasi penelitian, ternak dengan laktasi pertama bobotnya rendah namun diberikan pakan dalam jumlah yang sama dengan kondisi fisiologis yang berbeda. Hal ini menyebabkan ternak dengan laktasi pertama mengalami kelebihan bobot badan sehingga dapat menurunkan produksi susu.

Tabel 8. Produksi Susu Berdasarkan Tahapan Laktasi di Koperasi Daya Mitra Primata

Tahapan laktasi Produksi susu Simpangan baku Jumlah ternak

(bulan) ---(l/ekor/hari)--- (ekor)

1-4 0,28 0,14 6

4-8 0,20 0,08 3

8-12 0,11 0,01 3

Berdasarkan Tabel 8, produksi susu tertinggi tercapai pada tahapan laktasi bulan pertama hingga keempat. Hal ini didukung oleh laporan Devendra dan Burns (1994), bahwa hasil susu harian tertinggi baru tercapai antara bulan kedua dan ketiga setelah melahirkan anak dan akan menurun secara bertahap hingga dikeringkan.

Karakteristik Reproduksi

Selang Beranak. Selang beranak ialah periode antara dua beranak yang berurutan dan terdiri atas periode perkawinan dan periode bunting (Devendra dan Burns, 1994). Selang beranak di lokasi penelitian adalah 428,39±225,69 hari (14,27±7,52 bulan), lebih lama daripada yang dilaporkan oleh Atabany (2001) di Peternakan Barokah yaitu 356 hari (11,87 bulan). Selang beranak yang lama disebabkan peternakan Koperasi Daya Mitra Primata bertujuan untuk memperpanjang masa laktasi, sehingga menunda perkawinan. Selang beranak di lokasi peternakan masih terlalu lama mengingat bahwa kambing secara normal dapat beranak tiga kali dalam dua tahun. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa beranak sekali setahun merupakan keharusan bagi kambing yang mengkhususkan untuk produksi susu.

Jumlah Anak Perkelahiran. Pada Tabel 9 disajikan jumlah kelahiran anak kambing yang terjadi di lokasi penelitian dari tahun 2002 hingga 2006.

Tabel 9. Kejadian Kelahiran Anak Kambing di Koperasi Daya Mitra Primata Tahun 2002-2006

Jumlah kelahiran pada tahun: Jenis

kelamin 2002 2003 2004 2005 2006 Jumlah Persentase

--- (ekor) --- (%) Jantan 13 18 13 18 9 71 53,38

Betina 10 19 16 7 10 62 46,62

Jumlah 26 37 29 25 19 133 100,00

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa jumlah kelahiran anak per ekor betina dari tahun 2002 terus meningkat dan kemudian menurun setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh sering terjadinya berahi tenang pada induk sehingga perkawinan sering terlewatkan.

Selama periode tahun 2002 hingga 2006 lebih banyak anak jantan dilahirkan daripada betina dengan nisbah kelamin 53,38: 46,62 %. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Rosita (2003) dan Phalepi (2004) bahwa anak kambing jantan lebih banyak dari anak kambing betina yaitu 63,16:36,84 % dan 56,52:43,47% secara berurutan. Menurut Abdulgani (1981) persentase anak jantan yang dilahirkan adalah lebih rendah dari betina.

Nilai uji x2 yang diperoleh sebesar 0,46, lebih kecil dari nilai x2 tabel 3,84 pada selang kepercayaan 5%. Nisbah kelamin pada anak kambing yang dilahirkan di Koperasi Daya Mitra Primata tidak menyimpang dari perbandingan genetik yang diharapkan yaitu 50:50%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Abdulgani (1981) bahwa nisbah kelamin anak kambing yang dilahirkan di desa Ciburuy dan Cigombong tidak berbeda nyata dari perbandingan genetik yang diharapkan berdasarkan uji x2 yang telah dilakukan. Beliau menyimpulkan bahwa tidak ada faktor genetik yang penting yang mengganggu keseimbangan nisbah kelamin anak yang dilahirkan.

Jumlah anak perkelahiran dinyatakan sebagai jumlah anak yang lahir per kelahiran per ekor betina (Sodiq dan Sumaryadi, 2002). Terdapat variasi jumlah anak per kelahiran pada beberapa lokasi peternakan. Pada Tabel 10 disajikan jumlah anak yang lahir per kelahiran pada beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor.

Tabel 10. Jumlah Anak per Kelahiran pada Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor

Peternakan Lokasi Jumlah anak sekelahiran

(ekor)

Koperasi Daya Mira Primata Kecamatan Dramaga 1,46

Peternakan P4S (Phalepi, 2004) Kecamatan Ciherang 1,48

Desa Tenjo (Rosita, 2003) Kecamatan Tenjo 1,54

Peternakan Barokah (Atabany, 2001)

Kecamatan Caringin 1,77

Rerata 1,56

Dapat dilihat pada Tabel 10 bahwa pada lokasi penelitian, didapatkan rerata anak sekelahiran dari 91 kejadian kelahiran ialah 1,46±0,62 ekor, jumlah ini merupakan yang terendah diantara tiga peternakan lainnya di Kabupaten Bogor. Rerata jumlah anak perkelahiran yang rendah di lokasi penelitian dapat disebabkan oleh lingkungan (musim dan faktor makanan), umur induk dan proporsi genotip dari tetuanya. Rendahnya jumlah anak sekelahiran di lokasi penelitian dapat disebabkan karena tidak sesuainya pemberian pakan berdasar kondisi fisiologis ternak, dan sebagai kambing perah, kambing PE di lokasi penelitian cenderung memiliki proporsi darah yang lebih banyak pada kambing Etawah. Menurut DITJENNAK (1981) kambing Etawah cenderung menghasilkan anak tunggal, jarang kembar.

Tipe Kelahiran. Kelahiran yang terjadi di lokasi penelitian dari tahun 2002 hingga 2006 terdiri atas tipe kelahiran tunggal, kembar dua, kembar tiga, dan kembar empat.Pada Tabel 11 disajikan tipe kelahiran serta jumlah anak yang bertahan hidup berdasarkan tipe kelahirannya dari tahun 2002 hingga 2006.

Tabel 11. Tipe Kelahiran Anak Kambing di Koperasi Daya Mitra Primata

Dokumen terkait