• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Kebijakan Perdagangan Internasional Uni Eropa yang Berkaitan Dengan Komoditi Kakao Indonesia

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan penduduk Negara dengan penduduk Negara lain. Penduduk yang dimaksud adalah perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah Negara lain atau pemerintah suatu Negara dengan pemerintah Negara lain. Di banyak Negara perdagangan Internasional menjadi salah satu faktor utama untuk

5

(www.industri.kontan.go.id) ekspor kakao akan turun tiap tahun. Diakses tanggal 28 Juli 2013

6

(www.deptan.go.id) ekspor biji kakao diperkirakan turun 29 persen. Diakses tanggal 28 Juli 2013 75 744 70 695 91 707 109 838 129 103 143 910 136 764 167,063180 926 163 934 0 50,000 100,000 150,000 200,000 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 (US$ ribu)

Gambar 7 Nilai Ekspor Kakao Indonesia ke Uni Eropa (US$ ribu)

30

meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan telah terjadi selama ribuan tahun dampaknya terhadap kepentingan sosial, ekonomi, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong industrialisasi, kemajuan, transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. Dengan semakin berkembangnya perdagangan Internasional maka diperlukan kebijakan perdagangan Internasional sebagai regulasi perdagangan yang saat ini melibatkan banyak Negara.

Pada dasarnya, suatu kebijakan yang ditetapkan merupakan suatu proteksi terhadap pihak-pihak tertentu dalam perdagangan. Koo dan Kenedy (2005) juga mengatakan bahwa beberapa Negara yang menggunakan bermacam-macam kebijakan perdagangan adalah untuk melindungi industri yang tidak efisien. Suatu kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi tertentu akan menjadi hambatan bagi pihak lain jika tidak dapat memenuhi kebijakan tersebut. Dalam bidang perdagangan internasional dikenal adanya hambatan-hambatan perdagangan atau trade barriers yang digolongkan menjadi tiga bidang yaitu hambatan tariff, hambatan non tariff, hambatan administrasi.

Hambatan tariff (tariff barriers) adalah merupakan pajak dan kuota yang dikenakan atas barang impor. Pajak dan kuota terhadap barang impor biasanya ditetapkan dalam sebuah surat keputusan (SK) atau undang-undang yang mengatur regulasi secara jelas. Nilai pajak dan jumlah kuota sendiri tergantung dari produk yang diimpor. Hambatan non-tariff (non-tariff barriers) adalah hambatan masuk produk yang bukan disebabkan tariff dan kuota impor melainkan adanya standar mutu yang ditetapkan yang biasanya dikaitkan dengan persyaratan lingkungan kesehatan, keamanan, perburuhan dan etika bisnis. Secara umum yang termasuk hambatan non tariff antara lain; Costums Clearance, Customs Valuation, Customs Classification, Import Licensing. Sedangkan hambatan administari (administrasi barriers) berupa Kontrol Devisa, Lisensi Impor, dan Consular Formalities.

Uni Eropa menerapkan hambatan tariff (tariff barriers) dengan tariff berlaku umum atau Most Favour Nations (MFN) serta tariff preferensi berdasarkan skema General System of Preferences (GSP) dimana Indonesia merupakan Negara penerima fasilitas GSP dari UE. Selain itu Uni Eropa menerapkan tariff yang berbeda terhadap Negara yang tergabung dalan ACP countries (Africa, Carribean, Pacific) dengan menerapkan FTA (Free Trade Agreements) atau pembebasan tariff bea masuk melalui skema EBA (Everytihing But Arms). Untuk hambatan non-tariff (non-tariff barriers) Uni Eropa sendiri menerapkan peraturan-peraturan sebagaimana dirumuskan Coddex Alimentarius Commisions yaitu suatu badan internasional antar Negara yang salah satunya mengatur persyaratan pangan. Selain itu terdapat Regulasi European Communities (EC) No.178/2002 mengenai prinsip umum dan persyaratan pangan, persyaratan yang penting lainnya adalah Hazard Analysis Critical Point (HACCP) yang merupakan acuan perusahaan dalam melakukan setiap aktivitas produksinya, Technical barriers yang merupakan bagian non-tariff barriers yang mengatur spesifikasi teknis produksi. Sementara yang termasuk hambatan administrasi atau administrative barriers berupa cocoa certficate, packaging dan ecolabelling.

Identifikasi Kebijakan Tariff di Uni Eropa

Penetapan bea masuk merupakan salah satu kebijakan tariff yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Ketentuan tariff khususnya produk kakao di Uni Eropa telah ditetapkan berdasarkan Persetujuan Umum Tariff dan Transaksi atau General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang saat ini digantikan oleh World Trade Organization (WTO). Tujuan GATT/WTO adalah:

1. Terjadinya perdagangan dunia yang bebas, tanpa diskriminasi.

2. Menempuh disiplin di antar anggotanya supaya tidak mengambil langkah yang merugikan anggota yang lain.

3. Mencegah terjadinya perang dagang antar semua pihak.

Penetapan bea masuk kakao yang ditetapkan oleh Negara importer kakao dunia perlu diketahui untuk melihat dan membandingkan penerapan tariff kakao yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan Negara lainnya. Malaysia dan Amerika Serikat merupakan Negara importer terbesar di dunia dan juga pasar utama kakao Indonesia sehingga cocok untuk melihat dan membandingkan tarrif bea masuknya dengan tariff bea masuk di Uni Eropa.

Amerika menerapkan tariff melalui Dewan Transaksi Internasional Amerika Serikat atau United States International Trade Commision (USITC) dengan skema Harmonized Tariff Scheduled of the United States. Amerika Serikat menerapkan tariff free terhadap biji kakao dan produk mentah lainnya, untuk kakao olahan sendiri Amerika Serikat menerapkan tariff free pada kebanyakan kakao dan produk lainnya. Namun tarrif berbeda diterapkan pada kakao dengan kualitas yang lebih baik atau spesial. Malaysia yang merupakan importer kakao terbesar di kawasan Asia menerima tarrif free untuk biji kakao dan produk mentah lainnya namun menetapkan tariff sebesar 10-15 persen untuk produk kakao lainnya. Indonesia sendiri mendapatkan pembebasan tarrif sebagai sesama Negara Asean melalui Asian Free Trade Area (AFTA) dengan skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sehingga nilai pajak yang dikeluarkan para importer kakao Indonesia kepada pemerintah Malaysia tidak ada. Uni Eropa sendiri menerapkan pembebesan tarrif untuk biji kakao dan produk kakao mentah lainnya namun menerapkan tarrif yang lebih tinggi untuk produk kakao lainnya meskipun begitu Indonesia menerima fasilitas General System of Preferences (GSP) tarrif bea masuk berkurang dengan kisaran 3.5-5.2 persen tergantung jenis produk. Presentase tariff kakao pada Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Malaysia dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 menunjukkan penetapan tariff yang dilakukan Uni Eropa lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat dan Malaysia. Uni Eropa menerapkan tariff kakao olahan sebesar 9.6-7.7 persen, sedangkan untuk kakao mentah seperti biji, kulit, sekam, dan lain-lain tidak dikenakan bea masuk. Oleh karena itu, Uni Eropa sebagai kelompok Negara maju memberikan skema khusus pada Negara berkembang termasuk Indonesia, yaitu berupa Generalized System of Preferences (GSP) dari Uni Eropa guna memperluas akses pasar ke Negara-negara Uni Eropa. Generalized System of Preferences (GSP) adalah satu bentuk bantuan fasilitas dari Negara industri maju kepada Negara-negara berkembang. Bentuk fasilitas tersebut berupa penurunan atau pembebasan bea masuk atas produk-produk tertentu.

32

Tabel 15 Presentase tariff kakao pada Uni Eropa, Amerika Serikat, Malaysia.

Kode Produk

(HS) Produk

Uni Eropa Amerika

Serikat Malaysia

MFN GSP

18010 Biji Kakao Free Free Free Free

18020 Kulit, Bibit,

Serabut kakao Free Free Free Free

18030 Kakao Pasta

180310 -) Tanpa Lemak 9.60% 6.1% Free Free

180320 -)Lemak seluruhnya atau sebagian 9.60% 6.1% 0.2¢/kg Free 18040 Lemak, mentega dan minyak kakao 7.70% 4.2% Free Free 18050 Kakao bubuk tanpa gula dan bahan pemanis lainnya 8% 2.8% 0.52¢/kg Free 18060 Coklat dan produk makanan lain berbahan kakao 180610 Kakao bubuk dengan gula dan bahan pemanis lainnya

8.3% 4.1% Free Free

180620 Produk lainnya

dari HS 1806 8.3% etc 4.1% 0.52¢/kg etc Free Sumber: DG Taxud (2013), USITC (2013), Malaysia Cocoa Board (2013)

Masyarakat Uni Eropa menerapkan skema GSP pada tahun 1971. Peraturan yang tercantum dalam GSP terus mengalami perkembangan. Pada tahun 2002, dikeluarkan skema GSP, yaitu Council Regulation (EC) 2211/2002. Pemberlakuan skema tersebut dimulai pada tanggal 1 Januari 2002 – 31 Desember 2005. Pada tahun 2005 dikeluarkan Council Regulation (EC) 980/2005 yang dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2008. Pada tahun 2008 juga dikeluarkan Council Regulation (EC) 732/2008 yang dilaksanakan periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2011. Penetapan skema GSP sejak tahun 2006-2008 telah ditetapkan berlaku sampai tahun 2015 mendatang dengan maksud memberikan kontinuitas dan stabilitas bagi Negara-negara penerima GSP (Europen Commision, 2010). Selama periode 1 januari 2009 sampai 31 Desember 2011, berdasarkan Council Regulation (EC) 732/2008, terdapat tiga skema peraturan yang ditetapkan dalam GSP yaitu, GSP umum, GSP+,EBA.

Dalam penerapannya, untuk mendapatkan fasilitas GSP setiap Negara-negara eksportir harus memenuhi aturan rules of origin dimana produk-produk tersebut benar-berasal dari Negara tersebut dengan kriteria-kriteria tertentu dari tiap produk. Indonesia sendiri merupakan Negara penerima fasilitas yang dibagi dalam grup region 1 yang anggotanya adalah Negara-negara Asia Tenggara (Asean). Meskipun aturan dalam rules of origin lebih terkait dengan hambatan non tariff namun criteria ini sangat menentukan bea ekspor guna mendapatkan fasilitas GSP dari UE. Setiap produk mempunyai criteria tertentu dan spesifik, khusus untuk kakao criteria-kriteria dalam rules of origin itu sendiri, meliputi:

1. Berat dari gula serta bahan laiinnya dan produk kakao dengan HS 4 digit tidak melebihi 40% dari berat produk akhir, dan

2. Berat total gabungan gula (bahan-bahan lain) dan produk kakao dengan HS 4 digit tidak melebihi 60% dari berat produk akhir.

Identifikasi Kebijakan Non-Tariff di Uni Eropa

Kebijakan ekspor yang tidak berkaitan dengan pengenaan pajak atau pungutan impor dan menjadi hambatan bagi eksportir dapat dimasukkan ke dalam hambatan non tariff yang ternyata menjadi hambatan yang paling dominan (Purnomo, 2007 b). Eksportir kakao yang ingin memasuki pasar UE harus memperhatikan berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh mitra dagang dan pemerintah Uni Eropa. Persyaratan tersebut meliputi standar mutu yang dikaitkan dengan persyaratan lingkungan, kesehatan, keamanan, perburuhan, dan etika bisnis7. Menerapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor sudah menjadi hak importer dalam menjamin dan melindungi konsumen. Selain itu hambatan non tariff yang diberlakukan juga merupakan upaya proteksi Uni Eropa dalam perkembangan industri dalam negeri khususnya industri kakao. Ketentuan-ketentuan dari kelompok Negara di Uni Eropa yang dapat diidentifikasikan sebagai hambatan nontariff khususnya komoditi kakao adalah sebagai berikut: 1. Prinsip umum persyaratan pangan dan higienitas serta ketentuan keamanan

pangan dengan menerapkan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF). 2. Ketentuan keamanan, kesehatan, serta kebersihan pangan dimana dalam pelaksanaanya aktivitas perusahaan yang diatur dalam system Hazard Analysis Critcal Point (HACCP).

3. Peraturan-peraturan maksimal kontaminasi dan campuran makanan makanan terutama kakao yang tercantum dalam Directive (EC) 2000/36.

Kebijakan terkait nontariff yang diterapkan Uni Eropa terhadap produk kakao sebagian besar masih sama dengan produk tanaman lainnya dengan peraturan seperti perlindungan produk tanaman, higienitas, residu pestisida, dan lain-lain. Selain itu UE juga menerapkan kebijakan non teknis seperti insentif khusus untuk Negara yang melaksanakan HAM dan lingkungan. Dewasa ini, perhatian publik di Negara maju terhadap sanitary dan hygene produk pangan telah meningkat (Ahmed, 2006). Karena itu Negara-negara pengimpor khususnya Negara maju seperti Negara-negara UE melakukan pengetatan atas aturan keamanan produk yang diimpor. Indonesia sebagai Negara eksportir kakao sering mengeluhkan aturan-aturan „non-tariff‟ yang dikeluarkan oleh UE. Daftar

kebijakan non tariff yang berpengaruh terhadap produk eskpor kakao Indonesia dapat dilihat pada Tabel 16.

7

34

Tabel 16 Daftar Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa yang terkait dengan Komoditi Kakao.

No Regulasi Deskripsi Kebijakan

1 Regulasi European

Communities (EC)

No.178/2002

Regulasi European Communities (EC) No. 178/2002 dimana Negara ketiga harus menyesuaikan persyaratan pangan yang ditetapkan UE agar dapat memasuki pasar. Walaupun bukan sebuah Undang-undang hanya regulasi, peraturan ini menjadi acuan perlindungan tinggi terhadap konsumen di Negara-negara UE dari berbagai macam pangan termasuk penerapannya dalam produk kakao. Regulasi ini juga berisikan tentang pemenuhan aturan pangan, Pelacakan produk pangan

(Tracebility), Aturan tanggung jawab

(Responsibiliteies), dan pemenuhan (compliance)

pelaku bisnis pangan dan/atau pakan.

2 Directive 2000/36/EC Directive 2000/36/EC mengaplikasikan kebijakan produk kakao dan coklat yang dikonsumsi oleh masyarakat dimana setiap Negara-negara UE harus menerapkan peraturan ini. Kebijakan Directive 2000/36/EC mendefinisikan produk kakao dan coklat yang dikonsumsi untuk manusia sebagaimana yang dicantumkan dalam Annex 1 serta Annex 2 (lampiran) yang memberikan criteria jenis-jenis

serta batas maksimum “vegetabels fat” untuk

produk kakao dan coklat.

3 Regulasi (EC) No 1107/2009 Regulasi berisi tentang penempatan produk dari tanaman yang dilindungi di dalam pasar (Uni Eropa). Regulasi ini juga membatalkan regulasi yang lama yaitu Council Directives 79/117/EEC and 91/414/EEC.

4 Regulasi (EC) No 396/2005 Mengatur batas residu maksimum pestisida dalam makanan dan pakan. Dari regulasi dijelaskan batas residu maksimum tanaman yang dikonsumsi termasuk kakao khususnya biji kakao yang merupakan sebagian besar dasar pengolahan produk kakao sebesar 0.02s/d0.1 mg/kg untuk semua jenis pupuk. Batas maksimum residu pestisida yang sangat ketat bertujuan untuk melindungi konsumen-konsumen di negara-negara UE, dengan batas residu yang sangat kecil ini mengurangi resiko kesehatan masyarakat UE dalam mengkonsumsi produk kakao dan coklat.

5 Regulation (EC) No 852/2004 Regulation (EC) No 852/2004 merupakan amandemen dari Directive 93/43/EEC yang berlaku mulai 1 Januari 1996 dimana peraturan ini mengharuskan tiap operator bisnis (pengolah, eksportir) di Negara ketiga mematuhi aturan higienitas pangan serta aktivitas produksi perusahaan yang sesuai dengan Hazard Analytical Critical Control Point (HACCP).

Masalah higienitas produk makanan merupakan masalah serius dimana terkait dengan masalah kesehatan manusia dalam mengonsumsi produk makanan termasuk kakao. Regulation (EC) No

852/2004 menjelaskan setiap perusahaan makanan (petani, produsen, pengolah, eksportir, pemerintah) terikat pada peraturan HACCP dimana seluruh kegiatan produksi dari budidaya hingga produk sudah jatuh ke tangan konsumen merupakan tanggung jawab dari perusahaan makanan tersebut.

6 Regulation (EC) No 1829/2003 Menjelaskan Produk Pangan dan Pakan yang di modifikasi secara genetic. Dimana tujuan Regulasi dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap hidup & kesehatan manusia, kesehatan hewan, lingkungan serta minat konsumen yang ingin mengkonsumsi produk pangan/pakan yang di modifikasi secara genetic tersebut.

7 Council Regulation (EC) No 834/2007

Regulasi ini berisikan tentang produk organic dan pelabellan produk organic sekaligus membatalkan Regulation (EEC) No 2092/91.

8 COMMISSION

REGULATION (EC) No 889/2008

Menuliskan kembali secara spesifik implementasi dari kebijakan CR (EC) No 834/2007.

Sumber: European Comision (My Export, 2013)

Regulasi yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa (European Commission) pada Tabel 16 secara umum diberlakukan dua puluh hari setelah diterbitkan dalam Official Journal (OJ). European Commision adalah lembaga eksekutif pemerintah Uni Eropa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan Uni Eropa kepada dewan dan parlemen Eropa, termasuk di dalamnya peraturan mengenai pengawasan mutu dan keamaan pangan8. Diantara semua kebijakan tersebut, Kebijakan Regulasi European Communities (EC) No.178/2002, Directive 2000/36/EC, Regulation (EC) No 852/2004 perlu dikaji lebih lanjut jika eksportir Indonesia ingin mengekspor produk kakao selain biji kakao (HS 1801).

Pada dasarnya kebijakan non tariff merupakan salah satu bentuk kebijakan proteksi yang tidak menggunakan tariff, dimana instrumennya antara lain; larangan impor, pembatasan impor dengan penerapan kuota, pemberian subsidi, ketentuan teknis terutama yang berkaitan dengan kesehatan, pertahanan dan keamanan, kebudayaan dan lingkungan, regulasi packaging dan labeling serta instrument lainnya. Walaupun belum ada suatu studi komperehensif tentang biaya yang muncul dari penerapan kebijakan Non tariff terutama bagi eksportir, namun dalam hipotesis dapat diduga bahwa biaya ekonomi tersebut sangatlah besar9. Biasanya kebijakan non tariff bertujuan untuk menerapkan persyaratan produk yang masuk di Negara importer guna melindungi industri di Negara importer serta keamanan konsumen dalam mengkonsumsi produk tersebut. Kebijakan non-tariff yang diterapkan tiap-tiap Negara importer memang berbeda, salah satu importer yang menerapkan kebijakan non-tariff yang tinggi adalah Uni Eropa.

Uni Eropa memang menerapkan kebijakan non tariff yang tinggi dimana ketentuan kebijakan ini diterapkan dalam Regulasi (EC) No 178/2002. Regulasi (EC) No 178/2002 merupakan dasar dari system manajemen mutu dan pengawasan keamanan pangan dimana dalam regulasi juga diatur pembentukan otoritas keamanan pangan serta ketentuan prosedur dalam hal keamanan pangan.

8

EU, 2010 disadur dari Samuel, 2012

9

36

Berdasarkan penelitian Rastykarany (2008) dan juga Samuel (2012) Regulasi ini berisikan tentang Tracebility, Responsibilities, Compliance bagi pelaku bisnis pangan/pakan yang memperdagangkan produknya di kawasan Uni Eropa, selain itu dijelaskan juga penerapan dari Rapid Alert Systems for Food and Feeds (RASFF) dimana hal ini cukup mempengaruhi peredaran produk Negara eksportir di UE termasuk Indonesia. Untuk Tracebility, Responsibilities, dan Compliance intinya adalah setiap pelaku bisnis (produsen, eksportir, distributor, pemerintah) yang mengekspor produknya menuju UE harus harus mengetahui bahan dan asal muasal produk pangan yang diekspor di UE serta bertanggung jawab bila produknya tidak memenuhi persyaratan pangan yang ada di kawasan UE. Sedangkan RASFF merupakan jejaring kerja dalam system siaga cepat untuk pemberitahuan langsung atau tak langsung pada kesehatan manusia yang berasal dari pangan/pakan. Dalam RASFF untuk produk yang teridentifikasi bahaya akan menerima tiga notification yaitu alert notification, information notification, dan border rejection notification. Alert notification merupakan sebuah

“pemberitahuan peringatan” atau peringatan yang dikirim melalui RASFF ke

negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki risiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan

sebuah “pemberitahuan informasi” menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar

negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa (Samuel, 2012).

Selain itu terdapat peraturan Regulation (EC) 852/2004 yang mengatur kebersihan pangan umum serta penerapan aturan yang harus ditaati dalam oleh pelaku usaha dalam tahapan yang berbeda di tiap rantai nilai. Secara spesifik regulasi ini juga mengatur untuk manajemen risiko bahaya keamanan pangan khusus berdasarkan prinsip Hazard Analysisis Critical Point (HACCP). Pada Regulasi ini memang prosedur HACCP dimana produsen yang ingin mengekspor produknya ke UE diharuskan memeriksa sendiri proses produksi, asal-muasal bahan, dan risiko produk makanan seperti jaminan keamanan, secara prinsip HACCP sendiri dijelaskan pada artikel 5 dari regulasi ini. Produk kakao yaitu coklat biasanya masuk kategori risiko rendah jika dibandingkan oleh produk lain di UE seperti produk-produk perikanan. Hal ini dikarenakan rendahnya wabah yang disebabkan karena mengkonsumsi produk kakao khususnya coklat sehingga penerapan industri HACCP belum intensif untuk dilakukan. Namun jika terjadi kontaminasi dan keberadaan salmonella pada cokelat tidak memiliki suatu pola umum kontaminasi dengan produk lainnya (inatrims.kemendag). Sementara itu ketentuan produk kakao terdapat pada Directive 2000/36 yang memang disebut

sebagai “Directive Kakao”. Seperti pada tabel, Directive ini berisikan criteria

produk-produk coklat seperti bahan campuran, presentase kakao yang ada dalam coklat serta definisi dari produk-produk kakao.

Dalam penerapannya Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) merupakan sebuah system cepat untuk memberikan informasi, tindak lanjut bila diperlukan terhadap pangan atau pakan. Jika produk menerima suatu bahaya, maka produk tersebut akan diberikan 3 informasi yaitu alert information, notification information, dan border rejection information. Pada tahun 2012 Uni Eropa mengeluarkan 3516 pemberitahuan untuk produk pangan/pakan dalam

RASFF, pemberitahuan dimana 547 diklasifikasikan sebagai waspada, 521 pemberitahuan yang perlu ditindaklanjuti, 705 pemberitahuan sebagai informasi yang perlu mendapat perhatian, dan sebanyak 1743 mendapatkan pemberitahuan penolakan produk di perbatasan (border rejection notification). Dari pemberitahuan asli tersebut memunculkan 5281 notifikasi yang perlu ditindaklanjuti jumlah ini menjadi 1.5 kali lipat dari jumlah pemberitahuan asli dalam RASFF. Berikut ini disajikan grafik jumlah RASFF berdasarkan pada notifikasinya pada gambar 8.

Dari Grafik tersebut, jumlah RASFF berdasarkan pada notifikasi terdiri dari sayuran dan buah, ikan dan produk ikan, kacang, produk kacang, dan benih, daging dan produk olahannya, bahan tambahan makanan, pakan. Kelompok produk pangan tersebut memang paling banyak menerima notifikasi RASFF. Alasan menerima notifikasi itu pun bermacam-macam tergantung dari komposisi jenis relatif (risks relating on composition). Dari RASFF yang berdasarkan berbagai macam jenis risiko relatif ini bisa dilihat lebih rinci jenis-jenis produk apa saja yang mendapatkan notifikasi tersebut. Berikut ini disajikan grafik RASFF berdasarkan notifikasi pada jenis risiko relatif pada Gambar 9.

Sumber: RASFF annual Report.

38

Gambar 9 Grafik RASFF berdasarkan jenis risiko relatif Sumber: RASFF annual Report

Dari grafik tersebut bisa kita lihat RASFF berdasarkan jenis risiko relatif yang terdiri dari; unauthorized (tidak sah produk pangan) , unauthorized food additive (tidak sah pada zat adiktif pada makanan) , unauthorized colour (tidak sah pewarna makanannya), too high content (konten makanan terlalu tinggi), suspicion (adanya kecurigaan pada produk makanan tersebut) , other (lainnya), high level (level tinggi pada produk makanan), high content (konten makanan yang tinggi). Untuk produk kakao, kopi, dan tea sendiri, penyebab mendapatkan notifikasi RASFF dikarenakan tidak sahnya produk tersebut untuk dipasarkan di Uni Eropa. Walaupun tidak ada regulasi di Uni Eropa ketidaksahan produk kakao, kopi, dan tea, tiap-tiap Negara member Uni Eropa punya regulasi yang mengatur

ada data yang menunjukkan jumlah pasti produk kakao yang ditolak oleh Uni Eropa, namun dari Inatrims Kemendag di tahun 2012 terjadi penolakan perbatasan atas kakao bubuk dikarenakan tingginya kandungan timbal (ref.2012.BLX).

Berdasarkan identifikasi dari beberapa kebijakan tersebut bisa dilakukan analisis secara deskriptif bagaimana yang harus dilakukan para stakeholder kakao, dengan analisis yang berdasarkan kebijakan-kebijakan perdagangan Internasional ini diharapkan menjadi hipotesis yang berguna untuk pertumbuhan ekspor kakao Inndonesia yang menuju Uni Eropa. Dalam hal ini peneliti membagi kelompok-kelompok pelaku perdagangan komodity kakao seperti produsen kakao (petani, pengolah, eksportir), Importir/Buyer yang ada di Uni Eropa, dan Competent authority yaitu pemerintah Indonesia. Berikut ini adalah hasil analisis deskriptif berdasarkan kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa terhadap

Dokumen terkait