• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh EMS terhadap pertumbuhan tunas

Perlakuan perendaman menggunakan larutan EMS berpengaruh terhadap daya tumbuh tunas terminal. Persentase kematian tunas terminal dipengaruhi oleh konsentrasi EMS dan waktu perendaman. Semakin tinggi konsentrasi EMS dan semakin lama waktu perendaman yang diberikan, semakin meningkat persentase tunas yang mati ( Tabel 6.2).

Eksplan yang mengalami kematian memperlihatkan perubahan warna beberapa saat setelah diperlakukan. Perubahan awal terjadi pada bagian potongan eksplan yang pada awalnya berwarna putih kehijauan, namun kemudian berubah secara bertahap menjadi coklat kehitaman. Eksplan yang semula berwarna putih kehijauan juga dapat mengalami perubahan warna secara cepat menjadi coklat. Tunas terminal yang hidup adalah tunas terminal yang tetap berwarna putih kehijauan setelah perlakuan EMS (Gambar 6.2). Umumnya eksplan yang tidak diperlakukan dengan EMS tidak mengalami perubahan warna. Warna yang semula putih lama kelamaan menjadi kehijauan. Perubahan terlihat pada jaringan hasil potongan yang sedikit mengalami pembengkakan.

98

Gambar 6.2. Respon eksplan genotipe cabai Gelora terhadap perlakuan berbagai konsentrasi EMS dengan waktu perendaman 60 menit

A) EMS 0,25%; B) EMS 0,5%; C) EMS 1%

Tunas terminal dengan perlakuan EMS 1% dan waktu perendaman 60 menit mengalami kematian jaringan dengan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan yang diberi perlakuan konsentrasi EMS lebih rendah dan waktu perendaman lebih singkat (Tabel 6.2). Pada konsentrasi EMS 0,25% dengan waktu perendaman 15, 30 atau 60 menit persentase kematian jaringan berturut-turut berkisar 10-36, 10-46, dan 30-80%; pada konsentrasi EMS 0,5% berturut turut adalah 30-80, 30-97 dan 49-96%; sedangkan pada konsentrasi EMS 1% dengan masa perendaman yang sama seperti di atas kematian jaringan berkisar antara 58-100% (Tabel 6.2). Peningkatan konsentrasi EMS dan waktu perendaman cenderung menghambat pertumbuhan sel-sel dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan kematian jaringan. Pengaruh induksi mutasi dengan EMS dapat mempengaruhi terjadinya penghambatan pada pembelahan dan pertambahan jumlah sel (Dhanavel et al. 2008). Kematian sel tanaman akibat mutagen kimia dapat terjadi secara langsung, yaitu kerusakan DNA atau akibat tidak langsung, yaitu adanya pengaruh toksik sehingga mengakibatkan sel tidak mampu bermultiplikasi membentuk tunas (Biswas et al. 2002)

Perlakuan EMS terhadap lima genotipe yang diuji yaitu Jatilaba, ICPN12 no.4, PBC495, Helem dan Gelora, memperlihatkan respon yang berbeda. Pada konsentrasi EMS 0,5% kematian jaringan terbanyak terlihat pada genotipe Jatilaba, ICPN12 no.4 dan Helem. Konsentrasi EMS yang dibutuhkan untuk menimbulkan mutasi setiap tanaman berbeda-beda tergantung dari tanaman dan jenis eksplan yang digunakan misalnya pada tanaman anggur, gandum, pisang konsentrasi EMS LC50% berturut-turut adalah 0,04, 0,8 dan 0,7% ( Singh et al. 2007; Sakin 2002; Imelda et al. 2000).

Tabel 6.2. Pengaruh konsentrasi EMS dan waktu perendaman terhadap kematian jaringan eksplan cabai

Waktu Perendaman/ Persentase kematian eksplan pada tiap genotipe (%)* Konsentrasi EMS Jatilaba ICPN12no.4 PBC495 Helem Gelora 15 menit 0,25% 23 10 30 30 36 0,5% 47 37 57 30 80 1,0% 100 100 83 58 100 30 menit 0,25% 17/ 10 33 30 46 0,5% 39 30 97 30 57 1,0% 100 100 100 80 75 60 menit 0,25% 40 57 30 80 53 0,5% 69 83 60 96 60 1,0% 100 100 100 100 100 Kontrol 0% 10 27 23 20 10

Keterangan : * = Jumlah tanaman tiap perlakuan 100

Berdasarkan persentase jaringan dan jumlah eksplan yang tetap hidup, nilai LC50 terdapat pada konsentrasi EMS 0,5% dan waktu perendaman 60 menit. LC50 adalah 50% dari eksplan yang diperlakukan dengan EMS tetap hidup dan dapat diregenerasikan. Pada perlakuan tersebut, genotipe PBC495 dan Gelora masih memiliki kemampuan bertahan hidup sampai 40% (Tabel 6.2). Hasil penelitian sebelumnya pada Vigna unguiculata L.Walp diperoleh LC50 dengan konsentrasi EMS 15 mM setara dengan 0,2% EMS (Girija dan Dhanavel 2009). Jabeen dan Mirza (2002) melaporkan bahwa biji cabai yang diberi perlakuan EMS 0,5% selama 6 jam mampu meningkatkan variasi genetik pada C. annuum. Selain merupakan agen pengkelat, EMS juga mengandung bahan mesylate ester, yang berpotensi sebagai bahan mutagenik, karsinogenik dan teratogenik (Sarat et al. 2010). Hasil penelitian lain menyatakan pula bahwa jaringan yang di perlakukan dengan mutagen kimia 15 mM setara 0,2% mampu menyebabkan terjadinya mutasi atau dapat menyebabkan terjadinya subtitusi DNA sampai 50% pada tanaman Tradescantia (Moya et al. 2001)

100

Pengaruh EMS terhadap multiplikasi tunas

Perendaman jaringan dalam larutan EMS berpengaruh terhadap kemampuan jaringan untuk bermultiplikasi membentuk tunas (Tabel 6.3). Eksplan tunas terminal yang diberi perlakuan EMS 0,5% (60 menit) memperlihatkan respon yang berbeda terhadap inisiasi tunas untuk setiap genotipe cabai. Waktu inisiasi tunas untuk genotipe PBC495 dan Gelora cenderung lebih cepat dengan perlakuan EMS tersebut, tetapi respon berbeda terjadi pada Jatilaba. Terjadinya perbedaan respon terhadap daya inisiasi tunas berhubungan dengan faktor genetik dari genotipe. Selain itu rendahnya kualitas jaringan setelah perendaman EMS juga sebagai akibat toksisitas bahan tersebut. Hal yang sama dilaporkan oleh peneliti terdahulu, bahwa perendaman dengan EMS pada benih cabai dapat menurunkan tingkat perkecambahan (Jabeen dan Mirza, 2002). Secara umum tidak ada perbedaan untuk rata-rata tinggi tunas antara genotipe yang diberi perlakuan EMS LC50 dengan perlakuan kontrol. Rata-rata jumlah tunas cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol untuk genotipe PBC495 dan Gelora yang diberi perlakuan EMS 0,5% (60 menit). Jumlah, tinggi serta kualitas tunas yang rendah diduga karena perlakuan EMS yang bersifat sebagai agen pengkelat dapat menyebabkan terjadinya mutasi titik, sehingga mereduksi sifat fertilitas, penghambatan kemampuan jaringan membentuk tunas bahkan dapat menyebabkan kematian yang dominan, oleh karena itu mutagen kimia menjadi metode pilihan yang banyak digunakan untuk studi genetik (Green et al. 2005). Pada konsentrasi EMS 0,5% dan masa perendaman 60 menit jumlah tunas yang dihasilkan dari masing-masing eksplan Jatilaba, PBC495 dan Gelora berturut-turut 2.56±1.47; 4.93±2.62; 6.44±0.95 (Tabel 6.2).

Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh pemberian 0,5% EMS dengan masa perendaman 60 menit dapat bersifat positif, yaitu waktu inisiasi tunas lebih cepat dan jumlah tunas yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan kontrol, dan dapat pula bersifat negatif yaitu tinggi tunas tidak mengalami perubahan (roset) sehingga menyulitkan pada saat perlakuan perakaran. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya penggunaan EMS 0,5% dan perendaman 3 jam dapat menginduksi adanya perubahan morfologi tanaman (Jabeen dan Mirza, 2004).

Tabel 6.3.Waktu inisiasi tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, dan jumlah daun yang terbentuk pada eksplan tunas terminal Jatilaba, PBC495 dan Gelora yang ditanam pada media MS +.BAP 5 mg l-1 + TDZ 0,5 mg l-1*)

Perlakuan pada beberapa genotipe cabai Rata-rata waktu inisiasi tunas (minggu) Rata-rata tinggi tunas (cm) Rata-rata jumlah tunas Rata-rata jumlah daun EMS 0,5% 60 mnt Jatilaba 10,18±0,69 0,53±0,32 2,56±1,47 2,22±1,04 PBC495 6,73±0,67 0,94±0,48 4,93±2,62 2,61±1,16 Gelora Kontrol 6,22±0,61 1,38±0,29 6,44±0,95 3,15±0,53 Jatilaba 7,91±0,83 0,53±0,08 1,36±0,67 Roset PBC495 8,08±2,83 0,83±0,28 2,91±1,04 2,0±0,77 Gelora 7,00±2,45 1,38±0,46 4,73±1,62 3,73±1,42 *) MS =.Murasige & Skoog ; BAP=Benzil Amino Purin;TDZ= Thidiozuron

Perubahan tanaman akibat mutagen kimia menyebabkan terjadinya stimulasi biosintesis beberapa asam amino sehingga meningkatkan aktivitas berbagai enzim seperti polyphenol oxidase, catalase dan pyroxidase sehingga menghambat pertumbuhan tunas dan daun (Lage dan Esquibel 1997). Tidak semua tunas yang dihasilkan dapat membentuk akar (Tabel 6.4). Gelora dan PBC495 mempunyai kemampuan untuk membentuk akar walaupun lambat. Berbeda dengan Jatilaba, walaupun mampu membentuk tunas tapi kemampuannya dalam membentuk akar sangat rendah (data tidak disajikan). Jumlah akar dan panjang akar yang dihasilkan dapat meningkatkan daya serap hara untuk proses metabolisme dan fotosintesis sehingga memacu pertumbuhan tunas (Arous et al., 2001)

Tabel 6. 4. Karakter varian morfologi pada tanaman somaklon (M1.1 dan M1.2) hasil induksi mutasi dengan EMS 0.5% dan waktu perendaman 60 menit

Varian Morfologi M1.1 M1.2 Tanaman normal

Tinggi tanaman (cm) 111 124 143 Tinggi dikotomus (cm) 28 27 43 Daun menggulung + + - Bunga + + + Jumlah percabangan 17 13 12 Waktu berbunga*) 53 57 40

Keterangan : - = Daun tidak menggulung; daun tidak variegata; tidak albino + = Daun menggulung; bunga normal

102

C D

B A

Karakter tanaman somaklonal hasil aklimatisasi

Tanaman somaklonal yang dapat diaklimatisasi adalah tanaman yang membentuk akar yaitu PBC495 dan Gelora (Gambar 6.3). Pada proses aklimatisasi banyak planlet yang tidak mampu bertahan terhadap perubahan lingkungan dari kondisi in vitro, kemungkinan karena lapisan lilin/kutikula tidak berkembang baik, lignifikasi batang kurang berkembang dan stomata pada daun tidak berkembang (Sianipar 1999). Planlet yang berhasil diaklimatisasi hanya berasal dari genotipe Gelora. Setelah melalui tahapan aklimatisasi dan pemeliharaan di ruang kultur dan ruang kedap serangga, yang mampu bertahan hidup hanya dua genotipe. Kedua genotype somaklonal tersebut mampu menghasilkan buah dan benih cabai (Gambar 6.4) .

Gambar 6.3. Aklimatisasi planlet cabai setelah perlakuan EMS 0,5% dengan perendaman selama 60 menit (A) Aklimatisasi di ruang kultur; (B) Eksplan Gelora umur 1 msa; (C) Eksplan Gelora umur 2 msa (di ruang isolasi); (D) Eksplan PBC 495 umur 2 msa (ruang isolasi). msa : minggu setelah aklimatisasi

Gambar 6.4. Tanaman mutan somaklon genotipe Gelora asal klon M1.1(A, B, C) dan M1.2 (D, E, F) berturut-turut pada umur 30 hari ; umur 90 hari; dan umur 110 hari setelah transplant.

Tanaman mutan somaklon 1 (M1.1) menghasilkan 70 buah, sedangkan genotipe mutan somaklon 2 (M1.2) hanya menghasilkan 16 buah. Genotipe M1.1 dan M1.2, selanjutnya digunakan dalam kegiatan evaluasi ketahanan terhadap ChiVMV. Secara umum penampilan tanaman M1.1 dan M1.2 tidak jauh berbeda dengan tanaman normal. Walaupun demikian kedua tanaman mutan somaklon tersebut cenderung memiliki tinggi tanaman dan tinggi cabang yang lebih rendah dibandingkan tanaman normal. Rata-rata tinggi tanaman M1.1 dan M1.2 berturut-turut adalah 111 cm dan 124 cm, sedangkan tinggi tanaman kontrol adalah 143 cm. Tinggi dikotomus tanaman M1.1 dan M1.2 masing-masing adalah 28 cm dan 27 cm sedangkan pada tanaman kontrol 43 cm. Jumlah percabangan tanaman M1.1 dan M1.2 cenderung lebih banyak (17 dan 13) dari tanaman induknya (12). Demikian pula dengan waktu berbunga, kedua tanaman mutan somaklon memperlihatkan waktu berbunga lebih lama dari tanaman kontrol (Tabel 6.4). Selain itu penampilan daun yang menggulung menunjukkan adanya variasi morfologi pada tanaman hasil induksi EMS. Pengukuran terhadap buah dari hasil tanaman mutan somaklon menunjukkan adanya perbedaan terutama pada berat buah (Gambar 6.5). Tanaman mutan somaklon M1.1 cenderung menghasilkan

A B C

104

buah lebih banyak dan lebih besar dibandingkan tanaman mutan somaklon M1.2 (Tabel 6. 5).

Gambar 6.5. Buah cabai yang dipanen dari tanaman mutan somaklon. (A) buah cabai M1.1; (B) buah cabai M1.2 (C) Buah cabai gelora kontrol Tabel 6. 5. Karakter buah yang dihasilkan oleh somaklon hasil induksi mutasi

dengan EMS 0,5% dan waktu perendaman 60 menit

Karakter Buah* M1. 1 M1. 2 kontrol

Bobot Buah (g) 3,58 ± 1,31 2,83 ± 1,09 3,43±0,80 Panjang buah (cm) 8,22 ± 0,89 7,63 ± 1,45 7,83±0,67 Panjang tangkai buah (cm) 3,20 ± 0,44 2,91 ± 0,29 2,89±0,30 Diameter buah (cm) 3,16 ± 0,44 2,91 ± 0,30 2,90±0,36

*Dihitung berdasarkan rata-rata pengukuran 70 buah untuk klon 1 dan 16 buah untuk klon 2.

Penapisan dan evaluasi tanaman somaklonal cabai terhadap infeksi ChiVMV

Jumlah tanaman bergejala pada populasi M1.1 adalah 229 tanaman dari total 245 tanaman uji, sedangkan pada populasi M1.2 adalah 223 tanaman dari total 243 tanaman uji (Gambar 6.6). Persentase tanaman terinfeksi dari kedua populasi somaklonal tersebut berdasarkan kriteria Green (1991) berturut turut adalah 93% dan 91,7%, sedangkan tanaman yang tidak memperlihatkan gejala berturut-turut adalah 6,5 % dan 8,23% dari seluruh tanaman uji (Tabel 6.6). Gejala yang tidak nampak pada tanaman yang diinokulasi dengan ChiVMV merupakan salah satu indikasi bahwa tanaman tersebut adalah tahan. Tanaman yang tahan terhadap virus mampu menghambat replikasi virus dan penyebarannya di dalam tanaman sehingga konsentrasi virus di dalam tanaman menjadi rendah (Agrios, 2005). Fenomena lain menurut Hull (2002) mengatakan bahwa genom tanaman mempunyai signal tertentu sehingga reseptor yang dimilikinya akan mengenali virus yang masuk ke dalam sel tanaman dan akan memicu munculnya induksi ketahanan. Keberadaan ChiVMV pada tanaman uji selanjutnya dikonfirmasi melalui deteksi DAS-ELISA.

Gambar 6.6. Penapisan dan evaluasi tanaman cabai somaklonal mutan (M1.1 dan m1.2) terhadap infeksi ChiVMV. (A) Tanaman uji M1.1 dan M1.2; (B) Tanaman yang menunjukkan gejala terinfeksi ChiVMV

Tabel 6. 6. Penapisan dan evaluasi respon mutan somaklon cabai hasil kombinasi induksi mutasi dengan EMS dan ketahanannya terhadap ChiVMV Jumlah Tanaman

Uji Mutan

Jumlah Tanaman terinfeksi(%)

Jumlah Tanaman Tahan (%)

Gejala DAS-ELISA (positif) Tidak bergejala DAS-ELISA(negatif) 245(M1.1) 229 (93) 234 (95,5) 16(6,5) 11(4,48) 243(M1.2) 223 (91,7) 234 (96,2) 20(8,23) 9(3,70)

Berdasarkan hasil ELISA diketahui bahwa jumlah tanaman terinfeksi pada masing-masing tanaman somaklonal lebih tinggi dibandingkan hasil pengamatan gejala. Hasil tersebut menunjukkan adanya fenomena gejala lemah atau gejala laten. Setelah deteksi ChiVMV menggunakan DAS-ELISA, diperoleh bahwa 4,09% dari progeni mutan somaklonal dari 448 tanaman uji atau sebanyak 20 tanaman (berasal dari M1.1 dan M1.2) yang tahan terhadap ChiVMV.

Gejala ChiVMV pada tanaman cabai genotipe Gelora mula-mula memperlihatkan belang atau spot-spot hijau di beberapa bagian permukaan daun yang lama ke lamaan warna belang hijau tersebut menyebar dan menyatu ke tulang daun. Pada tanaman cabai di lapang yang terinfeksi virus ini umumnya memperlihatkan gejala yang bervariasi. Gejala yang sering muncul adalah lesio lokal, mosaik, vein clearing, bilur, nekrosis dan adapula yang tidak memperlihatkan gejala atau disebut gejala yang lemah sehingga tidak terdeteksi secara visual (Siriwong et al. 1995). Demikian pula dengan hasil penelitian terhadap tanaman mutan somaklon. Tanaman yang tidak memperlihatkan gejala setelah di deteksi dengan teknik DAS-ELISA memperlihatkan hasil yang positif terinfeksi. Hasil deteksi ini juga menunjukkan bahwa teknik DAS-ELISA cukup

106

sensitif yaitu mampu mendeteksi ChiVMV sampai pengenceran 1:1000 (Opriana 2009).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pengujian pengaruh perlakuan Ethyl methane sulfonate diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi EMS dan semakin lama waktu perendaman, maka persentse eksplan yang mati semakin meningkat. Perlakuan EMS 0,5% dan perendaman 60 menit menimbulkan keragaman morfologi. Kombinasi perlakuan induksi mutasi dengan EMS dan keragaman somaklonal menghasilkan mutan dari Genotipe Gelora dan dari uji ketahanan mutan tersebut terhadap ChiVMV isolat Cikabayan di dapatkan 20 tanaman yang tahan terhadap ChiVMV.

Tanaman yang menunjukkan respon tahan terhadap ChiVMV tersebut dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme terjadinya ketahanan karena perlakuan EMS dan kultur in vitro.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Badan Litbang Pertanian dan Pimpinan Proyek Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) atas dukungan dana untuk melakukan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology, Ed ke-5. New York; Elsevier Academic Press.

Arous S, Boussaid M dan Marrachi M. 2001. Plant regeneration from zygotic embryo hypocotyls of Tunisian chili (Capsicum annum L.). J. Appl. Hort. 3(1):17-22

Ashok YP, Sharma P dan Yadav A. 1995. Effect of different ethyl methane sulfonate treatments on pollen viability and fruit rot incidence in bell pepper. Ann Agric Res 16: 442-444.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Produksi sayuran Indonesia.

Jakarta.http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subje k=55&notab=15[17 Mei 2010].

Biswas B, Chowdhurry A, Bhattacharya dan Mandal B. 2002. In vitro screening for increasing drought tolerance in rice. In vitro Cell Dev Biol Plant 38:525-530.

Clark MF dan Adams AN. 1977. Characteristics of the microplate methode of enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. J. Gen. Virol. 34:475-483

[DBPH] Direktorat Bina Program Tanaman Pangan dan Hortikultura RI. 2008. Luas panen, rata-rata hasil dan produksi tanaman hortikultura di Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta

Dhanavel D, Pavadai P, Mullainathan L, Mohana D, Raju G, Girija M dan Thilagavathi C. 2008. Effectiveness and efficiency of chemical mutagens in cowpea (Vigna unguiculata(L.)Walp.) Afr. J. Biotechnol. 7:4116-4127 Duriat A.S. 1996. Cabai merah: Komoditas Prospektif dan Andalan. Di dalam:

Duriat AS, Widjaja W. Hadisoeganda A, Soetiarso TA dan Prabaningrum L (editor). Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 1-3

Girija M dan Dhanavel D. 2009. Mutagenic effectiveness and efficiency of gamma rays Ethyl Methane Sulfonate and their combined treatments in Cowpea (Vigna ungiculata L. Walp). Glob J of Mol Scien 4(2):68-75.

Green EA, Codomo CA, Taylor NE dan Henikoff JG. 2005. Spectrum of chemically induced mutation from a large-scale reverse-genetic sceen in Arabidopsis. J. Genetics 164:731-740.

Green SK. 1991. Guidelines for diagnostic work in plant virology. ARDC tech Bull 15: 63

Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology, Ed. Ke-4, San Diego; Academic Press. Imelda M, Deswina P, Hartati S, Estiati A dan Atmowijoyo S. 2000. Chemical

mutation by Ethyl Methane Sulfonate (EMS) for bunchy top virus resistence in Banana. Ann Bogorien n. s. 7: 19-25.

Jabeen N dan Mirza B. 2002. Ethyl methane sulfonate enhances genetic variability in Capsicum annuum. Asian J of Plant Sci 1: 425-428.

Jabeen N dan Mirza B. 2004. Ethyl methane sulfonate induces morphological mutations in Capsicum annuum. Int. J. Agrt. Biol. 6: 340-345.

Lage LSC dan Esquibel MA. 1997. Growth stimulation produced by methylene blue treatment in sweet potato. Plant Cell Tiss. Org. Cult 48:77-81.

108

Manzila I, Hidayat SH, Mariska I dan Sujiprihati s. 2010. Induksi kalus dan daya regenerasi cabai melalui kultur in vitro. Jurnal Agrio-Biogen 6: 65-75. Moya CA, en C, Licas AS, Gonzales GZ, Bugarin OT, Camberos EP dan Velasco

AF. 2001. Evaluation of genotoxic activity of maleic hydrazide, ethyl methane sulfonate, and N-nitroso diethylamine in Tradescantia. Salut publica de Mexico 43: 563-569.

Natarajan AT. 2005. Chemical mutagenesis: From plants to human. Current Science 89(2):312-317

Opriana E. 2009. Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap infeksi Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV). [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sarat M, Ramakrishna M, Suresh Y, Harikrishna S, Rambabu C, Koshore K dan Nagabhushana RK. 2010. Low-level determination of residual Methyl Methane Sulfonate and Ethyl Methane Sulfonate in Pharmaceuticals by Gas Chromatography with Mass Spectrometry. J of Chem 7: 629-635

Sianipar NF. 1999. Organogenesis tiga galur tanaman kedelai (Glycine max L.Merr) secara in vitro dan pertumbuhan pasca aklimatisasinya. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Singh SK, Yerramilli V dan Khawale RN. 2007. Molecular maker-assisted selection of in vitro chemical mutagen-induced grapevine mutans. Current Science 92: 8 1056-1060

Siriwong P, Kittipakorn K dan Ikegami M. 1995. Characterization of chilli vein-banding mottle virus isolated from pepper in Thailand. Plant Pathology 44:718-727

Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Application New York. Cambridge University Press. h. 342

Womdim NR, Swai IS, Chadha ML, Selassie GK dan Marchoux G. 2001. Occurence of Chilli veinal mottle virus in Solanum aethiopicum in Tanzania. Plant Dis. 85:801.

Yudhvir S. 1995. Mutagenic effect of N-nitroso-N-methyl Urea and ethyl ethane sulfonate on the incidence of fruit rot in tomato. New Agriculturist, 6:89-94

Tanaman cabai (Capsicum annuum) merupakan salah satu komoditas andalan hortikultura di Indonesia. Tanaman tersebut ditanam di seluruh provinsi di Indonesia dan memiliki nilai ekonomis yang sangat baik, sehingga mendapat prioritas untuk dikembangkan.

Selain beberapa faktor agronomis yang menjadi kendala produksi cabai di Indonesia seperti berkurangnya luas panen, sukarnya mendapatkan benih yang bermutu dan murah, peranan gangguan hama dan penyakit juga sangat menentukan tinggi rendahnya hasil panen cabai. Salah satu penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus yang saat ini mendapat perhatian adalah Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV). Virus ini merupakan salah satu agen penyebab penyakit belang pada cabai dan menjadi ancaman serius pada tanaman cabai, di beberapa sentra produksi cabai di Indonesia. Munculnya penyakit yang disebabkan oleh ChiVMV tersebut telah dilaporkan oleh beberapa peneliti pada tanaman cabai beberapa tahun terakhir ini dan dapat menyebabkan kehilangan hasil 60% sampai 100% (Taufik et al. 2005, Subekti et al. 2006, Latifah et al. 2007, Opriana 2009, Trisno 2009). Hasil deteksi yang telah dilakukan dalam penelitian ini dengan metode ELISA dan RT-PCR membuktikan bahwa ChiVMV telah muncul pada pertanaman cabai di daerah-daerah lain yang sebelumnya belum pernah dilaporkan yaitu Kalimantan Selatan, Sumatera Barat dan Aceh Tengah.

Isolat-isolat ChiVMV yang digunakan dalam penelitian ini membuktikan adanya variasi biologi antar isolat ChiVMV yang ada di Indonesia yang ditunjukan oleh perbedaan virulensinya. Isolat Cikabayan (CKB) merupakan isolat yang memiliki virulensi yang tinggi, sedangkan isolat Karadenan (KR) dan Tanah Datar (TD) memiliki virulensi yang rendah. Hasil analisis berdasarkan motif protein dari masing-masing isolat yang memiliki tingkat virulensi yang berbeda mengindikasikan adanya mutasi pada selubung protein (CP) yang diduga berpengaruh terhadap variasi virulensi antar isolat/strain ChiVMV. Analisis lebih lanjut pada motif asam amino gen CP-ChiVMV menunjukkan bahwa motif octapeptide telah termutasi menjadi LSGQVQPQSRQSEMETEVPQVR pada ChiVMV CKB dan menjadi RMETFGLDGRVGTQEEDTERHT pada

CP-110

ChiVMV lainnya. Perbedaan lainnya terjadi pada daerah asam amino nomor 61 dan 84, dimana ChiVMV BL dan KR kehilangan sekuen MET dan mengalami mutasi GG menjadi KV. Dengan demikian variasi isolat/strain ChiVMV tidak saja ditunjukkan oleh adanya perbedaan pada tingkat virulensi antar strain, tetapi juga pada tingkat molekuler yaitu pada sekuen asam amino selubung proteinnya.

Variasi virulensi antar strain patogen terjadi melalui mekanisme gene for gene interaction, artinya mekanisme yang terjadi merupakan hasil interaksi antara gen virulen patogen dengan sistem imun yang dimiliki oleh tanaman demikian sebaliknya. Gen virulen yang dimiliki oleh setiap strain patogen merupakan hasil interaksi khusus dan terus-menerus antara patogen dengan inangnya. Pada patogen yang memiliki perkembangan cepat, daya adaptasi tinggi, dan sebaran inang luas, biasanya memiliki variasi strain yang tinggi seperti halnya pada ChiVMV. Strategi pengendalian ChiVMV harus memperhatikan variasi strain yang ada di suatu wilayah.

Usaha pengendalian penyakit belang pada cabai yang disebabkan oleh ChiVMV sampai saat ini masih sulit untuk dilakukan. Pengendalian umumnya dilakukan secara tidak langsung antara lain dengan mengurangi sumber inokulum dengan cara mencabut tanaman-tanaman yang telah menunjukkan gejala serangan virus, melakukan pergiliran tanaman, dan pemberantasan gulma yang dapat menjadi inang alternatif virus, dan mengendalikan perkembangan serangga vektor dengan menggunakan pestisida. Cara-cara pengendalian tersebut terkadang tidak efektif karena proses penularan virus dapat terjadi dengan cepat mengingat kutu daun dapat menularkan virus ke tanaman sehat hanya dalam hitungan menit sampai jam. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah penggunaan pestisida akan meninggalkan residu pestisida pada buah dan membahayakan, mencemari lingkungan serta membutuhkan biaya yang besar. Dengan demikian penggunaan varietas tahan merupakan pilihan yang tepat untuk mengendalikan virus karena metode ini relatif lebih aman dan murah bila dibandingkan dengan metode pengendalian yang lain (Dolores 1998) .

Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam upaya pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus diantaranya adalah dengan memanfaatkan potensi yang ada pada virus itu sendiri, misalnya adanya variasi strain.

Pemanfaatan strategi pengendalian melalui teknik proteksi silang telah berhasil dilakukan pada beberapa komoditas pertanian seperti, Capsicum frutescens L.,