• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup sebelum uji tantang (hari ke-1 sampai hari ke-14) pada semua perlakuan sama yaitu sebesar 100%. Setelah uji tantang (hari ke-15 sampai hari ke-28) kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan 0,5% yaitu sebesar 83,33±10,00% dan terendah terdapat pada perlakuan kontrol positif yaitu sebesar 40±8,66%. Berdasarkan uji lanjut, perlakuan 0,5% berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan1%, 2% dan kontrol positif, namun antar perlakuan 1% dan 2% tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 3). Kelangsungan hidup ikan patin sebelum dan sesudah uji tantang dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan: huruf yang sama pada diagram batang ( ) menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Gambar 2 Kelangsungan hidup ikan patin tiap perlakuan sebelum dan sesudah uji tantang 100,00 100,00±0,00 100,00±0,00 100,00 100,00 100,00 40,00±10,00 83,33±2,89 61,67±5,77 60,00±8,66 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 K- K+ 0,5% 1% 2% K el angsungan H idu p ( % ) Perlakuan

Sebelum uji tantang Setelah uji tantang

10

Nafsu Makan Ikan

Nafsu makan ikan tertinggi sebelum uji tantang (hari 1 sampai hari ke-14) dari perlakuan dosis terdapat pada perlakuan 0,5% yaitu sebesar 4,81±0,07% dan terendah terdapat pada perlakuan 2% yaitu sebesar 3,34±0,09%. Berdasarkan uji lanjut, perlakuan 0,5% dan 1% berbeda nyata (P<0,05) dengan semua perlakuan, namun antar perlakuan kontrol positif, kontrol negatif dan 2% tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 4).

Nafsu makan ikan patin tertinggi setelah uji tantang (hari ke-15 sampai hari ke-28) dari perlakuan dosis terdapat pada perlakuan 0,5% yaitu sebesar 3,37±0,20% dan terendah terdapat pada perlakuan kontrol positif yaitu sebesar 2,64±0,35%. Berdasarkan uji lanjut, semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05), namun berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol negatif (Lampiran 5). Nafsu makan ikan patin sebelum dan sesudah uji tantang dapat dilihat pada Gambar 3.

Keterangan: huruf yang sama pada diagram batang ( ) menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) huruf yang sama pada diagram batang ( ) menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Gambar 3 Nafsu makan ikan patin tiap perlakuan sebelum dan sesudah uji tantang

Konversi Pakan

Konversi pakan tertinggi sebelum uji tantang(hari ke-1 sampai hari ke-14) terdapat pada perlakuan 2% yaitu sebesar 4,68±0,35 dan terendah terdapat pada perlakuan kontrol positif yaitu sebesar 4,15±0,31. Berdasarkan uji lanjut, semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 6).

Konversi pakan tertinggi setelah uji tantang (hari ke-15 sampai hari ke-28) dari perlakuan dosis terdapat pada perlakuan 2% yaitu sebesar 1,59±0,39 dan terendah terdapat pada perlakuan kontrol positif yaitu sebesar 1,34±0,09. Berdasarkan uji lanjut, semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 7). Nilai konversi pakan ikan patin sebelum dan sesudah uji tantang dapat dilihat pada Gambar 4. 3,45±0,28 3,42±0,19 4,81±0,07 4,53±0,09 3,34±0,09 4,47±0,05 2,64±0,35 3,37±0,20 2,70±0,23 2,78±0,52 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 K- K+ 0,5% 1% 2% Naf su M ak an Ik an (% ) Perlakuan

Sebelum uji tantang Sesudah uji tantang

11

Keterangan: huruf yang sama pada diagram batang ( ) menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) huruf yang sama pada diagram batang ( ) menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Gambar 4 Konversi pakan ikan patin tiap perlakuan sebelum dan sesudah uji tantang

Pengamatan Organ Dalam

Pengamatan organ dalam bertujuan untuk mengetahui adanya kelainan yang terjadi setelah uji tantang pada ikan patin. Organ dalam yang diamati meliputi; hati, ginjal, empedu, dan limpa. Parameter yang diamati berupa warna dan morfologinya. Perbedaan morfologi dan warna masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 5.

Tabel 6 Warna dan morfologi organ dalam ikan patin pada akhir pemeliharaan Organ Perlakuan K- K+ 0,5% 1% 2% Hati Merah kecoklatan Merah kekuningan dan membengkak Merah kecoklatan Merah kekuningan Merah kekuningan Ginjal Merah tua

kecoklatan Merah kekuningan

Merah kehitaman Merah kehitaman Merah kehitaman

Limpa Merah tua

Kuning dan

membengkak Merah tua Kekuningan

Kekuningan dan bengkak

Empedu

Hijau

kebiruan Hijau kekuningan Hijau kebiruan

Hijau kekuningan Hijau kekuningan 4,18±0,25 4,15±0,31 4,46±0,32 4,66±0,07 4,68±0,35 4,19±0,49 1,34±0,09 1,43±0,04 1,44±0,05 1,59±0,39 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 K- K+ 0,5% 1% 2% K on ve rsi P ak an Perlakuan

Sebelum uji tantang Setelah uji tantang

12

Kontrol negatif Kontrol positif

Perlakuan 0,5% Perlakuan 1%

Perlakuan 2%

Gambar 5 Pengamatan organ dalam ikan patin tiap perlakuan pada akhir pemeliharaan (keterangan: 1=limpa; 2=ginjal; 3=hati; 4=empedu)

Gejala Klinis dan Penyembuhan Luka

Pengamatan gejala klinis dilakukan dengan metode skoring, yaitu nilainya didapat melalui pengukuran diameter luka pada ikan uji dengan penyamplingan 3 ekor tiap akuarium. Semakin tinggi nilainya semakin buruk keadaan ikannya. Pengamatan gejala klinis dilakukan sampai hari ke-14 setelah uji tantang A. hydrophila. Proses penyembuhan luka dapat terlihat dari mengecilnya diameter luka. Perubahan diameter luka yang terjadi tiap perlakuan berbeda-beda, serta lama waktu penutupan yang bervariasi. Pada perlakuan kontrol negatif setelah dilakukan penyuntikan dengan PBS (0,1 mL/ekor) tidak menunjukkan adanya kelainan klinis sampai akhir pemeliharaan (Gambar 6).

Gambar 6 Ikan patin kontrol negatif tidak mengalami kelainan klinis sampai akhir pemeliharaan 1 2 3 4 1 3 2 1 4 3 4 3 1 2 3 4 1 4 2 2

13

Gejala klinis yang terjadi pada hari ke-1 pascauji tantang pada perlakuan kontrol positif berupa radang, nekrosis, dan adanya kematian. Perlakuan 0,5%, gejala klinis yang terjadi berupa hemoragi, nekrosis, dan adanya kematian. Perlakuan 1%, gejala klinis yang terjadi berupa hemoragi, nekrosis, dan kematian. Pada perlakuan 2%, gejala klinis yang terjadi berupa nekrosis, tukak dan adanya kematian. Perbedaan gejala klinis yang terjadi pada semua perlakuan (K+, 0,5%, 1%, 2% ) pada hari ke-1 pascauji tantang dapat dilihat pada Gambar 7.

a) Kontrol positif (radang & nekrosis) b)Perlakuan 0,5% (hemoragi & nekrosis)

c) Perlakuan 1% (nekrosis & tukak) d)Perlakuan 2% (nekrosis & tukak) Gambar 7 Pengamatan gejala klinis ikan patin pasacauji tantang pada hari ke-1

Gejala klinis yang terjadi pada hari ke-7 pascauji tantang pada semua perlakuan berupa tukak. Namun, yang membedakan antar perlakuan adalah besar kecilnya diameter luka yang terjadi. Perbedaan gejala klinis yang terjadi pada semua perlakuan (K+, 0,5%, 1%, 2% ) pada hari ke-7 pascauji tantang dapat dilihat pada Gambar 8.

a) Kontrol positif (tukak) b)Perlakuan 0,5% (tukak)

c) Perlakuan 1% (tukak) d) Perlakuan 2% (tukak)

14

Gejala klinis yang terjadi pada hari ke-14 pascauji tantang pada perlakuan kontrol positif berupa nekrosis. Pada perlakuan 0,5%, luka mengalami penyembuhan setelah hari ke-14. Pada perlakuan 1% dan perlakuan 2%, luka yang terjadi hampir sembuh setelah hari ke-14. Perbedaan gejala klinis yang terjadi pada semua perlakuan (K+, 0,5%, 1%, 2% ) pada hari ke-14 pascauji tantang dapat dilihat pada Gambar 9.

a) Kontrol postitif (nekrosis) b) Perlakuan 0,5% (sembuh)

c) c) Perlakuan 1% (hampir sembuh) d) d) Perlakuan 2% (hampir sembuh) Gambar 9 Pengamatan gejala klinis ikan patin pascauji tantang pada hari ke-14

Secara keseluruhan, gejala klinis yang timbul setelah uji tantang bakteri A. hydrophila berupa nekrosis, hemoragi, tukak dan kematian. Penentuan gejala klinis ini berdasarkan skoring yang dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Skoring gejala klinis ikan patin tiap perlakuan pascauji tantang Proses penyembuhan yang ditandai dengan proses penyempitan luka yang terjadi pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11.

0 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 N il ai g ej al a kl in is Hari ke- K-k+ 0,5% 1% 2%

15

Gambar 11 Perubahan rata-rata diameter luka ikan patin tiap perlakuan selama 14 hari pascauji tantang

Pada perlakuan kontrol positif, diameter luka yang terjadi semakin membesar sampai hari ke-3, kemudian mengalami penyempitan dari hari ke-4 sampai hari ke-14. Namun, penyempitan luka ini tidak sampai sembuh total. Pada perlakuan 0,5%, diameter luka yang terjadi mengalami penyempitan mulai dari hari ke-2 sampai hari ke-14 yang terus-menerus hingga ikan uji mengalami penyembuhan total. Pada perlakuan 1% dan 2% diameter luka yang terjadi mengalami penyempitan dari hari ke hari hingga luka tersebut hampir sembuh.

Secara keseluruhan bahwa jumlah kematian terbanyak terjadi pada hari pertama pascauji tantang, dengan kematian tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol positif dan kematian terjadi hingga hari ke-7. Jumlah kematian kumulatif yang terjadi pascauji tantang dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Jumlah kematian kumulatif ikan patin yang terjadi pascauji tantang 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Di a m e te r ra ta -r a ta l u k a (cm) Hari Ke- K+ 0,5% 1% 2%

K-16

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian, kontrol negatif tidak terjadi kematian ikan uji sampai akhir pemeliharaan. Hal ini terjadi karena ikan uji hanya disuntik dengan PBS. Berdasarkan nilai kelangsungan hidup ikan uji, dapat diketahui, bahwa semakin tinggi konsentrasi pemberian tepung daun mengkudu semakin rendah kelangsungan hidupnya. Hal tersebut terjadi diduga karena toksisitas bahan yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan dosis suatu bahan. Daun mengkudu mengandung bahan aktif berupa alkaloid. Senyawa alkaloid diduga memiliki efek negatif yaitu dapat bersifat racun bagi ikan. Namun demikian, alkaloid pada jumlah tertentu dapat bekerja secara sinergis dengan senyawa lainnya, sehingga tidak bersifat racun bagi ikan (Naim 2004). Peningkatan dosis setelah dosis tersebut tidak lagi memberikan efek positif tetapi justru sebaliknya. Bahan aktif seperti alkaloid yang telah terserap oleh tubuh dalam jumlah yang berlebihan akan dinetralkan kembali oleh tubuh. Implikasinya kerja organ hati ikan uji akan semakin berat atau bahkan terganggu. Menurut Cipriano et al. (2001), organ hati sangat berpengaruh pada proses metabolisme. Dengan demikian tubuh ikan akan menjadi lemas dan sangat mudah terserang oleh infeksi bakteri A. hydrophila.

Perlakuan 0,5% merupakan dosis yang baik sehingga dapat bekerja dengan sinergis dalam tubuh ikan uji yang ditunjukkan dengan kelangsungan hidup yang mencapai 83,33% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Menurut Naim (2004), alkaloid dapat berfungsi sebagai antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif serta efektif membunuh virus. Bahan aktif selain alkaloid menurut Deshmukh et al. (2011) dan Zoleta et al. (2014) adalah flavonoid, terpenoid. antrakuinon, dan saponin. Senyawa tersebut diduga sebagai bahan aktif yang berperan sebagai imunostimulan dan antibakteri.

Perlakuan kontrol positif tanpa diberi tepung daun mengkudu memiliki kelangsungan hidup yang rendah. Hal ini disebabkan oleh bakteri A. hydrophila menghasilkan enzim dan toksin yang dikenal dengan produk ekstraseluler (extra cellular product, ECP) yang mengandung sedikitnya aktivitas hemolisis dan protease yang merupakan penyebab patogenisitas pada ikan (Angka 2005). Dengan demikian, ECP menyebabkan kematian yang tinggi karena sistem imun ikan yang lemah.

Pada penelitian ini pemberian dosis 0,5% merupakan dosis yang paling baik yang ditunjukkan dengan nafsu makan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Menurut Suprapto (2006), flavonoid dapat merangsang sistem imun dengan cara mengirimkan sinyal secara intraseluler pada reseptor sel sehingga sel bekerja lebih optimal. Peningkatan laju metabolisme akan meningkatkan pembentukkan sel makrofag yang berfungsi sebagai sel fagositik, sehingga sistem imun akan bekerja lebih baik.

Laju metabolisme yang tinggi mengakibatkan laju pengosongan lambung pada ikan lebih cepat, yang selanjutnya akan meningkatkan nafsu makan ikan. Setelah uji tantang, nafsu makan ikan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Hal ini terjadi karena setelah uji tantang semua perlakuan hanya diberi pakan komersial saja tanpa campuran tepung daun mengkudu. Nafsu makan ikan semakin menurun seiring dengan meningkatnya dosis pemberian daun mengkudu,

17

terutama pada perlakuan 2%. Senyawa alkaloid yang bersifat racun yang masuk ke dalam tubuh akan dinetralkan oleh hati. Peningkatan senyawa alkaloid akan menyebabkan kerja hati semakin berat dan terganggu (Cipriano et al. 2001). Hal ini akan mengganggu fungsi fisiologis ikan yang akhirnya berdampak penurunan nafsu makan ikan.

Konversi pakan ikan uji sebelum dan sesudah uji tantang tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tepung daun mengkudu dengan dosis 0,5%, 1% dan 2% tidak mempengaruhi kualitas pakan tiap perlakuan. Menurut NRC (1993), besar kecilnya rasio konversi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor tetapi yang terpenting adalah kualitas dan kuantitas pakan, spesies, ukuran dan kualitas air. Besar kecilnya rasio konversi pakan ini sangat menentukan efektivitas pakan tersebut.

Berdasarkan pengamatan kondisi organ dalam, terdapat perbedaan antara ikan yang disuntik dengan PBS dengan ikan uji yang disuntik A. hydrophila. Pada perlakuan kontrol negatif tidak menunjukkan adanya kelainan organ dalam. Pada perlakuan 0,5% terlihat bahwa hampir sama dengan perlakuan kontrol negatif, hanya saja ginjal berwarna merah kehitaman. Hal ini terjadi karena organ ginjal merupakan organ yang berperan sebagai penyaring (filter) beberapa bahan buangan sisa metabolisme yang terdapat dalam darah. Menurut Taufik (2001), patogen A. hydrophila selain memakan dan merusak jaringan organ tubuh juga mengeluarkan toksin yang disebarkan ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Oleh karena itu, ginjal berwarna merah kehitaman karena telah menyaring buangan sisa metabolisme dalam darah yang tercemar oleh toksin bakteri A. hydrophila.

Pada perlakuan 1% dan 2% warna organ dalam hampir sama hanya saja limpa memgalami pembengkakkan pada perlakuan 2%. Limpa merupakan organ yang berperan dalam pemecahan eritrosit tua dan membentuk sel darah baru (Abdullah 2008). Perubahan organ limpa pada perlakuan ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah pigmen dan hemosiderin pada limpa. Peningkatan tersebut disebabkan oleh aktivitas toksin bakteri yaitu adanya enzim hemolisin yang mampu melisiskan sel darah merah dan membebaskan hemoglobinnya (Angka 2005). Perlakuan 1% dan 2% memiliki empedu yang berwarna hijau kekuningan dan pembengkakkan pada perlakuan kontrol positif. Perubahan warna empedu menjadi kekuningan disebabkan oleh adanya gangguan pada organ hati, sehingga pembongkaran eritrosit menjadi hemin, Fe dan globin menjadi terhambat. Dengan demikian, produksi hemin sebagai zat asal warna empedu menjadi menurun (Hafsah 1994).

Perubahan morfologi dan warna pada perlakuan kontrol positif, secara umum disebabkan oleh adanya infeksi A. hydrophila. Hal ini terjadi karena sistem imun yang lemah karena tidak diberi pakan imunostimulan yang dapat merangsang sistem imunitasnya. Selain itu, dengan adanya infeksi bakteri mengakibatkan rendahnya nafsu makan karena adanya kerusakan organ dalam berupa pembengkakkan pada hati, dan limpa. Hal ini senada dengan pernyataan Taufik (1984) dan Kabata (1985), bahwa respons makan rendah merupakan salah satu gejala infeksi bakteri A. hydrophila. Salah satu organ target infeksi A. hydrophila adalah organ hati yang dapat mengakibatkan pendarahan pada organ tersebut. Menurut Cipriano et al. (2001), organ hati sangat berpengaruh pada proses metabolisme. Hati merupakan pusat metabolisme tubuh dan tempat penyimpanan glikogen dan lemak, serta emulsifikator lemak. Oleh karena itu,

18

adanya infeksi bakteri A. hydrophila dapat mengakibatkan terganggunya proses metabolisme tubuh dan akhirnya ikan mengalami kematian.

Secara keseluruhan dari hasil pemeriksaan organ dalam, ikan uji perlakuan 0,5% memberikan hasil yang baik yaitu hampir sama dengan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tepung daun mengkudu pada pakan ikan uji mampu mempercepat regenerasi sel-sel yang rusak dan meningkatkan mekanisme respons imun ikan, baik seluler maupun humoral yang merupakan komponen penting dalam sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi. Kondisi fisiologis homeostasis tubuh terkendali dan meningkatkan hemostasis saat terjadi luka.

Secara umum, gejala klinis yang terjadi pascauji tantang adalah radang, hemoragi, nekrosis, tukak dan adanya kematian. Pada perlakuan kontrol negatif setelah dilakukan penyuntikan dengan PBS (0,1 mL/ekor) tidak menunjukkan adanya kelainan klinis sampai akhir pemeliharaan. Pada perlakuan kontrol positif mengalami kelainan seperti radang, hemoragi, nekrosis, tukak dan kematian. Peradangan terjadi di daerah sekitar masuknya patogen. Kelainan ini terjadi karena adanya patogen yang masuk ke dalam tubuh inang dan menyebabkan infeksi. Pada dasarnya reaksi peradangan meliputi tiga tahap, yaitu terjadinya peningkatan suplai darah ke daerah sekitar luka atau infeksi, bertambahnya sifat permeabilitas pipa kapiler darah, serta terjadinya proses migrasi leukosit yang keluar dari kapiler dan masuk ke dalam jaringan secara merata (Suzuki 1992).

Pada penelitian ini setelah mengalami radang pascapenyuntikan A. hydrophila, kemudian berkembang menjadi hemoragi. Patogen A. hydrophila mendegradasi jaringan organ tubuh serta mengeluarkan toksik yang disebarkan ke seluruh tubuh melalui aliran darah sehingga menimbulkan warna kemerahan pada tubuh ikan. Infeksi A. hydrophila berkembang cepat dalam waktu 24 jam setelah infeksi, sehingga banyak ikan uji yang mengalami gejala tukak dan akhirnya mengalami kematian. Tingginya kematian pada perlakuan kontrol positif ini karena tidak diberi pakan yang mengandung bahan imunostimulan yang dapat merangsang sistem imunitasnya.

Menurut Angka (2005), gejala klinis ini terjadi karena adanya eksotoksin dan endotoksin dari bakteri. Eksotoksin merupakan komponen protein terlarut yang disekresikan oleh bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial (Syamsir 2008). Produk ekstraselular dari A. hydrophila terdiri atas hemolisin α dan β, protease, elastase, lipase, sitotoksin, enterotoksin, gelatinase, kaseinase, lesitiinase dan leukosidin (Handfield 1996, Cascon et al. 2000). Bakteri ini memproduksi toksin ekstraselular yang menyebabkan terjadinya ganguan fisiologis dan kematian ikan uji. Enzim protease yang dihasilkan akan mendenaturasi protein sel dan mengambil penyediaan nutrien sehingga bakteri dapat berkembangbiak (Angka 2005). Selanjutnya, hemolisin yang dihasilkan mampu melisiskan sel darah merah dan membebaskan hemoglobinnya. Selanjutnya, adanya enzim lesitinase dapat menghancurkan berbagai sel jaringan dan terutama aktif melisiskan sel-sel darah merah, sedangkan adanya enzim leukosidin dapat membunuh sel-sel darah putih (Pleczar & Chan 1988). Ketika Aeromonas hydrophila masuk ke dalam tubuh inang, maka toksin yang dihasilkan akan menyebar melalui aliran darah menuju organ. Endotoksin merupakan bagian integral dari dinding sel bakteri gram negatif yang bersifat toksik. Aktivitas biologis dari endotoksin dihubungkan dengan keberadaan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen penyusun permukaan dari membran terluar (outer

19

membrane) bakteri Gram negatif. Menurut Syamsir (2008), LPS dapat menyebabkan peradangan, demam, penurunan kadar besi dan pembekuan darah. Selanjutnya menurut Angka (2005), LPS dapat menyebabkan goncangan (shock) pada inang. Namun demikian, endotoksin ini akan dilepaskan ke lingkungan hanya apabila bakteri tersebut mati dan mengalami lisis.

Diameter luka yang terjadi mengalami sedikit penyempitan dengan waktu yang lebih lambat, terutama pada perlakuan kontrol positif. Hal ini terjadi, karena rusaknya jaringan limfomieloid sehingga ikan uji tidak mampu meningkatkan mekanisme respons imunitasnya, akibatnya banyak ikan uji yang mati pada perlakuan ini. Limfomieloid merupakan organ pembentuk respons imun dan darah pada ikan, yang terdiri dari jaringan limfoid (organ yang merespons antigen) dan mieloid (organ penghasil darah) bergabung menjadi satu (Affandi & Tang 2002).

Adanya penambahan tepung daun mengkudu dengan dosis 0,5% memberikan hasil yang lebih baik ditinjau dari diameter luka yang lebih sempit serta proses penyembuhannya yang relatif lebih cepat dibandingkan tanpa pemberian tepung daun mengkudu. Hal ini menunjukkan bahwa sistem imun pada ikan tersebut bekerja sebagai akibat adanya pemberian imunostimulan pada pakan yang termakan dan masuk ke dalam tubuh ikan. Pemberian dosis tersebut, diduga mampu meningkatkan produk jaringan limfomieloid untuk menghasilkan sel-sel darah dan meningkatkan respons imunitas ikan terhadap serangan patogen.

Peningkatan daya tahan tubuh ini diduga karena adanya senyawa alkaloid yang dibawa aliran darah menuju sel-sel tubuh. Akibatnya, sel-sel tersebut menjadi lebih aktif, sehat dan terjadi perbaikan struktur maupun fungsi serta bersifat detoksifikasi yang mampu menetralisir racun yang dihasilkan oleh bakteri A. hydrophila. Ditambahkan oleh Naim (2004), senyawa alkaloid bersifat toksik terhadap mikrob sehingga efektif membunuh bakteri dan virus. Mekanisme kerja dari alkaloid dihubungkan dengan kemampuan berinteraksi dengan DNA.

Selain itu, bahan imunostimulan yang terkandung dalam pakan adalah flavonoid yang merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Senyawa fenol dari tanaman mengkudu memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen (Pleczar & Chan 1988), sehingga dapat merusak membran sel bakteri. Selain itu, flavonoid bersifat antibakteri dan antioksidan serta mampu meningkatkan kerja sistem imun karena leukosit sebagai pemakan antigen lebih cepat dihasilkan dan sistem limfoid lebih cepat diaktifkan (Rahman 2008). Flavonoid pada daun mengkudu menempel pada sel imun dan memberikan sinyal intraselular atau rangsangan untuk mengaktifkan kerja sel imun lebih baik. Selanjutnya ditambahkan oleh Suprapto (2006), bahwa adanya peningkatan sistem imun ikan akan mengakibatkan aktivitas limfosit dalam memfagosit bakteri, sehingga meningkatkan kesehatan ikan dan akibatnya dapat meningkatkan nafsu makan ikan. Menurut Angka et al. (2004), flavonoid bersifat antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka, bersifat antibakteri dan antioksidan.

Menurut Dwidjoseputro (1994), senyawa antrakuinon pada daun mengkudu berperan dalam efek penghambatan pertumbuhan bakteri. Mekanisme kerja dari senyawa ini adalah mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada dinding sel bakteri, sehingga lapisan dari dinding sel bakteri tidak dapat terbentuk sempurna dan mekanisme tersebut dapat menyebabkan kematian sel.

20

Menurut Nursal (1997), senyawa terpenoid yang mempunyai daya polaritas sama dengan golongan fenol. Mekanisme kerja dari senyawa terpenoid adalah mengganggu proses transportasi ion penting ke dalam sel bakteri. Terpenoid mampu berikatan dengan lemak dan karbohidrat yang akan menyebabkan permeabilitas dinding sel bakteri.

Senyawa saponin berfungsi sebagai antibakteri yaitu dapat menyebabkan kebocoran protein dan enzim dari dalam sel (Madduluri 2013). Saponin dapat menjadi anti bakteri karena zat aktif permukaannya mirip detergen, akibatnya saponin akan menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri dan merusak permebialitas membran. Rusaknya membran sel ini sangat mengganggu kelangsungan hidup bakteri (Harborne 2006).

Patogen Aeromonas hydrophila selain mampu memproduksi eksotoksin dan endotoksin sebagai faktor virulensi, memiliki kemampuan untuk menempel pada sel tubuh ikan melalui aktivitas adhesins. Adhesins ini bersifat sangat selektif, hanya mampu mengenali rantai polimer D-mannosa dan L-sucosa yang terletak pada permukaan sel eukariot. Dengan menempelnya A. hydrophila pada permukaan sel inang, kemungkinan besar sel inang tersebut akan terinfeksi (Austin & Austin 1993). Namun demikian, dengan adanya senyawa saponin yang merupakan senyawa antibakteri maka akan menghambat fungsi membran sel sehingga merusak permeabilitas membran yang mengakibatkan dinding sel rusak atau hancur. Oleh karena itu, proses penyembuhan luka pada perlakuan yang diberi tepung daun mengkudu lebih cepat, karena kandungan bahan aktif telah tercampur pada pakan ini.

Ikan pada perlakuan 1% dan 2% memiliki nilai gejala klinis yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol positif, dan perlakuan 0,5% memiliki nilai gejala klinis yang lebih rendah dari perlakuan 1% dan 2%. Selain itu, pemberian dosis 0,5% memiliki jumlah kematian kumulatif yang lebih rendah dari pada perlakuan lainnya. Hal ini diduga bahan aktif sebagai imunostimulan yang masuk ke dalam tubuh ikan lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan nafsu makan ikan yang lebih tinggi pada perlakuan 0,5%. Menurut Abdullah (2008), semakin besar konsumsi pakan (nafsu

Dokumen terkait