• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Objek Penelitian

Perusahaan penelitian terdiri dari seratus perusahaan yang berasal dari beragam sektor usaha. Perusahaan-perusahaan tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam beberapa sektor berdasarkan pengelompokkan yang ditetapkan oleh BEI.

Gambar 4 Distribusi populasi penelitian berdasarkan sektor

Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa mayoritas perusahaan yang terdaftar dalam indeks Kompas100 berasal dari sektor properti, real estate, dan konstruksi bangunan, disusul sektor perdagangan, jasa, dan investasi dengan selisih dua perusahaan. Sektor pertanian dan aneka industri menjadi perusahaan minoritas yang masuk ke dalam indeks.

Variabel laten CG pada penelitian ini direfleksikan ke dalam empat indikator yaitu ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan terkonsentrasi. Distribusi populasi penelitian berdasarkan variabel CG dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Distribusi populasi penelitian berdasarkan variabel CG

Ukuran dewan komisaris Jumlah Proporsi dewan komisaris independen (%) Jumlah Kepemilikan manajerial (%) Jumlah Kepemilikan terkonsentrasi Jumlah 1 0 < 30 1 0 – 5 65 0 (tidak) 38 2 - 3 22 30 – 45 66 6 – 25 3 1 (terkonsentrasi) 62 4 - 6 57 46 – 60 26 26 – 50 4 7 - 9 19 61 – 75 5 51 – 75 22 > 9 2 > 75 2 76 – 100 6

Sumber: Hasil analisis data

Berdasarkan data ukuran dewan komisaris diketahui bahwa keseluruhan perusahaan telah mematuhi Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007 pasal 108 ayat 5 yang menyebutkan bahwa perusahaan harus memiliki minimal dua dewan komisaris. Mayoritas perusahaan penelitian mempunyai dewan komisaris sebanyak empat sampai enam.

Sesuai fungsinya, dewan komisaris merupakan pihak pengendali intern tertinggi dalam perusahaan. Semakin besar ukuran dewan komisaris, maka aktivitas monitoring dapat dilakukan dengan lebih baik. Aktivitas monitoring yang dilakukan dengan baik dapat menciptakan tata kelola perusahaan yang baik. Perusahaan dalam menjalankan setiap kegiatan operasionalnya akan lebih patuh terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku. Namun dalam menjalankan kegiatan operasional, perusahaan juga harus cepat dan tanggap dalam merespon segala kondisi yang ada sehingga jangan sampai aktivitas monitoring yang berlaku menghambat proses pengambilan keputusan yang efektif.

Pada indikator proporsi dewan komisaris independen ada satu perusahaan yang tidak memenuhi peraturan BEI per tanggal 1 juli 2000 mengenai komposisi komisaris independen. Peraturan tersebut menetapkan bahwa bagi perusahaan yang

listing di bursa minimal harus mempunyai 30% proporsi komisaris independen dari

jumlah seluruh anggota komisaris. Perusahaan tersebut adalah PT BW Plantation Tbk dengan proporsi dewan komisaris sebesar 25%. PT BW Plantation Tbk hanya mempunyai satu dewan komisaris independen dari jumlah keseluruhan empat dewan komisaris.

Komisaris independen diperlukan untuk meningkatkan independensi dewan komisaris terhadap kepentingan manajerial perusahaan maupun kepentingan pemegang saham mayoritas. Dewan komisaris independen harus menempatkan posisinya untuk kepentingan perusahaan dengan memperhatikan kepentingan seluruh

komisaris independen maka kemampuan dewan komisaris untuk mengambil keputusan akan semakin objektif dan transparan.

Mayoritas perusahaan penelitian hanya memiliki kepemilikan saham manajerial yang sangat kecil yaitu dibawah lima persen. Semakin kecil saham yang dimiliki oleh manajerial perusahaan akan semakin meningkatkan risiko bagi

stakeholder lainnya. Kemungkinan pihak manajerial bertindak oportunis demi

kepentingan pribadinya bukan demi kepentingan perusahaan semakin besar.

Namun risiko tersebut dapat diperkecil jika perusahaan memiliki kepemilikan terkonsentrasi. Struktur kepemilikan saham mencerminkan distribusi kekuasaan dan pengaruh di antara pemegang saham atas kegiatan operasional perusahaan. Semakin besar kepemilihan saham suatu pihak pada perusahaan akan meningkatkan pengawasan pihak tersebut kepada perusahaan, sehingga dapat dikatakan bahwa kepemilikan terkonsentrasi merupakan cara efektif untuk menurunkan biaya agensi. Pada perusahaan penelitian, walaupun mayoritas kepemilikan manajerial rendah namun ditopang dengan adanya kepemilikan terkonsentrasi.

Variabel laten lainnya dalam penelitian ini yaitu variabel pengungkapan CSR. Pengungkapan CSR pada penelitian ini diukur dengan indikator GRI versi G4 dengan mengidentifikasi item-item indikator pada laporan tahunan dan laporan keberlanjutan. Dari total seratus perusahaan hanya sembilan perusahaan yang menerbitkan laporan keberlanjutan (sustainability report/SR). Namun hanya enam perusahaan yang telah

menerapkan GRI G4 dalam mengungkapkan kegiatan CSR yang telah dilakukannya. Perusahaan tersebut yaitu PT Astra International Tbk, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk, PT Holcim Indonesia Tbk, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Sedangkan tiga perusahaan lainnya masih menerapkan GRI G3 yaitu PT Astra Agro Lestari Tbk, PT XL Axiata Tbk dan PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk. Ada juga dua perusahaan lainnya yang menerapkan GRI G3 namun pengungkapan kegiatan CSR nya disatukan dalam laporan tahunan (annual report/AR) yaitu PT Indosat Tbk dan PT Timah (Pesero) Tbk. Padahal GRI G4 yang merupakan versi terbaru dari GRI

guidelines telah diterbitkan sejak Mei 2013.

Pengungkapan CSR yang direfleksikan ke dalam enam indikator mempunyai nilai yang bervariasi antar sektor perusahaan. Setiap sektor perusahaan mempunyai fokus masing-masing dalam melakukan kegiatan CSR nya. Pada penelitian ini, peneliti mencoba melihat fokus masing-masing sektor dalam melakukan kegiatan CSR nya, seperti dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Grafik pengungkapan CSR per indikator

Dari kesembilan sektor perusahaan, mayoritas berfokus pada kinerja ekonomi. Sedangkan aspek yang kurang mendapatkan perhatian dari mayoritas perusahaan adalah aspek hak asasi manusia. Namun sangat tidak diduga pada sektor keuangan, sektor ini lebih memfokuskan kegiatan CSR nya pada aspek masyarakat bukan pada aspek ekonomi. Pada sektor yang berkaitan langsung dengan sumber daya alam seperti sektor pertanian dan pertambangan ada baiknya jika memberikan perhatian lebih pada aspek lingkungan dengan tetap memperhatikan aspek lainnya juga.

Variabel laten yang terakhir yaitu variabel kinerja keuangan (CFP). Pengukuran kinerja keuangan perusahaan dilakukan dengan pendekatan analisis rasio keuangan dengan menggunakan beberapa rasio. Hasil pengukuran kinerja keuangan dengan mengunakan analisis rasio dapat dilihat pada Lampiran 6.

Indikator pertama yaitu current ratio (CR), rasio yang menganalisis modal kerja perusahaan. Standar CR yang baik berbeda antara perusahaan industri dengan perusahaan jasa. Untuk perusahaan industri CR 200% dipertimbangkan sebagai CR yang baik, sedangkan bagi perusahaan jasa CR 100% sudah dinilai baik. Dari total seratus perusahaan, enam belas perusahaan merupakan perusahaan jasa dan sisanya merupakan perusahaan dari berbagai sektor. Dari enam belas perusahaan jasa tersebut, tiga belas perusahaan telah mempunyai CR yang baik yaitu di atas 100%. Sedangkan untuk perusahaan industri, dari delapan puluh empat perusahaan hanya dua puluh tujuh perusahaan yang mempunyai CR yang baik yaitu di atas 200%.

Perusahaan yang mempunyai CR terendah adalah PT Saranacentral Bajatama dengan nilai CR sebesar 0.82% yang merupakan perusahaan industri, sedangkan perusahaan yang mempunyai CR tertinggi adalah PT Pacific Strategic Financial Tbk dengan nilai CR sebesar 1360.49% yang bergerak dalam bidang investasi. Nilai CR

yang semakin rendah mengindikasikan semakin buruk tingkat likuiditas perusahaan, sebaliknya semakin tinggi nilai CR berarti menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar utangnya semakin baik. Namun jika nilai CR terlalu tinggi juga dianggap tidak baik karena mengindikasikan penimbunan kas, banyak piutang yang tidak tertagih, dan penumpukan persediaan.

Indikator kedua yaitu cash ratio, rasio untuk mengetahui kemampuan

likuidasi perusahaan secara lebih akurat dengan memfokuskan pengukuran aktiva pada kas sehingga perusahaan tidak perlu mencairkan piutang, persediaan, dan aktiva lancar lainnya untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Cash ratio dikatakan

memuaskan jika nilainya lebih dari 100% (Fahmi 2012). Berdasarkan ukuran tersebut hanya dua belas perusahaan yang mempunyai cash ratio lebih dari 100%. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat likuiditas dari keseluruhan perusahaan masih rendah. Perusahaan lebih memilih menginvestasikan aktiva lancarnya dalam bentuk persediaan, piutang, dan aktiva lancar lainnya. Hal ini bisa disebabkan perusahaan tidak mengkehendaki adanya idle money. Perusahaan yang mempunyai cash ratio

tertinggi yaitu PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk dengan rasio sebesar 459.66%, sedangkan perusahaan yang mempunyai cash ratio terendah yaitu PT Tambang

Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk dengan rasio sebesar 0.03%.

Indikator ketiga yaitu Total Debt to Total Asset Ratio (TDTA) yang

menunjukkan besarnya aktiva yang dibiayai oleh utang. Standar yang baik untuk rasio ini adalah 50% dengan kriteria semakin kecil akan semakin baik (Munawir 1995). Hal ini dikarenakan akan semakin menurunkan risiko perusahaan atas kewajiban gagal bayar selain itu perusahaan juga dapat memperbesar peluang untuk mendapatkan pembiayaan dari kreditur. Ada empat puluh delapan perusahaan yang mempunyai rasio TDTA tidak lebih dari 50%, dengan PT Lippo Cikarang Tbk mempunyai nilai TDTA terendah yaitu 0.53% dan PT Matahari Department Store Tbk mempunyai nilai TDTA tertinggi yaitu 130%.

Indikator yang keempat yaitu Return on Asset (ROA). Rasio ini menunjukkan seberapa besar efektivitas dan efisiensi perusahaan dalam menggunakan aktiva untuk menghasilkan keuntungan. Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai oleh perusahaan. Menurut Lestari dan Sugiharto (2007), nilai ROA dikatakan baik apabila lebih dari 2%. Tujuh puluh tujuh dari seratus perusahaan diketahui mempunyai nilai ROA yang baik dengan nilai ROA tertinggi diraih oleh PT Unilever Indonesia Tbk dengan nilai 40.1%. Sisanya mempunyai ROA tidak lebih dari 2%, bahkan delapan perusahaan mempunyai ROA bernilai negatif dengan nilai terendah sebesar -9.1% pada PT Saranacentral Bajatama. Hal ini berarti dari kegiatan operasional yang dilakukan perusahaan, perusahaan tidak menghasilkan keuntungan melainkan mengalami kerugian.

Indikator selanjutnya yaitu Net Profit Margin (NPM), rasio yang menunjukkan

persentase laba bersih yang diperoleh dari setiap penjualan. Semakin besar NPM berarti kinerja perusahaan semakin produktif. NPM yang tinggi juga mengindikasikan bahwa perusahaan berada di posisi yang lebih kuat di mata konsumen dibanding perusahaan pesaingnya. Namun hal ini akan berbeda jika perusahaan bersifat monopolistik dimana konsumen tidak mempunyai pilihan lainnya. Perusahaan akan berpeluang lebih besar untuk mendapatkan laba, sehingga wajar jika nilai NPM nya

akan lebih tinggi. Rata-rata perusahaan menginginkan nilai NPM lebih dari 20% (Fahmi 2012).

Atas dasar kriteria tersebut dari seratus perusahaan, hanya dua puluh tiga perusahaan yang mempunyai NPM lebih dari 20%. PT Modernland Realty Tbk dari sektor properti, real estate, dan konstruksi bangunan mempunyai nilai NPM tertinggi dengan nilai 132.96%. Nilai tersebut di dapatkan dari peningkatan laba yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 1060% yang merupakan hasil dari ekspansi dan pengembangan usaha. Nilai NPM terendah dipegang oleh PT Bumi Resources Minerals Tbk dari sektor perdagangan, jasa dan investasi sebesar -745.2%. Hal ini disebabkan penurunan harga emas, nikel dan beberapa logam utama yang mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian.

Indikator keenam yaitu Return on Equity (ROE), rasio yang digunakan untuk mengukur keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi para pemegang saham (Mardiyanto 2009). Oleh karena itu, ROE merupakan salah satu alat utama investor dalam menilai kelayakan suatu saham. ROE yang tinggi mengindikasikan para pemegang saham akan memperoleh dividen yang tinggi pula. ROE dikatakan baik jika bernilai lebih dari 12% (Lestari dan Sugiharto 2007). Ada enam puluh satu perusahaan yang mempunyai ROE lebih dari 12% dengan ROE tertinggi sebesar 296.34% pada PT Matahari Department Store Tbk dan terendah sebesar -203% pada PT Berau Coal Energy Tbk.

Indikator yang terakhir yaitu Price Earning Ratio (PER), rasio fundamental

dalam analisis saham untuk melihat bagaimana pasar mengapresiasi kinerja suatu perusahaan. PER juga dapat dipakai untuk membandingkan kinerja antar saham atau antar sektor bahkan antar pasar dalam skala regional ataupun global. Nilai PER yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki kinerja yang baik, namun jika nilai PER terlalu tinggi juga mengindikasikan bahwa harga saham yang ditawarkan perusahaan terlalu tinggi atau tidak wajar.

Nilai PER yang rendah juga tidak otomatis mengindikasikan bahwa kinerja perusahaan tersebut buruk. Faktor-faktor lainnya harus dilihat secara menyeluruh. Oleh karena itu, PER kerap kali dianggap sebagai rasio psikologis. Tidak ada standar baku dalam menetapkan nilai PER yang baik. Hasil analisis data menunjukkan bahwa hampir sebagian besar perusahaan mempunyai PER yang positif yaitu sebanyak 95 perusahaan.

Evaluasi Model Awal Pengaruh CG, CSR, dan CFP

Pengaruh antar variabel laten maupun antara variabel laten dengan indikatornya pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan software SmartPLS

3.0. Evaluasi dalam PLS meliputi dua tahap yaitu evaluasi outer model atau model pengukuran dan evaluasi inner model atau model struktural.

Evaluasi Outer Model

Outer model menggambarkan hubungan antara indikator dengan variabel

latennya. Evaluasi terhadap outer model dilakukan terhadap model reflektif sesuai dengan model pada penelitian ini. Model reflektif mengukur sejauh mana variabel laten dimanifestasikan ke dalam indikator-indikatornya. Evaluasi terhadap model reflektif indikator meliputi convergent validity dan discriminant validity. Convergent validity terdiri dari pemeriksaan item reliability, internal consistency atau construct reliability, dan average variance extracted. Convergent validity berfungsi untuk

mengukur besarnya korelasi antara indikator dengan variabel laten.

Pemeriksaan pertama yaitu item reliability dengan melihat nilai standardized loading factor. Nilai loading factor yang ideal adalah sebesar 0.7 (Yamin dan Kurniawan 2009). Indikator yang memiliki nilai loading factor kurang dari 0.7 harus

dihapus (didrop) karena mengindikasikan indikator tersebut tidak cukup baik untuk menggambarkan korelasi dengan variabel latennya secara tepat. Perbaikan model dengan cara penghapusan dilakukan secara bertahap dengan memilih indikator dengan nilai terendah terlebih dahulu.

Hasil analisis model awal menunjukkan ada sebelas indikator yang mempunyai nilai loading factor di bawah 0.7 dengan indikator TDTA (-0.522) dari variabel CFP mempunyai loading factor yang terendah. Oleh karena itu, indikator TDTA menjadi

indikator pertama yang dihapus. Proses penghapusan dilakukan secara bertahap satu per satu sampai ditemukan model akhir, yaitu model dimana semua indikator yang ada mempunyai nilai loading factor diatas 0.7. Model akhir tersebut merupakan

model yang telah valid dan stabil dimana indikator telah dapat merefleksikan variabel latennya secara tepat.

Gambar 8 Hasil analisis model akhir

Model akhir tersebut juga dapat dilihat dalam bentuk tabel yaitu pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai outer loading

CG CSR CFP

Ekonomi 0.758

HAM 0.799

Masyarakat 0.828

Sosial 0.88

Tanggung jawab produk 0.797

PER 1.000

Ukuran dewan komisaris 1.000

Sumber : Hasil olahan SmartPLS

Model akhir didapatkan setelah melakukan sembilan kali iterasi (tahapan penghapusan). Hasil analisis model akhir menunjukkan ada sepuluh indikator yang harus dihapus. Pada variabel CG hanya menyisakan satu indikator yaitu ukuran

dewan komisaris, sedangkan tiga indikator lainnya harus dihapuskan. Indikator yang dihapuskan tersebut yaitu kepemilikan manajerial, kepemilikan terkonsentrasi, dan proporsi dewan komisaris independen.

Penghapusan indikator kepemilikan manajerial bertentangan dengan teori yang ada. Berdasarkan teori, dengan adanya kepemilikan manajerial dapat mengurangi konflik kepentingan antara pihak manajerial dengan perusahaan (Said et al. 2009).

Oleh karena itu, kepemilikan manajerial sudah tepat untuk dijadikan indikator yang merefleksikan variabel penerapan CG, karena tujuan dari CG adalah menyelaraskan kepentingan antara pihak manajerial dengan perusahaan.

Kepemilikan terkonsentrasi dan dewan komisaris mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk mengawasi manajerial perusahaan dalam melakukan kegiatan operasionalnya. Bedanya adalah jika dewan komisaris merupakan pihak dari internal perusahaan, pengawasan kepemilikan terkonsentrasi berasal dari eksternal perusahaan. Jika kepemilikan saham suatu pihak baik itu lembaga maupun individu semakin besar, maka pengawasan dan pengendalian dari pihak tersebut juga akan semakin intens. Berdasarkan fungsinya tersebut seharusnya kepemilikan terkonsentrasi sudah sesuai dalam merefleksikan penerapan CG perusahaan.

Proporsi dewan komisaris independen menjadi salah satu indikator CG yang dihapus dapat disebabkan sudah ada peraturan yang mengatur mengenai proporsi minimal dewan komisaris independen sehingga perusahaan harus memenuhi ketentuan tersebut. Dari seratus perusahaan, sembilan puluh sembilan perusahaan memenuhi ketentuan tersebut. Namun kebanyakan perusahaan hanya memenuhi ketentuan proporsi minimal. Perusahaan belum mengoptimalkan peran komisaris independen dalam mengefektifkan penerapan CG.

Pada variabel CSR, indikator yang dihapus hanya satu indikator yaitu indikator lingkungan. Indikator lingkungan merupakan indikator yang terakhir kali dihapuskan yaitu pada iterasi ke sembilan. Nilainya pun hampir menyentuh angka 0.7 dengan nilai 0.697.

Variabel terakhir yaitu CFP, sama dengan variabel CG hanya tersisa satu indikator dari variabel CFP. Indikator yang tersisa yaitu indikator PER. Hal ini dikarenakan PER mempunyai sifat pengukuran yang berbeda dengan keenam rasio lainnya. Jika rasio lainnya hanya mengukur kondisi internal perusahaan, rasio PER mengukur kondisi internal dan eksternal perusahaan. Rasio PER juga bersifat jangka pendek dan volatile, yaitu setiap tindakan perusahaan akan langsung direspon pasar yang dapat dilihat dari harga sahamnya. Sedangkan indikator CFP lainnya lebih bersifat jangka panjang. Maka dari itu rasio PER lah yang dianggap paling tepat dalam merefleksikan variabel CFP sesuai dengan hasil analisis. Hal ini juga sesuai dengan periode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dalam periode jangka pendek hanya selama satu tahun.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan internal consistency atau construct reliability dengan melihat nilai composite reliability dan cronbach’s alpha. Perbedaan nilai composite reliability dancronbach’s alpha yaitu composite reliability

tidak mengasumsikan kesamaan boot dari setiap indikator sehingga composite reliability akan mengukur reliabilitas dengan lebih baik dibandingkan cronbach’s alpha. Cronbach’s alpha cenderung menaksir reliabilitas konstruk lebih rendah

(Yamin dan Kurniawan 2009). Namun interpretasi composite reliability sama dengan cronbach’s alpha yaitu dengan nilai batas 0.7. Bila variabel mempunyai nilai kurang dari 0.7 mengindikasikan bahwa tidak ada konsistensi antara indikator dengan variabelnya .

Tabel 4 Nilai internal consistency

Composite Reliability Cronbach’s alpha

CG 1.000 1.000

CSR 0.907 0.874

CFP 1.000 1.000

Sumber : Hasil olahan SmartPLS

Hasil pengolahan data menunjukkan nilai composite reliability dan cronbach’s

alpha telah memenuhi nilai batas yang telah ditetapkan. Menurut Nunnally dan

Bernstein dalam Yamin dan Kurniawan (2009), jika composite reliability dan

cronbach’s alpha bernilai di atas 0.8 berarti indikator tersebut sangat memuaskan dalam merefleksikan variabel latennya.

Pemeriksaan ketiga mengenai convergent validity yaitu average variance extracted (AVE) yang menggambarkan besarnya varian atau keragaman indikator yang dapat dikandung oleh variabel laten. Minimal nilai AVE sebesar 0.5 yaitu variabel laten harus dapat menjelaskan rata-rata lebih dari setengah varian dari indikator-indikatornya. Pada penelitian ini, nilai AVE telah memenuhi kriteria minimalnya yaitu dengan nilai AVE CG dan CFP sebesar 1.000, serta nilai AVE CSR sebesar 0.661. Semakin besar varian indikator yang dapat dikandung oleh variabel laten maka semakin besar representasi indikator terhadap variabel latennya. Nilai AVE sempurna didapatkan oleh CG dan CFP karena variabel tersebut hanya mempunyai satu indikator sebagai variabel manifesnya sehingga tidak akan ada keragaman antar indikator seperti pada variabel CSR.

Pemeriksaan terakhir yaitu discriminant validity yang berfungsi untuk membandingkan korelasi indikator dengan variabel latennya dan variabel laten blok lainnya. Pada model reflektif, pemeriksaan discriminant validity dilakukan dengan

mengecek nilai cross loading dan nilai kuadrat korelasi variabel dengan nilai AVE.

Tabel 5 Nilai cross loading

CG CSR CFP

Ekonomi 0.153 0.758 -0.077

HAM 0.179 0.799 -0.188

Masyarakat 0.24 0.828 -0.289

Sosial 0.293 0.88 -0.245

Tanggung jawab produk 0.195 0.797 -0.229

PER -0.325 -0.273 1.000

Ukuran dewan komisaris 1.000 0.273 -0.325 Sumber : Hasil olahanSmartPLS

Kriteria dalam cross loading yaitu indikator yang mengukur variabel laten harus berkorelasi lebih tinggi dengan variabel latennya dibandingkan dengan variabel laten lainnya. Setiap nilai cross loading indikator untuk masing-masing variabel dipilih

nilai yang paling tinggi. Berdasarkan Tabel 5, setiap indikator berkorelasi lebih tinggi dengan variabel latennya masing-masing dibandingkan dengan variabel laten lainnya. Pemeriksaan selanjutnya membandingkan korelasi antara variabel dengan akar AVE. Tabel 6 Korelasi variabel laten dan akar AVE

CG CSR CFP Akar AVE

CG 1.000 1.000

CSR 0.273 1.000 0.813

CFP -0.325 -0.273 1.000 1.000

Sumber : Hasil olahan SmartPLS

Korelasi maksimal untuk variabel CG dengan variabel lainnya adalah 0.273, sedangkan nilai akar AVE adalah 1.000. Korelasi maksimal untuk variabel CSR dengan variabel lainnya adalah -0.273, sedangkan nilai akar AVE adalah 0.813. Untuk variabel CFP, variabel tersebut tidak mempunyai korelasi dengan variabel lainnya. Berdasarkan hasil tersebut diketahui korelasi antara variabel lebih kecil dibandingkan dengan akar AVE. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa indikator valid dalam mengukur variabel latennya.

Evaluasi Inner Model

Inner model menggambarkan pengaruh antar variabel laten dengan variabel laten lainnya. Pada penelitian ini analisis dilakukan terhadap empat pengaruh yaitu pengaruh antara CG terhadap CSR, CG terhadap CFP, CSR terhadap CFP, dan CG terhadap CFP melalui CSR. Evaluasi inner model dilakukan dengan melihat path coefficient dan nilai R2.

Tabel 7 Nilai path coefficient bootstrapping

Original Sample (O) Sample Mean (M) Standard Error (STERR) T Statistics (|O/STERR|) CG → CSR 0.273 0.284 0.091 2.993 CG → CFP -0.271 -0.264 0.090 2.993 CSR → CFP -0.199 -0.203 0.062 3.198 CG → CSR → CFP =0.273*-0.199 = -0.054 Sumber : Hasil olahan SmartPLS

Pemeriksaan path coefficient berguna untuk menggambarkan pengaruh antar

variabel laten. Pada penelitian ini digunakan nilai signifikansi sebesar 0.05 sehingga didapatkan nilai t tabel sebesar 1.96. Hipotesis diterima jika |t-hitung| > |t-tabel|

(1.96). Sedangkan untuk melihat bentuk pengaruh antar variabel dapat melihat nilai koefisien jalur (original sample) apakah bertanda positif atau negatif. Jika bertanda positif berarti peningkatan atau penurunan nilai variabel eksogen akan meningkatkan atau menurunkan nilai variabel endogen. Namun jika bertanda negatif maka akan berpengaruh sebaliknya yaitu peningkatan nilai variabel eksogen akan menurunkan nilai variabel endogen.

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa:

H1: Penerapan CG berpengaruh terhadap pengungkapan aktivitas CSR perusahaan

Dokumen terkait