• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Pembibitan Kambing Peranakan Etawah di Koperasi Daya Mitra Primata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Pembibitan Kambing Peranakan Etawah di Koperasi Daya Mitra Primata"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PEMBIBITAN KAMBING PERANAKAN ETAWAH

DI KOPERASI DAYA MITRA PRIMATA

SKRIPSI TIYAN YUSINTANI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

TIYAN YUSINTANI. D14102062. 2007. Pola Pembibitan Kambing Peranakan Etawah di Koperasi Daya Mitra Primata. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Pembimbing Anggota : Ir. Dwi Joko Setyono M,Si.

Sebagai ternak perah, kambing Peranakan Etawah (PE) memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan karena sifatnya yang efisien dalam memproduksi susu. Hal ini harus didukung oleh pola pembibitan serta manajemen yang baik dari peternak sehingga dapat mempertahankan poternsi genetik ternak serta produktivitasnya.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi cara pemilihan bibit dan teknik pengelolaan kambing PE serta keuntungan ekonomi usaha melalui pengamatan beberapa sifat produksi dan reproduksi serta biaya produksi maupun penerimaan yang diperoleh koperasi.

Penelitian ini dilaksanakan di Koperasi Daya Mitra Primata, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada awal bulan April 2006 sampai awal Juni 2006. Materi yang digunakan adalah Unit Usaha Koperasi Kambing Perah Daya Mitra Primata, 15 ekor induk laktasi, 15 ekor betina dewasa, empat ekor pejantan, enam ekor jantan dewasa, dua ekor jantan muda, delapan ekor anak betina, dan tujuh ekor anak jantan.

Pengumpulan data sekunder meliputi populasi ternak, selang beranak, jumlah anak per kelahiran, tipe kelahiran, tingkat kematian prasapih, bobot lahir, umur kawin pertama, jumlah kawin per kebuntingan, umur kambing, dan manajemen pemeliharaan. Produksi susu, biaya produksi dan penerimaan diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan langsung. Data dianalisis secara deskriptif, uji x2, perhitungan keuntungan, dan imbangan penerimaan dan biaya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kambing yang tebanyak dari seluruh populasi adalah ternak induk laktasi. Jumlah dara pengganti tidak mencukupi sedangkan jumlah jantan pengganti melebihi kebutuhan. Komposisi kelahiran anak berbanding induk adalah 76,5%. Penjualan terbesar terjadi pada ternak jantan. Produksi susu selama penelitian ialah 0,2±0,1 l per ekor per hari dengan keadaan ternak yang bervariasi dari segi umur, berat badan, jumlah laktasi, dan tahapan laktasi. Selang beranak di lokasi penelitian cukup lama yaitu 14,27±7,52 bulan. Nisbah kelamin anak yang dilahirkan tidak menyimpang dari perbandingan genetik yang diharapkan yaitu 50:50% (uji x2). Jumlah anak perkelahiran 1,46 ekor dengan kecenderungan kelahiran tunggal. Tingkat kematian pra sapih cukup tinggi yaitu 21,05%. Bobot lahir rata-rata di lokasi penelitian adalah 2,48 kg.

(3)

dikeluarkan. Ternak bibit merupakan modal awal terbesar yaitu sebesar Rp 66.500.000,00. Biaya terbesar ialah pada tenaga kerja dan pebnerimaan terbesar ialah dari penjualan susu kambing. Koperasi mengalami kerugian sebesar Rp 12.630.252,00. Imbangan penerimaan total dengan biaya total (R/C Ratio) adalah 0,14.

(4)

ABSTRACT

Breeding Scheme of Etawah Crossbred Goats at Daya Mitra Primata Cooperation

Yusintani, T., S.S. Manjoer, and D.J. Setyono

Etawah Crossbred Goats are very potential to be developed as dairy goats because of it’s efficiency on producing milk. Due to the developement, good breeding scheme and orginized management are need to be applied by farmers to obtain the animal’s genetic potency and to improve it’s productivity.

The objective of this research was to gather the information of breed selection and management and the economical traits within the cooperation. The research was conducted on April untill June 2006 in Daya Mitra Primata Cooperation, Cikarawang, Dramaga, Bogor, West Java.

The animal observed in this research were Etawah Crossbred Goats owned by Daya Mitra Primata Cooperation with the total numbers of 61 heads, consisted of 15 does, 15 adult females, four bucks, two young males, eight female kids, and seven male kids. Collected data were primary and secondary. Anylisis used were descriptive analysis, x2 test, profit value, and R/C ratio.

The result indicated that lactating does dominate the population numbers. Does replacement stock cannot fulfill the needs while number of bucks replacement stock were excessive. Kids birth per doe percentage was 76,5%. Highest sellings were on male goats. During the research, does produced 0,2±0,1 l per doe per day varied in age, weight, number of lactation and days of lactation. Calving interval at the cooperation was 14,27±7,52 months. Sex ratio on kids laboured, genetically suited with prediction (x2 test). Number of kids per birth was 1,46 heads and tended to have single birth. Pre weaning mortality was 21,05%. Average birth weight showed the number of 2,48 kgs.

Age at first breeding on males was 10,5±4,5 months and on females 21,60±8,12 months. Bucks and adult females ratio was 1:7,5. Service per conception on the farm was 1,32. Selection was done by observing individual qualitative performance and health records. There were no difference on rearing breeds and culled animals. Breed animals cost were the highest among other investments. Highest production cost was on labors and highest revenue was obtained from milk selling. The cooperation have lost Rp 12.630.252,00 during two months of research. R/C Ratio on the cooperation was 0,14.

(5)

POLA PEMBIBITAN KAMBING PERANAKAN ETAWAH

DI KOPERASI DAYA MITRA PRIMATA

TIYAN YUSINTANI D14102062

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

POLA PEMBIBITAN KAMBING PERANAKAN ETAWAH

DI KOPERASI DAYA MITRA PRIMATA

TIYAN YUSINTANI D14102062

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi ujian lisan pada tanggal 29 Desember 2006

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ir. Dwi Joko Setyono M, Si. NIP. 130 354 159 NIP. 131 849 391

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 9 April 1984 di Bogor. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Yusuf Ismail dan Alm. Ibu Neni Sukraeni.

Pendidikan dasar penulis diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Polisi IV Bogor. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SMPN 1 Bogor pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMUN 1 Bogor.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas semua limpahan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pola Pembibitan Kambing Peranakan Etawah di Koperasi Daya Mitra Primata. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Kambing Peranakan Etawah merupakan ternak yang sangat potensial untuk dikembangkan baik untuk produksi daging maupun susunya. Sebagai ternak perah, ternak ini sangat efisien dalam pemeliharaannya, sehingga sangat baik jika potensi genetiknya terus ditingkatkan untuk hasil yang lebih baik. Potensi genetik yang ditingkatkan dapat meningkatkan produktivitas ternak sehingga keuntungan usaha pun dapat diperoleh.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian mengenai pola pembibitan di koperasi Daya Mitra Primata yang terletak di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pada kesempatan ini penulis mendapatkan banyak sekali masukan, arahan, dan bimbingan yang tiada hentinya dari Ibu Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer selaku pembimbing utama dan Ir. Dwi Joko Setyono M, Si. selaku pembimbing anggota.

Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil yang didapat pada penelitian ini dapat membantu usaha teknik pembibitan ternak kambing perah dan peningkatan produktivitasnya, agar potensi genetiknya dapat dipertahankan untuk perkembangan selanjutnya.

Bogor, Januari 2007

(9)

DAFTAR ISI

Peranan dan Potensi Ternak Kambing Sebagai Penghasil Susu.. 3

Kambing Peranakan Etawah ... 3

Manajemen Pemeliharaan ... 4

Pakan... . 4

Kandang ... 5

Populasi ternak... 6

Pembibitan ... 6

Pemeliharaan Ternak Bibit ... 7

(10)

MATERI DAN METODE... 16

Lokasi dan Waktu ... 16

Materi dan Alat ... 16

Metode ... 16

Analisis Data... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Keadaan Umum Koperasi Daya Mitra Primata ... 20

Lokasi... 20

Manajemen Pemeliharaan... 20

Pemberian Pakan... 20

Kandang ... 22

Pengendalian Penyakit ... 23

Dinamika Populasi... 24

Populasi Ternak ... 24

Produktivitas ... 28

Produksi Susu ... 28

Karakteristik Reproduksi ... 30

Selang Beranak ... 30

Jumlah Anak per Kelahiran ... 30

Tipe Kelahiran ... 32

Tingkat Kematian Pra Sapih ... 32

Bobot Lahir ... 33

Pembibitan ... 33

Pemeliharaan Ternak Bibit ... 33

Sistem Perkawinan... 34

Sistem Pembibitan ... 35

Seleksi dan Culling... 35

Pencatatan ... 36

Usaha Peternakan Kambing Perah... 37

Biaya Produksi Peternakan Kambing Perah ... 37

Penerimaan Usaha Peternakan Kambing Perah... 39

Keuntungan dan Imbangan Penerimaan dan Biaya ... 40

Indikator Ekonomis... 40

KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

UCAPAN TERIMAKASIH ... 44

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Rerata konsumsi Pakan Kambing PE pada Masing-Masing

Kelompok Ternak di Peternakan Barokah per Hari ... 5 2. Luas kandang kambing di Koperasi Daya Mitra Primata ... 23 3. Populasi Kambing Perah di Koperasi Daya Mitra Primata ... 24 4. Nisbah Anak Kambing PE berbanding Betina Dewasa dan Induk

di Koperasi Daya Mitra Primata pada Tahun 2002-2006... 26 5. Jumlah Penjualan, Pembelian dan Mortalitas Kambing PE

Berdasarkan Struktur Umur dan Jenis Kelamin Selama Periode 2002-2006... 27 6. Produksi Susu Berdasarkan Umur dan Bobot Badan induk di

Koperasi Daya Mitra Primata ... 28 7. Produksi Susu Berdasarkan Jumlah Laktasi di Koperasi Daya

Mitra Primata... 29 8. Produksi Susu Berdasarkan Tahapan Laktasi di Koperasi Daya

Mitra Primata... 29 9. Kejadian Kelahiran Anak Kambing di Koperasi Daya Mitra

Primata Tahun 2002-2006 ... 30 10.Jumlah Anak per Kelahiran pada Beberapa Kecamatan di

Kabupaten Bogor... 31 11.Tipe Kelahiran Anak Kambing di Koperasi Daya Mitra Primata

Tahun 2002-2006... 32 12.Biaya Pembelian Bibit Koperasi Daya Mitra Primata Tahun

2002 ... 37 13.Struktur Biaya Produksi Peternakan kambing PE di Koperasi

Daya Mitra Primata Bulan April-Juni 2006 ... 38 14.Penerimaan Usaha Ternak Kambing PE di Koperasi Daya Mitra

Primata Bulan April-Juni 2006... 40 15.Keuntungan Usaha di Koperasi Daya Mitra Primata Bulan

April-Juni 2006... 40 16.Jumlah Ternak Dewasa, Laktasi dan Anak di Koperasi Daya

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kandang Panggung Kambing Perah di Koperasi Daya Mitra

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sebagai penghasil susu, kambing perah merupakan ternak yang lebih efisien dibandingkan dengan sapi serta mempunyai karakteristik yang istimewa diantaranya ialah mampu beradaptasi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, mudah dipelihara, cepat berkembang biak dengan daya reproduksi tinggi dan efisien dalam mengubah pakan menjadi susu. Ternak kambing perah yang umum dipelihara di Indonesia ialah kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang asli Indonesia dengan kambing Etawah (Jamnapari) asli India, sehingga kambing PE memiliki sifat diantara keduanya yakni mudah pemeliharaannya dan berproduksi susu.

Potensi kambing sebagai penghasil susu perlu didukung dengan pengelolaan bibit yang tepat. Bibit ternak merupakan modal dasar untuk meningkatkan produksi dan kualitas ternak. Perolehan bibit kambing perah yang baik berasal dari keturunan yang baik pula yaitu dengan melakukan seleksi. Rendahnya produktivitas kambing perah di Indonesia dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan peternak dalam pemilihan dan pengelolaan bibit. Umumnya di lapangan, peternak cenderung mendahulukan ternak unggul untuk dijual, karena lebih mudah terjual dan harganya tinggi. Akibatnya ternak yang tertinggal untuk dikembangkan menjadi bibit di masa depan, mutu genetiknya lebih rendah.

Usaha peternakan kambing perah di Indonesia belum begitu diminati, karena terdapat berbagai hal yang mempengaruhinya diantaranya ialah susu kambing belum banyak dimanfaatkan sebagai minuman sumber protein, karena belum disosialisasikan secara luas pada masyarakat, susu kambing memiliki aroma spesifik

prengus yang kurang disukai oleh konsumen yang belum terbiasa, serta masih sulitnya memperoleh bibit kambing perah yang unggul. Kesuksesan suatu peternakan sangat dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan bibit, produktivitas ternak dan

(14)

perah yang belum memperhatikan secara mendetil faktor-faktor sumber daya yang dapat mempengaruhi perolehan keuntungan usahanya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi cara pemilihan bibit dan teknik pengelolaannya, serta efisiensi usaha kambing perah di Koperasi Daya Mitra Primata Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Peranan dan Potensi Ternak Kambing Sebagai Penghasil Susu

Menurut Devendra (2001) meningkatkan kontribusi pangan yang berasal dari ternak merupakan kebutuhan penting di seluruh dunia di masa depan. Djajanegara et al. (1993) menyebutkan, karena tingginya kegiatan pengimporan susu dan masih rendahnya produksi susu sapi dalam negeri, serta rendahnya toleransi saluran pencernaan sebagian masyarakat terhadap susu sapi, maka potensi kambing perah sebagai penghasil susu harus ditingkatkan.

Menurut Ensminger (2001), kambing perah yang baik dapat menghasilkan susu hingga 2 l susu per harinya. Di Amerika Serikat, kambing perah merupakan penghasil susu yang kedua setelah sapi untuk konsumsi manusia karena sifatnya yang sangat efisien dalam memproduksi susu (Blakely dan Bade, 1991). Didukung oleh Devendra dan Burns (1994), kambing sangat penting sebagai sumber susu bagi para petani kecil karena kambing dapat bertahan hidup walau dipelihara dalam kisaran ekstrem yang lebar dan tingkat peternakan yang rendah.

Kambing Peranakan Etawah

Menurut Sodiq dan Abidin (2002), perkawinan kambing Etawah asal India dan kambing lokal secara tidak terkontrol menyebabkan munculnya kambing jenis baru yang dikenal sebagai kambing PE atau Peranakan Etawah. Didukung oleh Heryadi (2004) kambing PE merupakan hasil persilangan yang tidak terarah dan kurang terpola antara Kambing Ettawa asal India dengan kambing lokal yaitu kambing Kacang dengan karakteristik yang lebih mendekati ke arah performa kambing Etawah. Menurut Davendra dan Burns (1994) persilangan kambing PE telah dilakukan sejak kurang dari 80 tahun lalu dengan tujuan untuk memperbaiki mutu kambing lokal dan sekarang keturunannya sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan Indonesia.

(16)

dengan bobot badan kambing jantan mencapai 90 kg dan betina 60 kg, bentuk hidung benguk, kuping, kaki dan bulu yang panjang, serta ambing besar dan produksi susu tinggi (Heryadi, 2004). Kambing PE dikenal sebagai penghasil susu yang cukup potensial dengan produksi sebanyak 0,45-2,2 l per hari dengan panjang laktasi 92-256 hari (Sodiq dan Abidin, 2002).

Manajemen Pemeliharaan Pakan

Pakan yang diberikan untuk ternak kambing harus dapat memenuhi kebutuhannya untuk hidup pokok dan bereproduksi (Ensminger, 2001). Menurut NRC (1981), kebutuhan nutrisi yang diperlukan kambing ialah energi, protein, mineral, vitamin dan air yang jumlahnya berbeda untuk hidup pokok, aktivitas, kebuntingan, pertumbuhan, menyusui dan untuk pertumbuhan rambut. Didukung oleh Ludgate (1989), zat makanan sangat dibutuhkan dan jumlahnya sangat bergantung pada kondisi ternak, misalnya pada ternak muda yang sedang tumbuh dan ternak yang sedang bunting membutuhkan lebih banyak zat makanan.

Kambing menyukai pakan beragam tanamanan (Devendra dan Burns, 1994). Kambing dapat mengkonsumsi jenis pakan yang sama dengan ruminansia lainnya seperti rumput-rumputan seperti rumput setaria dan rumput gajah, daun kaliandra, mahoni, daun nangka, daun pisang, daun dadap, jerami dan serat kasar kering lainnya, terutama tanaman berkulit kayu, susu, dan pengganti susu, serta pakan komersial (Astuti et al., 2002; Ensminger, 2001; NRC, 1981). Menurut NRC (1981) semakin tua hijauan yang dikonsumsi maka semakin sulit pakan tersebut dicerna.

(17)

Tabel 1. Rerata Konsumsi Pakan Kambing PE pada Masing-masing Kelompok Ternak di Peternakan Barokah per Hari

Kelompok ternak Konsentrat Ampas Tahu Rumput Singkong

---(kg per ekor per hari)---

Menurut hasil penelitian Atabany (2001), rerata konsumsi rumput pakan kambing PE di peternakan Barokah dibagi atas kelompok ternak. Tabel 1 menunjukkan total konsumsi pakan yang diberikan di Peternakan Barokah.

Kebutuhan akan air dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, seperti jumlah bahan kering yang dimakan, keadaan pakan, kondisi fisiologi, temperatur air minum, suhu lingkungan, frekuensi minum, genetika ternak (Devendra dan Burns, 1994), tingkat laktasi, kadar air hijauan yang dikonsumsi, aktivitas ternak, serta kadar garam dan mineral dalam konsentrat yang dikonsumsi (Ensminger, 2001).

Kandang

Kandang untuk kambing harus sesuai dengan ukuran/tipe seekor ternak, atap kandang dibuat dari bahan yang menyerap panas, terhindar dari sinar matahari langsung disertai sanitasi kandang yang baik (Tambing et al., 2001), ringan, berventilasi baik, berdrainase baik, mudah dibersihkan (Williamson dan Payne, 1993) dan selalu bersih agar ternak dapat terjaga kesehatannya (Atabany, 2001).

(18)

Biasanya kandang berlantai rata dengan alas kandang yang dapat terbuat dari beton kasar, tanah liat atau tanah dipadatkan serta beratap miring.

Disarankan untuk memisahkan antara kandang untuk jantan, kandang betina akhir kebuntingan dan laktasi, kandang beranak dan kandang penyapihan (Tomaszewska et al., 1993). Pemisahan antar ternak perlu dilakukan untuk mencegah ancaman dan pelanggaran (Tomaszewska et al., 1991).

Populasi Ternak

Populasi kambing dipengaruhi oleh angka kelahiran, angka kematian, system reproduksi, struktur umur dan sebaran ternak (Sukendar et al, 2005). Peternak biasanya mengembangbiakan sendiri ternaknya, sekitar 40% ternak dalam kelompok yang dipelihara terdiri atas Induk diikuti dengan kambing remaja, sapihan dan anak yang masih menyusui (Tomaszewska et al., 1993). Dilaporkan pula olehnya bahwa ternak kambing yang dimiliki para peternak di Jawa Barat pada daerah intermediet dengan ketinggian sekitar 410 m dpl, memiliki komposisi ternak 7% jantan dewasa, 47% betina dewasa, 46% kambing muda, sedangkan pada dataran rendah dengan ketinggian sekitar 4 m dpl, komposisi ternaknya ialah 8% jantan dewasa, 55% betina dewasa dan 37% kambing muda.

Jumlah ternak kambing PE di Peternakan Barokah menurut Atabany (2001) 36 ekor jantan dewasa, 69 ekor betina dewasa, dan 612 ekor anakan yang dihitung dalam satuan ternak. Menurut Ensminger (1960), seekor domba dewasa setara dengan seekor kambing dewasa baik betina maupun jantan yaitu 0,14 Satuan Ternak (ST), seekor domba lepas sapih sampai umur setahun setara dengan seekor kambing lepas sapih sampai umur setahun yaitu 0,07 ST dan seekor anak domba setara dengan seekor anak kambing yaitu 0,035 ST.

Pembibitan

(19)

dengan spesifikasi tertentu yang mempunyai silsilah, untuk menghasilkan bibit induk. Bibit induk (breeding stock) merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu yang mempunyai silsilah, untuk menghasilkan bibit sebar, sedangkan ternak sebar niaga (commercial stock) merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu untuk digunakan dalam proses produksi (Departemen Pertanian,2001).

Pemeliharaan ternak bibit

Anak kambing disapih dari susu induk atau susu pengganti pada umur 6-12 minggu, tergantung pada jumlah konsentrat yang diberikan serta kemampuan anak kambing makan jerami dan biji-bijian dengan baik (Blakely dan Bade, 1991). Menurut Ensminger (2001), anak kambing disapih pada umur 3-4 bulan. Umumnya kambing perah disapih sedini mungkin sehingga susu dari induknya dapat dipakai untuk kebutuhan rumah tangga ataupun komersial (Williamson dan Payne, 1993).

Pada suatu sistem peternakan perlu dilakukan pemisahan kawanan ternak ke dalam kelompok. Menurut Devendra dan Burns (1994), perlu dilakukan pemisahan kawanan hewan kedalam kelompok. Hendaknya melakukan pemisahan sejak betina berumur 3 bulan, dan jantan muda dikandangkan atau ditambatkan secara tepisah. Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa pemisahan dapat dilakukan pada saat anak jantan berumur 2-3 bulan untuk mencegah kebuntingan dini pada betina yang ada di kelompoknya. Pemeliharaan jantan dan induk secara bersama-sama, menurut Devendra dan Burns (1994) akan menyulitkan penilaian terhadap keunggulan jantan dalam mencari bibit pejantan.

Seleksi dan Culling

Seleksi dan culling merupakan cara terpenting bagi peternak kambing untuk meningkatkan efisiensi produksi (PCARRD, 1985). Warwick dan Legates (1979) menyatakan bahwa seleksi adalah proses memilih ternak-ternak dalam satu generasi yang akan menjadi tetua untuk generasi selanjutnya. Menurut laporan Heryadi (2004), faktor genetik yang berupa sifat kuantitatif sering dijadikan dasar seleksi dalam program pemuliaan ternak, sebelum dilakukan program perkawinan untuk menghasilkan bibit unggul. Pemilihan bibit ternak yang baik, menurut Rahardi et al.

(20)

lengkap. Pencatatan menyangkut tentang asal-usul ternak, kapasitas produksi, kapasitas reproduksi, dan tingkat kesehatan ternak.

PCARRD (1985) menganjurkan cara menyeleksi ternak dengan menyeleksi ternak yang tergolong besar diantara ternak lain yang seumur, memilih anakan yang berasal dari induk yang beranak secara kontinyu terutama yang beranak tiga kali dalam dua tahun, seleksi induk yang melahirkan anak kembar, pilih ternak yang tingkat kesuburannya tinggi, seleksi ternak yang memiliki produksi susu tinggi dan persistensi laktasi yang baik, seleksi replacement stock berdasar performa tetuanya seperti angka pertumbuhan dan atau produksi susu.

Sifat yang perlu diseleksi ialah ternak dengan jumlah anak kembar per kelahiran dan seleksi sifat-sifat yang diinginkan. Ukuran yang perlu diperhatikan adalah tanggal beranak, litter size perkelahiran dan sapihan, bobot badan induk pada waktu kawin, beranak dan menyapih, bobot lahir dan bobot sapih, kematian anak, serta pertumbuhan pasca sapih hingga 3 bulan (Tomaszewska et al., 1993). Peternak yang bertujuan produksi susu perlu lebih baik memilih kambing hasil persilangan yang akan memberikan keuntungan lebih daripada kambing keturunan murni (Devendra dan Burns 1994).

Secara kualitatif pada saat memilih ternak kambing pada induk dan betina muda perlu memperhatikan bentuk dan penempatan ambing yang baik sedangkan pada pejantan perlu diperhatikan maskulinitas, tipe serta warna ternak dan harus berasal dari garis keturunan yang berproduksi tinggi (Leach, 1975). Menurut (Tomaszewska et al., 1993) secara umum perlu dilihat bentuk kepala, cara berdiri, vulva dan ambing pada betina, penis dan testes pada jantan untuk memastikan dapat berfungsi normal serta melihat jumlah gigi untuk menentukan umur.

(21)

pengeluaran ternak yang tidak produktif. Pengeluaran ternak tersebut dapat meningkatkan performa kelompok ternak dan juga meningkatkan keuntungan peternakan.

Pencatatan

Menurut Wiener (1994), recording atau pencatatan performa ternak pada suatu usaha peternakan penting untuk dilakukan untuk memperoleh rancangan program pembibitan yang berhasil. Ditambahkan olehnya bahwa pada pola pembibitan yang melibatkan seleksi ternak secara individu untuk memperoleh ternak yang terbaik, pencatatan performa menempati posisi terpenting, ketiadaan pencatatan merupakan penghambat dalam penerapan dan evaluasi pola pembibitan.

Untuk mencapai pengelolaan peternakan yang efektif, pencatatan yang diperlukan harus sederhana, lengkap dan akurat dengan jenis pencatatan dalam identifikasi ternak, kapasitas produksi, kapasitas reproduksi, perkawinan, kesehatan ternak, jenis dan pemberian pakan, serta dinamika populasi (PCARRD,1985).

Produktivitas Kambing Peranakan Etawah Produksi Susu

Devendra dan Burns (1994) mendefinisikan ternak perah sebagai ternak yang mampu memproduksi susu melebihi kebutuhan anaknya dan dapat mempertahankan produksi susu sampai jangka waktu tertentu, meski anaknya sudah disapih. Menurut Sodiq dan Abidin (2002), produksi susu dipengaruhi oleh bangsa, bentuk ambing, genetik, musim, umur, lama laktasi, kondisi lingkungan, masa birahi dan kebuntingan, frekuensi pemerahan, jumlah anak sekelahiran, pemerahan, lama masa kering, hormonal, pakan, dan penyakit. Phalepi (2004) melaporkan rerata produksi susu kambing PE di peternakan P4S 0,60 kg per ekor per hari dengan lama laktasi 171,20 hari.

Karakteristik Reproduksi

(22)

lambat, selang beranak lama dan sebagainya. Menurut Toelihere (1981), keuntungan ekonomis dari suatu peternakan sangat bergantung pada keberhasilan reproduksi ternak-ternaknya.

Umur Kawin Pertama. Menurut Williamson dan Payne (1993) perkawinan sebaiknya dilakukan setelah mendekati dewasa tubuh. Secara umum, terjadinya pubertas ternak kambing di daerah tropis bergantung pada interaksi antara umur, bobot badan, dan dapat pula dipengaruhi oleh kondisi tubuh dan musim (Tomaszewska et al., 1991). Menurut Ensminger (2001), kambing jantan secara normal sudah siap kawin bila umurnya memasuki 4-6 bulan. Menurut Abdulgani (1981) kambing jantan dapat digunakan sebagai pejantan pada umur yang lebih muda daripada kambing betina, asalkan pemakaiannya tidak terlalu sering, maksimal satu kali per minggu.

Menurut Ensminger (2001), kambing betina biasa dikawinkan pada umur 9-10 bulan atau setelah mencapai 60-75% bobot badan dewasa. Menurut Abdulgani (1981) apabila kambing dara dikawinkan pada umur yang terlalu muda, angka konsepsi yang diperoleh akan rendah, frekuensi kelahiran kembar berkurang, timbul masalah reproduksi dan peningkatan kematian cempe. Atabany (2001) melaporkan bahwa kambing dara di peternakan Barokah dikawinkan pertama kali rata-rata pada umur 403,32 hari.

Rerata Jumlah Anak per Kelahiran. Litter size dinyatakan sebagai jumlah anak yang lahir per kelahiran per ekor betina. (Sodiq dan Sumaryadi, 2002). Kambing merupakan ternak yang memiliki kemampuan reproduksi yang baik dengan rataan angka kelahiran 1,49-1,61 (Tambing et al., 2001). Menurut Sodiq dan Sumaryadi (2002) kambing PE memiliki rerata jumlah anak per kelahiran 1,56 lebih rendah dari pada kambing Kacang (2,06).

(23)

Nisbah Kelamin. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa nisbah kelamin merupakan perbandingan antara jumlah anak kambing jantan dan betina yang dilahirkan per induk. Atabany melaporkan bahwa persentase anak kambing jantan lebih tinggi dari anak kambing betina yaitu jantan 51,96% dan betina 48,04%. Hal yang sama dengan yang dilaporkan Rosita (2003) bahwa anak kambing jantan lebih banyak dari anak kambing betina (63,16%:36,84%) dan Phalepi (2004) yaitu 56,52%:43,47%. Sedangkan menurut (Abdulgani, 1981) persentase anak jantan yang dilahirkan sebesar 49,36%, lebih rendah dari betina. Ditambahkan olehnya bahwa tidak ada faktor genetik yang mengganggu nisbah kelamin anak yang dilahirkan.

Tipe Kelahiran. Secara umum, kambing lebih prolifik daripada domba dengan jumlah anak perkelahiran 2-3 ekor (Ensminger, 2001). Persentase induk kambing beranak kembar akan semakin tinggi dengan meningkatnya umur induk sampai umur empat tahun dan banyaknya jumlah cempe yang dilahirkan dihubungkan dengan tingkat kesuburannya (Devendra dan Burns, 1994).

Persentase tipe kelahiran kambing PE untuk tipe kelahiran tunggal ialah 40,8%, kembar dua 55,7%, dan kembar tiga 3,5% (Sodiq dan Sumaryadi, 2002) sedangkan Rosita (2003) melaporkan bahwa tipe kelahiran di desa Bojong untuk kelahiran tunggal dan kembar dua masing-masing ialah 46,15% dan 53,85%. Menurut Devendra dan Burns (1994), kambing PE mengalami kelahiran anak tunggal lebih tinggi yakni 54,8% dibandingkan dengan kelahiran kembar dua yaitu 39,8%, diikuti oleh kembar tiga dan empat yang masing-masing adalah 5,1% dan 0,03%. Sukendar et al. (2005) melaporkan tipe kelahiran tunggal, kembar dua, tiga dan empat di Desa Hegarmanah ialah 29,75%, 61,70%, 4,26% dan 4,20% secara berurutan.

(24)

(Tomaszewska et al., 1991). Tingkat kematian anak kambing PE di Desa Bojong yaitu 5,26% (Rosita, 2003) dan peternakan Barokah yaitu 11% (Atabany, 2001).

Bobot lahir. Menurut Devendra dan Burns (1994) bobot lahir merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas, karena bobot lahir sangat berkorelasi dengan laju pertumbuhan, ukuran dewasa dan daya hidup anak kambing. Keragaman dalam bobot lahir disebabkan oleh faktor genetik yaitu bangsa dan lingkungan terutama makanan dan kesehatan. Muthalib (2002) menyatakan bahwa bobot lahir suatu individu akan dipengaruhi oleh umur induk dan tipe kelahiran.

Bobot lahir anak kambing PE jantan ialah 3,5±0,1 dan betina 3,0±0,1 kg (Sutama et al., 1995). Atabany (2001) melaporkan bobot lahir di peternakan Barokah rata-rata seluruh anak kambing 3,84 kg, rata-rata 3,97 pada anak jantan dan 3,73 kg pada anak betina. Sodiq dan Sumaryadi (2002) melaporkan rata-rata bobot lahir kambing PE adalah 5,4 kg.

Reproduksi jantan. Pada jantan, pubertas ditandai oleh kesanggupannya berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain (Toelihere, 1981). Anak kambing jantan mengalami dewasa kelamin pada umur tiga bulan (Blakely dan Bade, 1991). Menurut Ensminger (2001) pubertas dicapai oleh anak jantan pada umur 4-6 bulan. Pada umur 22,84 minggu, pubertas dicapai jantan dengan bobot 18,67 kg (Sandhi et al., 1984).

Seekor pejantan tidak boleh mengawini betina lebih dari 10 atau 12 ekor betina sebelum mencapai umur 12 bulan, setelah itu baru ditingkatkan meski masih dibatasi hingga umur 19 bulan. Pada umur 2 tahun, pejantan dapat mengawini 4-5 betina tiap minggunya namun tidak disarankan untuk mengawini betina lebih dari dua ekor per harinya (Leach,1975). Devendra dan Burns (1994) melaporkan bahwa pada peternakan yang belum baik dan perkawinan yang belum dikendalikan, seekor jantan mampu mengawini 25 ekor betina. Menurut Blakely dan Bade (1991) kambing jantan yang sehat dapat mengawini paling sedikit 30 ekor kambing betina.

(25)

dilakukan melalui perbaikan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kinerja reproduksi ternak kambing, seperti perbaikan pakan, pendeteksian kesehatan reproduksi secara rutin dan perbaikan kondisi lingkungan perkandangan (Tambing et al., 2001).

Jumlah Kawin per Kebuntingan. Jumlah kawin per kebuntingan atau

service per conception (S/C) adalah jumlah perkawinan untuk menghasilkan suatu kebuntingan dan jumlah normal berkisar 1,0-2,0. (Toelihere, 1981). Menurut Devendra dan Burns (1994) kesuburan pada hewan betina ditunjukkan oleh jumlah perkawinan yang diperlukan per kebuntingan. S/C. Menurut Atabany (2001) jumlah perkawinan yang dibutuhkan untuk menghasilkan kebuntingan ialah 1,95. Ditambahkan lagi bahwa makin rendah nilai S/C maka semakin tinggi tingkat kesuburan betina.

Selang Beranak. Menurut Davendra dan Burns (1994) interval beranak ialah periode antara dua beranak yang berurutan dan terdiri atas periode perkawinan dan periode bunting. Interval beranak bervariasi antara induk dan bangsa yang berbeda. Selang beranak adalah penduga yang penting untuk produktivitas seumur hidup. interval beranak tergantung pada masa antara beranak dan perkawinan dan masa bunting (Sodiq dan Sumaryadi, 2002). Semakin pendek interval kelahirannya, dan setiap kali anaknya lahir kembar, maka semakin tinggi hasil produksi yang diperoleh. Beberapa faktor yang mempengaruhi interval kelahiran ialah bangsa dan umur kambing atau urutan kelahirannya, tingkat pemberian bahan makanannya, dan hasil dari suatu kebuntingan, dan tersedianya pejantan yang cukup (Abdulgani, 1981), musim, bangsa kambing, tata laksana, makanan, dan kesehatan (Williamson dan Payne, 1993). Menurut laporan Sodiq dan Sumaryadi (2002) selang beranak pada kambing Peranakan Etawah ialah maksimal 450 hari.

Usaha Peternakan Kambing Perah Biaya Produksi

(26)

dan biaya variabel total. Ditambahkan olehnya, biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun outputnya berubah dan biaya variabel ialah biaya yang berkaitan langsung dengan output, yang bertambah besar dengan meningkatnya produksi dan berkurang dengan menurunnya produksi.

Menurut Hernanto (1995), biaya-biaya tetap dalam usaha peternakan dapat berupa sewa lahan, sewa dan perbaikan alat-alat, pembayaran cicilan dan bunga pinjaman, upah tenaga kerja untuk keperluan umum, pengeluaran pajak, biaya penyusutan benda-benda modal dan pengeluaran lainnya. Biaya-biaya peubah dapat berupa pembelian bibit, makanan, obat-obatan, alat-alat dan bahan penunjang produksi yang habis terpakai dalam satu periode analisis, buruh atau tenaga kerja upahan dan pengeluaran biaya lainnya yang langsung mempengaruhi besarnya produksi. Dari hasil penelitian Saodah (2000), total biaya tetap perusahaan adalah sebesar 1,4% dari biaya total dan total biaya variabel sebesar 98,6%. Biaya pakan merupakan komponen terbesar dari biaya total produksi yaitu sebesar 54,9%.

Pendapatan

Pendapatan adalah selisih antara nilai barang yang dijual suatu perusahaan dan biaya untuk memproduksi barang tersebut (Lipsey et al., 1995). Penerimaan perusahaan menurut Kadarsan (1995), bersumber dari pemasaran atau penjualan hasil usaha.

Analisis pendapatan dihitung berdasarkan selisih antara penerimaan total (TR) dengan biaya total (TC). Rumus pendapatan menurut Guritno (1996) adalah sebagai berikut ini. Pendapatan = Π = TR-TC

Dengan keterangan: Π = pendapatan TR = penerimaan Total TC = biaya Total

(27)

Selanjutnya dilakukan analisis R/C Ratio untuk menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh perusahaan akibat per rupiah yang dikeluarkan untuk produksinya dengan persamaan menurut Hernanto (1995) yaitu sebagai berikut:

Total Penerimaan

Total Biaya

Imbangan Biaya = R/C Ratio =

(28)

MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada awal bulan April sampai dengan awal Juni 2006 di Koperasi Daya Mitra Primata, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

Materi dan Alat

Materi yang digunakan adalah usaha peternakan kambing perah yang berupa Koperasi Daya Mitra Primata yang terdiri atas 6,265 ST atau 57 ekor kambing Peranakan Etawah dengan kelompok umur (induk laktasi 15 ekor, betina dewasa 15 ekor, pejantan 4 ekor, jantan dewasa 6 ekor, jantan muda 2 ekor, anak betina 8 ekor anak jantan 7 ekor). Alat yang digunakan adalah timbangan berkapasitas 20 kg dengan skala 1 kg untuk menimbang ampas tahu dan bungkil kelapa, gelas ukur berukuran 1.000 cc untuk mengukur produksi susu, meteran kapasitas 3 m untuk mengukur kandang, kamera, dan alat tulis.

Metode

Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara berdasarkan borang dan melakukan pengamatan langsung di lapangan, dan data sekunder berupa catatan yang ada di peternakan. Peubah yang diamati disajikan sebagai berikut ini.

1. Tata laksana pemeliharaan (aktivitas pemeliharaan yang dilakukan termasuk pemberian pakan, perkandangan, serta pengendalian penyakit),

2. Umur ternak (dilakukan dengan melihat catatan tanggal kelahiran ternak dan atau melihat jumlah gigi ternak),

3. Sifat-sifat produksi:

a) produksi susu (dihitung produksi susu total selama waktu penelitian yang didapat dari pencatatan secara langsung dari dua kali pemerahan setiap hari dalam satuan kg),

(29)

4. Sifat-sifat reproduksi:

a) tipe kelahiran (dihitung dengan melihat banyaknya anak jantan dan betina yang dilahirkan per kelahiran dari seekor induk dalam satuan persen), b) jumlah anak sekelahiran (dengan menghitung jumlah anak yang

dilahirkan per satu kelahiran dalam satuan ekor),

c) selang beranak (dengan melihat catatan tanggal beranak dan menghitung jarak antara dua kali beranak berturut-turut dari seekor induk dalam satuan hari),

d) mortalitas anak pra sapih (menghitung jumlah kematian anak pra sapih yang lahir per jumlah kelahiran selama periode 2002-2006 dan pada tahun penelitian),

5. Sistem perkawinan:

a) umur kawin pertama (dihitung dengan melihat catatan kelahiran dan atau tanggal pertama kali dikawinkan dalam satuan hari),

b) rasio jantan:betina (dihitung dengan melihat imbangan jumlah pejantan dan betina dewasa),

c) service per conception (jumlah perkawinan yang dibutuhkan untuk menghasilkan kebuntingan).

6. Pemeliharaan ternak bibit:

a) seleksi; diperoleh dengan wawancara mengenai upaya memilih ternak yang akan dijadikan tetua untuk generasi selanjutnya serta penentuan ternak bibit untuk pejantan dan induk,

b) pemeliharaan ternak bibit; diperoleh dengan pengamatan langsung pada aktivitas pemeliharaan jantan dan betina bibit yang dilakukan termasuk pemberian pakan dan perkandangan.

7. Dinamika populasi

a) pengeluaran ternak (ditentukan dengan melihat data harian mengenai penjualan dan kematian dalam satuan ekor dan persen),

(30)

8. Usaha beternak kambing perah:

a) biaya-biaya usaha; ditentukan dengan melihat catatan tentang biaya dalam satu tahun, terdiri atas; biaya produksi, merupakan biaya tetap ditambah biaya peubah dalam satu tahun. Biaya tetap terdiri atas depresiasi kandang, bangunan dan peralatan. biaya peubah meliputi pakan konsentrat berupa ampas tahu dan bungkil kelapa, mineral, obat-obatan, tenaga kerja, biaya bahan bakar dan biaya lain yang berubah karena perubahan tingkat produksi,

b) penerimaan usaha; ditentukan dengan wawancara mengenai penerimaan koperasi. Penerimaan dapat berasal dari penjualan susu, penjualan ternak, pertambahan nilai ternak dan kotoran kambing.

Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan langsung ditabulasi dan diolah untuk mendapatkan rerata dan persentase dari data tersebut. Data mengenai sistem pembibitan dan perkawinan dijabarkan secara deskriptif. Data mengenai sifat-sifat produksi dan reproduksi ditabulasi dan diolah untuk mendapatkan rerata dan simpangan baku.

Penyimpangan rasio harapan nisbah kelamin pada kelahiran anak kambing selama peternakan berdiri digunakan perhitungan uji x2. Uji x2 dihitung dengan menggunakan rumus menurut Noor (1995) yaitu :

x2 =

...

Keterangan : x2 = Chi-kuadrat (O-E)2

E

O = Nilai pengamatan E = Nilai harapan

∑= Sigma (Jumlah dari nilai-nilai)

(31)

Data mengenai biaya-biaya usaha ditabulasi dan dihitung biaya total dengan menggunakan rumus menurut Lipsey et al. (1995) sebagai berikut:

Biaya Total = Biaya tetap total + Biaya peubah total

Biaya penerimaan ditabulasi dan dihitung untuk mendapatkan penerimaan total. Pertambahan ternak dihitung dengan menghitung nilai jumlah ternak yang lahir pada masa penelitian.

Data mengenai ekonomi usaha peternakan yang diperoleh selama penelitian kemudian akan dianalisis untuk mengetahui nilai keuntungan serta nilai imbangan penerimaan dan biaya.

Analisis keuntungan dihitung dengan menggunakan rumus menurut Guritno (1996) sebagai berikut:

Keuntungan = Π = TP-TB Keterangan: Π = Keuntungan

TP = Total Penerimaan TB = Total Biaya

Kriteria yang digunakan adalah jika Π >0 maka untung, jika Π <0 maka rugi, dan jika Π =0 maka impas.

Menurut Hernanto (1995) imbangan penerimaan dan biaya menunjukkan penerimaan yang diperoleh peternak akibat biaya yang dikeluarkan untuk usaha ternaknya dan dihitung dengan menggunakan rumus:

Total Penerimaan R/C Ratio =

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Koperasi Daya Mitra Primata Lokasi

Lokasi penelitian berada di peternakan Koperasi Daya Mitra Primata yang berada di Desa Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Peternakan ini merupakan unit usaha koperasi pegawai Pusat Studi Satwa Primata LP-IPB yang pada awal berdirinya yaitu pada tahun 2002 masih berlokasi di Jl. Lodaya dan kemudian dipindahkan ke Desa Cikarawang pada tahun 2004. Koperasi Daya Mitra Primata ini masih dalam proses pembentukkan badan hukum yang bergerak dalam usaha peternakan kambing Peranakan Etawah sebagai ternak perah.

Luas areal peternakan ini sekitar 2 ha, yang terdiri atas lahan untuk bangunan kantor dan kandang seluas 1 ha dan sisanya untuk kandang sapi serta kebun rumput. Letak peternakan sekitar 10 km dari kota Bogor ke arah barat. Lokasi peternakan berada pada ketinggian sekitar 145-200 m dpl dengan rerata suhu rata-rata harian sebesar 25° C dengan kelembaban 80%. Jumlah kambing Peranakan Etawah yang terdapat di peternakan ialah 26 ekor induk, 4 ekor dara siap kawin, 4 ekor pejantan, 6 ekor jantan siap kawin, 2 ekor jantan muda, dan 15 ekor cempe.

Manajemen Pemeliharaan

Kambing dipelihara secara semi intensif dengan adanya pengeluaran ternak pada waktu-waktu tertentu. Pemerahan susu dilakukan dua kali sehari yaitu pukul 07.00 WIB dan pukul 15.00 WIB. Susu yang diproduksi didistribusikan pada distributor setiap 20-30 hari dan ada pula yang dijual secara langsung ke konsumen.

(33)

Pakan yang diberikan pada kambing PE di lokasi penelitian berupa pakan hijauan, bungkil kelapa dan ampas tahu yang diberikan setiap hari. Pakan hijauan rumput diberikan dua kali sehari sesaat setelah pemerahan yaitu pada pukul 08.00 dan 16.00. Anak kambing di lokasi penelitian hanya diberikan rumput lapang kering tanpa tambahan bungkil kelapa dan ampas tahu. Rumput yang biasa diberikan sebagai pakan adalah rumput gajah yang dipotong-potong terlebih dahulu. Rumput yang dipotong pada sore hari akan diberikan untuk pemberian pakan pada pagi hari dan begitu pun sebaliknya. Rumput gajah tersebut diperoleh dari berbagai sumber tergantung pada ketersediaannya. Dedaunan dan rumput lapang juga diberikan bila tersedia. Dedaunan yang diberikan pada ternak kambing berbeda jenisnya setiap hari, misalnya daun nangka, daun gamal, daun lamtoro, daun ubi, dan kulit jagung.

Pemberian rumput untuk setiap ekor kambing masih dilakukan secara perkiraan, melihat kecukupan jumlah rumput dengan ternak yang ada, keefisienan waktu dan tenaga kerja dianggap sebagai alasan untuk hal tersebut. Seharusnya, dalam menentukan jumlah hijauan sebaiknya memperhatikan bobot hidup dan kondisi ternak. Menurut Ludgate (1989) jumlah hijauan yang diberikan pada ternak setiap harinya adalah 10% dari bobot hidup ternak. Pemberian pakan bungkil kelapa untuk ternak dicampur dengan ampas tahu dan mineral dan diberikan satu kali sehari yaitu pada pukul 12.00. Pakan konsentrat selalu habis dikonsumsi oleh ternak, sedangkan pemberian rumput selalu bersisa.

Air minum diberikan satu kali sehari bersamaan dengan pemberian konsentrat dan ampas tahu sebanyak ±5 l ditambah garam secukupnya. Kebutuhan akan air dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, seperti jumlah bahan kering yang dimakan, keadaan pakan, kondisi fisiologi, temperatur air minum, suhu lingkungan, frekuensi minum, genetika ternak (Devendra dan Burns, 1994), tingkat laktasi, kadar air hijauan yang dikonsumsi, aktivitas ternak, serta kadar garam dan mineral dalam konsentrat yang dikonsumsi (Ensminger, 2001).

(34)

menghiraukan umur dan jumlah laktasi. Susu yang diproduksi didistribusikan pada distributor setiap 30 hari dan ada pula yang dijual secara langsung ke konsumen.

Kandang. Perbedaan luas kandang pada berbagai kategori baik berdasarkan umur atau jenis kelamin tergantung pada manajemen peternak itu sendiri. Luas kandang kambing berbeda sesuai dengan ukuran tubuh, umur, serta kebutuhan kambing. Semakin besar ukuran tubuh dan semakin tua umur serta kepentingan penggunaan kandang baik untuk perkawinan atau kelahiran maka semakin luas ukuran kandang yang dibutuhkan per ekornya. Kandang yang digunakan di lokasi penelitian berupa kandang panggung yang terbuat dari campuran bambu dan kayu, beratap asbes. Bentuk kandang sudah memenuhi syarat yang dianjurkan Devendra dan Burns (1994), yaitu kandang berbentuk panggung. Lantai di bawah kandang di lokasi penelitian terbuat dari semen yang dibuat miring yang bertujuan untuk mempermudah dalam manajemen pemeliharaan terutama dalam membersihkan kandang dan mengumpulkan kotoran (Gambar 1).

Gambar 1. Kandang Panggung Kambing Perah di Koperasi Daya Mitra Primata

(35)

Tabel 2. Luas Kandang Kambing di Koperasi Daya Mitra Primata (DMP) dan Pada Beberapa Hasil Penelitian Lain

Luasan Kandang

Berdasarkan Tabel 2, luas kandang untuk betina bunting, dewasa, dan pejantan masih lebih sempit daripada anjuran Devendra dan Mc Leroy (1982). Dibandingkan dengan laporan Atabany (2001) luas kandang kambing muda di koperasi masih lebih luas dan jika dibandingkan dengan laporan Rosita (2003) masih terlalu sempit. Luas kandang anak terhitung lebih luas dibandingkan laporan Devendra dan Mc Leroy (1982) dan Atabany (2001). Perhitungan luas kandang perlu diperhatikan karena menurut Ensminger (2001) kandang yang terlalu sempit dapat menurunkan tingkat kesehatan sedangkan kandang yang terlalu luas dapat menyebabkan pembengkakkan biaya pembangunan. Tomaszewska et al. (1993) melaporkan bahwa kandang jantan yang dibangun dengan ukuran yang terlalu sempit dapat menurunkan libido ternak.

(36)

digunakan berdasarkan petunjuk dokter hewan. Analisis penyakit untuk semua ternak dilakukan dengan mengirim sampel feses ke Rumah Sakit Hewan IPB Bogor setiap ada kejadian penyakit yang banyak terjadi pada ternak.

Dinamika populasi Populasi Ternak

Populasi kambing dipengaruhi oleh angka kelahiran, angka kematian, sistem reproduksi, struktur umur dan sebaran ternak (Sukendar et al., 2005). Populasi kambing PE yang dipelihara terus berkembang selama tahun 2002-2006 karena adanya pemasukan berupa kelahiran dan pembelian serta adanya pengeluaran berupa kematian dan penjualan.

Pada Tabel 3 disajikan rerata jumlah kambing berdasarkan laporan akhir tahun di koperasi DMP. Jumlah induk, dara dan anak betina membentuk segitiga terbalik, hal ini baik untuk usaha ternak perah mengingat bahwa kambing indukanlah yang memberikan pendapatan peternakan secara langsung, yakni produksi susu.

Tabel 3. Populasi Kambing Perah PE di Koperasi Daya Mitra Primata Jumlah kambing pada tahun

Kategori

kambing 2002 2003 2004 2005 2006

Rerata jumlah

(37)

tersedia, meningkatkan daya hidup anak dan melakukan pembelian betina pengganti induk. Rerata jumlah dara siap kawin yang tersedia per tahunnya adalah 3 ekor atau 10,25% dari jumlah induk (Tabel 3).

Perkembangan populasi akhir pada tahun 2006 tidak terlalu besar dibandingkan dengan pada awal populasi pada tahun 2002. Rerata komposisi ternak betina dan jantan di Koperasi Daya Mitra Primata selama periode 2002-2006 disajikan pada Gambar 2.

0

Gambar 2. Rerata Jumlah Ternak Kambing di Koperasi Daya Mitra Primata Berdasarkan Gambar 2, rerata jumlah induk jauh lebih banyak dari jumlah dara pengganti induk. Jumlah replacement stock induk masih kurang mencukupi, meski pun tidak dilakukan pengafkiran ternak secara kontinyu. Menurut Sudono (1999) jumlah betina pengganti ialah sebanyak betina yang diafkir.

(38)

Produktivitas kelompok kambing dapat digambarkan dari rata-rata produksi keturunan atau jumlah yang dilahirkan per betina per tahun (Ost et al., 1980). Pada Tabel 4 disajikan persentase kelahiran anak kambing PE yang terjadi berbanding dengan jumlah betina dewasa dan induk di Koperasi Daya Mitra Primata pada tahun 2002-2006.

Tabel 4. Nisbah Anak Kambing PE berbanding betina Dewasa dan Induk di Koperasi Daya Mitra Primata pada Tahun 2002-2006

Kelahiran Nisbah

2002 2003 2004 2005 2006 Rerata ---(%)--- Anak betina : betina dewasa

Anak betina : induk laktasi Anak jantan : betina dewasa Anak jantan : induk laktasi Anak : induk

Berdasarkan Tabel 4, rerata komposisi kelahiran dengan persentase tertinggi ialah pada komposisi anak jantan per betina dewasa. Hal ini baik untuk penyediaan ternak komersial untuk penambahan pendapatan peternakan namun kurang baik dari segi efisiensi biaya pemeliharaan pada usaha kambing perah. Komposisi terendah ialah pada komposisi anak betina per induk laktasi. Hal ini kurang baik karena penyediaan betina pengganti induk masih belum dapat terpenuhi.

Mempertahankan jumlah anak betina dari lahir hingga dewasa dapat menjadi sokongan sebagai ternak pengganti dan mengurangi jumlah pembelian. Rerata jumlah anak berbanding induk tidak mencapai 100%. Hal ini dapat disebabkan oleh pencatatan yang hilang serta interval beranak yang lama. Berdasarkan hasil penelitian Ost et al. (1980) kambing Etawah dari Tegal dan kambing Bogor yang dipelihara secara intensif di Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak memiliki rata-rata produksi keturunan sebanyak 30,9% pada kambing etawah di Tegal dan 36,8% pada kambing Etawah di Bogor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di Koperasi Daya Mitra Primata bahwa jumlah kelahiran anak berbanding induk tidak mencapai 100%.

(39)

Tabel 5. Jumlah Penjualan, Pembelian dan Mortalitas Kambing PE Berdasarkan Struktur Umur dan Jenis Kelamin Selama Periode 2002-2006

Penjualan Pembelian Mortalitas Kelompok

Jantan Betina Jumlah Jantan Betina Jumlah Jantan Betina Jumlah

---(ekor)---

Anak 3 2 5 - - - 16 12 28

Muda - - - - 2 2 1 4 5

Dewasa

15 1 16 6 35 41 - 8 8

Total 18 3 21 6 37 43 17 24 41

Tingkat penjualan terbesar terjadi pada ternak jantan, dengan jantan dewasa menempati penjualan terbanyak. Daya jual kambing dewasa yang tinggi terkait dengan hari raya kurban. Sedikitnya jumlah betina yang dijual karena mahalnya harga kambing betina yang merupakan tipe perah. Betina yang dijual terutama sebagai bibit kambing perah. Pembelian ternak kambing terbesar adalah pada betina dewasa diikuti oleh pembelian ternak betina muda. Tingginya pembelian betina dewasa bertujuan untuk memperoleh induk laktasi sesegera mungkin sehingga penerimaan utama berupa produksi susu dapat segera diperoleh dan agar cepat mendapatkan keturunan, sedangkan pembelian betina muda atau dara dimaksudkan sebagai induk pengganti. Pembelian jantan dewasa bertujuan untuk digunakan sebagai pejantan. Pembelian ternak jantan hanya enam ekor sepanjang tahun 2002-2006, karena peternak mengupayakan pemanfaatan pejantan seefisien mungkin.

(40)

penjualan dilakukan untuk memenuhi permintaan akan daging kambing jantan untuk Hari Raya Idul Adha sedangkan permintaan akan kambing untuk bibit masih jarang terjadi. Jumlah ternak betina yang mengalami kematian secara keseluruhan lebih tinggi dari jantan. Menurut Abdulgani (1981) tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap kematian ternak.

Produktivitas Produksi Susu

Pemerahan di lokasi peternakan dilakukan dua kali dalam sehari dengan selang delapan jam dari setiap waktu perah yang dilakukan, yaitu pukul 07.00 dan 15.00. Jumlah frekuensi pemerahan dilakukan karena hasil susu harian yang tidak terlalu banyak. Produksi susu yang dicatat selama dua bulan masa penelitian pada 15 ekor kambing laktasi, dengan menghiraukan umur, tahapan dan hari laktasi adalah 0,2±0,1 l per ekor per hari dengan rerata produksi susu tertinggi sebanyak 0,46 l dan terendah sebanyak 0,07 l. Pada Tabel 6 disajikan rerata produksi susu kambing per ekor per hari selama dua bulan masa penelitian berdasarkan umur dan bobot badan.

Tabel 6. Produksi Susu Berdasarkan Umur dan Bobot Badan Induk di Koperasi Daya Mitra Primata

Umur Bobot

Badan Produksi susu

Simpangan

baku Jumlah ternak

(tahun) (kg) ---(l/ekor/hari)--- (ekor)

2-3 28,00 0,09 0,01 2

3-4 35,12 0,30 0,12 4

4-5 38,31 0,20 0,10 9

(41)

Menurut Gall (1981) induk dengan bobot badan yang lebih tinggi akan memproduksi susu lebih banyak daripada induk dengan bobot badan yang lebih kecil. Ditambahkan olehnya bahwa hal ini dapat pula dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti jumlah laktasi, jumlah anak perkelahiran, nutrisi, laju pertumbuhan, dan suhu.

Menurut Sutama et al. (1995), produksi susu bergantung pada jumlah atau tahapan laktasi. Berdasar urutan laktasi, produksi susu pada kambing bervariasi. Produksi susu berdasarkan jumlah laktasi disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Produksi Susu Berdasarkan Urutan Laktasi Laktasi di Koperasi Daya Mitra Primata

Laktasi ke- Produksi susu Simpangan baku Jumlah ternak

---(l/ekor/hari)--- (ekor)

1 0,09 0,01 2

2 - - -

3 0,26 0,10 8

4 0,19 0,15 4

5 0,13 0,00 1

Produksi susu tertinggi terjadi pada laktasi ketiga dan produksi terendah ialah pada laktasi pertama. Hal ini tidak sesuai dengan laporan Devendra dan Burns (1994) bahwa produksi laktasi tertinggi ialah pada tiga masa laktasi pertama, dan selanjutnya turun secara bertahap sampai laktasi ketujuh. Rendahnya produksi susu pada laktasi pertama disebabkan karena pada lokasi penelitian, ternak dengan laktasi pertama bobotnya rendah namun diberikan pakan dalam jumlah yang sama dengan kondisi fisiologis yang berbeda. Hal ini menyebabkan ternak dengan laktasi pertama mengalami kelebihan bobot badan sehingga dapat menurunkan produksi susu.

Tabel 8. Produksi Susu Berdasarkan Tahapan Laktasi di Koperasi Daya Mitra Primata

Tahapan laktasi Produksi susu Simpangan baku Jumlah ternak

(bulan) ---(l/ekor/hari)--- (ekor)

1-4 0,28 0,14 6

4-8 0,20 0,08 3

8-12 0,11 0,01 3

(42)

Karakteristik Reproduksi

Selang Beranak. Selang beranak ialah periode antara dua beranak yang berurutan dan terdiri atas periode perkawinan dan periode bunting (Devendra dan Burns, 1994). Selang beranak di lokasi penelitian adalah 428,39±225,69 hari (14,27±7,52 bulan), lebih lama daripada yang dilaporkan oleh Atabany (2001) di Peternakan Barokah yaitu 356 hari (11,87 bulan). Selang beranak yang lama disebabkan peternakan Koperasi Daya Mitra Primata bertujuan untuk memperpanjang masa laktasi, sehingga menunda perkawinan. Selang beranak di lokasi peternakan masih terlalu lama mengingat bahwa kambing secara normal dapat beranak tiga kali dalam dua tahun. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa beranak sekali setahun merupakan keharusan bagi kambing yang mengkhususkan untuk produksi susu.

Jumlah Anak Perkelahiran. Pada Tabel 9 disajikan jumlah kelahiran anak kambing yang terjadi di lokasi penelitian dari tahun 2002 hingga 2006.

Tabel 9. Kejadian Kelahiran Anak Kambing di Koperasi Daya Mitra Primata Tahun 2002-2006

Jumlah kelahiran pada tahun: Jenis

kelamin 2002 2003 2004 2005 2006 Jumlah Persentase

--- (ekor) --- (%) Jantan 13 18 13 18 9 71 53,38

Betina 10 19 16 7 10 62 46,62

Jumlah 26 37 29 25 19 133 100,00

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa jumlah kelahiran anak per ekor betina dari tahun 2002 terus meningkat dan kemudian menurun setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh sering terjadinya berahi tenang pada induk sehingga perkawinan sering terlewatkan.

(43)

Nilai uji x2 yang diperoleh sebesar 0,46, lebih kecil dari nilai x2 tabel 3,84 pada selang kepercayaan 5%. Nisbah kelamin pada anak kambing yang dilahirkan di Koperasi Daya Mitra Primata tidak menyimpang dari perbandingan genetik yang diharapkan yaitu 50:50%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Abdulgani (1981) bahwa nisbah kelamin anak kambing yang dilahirkan di desa Ciburuy dan Cigombong tidak berbeda nyata dari perbandingan genetik yang diharapkan berdasarkan uji x2 yang telah dilakukan. Beliau menyimpulkan bahwa tidak ada faktor genetik yang penting yang mengganggu keseimbangan nisbah kelamin anak yang dilahirkan.

Jumlah anak perkelahiran dinyatakan sebagai jumlah anak yang lahir per kelahiran per ekor betina (Sodiq dan Sumaryadi, 2002). Terdapat variasi jumlah anak per kelahiran pada beberapa lokasi peternakan. Pada Tabel 10 disajikan jumlah anak yang lahir per kelahiran pada beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor.

Tabel 10. Jumlah Anak per Kelahiran pada Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor

Peternakan Lokasi Jumlah anak sekelahiran

(ekor)

Koperasi Daya Mira Primata Kecamatan Dramaga 1,46

Peternakan P4S (Phalepi, 2004) Kecamatan Ciherang 1,48

Desa Tenjo (Rosita, 2003) Kecamatan Tenjo 1,54

Peternakan Barokah (Atabany, 2001)

Kecamatan Caringin 1,77

Rerata 1,56

(44)

Tipe Kelahiran. Kelahiran yang terjadi di lokasi penelitian dari tahun 2002 hingga 2006 terdiri atas tipe kelahiran tunggal, kembar dua, kembar tiga, dan kembar empat.Pada Tabel 11 disajikan tipe kelahiran serta jumlah anak yang bertahan hidup berdasarkan tipe kelahirannya dari tahun 2002 hingga 2006.

Tabel 11. Tipe Kelahiran Anak Kambing di Koperasi Daya Mitra Primata Tahun 2002-2006

Jumlah anak Tipe

kelahiran Jumlah kelahiran

Mati Hidup Tanpa Tipe kelahiran yang paling banyak terjadi ialah tipe kelahiran tunggal dan persentase kejadiannya semakin sedikit pada kelahiran kembar dua, kembar tiga, hingga kembar empat. Tingginya angka kelahiran tunggal di lokasi penelitian menunjukkan rerata prolifikasi (kemampuan beranak kembar) induk yang rendah. Persentase kelahiran tunggal yang tinggi dapat pula dipengaruhi oleh tidak sesuainya kecukupan nutrisi ternak, dan dapat disebabkan oleh proporsi darah tetuanya yaitu kambing Etawah yang umumnya hanya melahirkan anak tunggal, jarang kembar (DITJENNAK 1981). Kejadian ini didukung oleh laporan Devendra dan Burns (1994) bahwa kambing PE mengalami kelahiran tertinggi hingga terendah adalah pada kelahiran tunggal (54,8%), kembar dua (39,8%), kembar tiga (5,1%), dan empat (0,03%). Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Sodiq dan Sumaryadi (2002) bahwa tipe kelahiran tertinggi pada kambing PE ialah pada tipe kelahiran kembar dua (55,7%) diikuti dengan kelahiran tunggal (40,8%).

(45)

(Atabany, 2001). Kematian anak yang tinggi dapat disebabkan pemberian pakan hijauan rumput lapang kering. Rumput lapang yang dikeringkan memiliki kandungan lignin yng tinggi, sehingga daya cernanya rendah. Ternak muda masih harus menyesuaikan rumennya dengan pakan selain susu, sehingga pada awal pertumbuhannya, ternak muda perlu diberikan hijauan yang lebih mudah dicerna, yakni hijauan dengan dengan kandungan lignin yang rendah.

Berdasarkan Tabel 11, persentase ternak yang bertahan hidup tertinggi adalah pada anak yang merupakan tipe kelahiran kembar tiga dan yang terendah ialah pada tipe kelahiran kembar empat. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Sukendar (2005), bahwa jumlah kematian kembar empat adalah tertinggi. Menurut laporan Devendra dan Burns (1994), tipe kelahiran tidak berpengaruh nyata terhadap daya hidup ternak dan lebih terkait dengan bobot anak saat dilahirkan. Menurut Sodiq dan Sumaryadi (2002) daya hidup anak dapat meningkat seiring dengan meningkatnya bobot lahir.

Bobot Lahir. Bobot lahir anak pada lokasi penelitian adalah 2,13 kg pada anak jantan, lebih ringan daripada anak betina yaitu 2,83 kg dengan rerata 2,48 kg. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Devendra dan Burns (1994) bahwa bobot lahir anak jantan cenderung lebih berat daripada anak betina. Bobot lahir di lokasi penelitian masih lebih rendah dari laporan Sutama et al. (1995) yakni bobot lahir anak kambing PE jantan ialah 3,5 kg dan betina 3,0 kg dan menurut Atabany (2001) yaitu rata-rata 3,97 kg pada anak jantan dan 3,73 kg pada anak betina. Bobot lahir yang rendah di lokasi penelitian dapat disebabkan oleh kurangnya konsumsi pakan untuk mencukupi kebutuhan induk bunting, karena jumlah pemberian pakan untuk induk bunting dan ternak yang tidak bunting di lokasi penelitian tidak dibedakan. Menurut Ludgate (1989), ternak yang sedang bunting membutuhkan lebih banyak zat makanan dari pada ternak yang tidak bunting.

Pembibitan Pemeliharaan Ternak Bibit

(46)

kering, dengan lampu 100 watt sebagai penghangat. Anak kambing diberikan susu kolotrum selama 7 hari pertama kemudian diberikan susu sapi sebagai pengganti ditambah rumput lapang kering setelah 7 hari hingga umur 4-5 bulan. Hal ini dilakukan karena susu induk kambing akan dijual sebagai pendapatan utama. Aktivitas ini sesuai dengan pernyataan bahwa umumnya kambing perah disapih sedini mungkin sehingga susu dari induknya dapat dipakai untuk kebutuhan rumah tangga ataupun komersial (Williamson dan Payne, 1993). Pemberian susu kolostrum masih terlalu lama karena menurut Devendra dan Mc Leroy (1982) kolostrum cukup diberikan pada anak kambing selama 3-5 hari pertama.

Anak kambing baru dipisahkan setelah umur 4-5 bulan, hal ini masih mendekati saran yang diajukan oleh Devendra dan Burns (1994) bahwa perlu dilakukan pemisahan sejak betina berumur 3 bulan, dan jantan muda dikandangkan atau ditambatkan secara tepisah. Hal ini dilakukan untuk mencegah kebuntingan dini pada anak betina yang ada di kelompoknya dan untuk memudahkan dalam menilai keunggulan jantan dan mencari bibit jantan. Namun pada lokasi penelitian ada jantan berumur lebih dari 2 tahun yang masih dikandangkan bersama dengan betina berumur 2 tahun, hal ini dapat mengakibatkan turunnya keagresifan jantan dalam perkawinan.

Sistem Perkawinan

Rata-rata umur kawin pertama pada ternak jantan adalah 315,00±135,00 hari (10,5 ±4,5 bulan) dan betina 648,0±243,6 hari (21,60±8,12 bulan). Hal ini sesuai dengan pernyataan Abdulgani (1981) bahwa kambing jantan dapat digunakan sebagai pejantan pada umur yang lebih muda daripada kambing betina, asalkan pemakaiannya tidak terlalu sering, maksimal satu kali dalam seminggu.

(47)

nutrisi dalam pakan ternak dan seringnya terjadi berahi tenang pada dara sehingga menyulitkan peternak untuk mendeteksi berahi.

Perkawinan di peternakan dilakukan secara alami. Kambing betina yang berahi dibawa ke tempat perkawinan yang dapat berupa lapangan rumput di depan kandang betina atau dapat pula di lokasi yang memungkinkan untuk melakukan perkawinan dan setiap perkawinan dilakukan 2-3 kali ejakulasi. Tidak terdapat lokasi khusus untuk melakukan perkawinan. Pemacek yang digunakan setiap tahunnya adalah empat ekor, rasio jantan pemacek dengan betina dewasa ialah 1:7,5. Jumlah jantan dewasa di peternakan masih terlalu banyak, seharusnya seekor pejantan mampu mengawini lebih banyak betina seperti yang dilaporkan Rosita (2003) bahwa pejantan di Desa Tenjo dapat mengawini rata-rata 15,5 ekor betina dan menurut Atabany (2001), pejantan di Peternakan Barokah dapat mengawini betina sebanyak 14 ekor.

Pejantan pada lokasi penelitian mempunyai rataan kemampuan mengawini betina sampai menjadi bunting sebanyak 1,32 perkawinan, lebih sedikit dari penelitian Atabany (2001) di Peternakan Barokah yaitu 1,95 perkawinan. Menurut Toelihere (1981), banyaknya perkawinan per kebuntingan yang normal berkisar 1,0-2,0. Menurut Atabany (2001) semakin rendah nilai S/C maka semakin tinggi tingkat kesuburan betina.

Sistem Pembibitan

Ternak bibit yang dibeli sebagai modal awal oleh pihak koperasi ialah ternak dara siap kawin sebanyak total 37 ekor dan pejantan siap kawin sebanyak 6 ekor. Jumlah ini terus berkembang hingga sekarang. Seluruh anak betina dan dara akan dipersiapkan sebagai ternak bibit dan hanya akan dikeluarkan jika ada yang membutuhkan untuk mengembangkan usaha peternakan kambing perah. Sebagai ternak komersial, pihak koperasi hanya akan mengeluarkan ternak jantan.

(48)

dikembangkan berdasar pada performa ternak secara individu. Seleksi ternak untuk bibit di lokasi penelitian kurang sesuai dengan anjuran Rahadi et al. (1993) yaitu untuk dapat memilih ternak yang baik, perlu melihat catatan pemeliharaan ternak yang terdiri atas asal-usul ternak, kapasitas produksi dan reproduksi, tingkat kesehatan ternak serta tilik ternak sebagai alternatif.

Tidak ada perbedaan dalam pemeliharaan ternak bibit atau yang akan dijual sebagai ternak komersial. Ternak calon bibit jantan dan betina yang dipelihara dipilih yang tidak cacat secara fisik, postur tubuh yang besar, dan telinga yang menjuntai ke bawah. Pada lokasi penelitian, kriteria pemilihan bibit pada kambing jantan diantaranya adalah testes yang terpaut seimbang dan pada betina adalah ambing yang simetris. Kriteria seleksi pada lokasi penelitian sesuai dengan anjuran bahwa pemilihan calon pejantan ialah dengan memperhatikan penis dan testes pada jantan untuk memastikan dapat berfungsi normal (Tomaszewska et al., 1993) dan menurut Leach (1975), kriteria seleksi kambing perah induk dan betina muda ialah bentuk dan penempatan ambing yang baik

Ternak yang akan dikeluarkan untuk dijual dipilih berdasarkan catatan kesehatan serta warna bulu yang didominasi oleh warna cokelat. Menurut Heryadi (2001), ternak kambing PE yang perlu dipertahankan ialah yang memiliki gabungan dua warna, hitam dan putih. Pengeluaran ternak dilakukan sewaktu-waktu, tergantung permintaan serta kebutuhan koperasi. Pengeluaran ternak seharusnya harus dilakukan secara kontinyu untuk menghindari kerugian dari segi pakan, perawatan serta waktu yang dikeluarkan untuk ternak yang tidak efisien. Ternak yang dikeluarkan seharusnya memperhatikan catatan produktivitasnya, ternak yang sudah tidak produktif sebaiknya dikeluarkan dari populasi. Pengeluaran ternak dapat menjaga kualitas bibit kambing perah di peternakan agar produktivitas populasi ternak dapat selalu meningkat.

(49)

baik, karena menurut Tomaszewska et al. (1993) pencatatan yang perlu dilakukan pada pembibitan ialah tanggal perkawinan, tanggal kelahiran, jumlah anak yang lahir (hidup atau mati), bobot lahir, dan bobot sapih. Data produksi susu dicatat per hari, tidak per individu. Hal ini dapat menyulitkan dalam pemilihan ternak pengganti untuk pengembangan selanjutnya. Menurut Wiener (1994) pada usaha ternak perah, data individu adalah sangat penting untuk menentukan ternak jantan dan betina pengganti (replacement stock) berdasarkan performa produksi dan reproduksi tetuanya.

Usaha Peternakan Kambing Perah

Koperasi Daya Mitra Primata (DMP) merupakan salah satu unit usaha koperasi staf dan karyawan LP IPB Pusat Studi Satwa Primata (PSSP). Koperasi PSSP memiliki sumber pendapatan dari berbagai unit usaha, diantaranya koperasi penyediaan sembilan bahan pokok dan koperasi peternakan kambing perah (DMP), serta eksportir monyet PT. Wanara Satwa Lokal (WSL) yang modalnya berasal dari staf dan karyawan PSSP .

Biaya Produksi Peternakan Kambing Perah

Koperasi melakukan pembelian bibit pada tahun 2002. Ternak pengganti diperoleh dari perkembangbiakkan selanjutnya di lokasi penelitian. Pada Tabel 12 disajikan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bibit pada tahun 2002.

Tabel 12. Biaya Pembelian Bibit Koperasi Daya Mitra Primata Tahun 2002 Pembelian biaya

Kelompok

Jantan Betina Jantan Betina total

(ekor) ---(Rp)---

Total 12.000.000,00 54.500.000,00 66.500.000,00

(50)

dibandingkan dengan modal awal lainnya yaitu biaya pembangunan kandang dan kantor sebesar Rp 50.000.000,00 dan peralatan sebesar Rp 12.197.400,00. Hal ini sesuai dengan laporan Ensminger (2001) bahwa biaya investasi terbesar ialah pada pembelian bibit.

Usaha peternakan kambing perah di Pada Tabel 13 dapat diketahui biaya tetap total di Koperasi Daya Mitra Primata terdiri atas biaya penyusutan kandang, kantor serta peralatan. Sedangkan biaya variabel total terdiri atas biaya pakan, tenaga kerja, pembelian alat habis, obat-obatan ternak, bahan bakar berupa minyak tanah dan listrik.

Tabel 13. Struktur Biaya Produksi Peternakan Kambing PE di Koperasi Daya Mitra Primata bulan April – Juni 2006

Komponen Satuan Jumlah

(51)

Berdasarkan Tabel 13 komposisi biaya produksi total selama dua bulan masa penelitian pada peternakan yang diteliti memperlihatkan bahwa pada peternakan kambing PE tidak terdapat biaya untuk sewa lahan dan bunga pinjaman pada biaya tetapnya, hal ini disebabkan karena menggunakan lahan pribadi dan modal sendiri. Pakan hijauan berasal dari kebun milik sendiri dan sisa hasil kebun di daerah sekeliling sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk pakan hijauan.

Menurut Kussiriyanto (1986), faktor yang lazim untuk mengukur produktivitas adalah tenaga kerja. Hal ini disebabkan karena besarnya biaya yang dikorbnkan untuk tenaga kerja sebagai bagian dari biaya yang terbesar untuk pengadaan produk. Pada biaya variabel, biaya tenaga kerja merupakan yang terbesar, yaitu 51,13% diikuti oleh biaya untuk pakan yaitu 33,61%. Komposisi biaya terbesar pada peternakan kambing PE tidak sejalan dengan laporan Atabany (2001) bahwa komponen biaya terbesar ialah biaya pakan sebesar 48,87%, selanjutnya biaya tenaga kerja 29,62% . Jumlah tenaga kerja yang secara langsung menangani ternak adalah 3 orang pria dewasa dengan delapan jam kerja per hari atau setara dengan 3 HKP (Harian Kerja Pria). Perbandingan tenaga kerja dengan ternak yang di tangani adalah 1 HKP : 2,09 ST. Jumlah ini masih kurang dari anjuran Soekartawi et al. (1986) bahwa 1 HKP dapat menangani 2,2 ST kambing, sehingga jumlah ternak, terutama ternak laktasi perlu ditambah.

Pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa biaya peubah total lebih tinggi daripada biaya tetap total. Biaya produksi secara keseluruhan selama bulan April hingga Juni 2006 ialah sebesar Rp 14.720.752,00.

Penerimaan Usaha Peternakan Kambing Perah

Gambar

Tabel 1. Rerata Konsumsi Pakan Kambing PE pada Masing-masing
Gambar 1. Kandang Panggung Kambing Perah di Koperasi Daya Mitra
Tabel 2. Luas Kandang Kambing di Koperasi Daya Mitra  Primata (DMP) dan Pada Beberapa Hasil Penelitian Lain
Tabel 3. Populasi Kambing Perah PE di Koperasi Daya Mitra Primata
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji: 1) Pengaruh partisipasi anggaran terhadap budget slack, 2) Pengaruh asimetri informasi terhadap budget slack. Jenis penelitian

 Untuk Ku-band, hanya di slot 113 BT dan 118 BT yang sudah Part-IIS  Ka-band belum ada satupun filing Indonesia yang Part-IIS.  Saat ini satelit-satelit HTS yang

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pokok dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan kepala madrasah dan

penulis akan menciptakan sebuah karya seni yang bersifat fungsional berupa Softcase Drumset dengan berbahan dasar kulit nabati yang nantinya akan diproses

Koreksi penuh pada peta laut dilakukan secara periodik dan akan menghasilkan peta edisi baru/ diperbarui yang dimutakhirkan oleh kumpulan informasi dalam Berita Pelaut (Notices

(2) Pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil yang bersangkutan mengajukan nama calon yang telah memenuhi

Perlu dilakukan penelitian atau kajian lanjutan untuk mengetahui perilaku imago parasitoid secara detail ketika berada di dalam habitat yang mengandung

Kegagalan material SA-210C ini dianalisa akibat tekanan internal maksimum fluida yang melewati pipa pada lokasi 1 melebihi perhitungan yang diizinkan, dengan penyebab