• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Kondisi Umum

Sebelum perlakuan dilakukan pengamatan awal untuk mengetahui kondisi awal buah. Bobot buah pada awal pengamatan rata-rata 360.5 g setengah sisir pisang dengan warna masih hijau penuh, rasio buah 1.54 dan edible part 60. 67 %, sedangkan kekerasan kulit buah 10 mm 50 g 5 detik. Selama penyimpanan buah pisang mengalami beberapa perubahan diantaranya susut bobot, warna buah, kekerasan kulit buah, rasio buah dan edible part. Pada penelitian ini warna buah mulai berubah pada penyimpanan 6 Hari Setelah Perlakuan (HSP). Perubahan warna terjadi tidak merata dari satu perlakuan dengan perlakuan lainnya.

Selama percobaan terdapat beberapa buah yang terserang penyakit pasca panen. Penyakit pasca panen merupakan penyakit yang muncul dan berkembang selama penyimpanan. Penyakit pasca panen yang menyerang selama penelitian yaitu cendawan Colletotrichum (Gambar 3) dan busuk pada pangkal sisir buah pisang. Penyakit ini mulai muncul pada perlakuan P7 ulangan kedua (90 oksidator etilen dalam kertas pembungkus teh celup) pada 6 HSP. Serangan penyakit ini mulai menyebar pada 9 HSP, serangan penyakit yang berlanjut menyebabkan buah busuk. Penyakit lain yaitu antracnosa dan crown rot. Crown rot (Gambar 3) diawali dengan pembusukan pada pangkal sisir yang menjalar ke tangkai jari pisang dan akhirnya menjalar ke seluruh buah, hingga buah menjadi busuk dan terlepas dari tangkainya.

Gambar 3: Gejala penyakit yang menyerang buah pisang selama penyimpanan:

Martoredjo (2009) menyatakan bahwa kehilangan pasca panen dapat terdiri dari kerusakan mekanis dan kerugian yang disebabkan oleh penyakit pasca panen. Gangguan fisiologis yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan tanaman yaitu transpirasi, respirasi, dan perubahan fisiologis lainnya.

Berikut merupakan tabel rekapitulasi sidik ragam dari peubah-peubah yang diamati pada buah pisang Mas (Musa sp. AA Group) selama penyimpanan. Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan KMnO4 dapat berpengaruh nyata pada beberapa peubah, diantaranya warna buah, susut bobot, kekerasan, rasio daging dengan kulit, edible part, dan Padatan Terlarut Total (PTT). Namun tidak berpengaruh terhadap umur simpan, Total Asam Tertitrasi (TAT), Rasio PTT/ TAT dan vitamin C.

Tabel 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Oksidator Etilen Terhadap Beberapa Variabel yang Diamati.

Peubah Hari Setelah Perlakuan (HSP)

3 6 9

Indeks Warna tn tn *

Susut Bobot tn tn *

Kekerasan Kulit Buah − * −

Rasio Daging/ Kulit Buah − * −

Edible Part

Padatan Terlarut Total (PTT)

− * *

− −

Asam Tertitrasi Total (ATT) − tn −

Vitamin C − tn −

Keterangan: * : Berbeda nyata pada taraf 5 %. tn : Tidak berbeda nyata

- : Tidak dilakukan pengamatan

Umur Simpan

Umur simpan sangat perlu diperhatikan pada komoditas hortikultura, baik sayur maupun buah. Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu. Umur simpan pisang Mas selama penyimpanan disajikan pada Tabel 3 berikut. Percobaan KMnO4 tidak berpengaruh nyata terhadap umur simpan pisang Mas.

Tabel 3. Umur Simpan Buah Pisang Mas (Musa sp AA Group) Selama Penyimpanan

Keterangan: *) P1: Kontrol; P2, P3, P4 : 30, 0, 90 g oksidator etilen dalam kain kasa; P5, P, P7: 30, 0, 90 g oksidator etilen dalam kertas serat nilon

Umumnya penentuan umur simpan dilihat dari keadaan fisik buah terutama warna kulit buah.

Indeks Skala Warna Buah

Warna kulit buah merupakan salah satu indikator yang perlu diamati untuk menentukan tingkat kualitas dan umur simpan buah pisang, selain itu warna merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kepuasan konsumen. Umumnya konsumen menjadikan warna sebagai kriteria yang menentukan matang-mentah atau bagus-tidaknya buah. Tabel 4 di bawah ini merupakan Indeks Skala Warna Buah pisang Mas selama penyimpanan 3, 6 dan 9 HSP.

Tabel 4. Indeks Skala Warna Buah Pisang Mas Selama Penyimpanan

Perlakuan 3 HSP 6 HSP 9 HSP P1 1 1.6 2a P2 1 1.3 2a P3 1 1.0 1b P4 1 1.0 1b P5 1 1.0 2a P6 1 1.6 1b P7 1 1.0 2.5a

Keterangan: *) P1: Kontrol; P2, P3, P4 : 30, 0, 90 g oksidator etilen dalam kain kasa; P5, P, P7: 30, 0, 90 g oksidator etilen dalam kertas serat nilon

Warna buah pisang terdiri dari beberapa fase pemasakan yaitu dari hijau penuh, hijau dengan sedikit kuning, kuning lebih banyak dari hijau, kuning dengan ujung hijau, kuning penuh, kuning dengan sedikit bercak coklat dan

Perlakuan*) Umur Simpan (Hari)

P1 10 P2 10 P3 12 P4 10 P5 8 P6 P7 9 10

kuning dengan bercak coklat yang mulai mnyebar hingga busuk. Gambar 4 menyajikan kondisi buah pada saat penyimpanan 3, 6 dan 9 HSP.

3 HSP 6 HSP 9 HSP P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7

Gambar 4. Kondisi Buah Pisang Mas Selama Penyimpanan

Pantastico (1986) menyatakan bahwa buah yang masih berwarna hijau biasanya masih mengandung banyak khlorofil, kemudian perlahan akan berubah warna menjadi kuning yang menandakan bahwa kandungan khlorofil yang terdapat dalam buah tersebut sudah berkurang selama pematangan.

Susut Bobot

Berikut ini merupakan Tabel susut bobot buah selama penyimpanan 3, 6 dan 9 HSP. Susut bobot mengalami peningkatan pada setiap pengamatan. Buah-buahan merupakan komoditas hortikutura yang sangat mudah mengalami kerusakan, busuk dan mengalami susut bobot. Susut bobot terjadi karena kehilangan sebagian air pada buah. Menurut Sutrisno dan Sugiyono (2008) peningkatan susut bobot terjadi karena buah selama penyimpanan mengalami proses respirasi dan transpirasi.

Tabel 5. Susut Bobot Buah Pisang Mas Selama Penyimpanan

Perlakuan Susut Bobot (g)

3 HSP 6 HSP 9 HSP P1 0.73 2.11b 2.89ab P2 0.84 2.19b 2.89ab P3 1.24 1.89b 2.71bc P4 1.24 2.70ab 3.18ab P5 1.09 2.33ab 2.22bc P6 0.85 1.70b 1.46c P7 1.57 3.31a 4.20a

Keterangan: *) P1: Kontrol; P2, P3, P4 : 30, 0, 90 g oksidator etilen dalam kain kasa; P5, P, P7: 30, 0, 90 g oksidator etilen dalam kertas serat nilon

Tetap berlangsungnya proses respirasi pada buah selama waktu penyimpanan akan mengubah gula (C6H12O6) menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O) yang kemudian mengalami penguapan (transpirasi) sehingga susut bobot juga meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan pada tabel susut bobot yang menunjukkan bahwa disetiap pengamatan terjadi susut bobot yang semakin meningkat. Setelah buah dipanen, kandungan air buah akan berkurang karena proses transpirasi Jika terjadi kerusakan mekanis selama transportasi maka penguapan dan kehilangan air dapat terjadi lebih cepat. Susut bobot yang cepat umumnya dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu dalam ruang penyimpanan maka semakin tinggi pula susut bobot buah (Kader 1992 dan Kholidi 2009).

Kualitas Fisik Buah (Kekerasan, Rasio Daging/ Kulit Buah dan Edible part) Berikut ini merupakan Tabel kekerasan kulit buah, Rasio Daging/ Kulit Buah dan persen Edible Part selama penyimpanan. Kekerasan merupakan salah

satu parameter kesegaran buah yang nilainya tergantung pada ketebalan kulit buah, kandungan total zat padat, dan kandungan pati pada bahan. Kekerasan buah dikaitkan dengan tingkat kematangan buah. Selama pemasakan, buah mengalami pelunakan yang disebabkan oleh berubahnya protopektin menjadi pektin yang larut (Purwoko dan Suryana, 2000).

Tabel 6. Pengamatan Fisik Buah Pisang Mas (Musa sp AA Group) Selama Penyimpanan

Perlakuan

Kekerasan Buah (mm/50 g/ 5 detik)

Rasio Daging/ Kulit

Buah Edible Part (%) 6 HSP

P1 19.44ab 2.21ab 67.85ab

P2 20.22ab 2.38ab 68.59ab

P3 14.11c 1.78b 63.89b P4 16.67bc 1.73b 62.69b P5 19.11ab 2.46a 70.69a P6 22.33a 2.58a 72.03a P7 21.56a 1.74b 63.32b

Keterangan: *) P1: Kontrol; P2, P3, P4 : 30, 0, 90 g oksidator etilen dalam kain kasa; P5, P, P7: 30, 0, 90 g oksidator etilen dalam kertas serat nilon

Kerusakan mekanis akan dapat menurunkan nilai kekerasan buah karena beberapa jenis luka menyebabkan struktur permukaan buah akan menjadi rusak sehingga sel-sel penyusun jaringan pada permukaan buah akan terpisah dari ikatannya. Kekerasan dapat diukur dengan menggunakan penetrometer. Pada proses pematangan buah pisang akan terjadi aktivitas fisiologis, seperti meningkatnya aktivitas respirasi pada awal, sebagaimana terjadi pada buah klimakterik. Ketika buah matang kulit buah menjadi tipis. Ketebalan kulit pisang berbeda menurut jenis pisang, sehingga mengakibatkan kadar daging buah yang berbeda.

Rasio daging/ kulit buah dan edible part dapat digunakan untuk mengetahui berapa persen buah yang dapat dikonsumsi dari keseluruhan buah serta diduga dapat menentukan tingkat kematangan buah. Masing-masing jenis pisang mempunyai kulit yang beragam pada ketebalannya, sehingga beragam pula bagian yang dapat dimakan.

Kualitas Kimia Buah (Padatan Terlarut Total (PTT), Asam Tertitrasi Total (ATT) dan Kandungan Vitamin C)

Pengamatan kualitas kimia buah pisang Mas dilakukan pada saat penyimpanan 6 HSP. Tabel 7 di bawah ini menyajikan kualitas kimia buah pisang Mas yang meliputi Padatan Terlarut Total (PTT), Asam Tertitrasi Total (ATT) dan kandungan Vitamin C buah pisang Mas pada pengamatan 6 HSP.

Asam Tertitrasi Total ditentukan dengan cara titrasi sejumlah volume sari buah pisang dengan menggunakan 0.1 N NaOH, sedangkan vitamin C dengan menggunakan iodine. Padatan Terlarut Total diukur dengan menggunakan refraktometer dengan satuan 0Brix.

Tabel 7. Padatan Terlarut Total (PTT), Asam Tertitrasi Total (ATT) dan Kandungan Vitamin C buah pisang Mas selama penyimpanan Perlakuan Padatan Terlarut Total (PTT) (⁰Brix) Asam Tertitrasi Total (ATT) (ml/80 g bahan) Kandungan Vitamin C (ml/ 80 g) 6 HSP P1 18.67a 39.33 26 .40 P2 16.33a 31.33 19.95 P3 7.33b 24.67 19.36 P4 16.00a 14.00 17.60 P5 20.00a 21.33 14.08 P6 17.00a 24.00 15.84 P7 15.67a 18.67 22.29

Keterangan: *) P1: Kontrol; P2, P3, P4 : 30, 0, 90 g oksidator etilen dalam kain kasa; P5, P, P7: 30, 0, 90 g oksidator etilen dalam kertas serat nilon

Menurut Pantastico et al., (198) keasaman tertitrasi meningkat sampai

maksimum pada atau setelah tercapai puncak perkembangan, kemudian menurun dengan meningkatnya kemasakan buah. Keasaman tersebut disebabkan oleh biosintesis asam oksalat yang dominan.

Buah-buahan mengandung beberapa zat yang larut dalam air, seperti gula, vitamin C, asam amino dan pektin. Vitamin C adalah salah satu vitamin larut air yang kurang stabil dan mudah rusak. Broto et al. (199) menyatakan bahwa

vitamin C merupakan jenis vitamin yang paling mudah rusak dibandingkan dengan vitamin-vitamin lainnya. Dengan demikian vitamin C dapat digunakan sebagai indikator tidak langsung dari kerusakan/ kemunduran mutu dari buah-

buahan. Kerusakan vitamin C dapat terjadi selama penanganan, pengolahan maupun penyimpanan.

Kandungan asam askorbat (vitamin C) setelah penyimpanan kira-kira setengah sampai dua pertiga. Hal ini disebabkan asam askorbat mudah teroksidasi, misalnya oleh enzim asam askorbat oksidase yang terdapat dalam jaringan tanaman. Di bawah ini merupakan Tabel pengamatan kualitas kimia buah pisang Mas selama penyimpanan.

Pembahasan

Pengaruh KMnO4 Terhadap Umur Simpan Pisang Mas

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pisang Mas yang disimpan dengan oksidator etilen mengalami busuk setelah penyimpanan 9 HSP (Hari Setelah Perlakuan). Tabel 3 umur simpan menunjukkan bahwa perlakuan oksidator etilen dalam kain kasa mampu bertahan lebih baik jika dibandingkan dengan kontrol dan kertas pembungkus teh celup (kertas serat nilon). Penggunaan kertas pembungkus teh celup mempunyai umur simpan yang lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Perlakuan kontrol mampu mempertahankan umur simpan hingga 10 HSP, perlakuan KMnO4 dalam kain kasa 12 HSP sedangkan perlakuan KMnO4 dalam kertas pembungkus teh celup hingga 10 HSP. Hal ini diduga bahwa oksidator etilen dalam kertas pembungkus teh celup (P5, P dan P7) tidak efektif setelah 10 HSP. Tabel 3 menunjukkan bahwa penggunaan oksidator etilen tidak berpengaruh nyata terhadap umur simpan pisang mas baik dengan menggunakan pembungkus kain kasa maupun dengan kertas pembungkus teh celup (kertas serat nilon).

Perubahan warna kulit buah selaras dengan perubahan susut bobot dan kekerasan buah. Semakin kuning kulit buah maka susut bobot juga semakin meningkat demikian juga dengan tingkat kekerasan buah. Buah yang disimpan dan mengalami perubahan warna mengakibatkan kulit buah semakin lunak. Semakin tinggi dosis KMnO4 yang digunakan dalam kain kasa tidak mempengaruhi terhadap umur simpan pisang Mas (Tabel 3). Namun pada

perlakuan KMnO4 dalam kertas nilon dapat memperpanjang umur simpan yang lebih lama dengan semakin meningkatnya dosis KMnO4 yang digunakan.

Pengaruh Kertas Pembungkus Oksidator Etilen Terhadap Variabel yang Diamati

Tabel 2 (Rekapitulasi Sidik Ragam) menunjukkan bahwa penggunaan oksidator etilen dengan pembungkus kain kasa maupun kertas pembungkus teh celup tidak mempengaruhi umur simpan pisang Mas. Perlakuan KMnO4 dapat berpengaruh terhadap kekerasan buah, rasio daging dengan kulit buah, edible part,

dan Padatan Terlarut Total (PTT). Namun tidak berpengaruh terhadap indeks warna buah (kecuali pada 9 HSP), susut bobot, Asam Tertitrasi Total (ATT) dan vitamin C.

Indeks skala warna kulit buah mulai mengalami perubahan pada  HSP. Perlakuan kontrol mengalami perubahan yang lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tabel 2 rekapitulasi sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan KMnO4 tidak mempengaruhi warna kulit buah pisang pada penyimpanan 3 dan  HSP, tetapi berpengaruh nyata pada 9 HSP. Perlakuan KMnO4 lebih efektif dalam mempertahankan warna kulit buah dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Namun setelah  HSP buah pisang yang diberi perlakuan mempunyai indeks skala warna yang sama dengan perlakuan kontrol. Diduga bahwa oksidator etilen hanya efektif digunakan sampai  HSP. Tabel 4 (indeks skala warna buah) menunjukkan bahwa perlakuan KMnO4 dalam kain kasa lebih mampu mempertahankan warna hijau dibandingkan dengan KMnO4 dalam kertas nilon.

Perlakuan KMnO4 pada P (0 g oksidator etilen dalam pembungkus teh celup) mengalami pematangan yang lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 nilai indeks skala warna meningkat saat penyimpanan  dan 9 HSP. Indeks skala warna buah tertinggi terdapat pada perlakuan 90 g oksidator etilen dalam kertas pembungkus teh celup (P7). Sesuai dengan tabel 5 bahwa perubahan warna menyebabkan susut bobot yang semakin meningkat. Nilai susut bobot tertinggi terdapat pada perlakuan P7 (90 g oksidator

etilen dalam pembungkus teh celup) pengamatan 3,  dan 9 HSP dengan nilai masing-masing sebesar 1.57, 3.31 dan 4.2 gram. Indeks skala warna buah yang tidak mengalami perubahan sampai 9 HSP terdapat pada perlakuan 0 dan 90 g oksidator etilen dalam kain kasa (P3 dan P4).

Selama proses pematangan akan terjadi perubahan warna dari hijau, kuning dan akhirnya akan mencapai tahap kuning kecoklatan (busuk). Simmonds (1980) menyatakan bahwa selama pematangan klorofil lambat laun akan terdegradasi dan muncul warna kuning dari pigmen karoten dan xantofil. Faktor yang mempengaruhi degradasi klorofil antara lain pH, enzim klorofilase, dan oksigen.

Tabel sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan oksidator etilen mempengaruhi susut bobot buah pada 9 HSP, namun tidak berpengaruh pada 3 dan 6 HSP. Tabel 5 susut bobot menunjukkkan bahwa ternyata perlakuan kontrol (tanpa bahan pembungkus dan bahan penyerap etilen) lebih mampu menghambat penurunan susut bobot pada 3 HSP dibandingkan dengan perlakuan P3, P4, P5 dan P6. Selama penyimpanan terjadi peningkatan susut bobot dari awal hingga akhir pengamatan. Susut bobot terbesar terdapat pada perlakuan P7 (90 g oksidator etilen dalam kertas pembungkus teh celup) sebesar 3.31 gram, sedangkan susut bobot terkecil terdapat pada perlakuan P6 (60 g oksidator etilen dalam kertas pembungkus teh celup). Susut bobot yang diamati pada penelitian ini merupakan pengurangan atau penurunan bobot buah selama penyimpanan sebagai akibat dari kegiatan respirasi dan transpirasi. Umumnya semakin lama buah disimpan maka susut bobot semakin meningkat. Berdasarkan Tabel 5 dan 6 pada umumnya susut bobot yang tinggi mempunyai tingkat kekerasan kulit buah yang rendah.

Kekerasan buah merupakan salah satu dari parameter kesegaran buah yang nilainya tergantung pada ketebalan kulit buah, kandungan total zat padat dan kandungan pati pada bahan (Rahmawati, 2010). Kekerasan diukur dengan menggunakan refraktometer (mm/50 g/5 detik), semakin tinggi angka yang ditunjukkan berarti tingkat kekerasan semakin berkurang dan buah semakin lunak. Menurut Sambeganarko (2008) kekerasan buah menurun karena hemiselulosa dan

protopektin terdegradasi. Protopektin menurun jumlahnya karena berubah menjadi pektin yang bersifat larut dalam air.

Perlakuan KMnO4 berpengaruh nyata terhadap kekerasan buah pada pengamatan 6 HSP (Tabel Sidik Ragam, Lampiran 4). Tingkat kekerasan kulit tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (0 g oksidator etilen dalam kain kasa) sebesar 14.11 mm/50 g/5 detik sedangkan kekerasan kulit terendah pada perlakuan P6 (0 g oksidator etilen dalam kertas pembungkus teh celup) dengan tingkat kekerasan 22.33 mm/50 g/5 detik. Kekerasan semakin menurun seiring dengan umur buah yang semakin tua, semakin lama buah disimpan kekerasan semakin berkurang. Perubahan kekerasan pada umumnya seiring dengan perubahan skala warna buah dan buah yang semakin matang. Laju penurunan tingkat kekerasan berbeda-beda untuk setiap perlakuan.

Berdasarkan data pada Tabel 4 perlakuan P3 dan P4 (60 dan 90 g oksidator etilen dalam kain kasa) mempunyai tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Dengan demikian perlakuan 60 dan 90 g oksidator etilen dalam kain kasa dapat mempertahankan tingkat kekerasan buah selama penyimpanan. Namun jika perlakuan kontrol dibandingkan dengan P2, P6 dan P7 buah pisang tanpa perlakuan (kontrol) mempunyai kekerasan yang lebih tinggi.

Berdasarkan tabel sidik ragam (Lampiran 4) perlakuan KMnO4 berpengaruh nyata terhadap rasio daging buah dengan kulit buah serta Edible Part

(bagian buah yang dapat dimakan) pada 6 HSP. Diduga bahwa proses respirasi dan transpirasi yang terjadi berbeda dari setiap perlakuan. Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa rasio daging pada perlakuan P (0 g oksidator etilen dalam kertas pembungkus teh celup) mempunyai nilai rasio daging kulit buah dan

edible part yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pada kain kasa dan

kontrol. Buah yang diberi perlakuan KMnO4 dalam kain kasa mempunyai nilai rasio daging kulit serta edible part yang lebih rendah. Semakin besar bobot oksidator etilen yang digunakan (dalam kain kasa) semakin kecil nilai rasio daging kulit buah serta edible part. Semakin besar rasio daging dengan kulit buah semakin besar pula bagian buah yang dapat dimakan (edible part). Perlakuan P

penggunaan KMnO4 dalam kertas pembungkus teh celup dapat bekerja secara optimal untuk meningkatkan persen buah yang dapat dimakan (edible part). Jannah (2008) menyatakan bahwa rasio daging dengan kulit buah yang meningkat menunjukkan bahwa buah menggunakan cadangan makanannya untuk proses metabolisme.

Kholidi (2009) menyatakan bahwa perkembangan daging buah semakin meningkat seiring dengan kematangan buah. Sedangkan perkembangan kulit buah semakin menurun sehingga terjadi perubahan perbandingan berat daging buah dengan kulit buah. Semakin lama penyimpanan rasio daging buah dan kulit buah semakin meningkat sehingga edible part juga semakin besar. Semakin masak buah maka berat daging buah semakin meningkat, sedangkan berat kulit berangsur-angsur menurun.

Perlakuan KMnO4 berpengaruh nyata terhadap padatan terlarut total buah pisang Mas pengamatan 6 HSP. Padatan Terlarut Total terbesar terdapat pada perlakuan P5 (30 g oksidator etilen dalam kertas pembungkus teh celup) sebesar 20⁰Brix. Sedangkan padatan terlarut total terendah terdapat pada perlakuan P3 (60 g oksidator etilen dalam kain kasa) 7.33⁰Brix. Kandungan padatan terlarut total (PTT) pada suatu bahan menunjukkan kandungan gula yang terdapat pada bahan tersebut.

Menurut Sambeganarko (2008) selama masa penyimpanan baik kondisi normal maupun dengan menggunakan perlakuan Padatan Terlarut Total akan semakin meningkat. Darmajana et al, (2008) menyatakan bahwa Padatan Terlarut Total merupakan indikasi adanya zat padat yang terlarut pada suatu campuran.

Tabel uji lanjut DMRT (Lampiran 5) menunjukkan tidak terdapat pengaruh perlakuan KMnO4 terhadap Asam Tertitrasi Total (ATT). Perlakuan kontrol mempunyai nilai ATT tertinggi dibandingkan dengan perlakuan KMnO4 dalam kain kasa dan kertas pembungkus teh celup. Penggunaan KMnO4 dalam kain kasa dan kertas pembungkus teh celup diduga dapat menurunkan Asam Tertitrasi Total buah pisang. Hal ini dapat dilihat pada tabel 7 pengamatan  HSP perlakuan kontrol mempunyai nilai ATT sebesar 39.33 ml 80 g bahan, sedangkan penggunaan perlakuan KMnO4 dalam kain kasa (30, 0 dan 90 g oksidator etilen) mempunyai nilai ATT masing-masing 31.33, 24.7 dan 14.00 ml 80 g bahan.

Sedangkan nilai ATT pada bahan kertas pembungkus teh celup (kertas serat nilon) mempunyai nilai ATT 21.33, 24.00 dan 18.7 ml 80 g bahan.

Perlakuan 30 g oksidator etilen dalam kain kasa mempunyai nilai Asam Tertitrasi Total yang lebih tinggi dibandingkan dengan 0 dan 90 g oksidator etilen. Namun pada perlakuan oksidator etilen dalam kertas pembungkus teh celup nilai ATT tertinggi terdapat pada bobot 0 g dibandingkan dengan 30 dan 90 g oksidator etilen. Perlakuan KMnO4 tidak berpengaruh terhadap total asam tertitrasi buah pisang mas selama penyimpanan. Hal ini diduga karena tingkat kematangan buah yang digunakan tidak seragam.

Perlakuan KMnO4 pada pisang Mas tidak mempengaruhi kandungan vitamin C buah pisang Mas. Tabel 7 menunjukkan bahwa ternyata kandungan vitamin C buah pisang tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol (tanpa bahan pembungkus dan bahan penyerap etilen) sebesar 2.4 ml/ 80 g. Sedangkan kandungan vitamin C terendah terdapat pada perlakuan 30 g oksidator etilen dalam kertas pembungkus teh celup.

Kandungan vitamin C (Tabel 7) pada perlakuan oksidator etilen dalam kain kasa lebih merata dibandingkan dengan perlakuan dalam kertas pembungkus teh celup. Kandungan vitamin C pada perlakuan KMnO4 dalam kain kasa (30, 0 dan 90 g) masing-masing 19.95, 19.3 dan 17. 0 ml/ 80 g. Sedangkan perlakuan KMnO4 dalam kertas pembungkus teh 14.08, 15.84 dan 22.29 ml/ 80 g. Pada penelitian ini perlakuan KMnO4 tidak berpengaruh terhadap kandungan vitamin C buah pisang. Kandungan vitamin C akan mengalami penurunan selama penyimpanan terutama pada suhu penyimpanan yang tinggi.

Jika dilihat dari jenis bahan pembungkus oksidator etilen yang digunakan pembungkus dengan kain kasa mempunyai umur simpan yang lebih lama dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi, rasio daging/ kulit buah, edible part dan Padatan Terlarut Total (PTT) yang lebih kecil. Sedangkan Asam Tertitrasi Total (ATT) dan vitamin C lebih besar dibandingkan dengan perlakuan KMnO4 dalam kertas nilon.

KESIMPULAN

Kesimpulan

Jenis bahan pembungkus oksidator etilen yang mempunyai umur simpan paling lama pada percobaan ini adalah menggunakan pembungkus kain kasa. Perlakuan KMnO4 mempunyai umur simpan yang lebih lama jika dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan pada kain kasa mempunyai umur simpan sampai 12 HSP (Hari Setelah Perlakuan), sedangkan kertas pembungkus teh celup hanya mampu mempertahankan umur simpan hingga 10 HSP.

Perlakuan KMnO4 dalam kain kasa dapat mempertahankan umur simpan yang lebih lama jika dibandingkan dengan perlakuan KMnO4 dalam kertas pembungkus teh celup (kertas serat nilon). Semakin tinggi dosis KMnO4 dalam kertas pembungkus teh celup umur simpan pisang Mas semakin lama. Berdasarkan percobaan yang dilakukan perlakuan KMnO4 sebagai oksidator etilen tidak berpengaruh nyata terhadap umur simpan pisang mas, indeks skala warna buah dan susut bobot kecuali 9 HSP, Asam Tertitrasi Total dan vitamin C, namun berpengaruh nyata pada pengamatan kekerasan kulit buah, Padatan Terlarut Total, rasio daging dengan kulit dan edible part.

Saran

Tingkat kematangan buah saat panen berpengaruh terhadap daya simpan serta kualitas buah selama penyimpanan, dengan demikian perlu diperhatikan tingkat kematangan buah yang sama yang digunakan pada percobaan ini.

Dokumen terkait