• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh bahwa perlakuan jenis eksplan memberikan pengaruh nyata terhadap persentase terbentuk kalus, bobot basah kalus, dan bobot kering kalus. Pada perlakuan komposisi zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh nyata terhadap persentase terbentuk kalus.

Persentase Terbentuk Kalus (%)

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadap parameter persentase terbentuk kalus pada perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh (Lampiran 6) menunjukkan pengaruh yang nyata, sedangkan interaksi antara perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase terbentuk kalus. Rataan persentase terbentuk kalus dari perlakuan jenis eksplan dan komposisi media dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh terhadap rataan persentase terbentuk kalus (%)

Eksplanb) ZPT c) Rataana) Z0 Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 E1 0 75 50 80 50 80 80 59,29b E2 60 100 100 100 83,33 100 100 91,90a E3 0 33,33 100 100 100 100 100 76,19b

Rataana) 20,00d 69,44c 83,33b 93,33a 77,78b 93,33a 93,33a

Keterangan: a) Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. b) Perlakuan E1: Daun; E2: Batang; E3: Tangkai daun.

c) Perlakuan Z0: MS; Z1: MS + 1 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z2: MS + 2 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z3: MS + 3 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z4: MS + 1 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP; Z5: MS + 2 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP; Z6: MS + 3 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP.

Tabel 1 memperlihatkan persentase terbentuk kalus tertinggi pada perlakuan jenis eksplan terdapat pada perlakuan E2 (batang) dengan rataan 91,90 dan terendah pada perlakuan E1 (daun) dengan rataan 59,29. Perlakuan jenis

eksplan dengan perlakuan E1 dan E3 berbeda nyata dengan perlakuan E2. Untuk perlakuan komposisi zat pengatur tumbuh yang berbeda memperlihatkan persentase terbentuk kalus tertinggi terdapat pada perlakuan Z3 (MS + 3 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP), Z5 (MS + 2 mg/L 2,4 D + 1mg/L BAP), dan Z6 (MS + 3 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP) dengan rataan 93,33, sedangkan terendah pada perlakuan Z0 (MS) dengan rataan 20,00. Komposisi zat pengatur tumbuh Z3, Z5 dan Z6 berbeda nyata terhadap perlakuan Z0, Z1, Z2 dan Z4.

Gambar eksplan membentuk kalus pada perlakuan dapat dilihat pada gambar 5, 6, dan gambar 7

Gambar 5. Daun Gambar 6. Batang Gambar 7. Tangkai Waktu muncul Kalus (HST)

Hasil pengamatan terhadap parameter waktu muncul kalus pada perlakuan komposisi zat pengatur tumbuh (Lampiran 7). Rataan waktu muncul kalus dari perlakuan jenis eksplan dan komposisi media dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh terhadap rataan lama muncul kalus (hari setelah kultur / HST)

Eksplana) ZPT b) Rataan Z0 Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 E1 - 10,67 11,50 13,25 12,50 12,00 10,50 11,74 E2 10,00 6,25 6,75 7,00 7,20 6,75 7,20 7,31 E3 - 8,00 7,33 7,00 9,00 9,00 9,67 8,33 Rataan 10,00 8,31 8,53 9,08 9,57 9,25 9,12

Keterangan: a) Perlakuan E1: Daun; E2: Batang; E3: Tangkai daun.

b) Perlakuan Z0: MS; Z1: MS + 1 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z2: MS + 2 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z3: MS + 3 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z4: MS + 1 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP; Z5: MS + 2 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP; Z6: MS + 3 mg/L 2,4

Warna Kalus

Warna kalus yang terbentuk dari perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh adalah putih kecoklatan.

Tekstur Kalus

Hasil pengamatan terhadap parameter tekstur kalus pada perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh menunjukkan bahwa tekstur kalus pada semua perlakuan bertekstur remah atau friable.

Bobot Basah Kalus (g)

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadap parameter berat basah kalus pada perlakuan jenis eksplan (Lampiran 10) menunjukkan pengaruh yang nyata, tetapi belum memberikan pengaruh yang nyata pada komposisi zat pengatur tumbuh begitu pula dengan interaksi antara perlakuan jenis eksplan dengan komposisi zat pengatur tumbuh. Rataan bobot basah kalus dari perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh terhadap rataan bobot basah kalus (g)

Eksplanb) ZPT c) Rataana) Z0 Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 E1 0,000 0,004 0,001 0,003 0,003 0,004 0,002 0,002c E2 0,024 0,088 0,075 0,075 0,071 0,061 0,095 0,070a E3 0,000 0,006 0,019 0,047 0,010 0,028 0,013 0,017b Rataana) 0,008 0,032 0,031 0,041 0,028 0,031 0,037

Keterangan: a) Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. b) Perlakuan E1: Daun; E2: Batang; E3: Tangkai daun.

c) Perlakuan Z0: MS; Z1: MS + 1 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z2: MS + 2 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z3: MS + 3 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z4: MS + 1 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP; Z5: MS + 2 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP; Z6: MS + 3 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP.

Tabel 3 memperlihatkan bobot basah kalus tertinggi pada perlakuan jenis eksplan terdapat pada perlakuan E2 (batang) dengan rataan 0,070 g dan terendah

pada perlakuan E1 (daun) dengan rataan 0,002 g. Perlakuan jenis eksplan dengan perlakuan E1, E2, dan E3 memberikan pengaruh saling berbeda nyata. Untuk perlakuan komposisi zat pengatur tumbuh yang berbeda memperlihatkan bobot basah kalus tertinggi terdapat pada perlakuan Z3 (MS + 3 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP) dengan rataan 0,041 g, sedangkan terendah pada perlakuan Z0 (MS) dengan rataan 0,008 g.

Bobot Kering Kalus (g)

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadap parameter bobot kering kalus pada perlakuan jenis eksplan (Lampiran 15) menunjukkan pengaruh yang nyata, tetapi belum memberikan pengaruh yang nyata pada komposisi zat pengatur tumbuh serta pada interaksi antara perlakuan jenis eksplan dengan komposisi zat pengatur tumbuh. Rataan bobot kering kalus dari perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh terhadap bobot kering kalus (g)

Eksplanb) ZPT c) Rataana) Z0 Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 E1 0,000 0,001 0,001 0,002 0,001 0,002 0,001 0,001c E2 0,003 0,010 0,009 0,014 0,008 0,003 0,012 0,008a E3 0,000 0,001 0,005 0,007 0,003 0,004 0,002 0,003b Rataana) 0,001 0,004 0,005 0,008 0,004 0,003 0,005

Keterangan: a) Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. b) Perlakuan E1: Daun; E2: Batang; E3: Tangkai daun.

c) Perlakuan Z0: MS; Z1: MS + 1 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z2: MS + 2 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z3: MS + 3 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP; Z4: MS + 1 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP; Z5: MS + 2 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP; Z6: MS + 3 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP.

Tabel 4 memperlihatkan bobot kering kalus tertinggi pada perlakuan jenis eksplan terdapat pada perlakuan E2 (batang) dengan rataan 0,008 g dan terendah pada perlakuan E1 (daun) dengan rataan 0,001 g. Perlakuan jenis eksplan dengan

perlakuan E1, E2, dan E3 memberikan pengaruh saling berbeda nyata. Untuk perlakuan komposisi zat pengatur tumbuh memperlihatkan bobot kering kalus tertinggi terdapat pada perlakuan Z3 (MS + 3 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP) dengan rataan 0,008 g, sedangkan terendah pada perlakuan Z0 (MS) dengan rataan 0,001 g.

Deteksi Metabolit Sekunder Flavonoid

Hasil pengamatan terhadap parameter deteksi metabolit sekunder pada perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh (Lampiran 15) menunjukkan flavonoid terdapat pada E2Z1 yaitu E2 (batang) dan Z1 (MS + 1 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP) dan E2Z4 yaitu E2 (batang) dan Z4 (MS + 1 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP). Deteksi metabolit sekunder flavonoid dari perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh terhadap deteksi metabolit sekunder flavonoid

Perlakuan Flavonoid Keterangan*

E1Z0 - -

E1Z1 - Kuning pudar

E1Z2 - Putih

E1Z3 - Merah pudar

E1Z4 - Orange pudar

E1Z5 - Merah pudar

E1Z6 - Orange pudar

E2Z0 - Bening

E2Z1 + Merah magenta

E2Z2 - Orange kemerahan

E2Z3 - Orange kemerahan

E2Z4 + Merah magenta

E2Z5 - Orange

E2Z6 - Orange kemerahan

E3Z0 - -

E3Z1 - Bening

E3Z3 - Merah pudar

E3Z4 - Orange pudar

E3Z5 - Orange pudar

E3Z6 - Orange pudar

Keterangan: *Flavonoid: dicirikan oleh warna merah magenta

Saponin

Hasil pengamatan terhadap parameter deteksi metabolit sekunder pada perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh (Lampiran 17) menunjukkan saponin terdapat pada perlakuan E2Z2 yaitu E2 (batang) dan Z2 (MS + 2 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP). Deteksi metabolit sekunder saponin dari perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh terhadap deteksi metabolit sekunder saponin

Perlakuan Saponin Keterangan*

E1Z0 - tidak berbusa

E1Z1 - tidak berbusa

E1Z2 - tidak berbusa

E1Z3 - tidak berbusa

E1Z4 - tidak berbusa

E1Z5 - tidak berbusa

E1Z6 - tidak berbusa

E2Z0 - tidak berbusa

E2Z1 - tidak berbusa

E2Z2 + berbusa

E2Z3 - tidak berbusa

E2Z4 - tidak berbusa

E2Z5 - tidak berbusa

E2Z6 - tidak berbusa

E3Z0 - tidak berbusa

E3Z1 - tidak berbusa

E3Z2 - tidak berbusa

E3Z3 - tidak berbusa

E3Z4 - tidak berbusa

E3Z5 - tidak berbusa

E3Z6 - tidak berbusa

Pembahasan

Pengaruh Jenis Eksplan Terhadap Induksi Kalus Tanaman Binahong

Berdasarkan hasil analisis data secara statistik diketahui bahwa perlakuan jenis eksplan memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase terbentuk kalus, bobot basah kalus, dan bobot kering kalus.

Pada peubah amatan persentase terbentuk kalus tertinggi pada perlakuan jenis eksplan terdapat pada perlakuan E2 (batang) dengan rataan 91,90% dan terendah pada perlakuan E1 (daun) dengan rataan 59,29%. Kalus ini dapat terbentuk sesuai dengan teori totipotensi yang menyatakan bahwa setiap sel mempunyai kemampuan untuk tumbuh menjadi individu baru jika berada pada lingkungan yang sesuai. Menurut Sugiyarto (2012) menyatakan bahwa kondisi lingkungan untuk kultur jaringan harus terkontrol, baik dari segi suhu, kelembaban dan cahaya. Selain kondisi lingkungan yang terkontrol, suplai nutrisi dan penambahan zat pengatur tumbuh juga sangat penting.

Bobot basah kalus tertinggi pada perlakuan jenis eksplan terdapat pada perlakuan E2 (batang) dengan rataan 0,070 g dan terendah pada perlakuan E1 (daun) dengan rataan 0,002 g. Batang memiliki bobot basah kalus yang tinggi diantara ketiga jenis eksplan. Hal ini dikarenakan adanya penyusun dari kalus tersebut yang mudah menguap seperti air dan lebih banyak terdapat pada batang. Hal ini didukung Rahayu et al (2003) tentang bobot basah kalus yang besar dihasilkan karena kandungan air yang tinggi. Bobot basah yang dihasilkan sangat tergantung pada kecepatan sel-sel tersebut membelah diri, memperbanyak diri, dan dilanjutkan dengan membesarnya kalus.

Selain didasarkan pada bobot basah, pertumbuhan kalus juga didasarkan pada bobot keringnya. Bobot kering kalus tertinggi pada perlakuan jenis eksplan terdapat pada perlakuan E2 (batang) dengan rataan 0,008 g dan terendah pada perlakuan E1 (daun) dengan rataan 0,001 g. Kalus kering yang dihasilkan pada masing-masing jenis eksplan berbeda satu sama lain.. Bobot kering kalus mempunyai nilai rentang yang sangat berbeda dengan bobot basah kalus. Kalus pada ekplan daun sangat sedikit, bahkan ada eksplan daun yang tidak menghasilkan kalus, melainkan akar. Kondisi ekplan juga mempengaruhi terbentuk kalus. Hal ini didukung oleh Suyitno dan Henuhili (2011) yang menyatakan bahwa keberhasilan kultur jaringan tidak hanya tergantung pada faktor lingkungan melainkan juga pada faktor endogen dari eksplan. Faktor endogen meliputi kondisi eksplan seperti umur, keadaan fisiologis dan hormon, jenis organ dan ukuran eksplan.

Pada penelitian ini diperoleh bahwa induksi kalus tanaman binahong dari jenis eksplan daun, batang, dan tangkai daun menghasilkan kalus dengan warna putih kecoklatan, namun setelah dilakukan subkultur, kalus berubah menjadi coklat tua. Menurut Widyawati (2010), warna kalus yang bermacam-macam diakibatkan oleh adanya pigmentasi cahaya dan asal eksplan. Pigmentasi bisa merata keseluruh permukaan kalus atau hanya sebagian saja, bisa dilihat adanya perbedaan warna dalam satu kalus.

Karakteristik pada setiap kalus berbeda-beda, terdapat kalus dengan tekstur lembut (soft), dan remah (friable), keras dan kompak. Namun dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa dalam induksi kalus tanaman binahong dari jenis eksplan daun, batang, dan tangkai daun menghasilkan kalus dengan

tekstur remah. Menurut Sugiyarto dan Kuswandi (2014), berdasarkan tekstur dan komposisi selnya, kalus dapat dibedakan menjadi kalus yang kompak dan remah. Kalus kompak mempunyai tekstur padat dan keras, yang tersusun dari sel-sel kecil yang sangat rapat, sedangkan kalus remah mempunyai tekstur lunak dan tersusun dari sel-sel dengan ruang antar sel yang banyak. Perbedaan struktur kalus menimbulkan adanya perbedaan kemampuan memproduksi metabolit sekunder. Pengaruh Komposisi Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Induksi Kalus Tanaman Binahong

Berdasarkan hasil analisis data secara statistik diketahui bahwa perlakuan zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase terbentuk kalus, namun belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot basah kalus dan bobot kering kalus.

Pada peubah amatan persentase terbentuk kalus tertinggi pada perlakuan komposisi zat pengatur tumbuh terdapat pada perlakuan Z3 (MS + 3 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP), Z5 (MS + 2 mg/L 2,4 D + 1mg/L BAP), dan Z6 (MS + 3 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP) dengan rataan 93,33%, sedangkan terendah pada perlakuan Z0 (MS) dengan rataan 20,00%. Terbentuknya kalus tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya auksin dan sitokinin. ZPT golongan auksin yang digunakan adalah 2,4 diklorofenoksi asetat (2,4D), sedangkan golongan ditokininnya adalah Benzylaminopurin (BAP) atau Benzyladenine. Suyitno dan Henuhili (2011) menyatakan bahwa auksin berperan merangsang pembelahan dan pembesaran sel, pembentukan kalus dan akar, sedang sitokinin akan memacu pembentukan tunas. ZPT berperan sebagai pengatur metabolisme, mitosis dan deferensiasi sel.

Induksi kalus dapat menghasilkan warna kalus yang berbeda-beda. Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa pada perlakuan komposisi zat

pengatur tumbuh menghasilkan kalus dengan warna putih kecoklatan, namun setelah dilakukan subkultur, kalus berubah menjadi coklat tua. Warna kalus yang kecoklatan terjadi pada hampir semua perlakuan yang terbentuk kalus. Hal ini serupa dengan penelitian Sugiyarto dan Kuswandi (2014) bahwa penampakan kalus pada media 2,4-D (1 dan 2ppm), awalnya berwarna putih bening hingga minggu ke-4, kemudian memasuki minggu ke-5 warna kalus berubah warnanya menjadi coklat muda dan akhirnya kehitaman setelah di subkultur. Hal ini disebabkan adanya metabolisme senyawa fenol yang berlebihan pada jaringan yang mulai terbentuk.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa pada perlakuan komposisi zat pengatur tumbuh dalam induksi kalus tanaman binahong menghasilkan kalus dengan tekstur remah. Menurut Sugiyarto dan Kuswandi (2014), karakteristik kalus sendiri tergantung pada komposisi media pengulturan, khususnya zat pengatur tumbuh, dan jenis eksplan. Kalus yang remah juga dapat diperoleh dengan cara melakukan subkultur berulang-ulang dengan media padat. Pengaruh Interaksi Jenis Eksplan dan Komposisi Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Induksi Kalus Tanaman Binahong

Interaksi antara perlakuan jenis eksplan dan komposisi zat pengatur tumbuh belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua peubah amatan seperti persentase terbentuk kalus, bobot basah kalus dan bobot kering kalus.

Pada penelitian ini interaksi antara perlakuan jenis eksplan dan zat pengatur tumbuh belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua peubah amatan Hal ini menunjukkan bahwa eksplan dan media dengan tambahan zat pengatur tumbuh belum berpengaruh terhadap pembentukan kalus. Hal ini diduga karena kondisi eksplan, perbandingan antara konsentrasi zat pengatur tumbuh

auksin dan sitokinin pada media belum saling sesuai untuk mendukung pertumbuhan kalus. Menurut Sumardi (1996), pertumbuhan kalus dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama yang berhubungan langsung dengan eksplan seperti ketersediaan energi, tempat eksplan tumbuh dan kehadiran zat pengatur tumbuh terutama auksin dan sitokinin dalam media kultur dengan keseimbangan tertentu.

Menurut Robbiani et al. (2010) menyatakan bahwa perbandingan konsentrasi yang tepat antara sitokinin dan auksin akan memacu pertumbuhan eksplan kultur in vitro. Oleh karena itu, konsentrasi zat pengatur tumbuh perlu diperhatikan untuk keberhasilan teknik kultur jaringan. Dalam penelitian ini waktu muncul kalus tercepat adalah 5 hari setelah kultur (HST) dan waktu muncul kalus terlambat adalah 14 hari setelah kultur (HST). Umur muncul kalus tercepat terdapat pada perlakuan jenis eksplan batang dalam media MS + 1 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP. Hal ini dikarenakan auksin yang lebih tinggi dibandingkan sitokinin mengakibatkan terbentuknya kalus pada eksplan. Hal ini didukung oleh Dodds dan Roberts (1995) yang menyatakan bahwa organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan yang berbeda. Pada umumnya kalus muncul pada bagian yang terluka.

Pengaruh Interaksi Jenis Eksplan dan Komposisi Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Metabolit Sekunder Tanaman Binahong

Kultur jaringan merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk induksi kalus binahong untuk menghasilkan metabolit sekunder. Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa flavonoid terdapat pada perlakuan E2Z1 yaitu E2 (batang) dan Z1 (MS + 1 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP) dan E2Z4 yaitu E2 (batang) dan Z4 (MS + 1 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP). Adanya flavonoid tersebut ditandai dengan perubahan warna pada ektsrak etanol menjadi warna

merah magenta. Hal ini didukung oleh Astuti (2012) yang menyatakan bahwa sampel tumbuhan yang telah diekstrak ditambah beberapa tetes HCl pekat dan bubuk Mg menghasilkan hasil positif terhadap flavonoid jika timbul warna merah tua (magenta) dalam waktu 3 menit.

Pada penelitian ini diperoleh bahwa saponin terdapat pada perlakuan E2Z2 yaitu E2 (batang) dan Z2 (MS + 2 mg/L 2,4 D + 0,5 mg/L BAP). Adanya saponin ini ditandai dengan adanya busa pada ekstrak yang telah dikocok kuat-kuat, namun dalam penelitian ini hanya ada satu kombinasi perlakuan yang mengandung saponin. Baud et al (2014) menyatakan bahwa ekstrak tumbuhan yang dikocok kuat-kuat selama 10 detik lalu ditambahkan 1 tetes HCl 2 N akan menghasilkan buih jika terdapat saponin di dalamnya.

Tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat memiliki zat-zat penting yang sangat berperan dalam menentukan aktivitas kerja tumbuhan obat tersebut, salah satunya yaitu flavonoid yang umumnya terdapat pada tumbuhan seperti tanaman binahong. Secara empiris beragam khasiat binahong telah diakui, untuk mengatasi beberapa penyakit seperti luka bakar, kanker, dan jantung. Pada penelitian Selawa et al. (2013) diperoleh bahwa sampel segar dan kering daun binahong yang diekstraksi dengan etanol serta dianalisis akan menunjukkan adanya flavonoid. Flavonoid yang terkandung pada ekstrak daun binahong dari sampel segar dan kering adalah 7,81 mg/kg dan 11,23 mg/kg.

Pada penelitian Astuti (2012) diperoleh bahwa hasil uji dari fitokimia ekstrak daun, batang, bunga dan umbi tanaman binahong menunjukkan bahwa terdapat senyawa bioaktif pada daun, batang, bunga dan umbi adalah mengindikasikan adanya senyawa saponin. Senyawa saponin pada tanaman

binahong menunjukkan reaksi kimia yang sangat kuat dan jelas. Pada tanaman binahong kandungan metabolit sekunder yang tinggi adalah total saponin, total fenol, dan total flavonoid. Kandungan senyawa ini mempunyai aktifitas sebagai antioksidan dan antimikroba/antibiotik, sehingga binahong sangat baik dipakai sebagai bahan baku untuk obat tradisional. Menurut Jeong dan Ji Wong (2005), saponin pada akar tanaman dapat digunakan sebagai obat generik yang dapat mengobati penyakit diabetes.

Ignacimuthu (1997) menyatakan bahwa kultur in vitro dapat digunakan sebagai sarana penghasil senyawa metabolit sekunder. Hal ini disebabkan karena metabolit sekunder merupakan hasil dari proses-proses biokimia yang terjadi pada tubuh tanaman secara utuh, sedang proses-proses tersebut juga terjadi pada kultur in vitro. Pada kultur in vitro, senyawa ini terdapat pada kalus atau bagian lain seperti daun, akar, dan batang. Saponin banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Saponin ini merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam beberapa tanaman obat contohnya Talinum paniculatum Gaertn. Pada penelitian Wardani et al. (2004) menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh yang ditambahkan pada media kultur jaringan memberikan hasil yang berbeda-beda. Penambahan 2,4-D dan kinetin dalam media dapat meningkatkan kadar saponin kalus T. paniculatum secara in vitro. Penambahan 1,5 mg/L 2,4-D dan 1,5 mg/L kinetin dalam media merupakan konsentrasi yang optimum untuk meningkatkan kadar saponin kalus T. paniculatum secara in vitro.

Pada penelitian Gangga et al. (2007) diperoleh bahwa selain untuk perbanyakan varietas tanaman, saat ini kultur jaringan diarahkan untuk beberapa tujuan, antara lain untuk memproduksi metabolit sekunder (alkaloid, flavonoid,

dll). Hasil uji penapisan fitokimia menunjukkan bahwa golongan metabolit sekunder yang dihasilkan kalus mahkota dewa hasil kultur jaringan dengan menggunakan media 2 ppm 2,4 D dan 1 ppm BAP mempunyai kesamaan dengan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh serbuk daun mahkota dewa yaitu flavonoid.

Dokumen terkait