• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Responden

Karakteristik responden meliputi keadaan umum responden yang tercakup dalam aspek sosiodemografis, serta pengetahuan dan pengenalan produk minyak sawit.

Keadaan Umum Responden

Aspek sosiodemografis meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, jumlah anggota keluarga, pekerjaan responden, dan pendapatan per kapita per bulan. \

Usia dan Jenis Kelamin

Dari keseluruhan responden yang diambil datanya mengenai uji penerimaan konsumen produk SawitA ini, sebanyak 91,8% adalah perempuan sedangkan hanya 8,2% adalah laki-laki. Responden laki-laki dalam penelitian ini semuanya berada dalam kelompok usia balita (0-5 tahun). Responden tersebar dalam 6 kelompok usia, yakni kelompok usia antara 0-5 tahun (14,8%), usia 5-15 tahun (11,5%), usia 15-25 tahun (27,9%), usia 26-44 tahun (29,5%), usia 45-59 tahun (11,5%), dan usia di atas 60 tahun (4,9%). Rataan usia responden dalam penelitian ini adalah 25,5 tahun yang berarti masih tergolong usia produktif sehingga masih berpotensi untuk menyerap pengetahuan baru. Karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Sebaran karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin

Jumlah responden yang mayoritas perempuan ini disebabkan karena dalam penelitian ini responden perempuan lebih diutamakan dengan alasan kaum wanita lebih rentan mengalami masalah kekurangan vitamin A. Faktor lainnya adalah untuk kemudahan dalam proses wawancara dan pengambilan data dikarenakan kaum ibu bersama anak-anaknya lebih sering berada di rumah. Pengambilan informasi

Karakteristik Nilai Statistik

Kelompok usia (tahun) 0 – 5 5 - 15 15 - 25 26 - 44 45 – 59 >60 Rataan ± SD 9 (14,8%) 7 (11,5%) 17 (27,9%) 18 (29,5%) 7 (11,5%) 3 (4,9%) 25,5 ± 17,2

Kisaran umur (tahun) 2 – 70

Jenis kelamin (orang)

Laki-laki 5 (8,2%)

mengenai kondisi keluarga terutama dalam hal ini mengenai pola konsumsi sehari- hari dari kaum ibu merupakan cara yang dianggap paling akurat mengenai gambaran yang sebenarnya. Kaum ibu atau status istri dalam keluarga di Indonesia masih memegang peranan penting sebagai penentu menu makanan yang dikonsumsi sehari- hari. Pada kelompok responden usia 0-5 tahun sebenarnya usia minimumnya adalah 2 tahun. Responden yang usianya kurang dari 2 tahun tidak diikutsertakan karena belum dapat diajak berkomunikasi.

Dua kelompok usia mayoritas responden dalam penelitian ini adalah kelompok usia 15-25 tahun dan 26-44 tahun. Kedua kategori ini yang semuanya perempuan, di dalamnya termasuk beberapa kategori, yakni calon ibu, ibu biasa (tidak hamil dan tidak menyusui), ibu hamil, dan ibu menyusui. Penulis mengamati banyaknya responden yang termasuk kategori ibu muda. Hal ini mengingatkan bahwa keadaan sosial masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan masih menganggap pendidikan bukanlah hal yang begitu penting untuk perempuan. Oleh karena itu, kebanyakan dari mereka memiliki tingkat pendidikan yang tergolong rendah kemudian langsung untuk menikah. Berdasarkan Departemen Kesehatan (2009), penduduk yang berusia lanjut dapat dibagi menjadi tiga kategori, yakni pra usia lanjut, usia lanjut, dan usia lanjut resiko tinggi. Responden yang termasuk dalam kelompok ini ada 10 orang. Responden yang berusia 45-59 tahun dikategorikan pra usia lanjut, yaitu sebanyak 7 orang. Responden yang berusia antara 60 sampai 70 tahun termasuk penduduk usia lanjut, yakni sebanyak 3 orang. Sedangkan yang berusia di atas 70 tahun atau usia 60 dengan masalah kesehatan dikatakan usia lanjut dengan resiko tinggi. Tidak ada batasan usia untuk menjadi responden. Aspek kapabilitas untuk berkomunikasi dengan baik menjadi pertimbangan prioritas dalam menentukan responden usia lanjut.

Pendidikan Terakhir

Pendidikan merupakan faktor yang dijadikan indikator dalam penilaian kualitas manusia. Tingkat pendidikan menunjukkan tingkat pengetahuan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari. Tingkat pendidikan responden juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat penyerapan pengetahuan baru. Rataan lama pendidikan responden adalah 5,46 tahun atau dengan kata lain sebagian besar responden hanya berpendidikan tingkat SD. Mayoritas responden adalah lulusan SD (44,3%), sebagian kecil responden yang sempat mencapai tingkat SMP (19,7%), SMA (3,3%), SMK (3,3%), atau bahkan 1 responden telah bergelar sarjana (1,6%). Responden yang termasuk kategori tidak sekolah (8,2%) adalah dapat disebabkan karena alasan ekonomi atau memang tidak disekolahkan karena memiliki keterbatasan lainnya. Sedangkan responden yang masuk kategori belum sekolah adalah balita dan anak-anak yang belum masuk usia sekolah. Proporsi responden berdasarkan pendidikan terakhir disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Sebaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir (n=61)

Meskipun rataan lamanya masa mengenyam pendidikan di sekolah formal responden menunjukkan angka yang cukup memprihatinkan, tetapi pendidikan ternyata tidak mempengaruhi kemauan atau keinginan untuk belajar. Hal ini dibuktikan dari tingginya antusiasme responden saat diberikan penyuluhan dan pengetahuan baru mengenai minyak sawit dan produknya.

Terdapat korelasi yang positif antara tingkat pengetahuan gizi dengan kadar vitamin A pada serum ibu hamil (Widyaningsih 2007). Selain vitamin A, faktor lain seperti asupan energi, protein, dan zat besi juga meningkat dengan semakin luasnya pengetahuan gizi ibu hamil. Madanijah (2003) juga mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin besar usaha untuk mencari tahu mengenai pengetahuan gizi yang baik.

Besar Keluarga

Jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam rumah turut mempengaruhi kecukupan makanan setiap individunya. Jenis pangan serta kualitas pangan yang dikonsumsi juga merupakan faktor yang turut terpengaruh oleh jumlah anggota keluarga. Rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga yang banyak cenderung mengalami kesulitan dalam hal pengaturan finansial. Upaya untuk memenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga tetapi dengan dana yang terbatas tentunya tidak akan membuahkan hasil berupa pangan yang bergizi lengkap. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan akan mengakibatkan distribusi pangan yang tidak merata (Wahyuni 2008).

Menurut Hurlock (1998) besar keluarga dapat dibagi menjadi 3 kategori, yakni keluarga yang beranggotakan ≤ 4 orang (keluarga kecil), keluarga yang beranggotakan 5-7 orang (keluarga sedang), dan keluarga yang anggotanya ≥ 8 orang (keluarga besar). Sebaran responden berdasarkan besarnya keluarga disajikan pada Tabel 16.

Karakteristik Nilai Statistik

Pendidikan terakhir Tidak sekolah SD SMP SMA SMK Sarjana Belum sekolah Lama pendidikan (tahun)

5(8,2%) 27 (44,3%) 12(19,7%) 2 (3,3%) 2 (3,3%) 1(1,6%) 12 (19,7%) Rataan ± SD 5,46 ± 3,93

Tabel 16. Sebaran karakteristik responden berdasarkan besarnya keluarga (n=22 keluarga)

Jumlah anggota keluarga Jumlah keluarga Persentase (%) ≤ 4 orang 5–7 orang ≥ 8 orang 14 5 3 63,6 22,7 13,7

Dari 22 keluarga yang menjadi responden, mayoritas tergolong keluarga kecil yang beranggotakan ≤ 4 orang, yakni sebesar 6γ,6%. Di urutan kedua dengan persentase 22,7% adalah responden yang tinggal dalam keluarga yang beranggotakan 5-7 orang. Sedangkan 13,7% dari keluarga yang diamati merupakan keluarga besar. Pekerjaan Responden

Beberapa jenis pekerjaan yang diamati dari responden antara lain adalah ibu rumah tangga, pelajar, pegawai, pedagang, buruh/kuli, dan pengangguran. Pada dasarnya, semua responden kecuali pelajar dan pengangguran, memiliki pekerjaan utama sebagai ibu rumah tangga. Walaupun sebagai ibu rumah tangga, tetapi ada juga responden yang melakukan pekerjaan lain seperti berdagang sayur, kue, atau buruh di luar perannya sebagai ibu rumah tangga. Responden yang pekerjaannya sebagai buruh pada umumnya adalah buruh tani atau buruh tekstil. Responden yang dalam kategori tidak bekerja merupakan anak-anak. Sebaran karakter pekerjaan responden terdapat pada Tabel 17.

Tabel 17. Sebaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan

Responden yang terlibat dalam penelitian ini mayoritas adalah ibu rumah tangga (IRT) yakni sebanyak 44,3%. Selain ibu rumah tangga, responden juga ada yang masih pelajar (9,8%), pegawai/karyawan (8,2%), wirausaha (6,6%), buruh (4,9%), dan sisanya tidak bekerja (26,2%).

Jenis pekerjaan seseorang menentukan tingkat pendapatan sehingga mempengaruhi jenis barang dan jasa yang dikonsumsinya. Tingkat penghasilan tentunya mempengaruhi perilaku konsumsi sehari-hari. Mayoritas responden adalah ibu rumah tangga yang umumnya tidak berpenghasilan sehingga masih mengandalkan penghasilan dari kepala keluarga. Meskipun demikian, ibu rumah tangga masih memegang peran penting dalam pengaturan keuangan keluarga, termasuk juga pemilihan jenis pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Menurut Waysima (2011), peranan ibu di Indonesia, baik yang berstatus bekerja maupun tidak bekerja, adalah sebagai “gate keeper” dalam segala urusan rumah tangga, terutama

yang berkaitan dengan penyediaan bahan pangan. Tingkat pendidikan orang tua, terutama ibu, memberikan kontribusi dalam peningkatan kesadaran akan kesehatan

Pekerjaan responden Jumlah

Ibu rumah tangga 27 (44,3%)

Pelajar 6 (9,8%)

Pegawai 5 (8,2%)

Pedagang 4 (6,6%)

Buruh/kuli 3 (4,9%)

sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan terhadap pemilihan pangan dan penentuan pola makan dalam keluarga (North dan Emmett 2000). Keluarga dengan orang tua yang memiliki tingkat pendidikan yang semakin tinggi, maka akan memiliki pengetahuan tentang gizi dan makanan sehat sehingga cenderung selektif dalam memilih bahan pangan, di mana atribut gizi suatu produk pangan menjadi pertimbangan (Madanijah 2003).

Pendapatan per Kapita per Bulan

Jenis pekerjaan yang dilakukan mempengaruhi jumlah pendapatan. Pendapatan per kapita merupakan prioritas utama dalam mempertimbangkan pola pangan keluarga. Zakaria et al. (2011) mengemukakan terdapat korelasi yang nyata dan positif antara pendapatan dengan pola konsumsi pangan keluarga. Keluarga dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi cenderung mengkonsumsi pangan yang lebih beragam. Meskipun demikian, hal itu tidak selalu terjadi. Faktor tingkat pengetahuan juga merupakan variabel yang turut mempengaruhi. Sebaran tingkat pendapatan per kapita responden tersaji pada Tabel 18.

Tabel 18. Sebaran tingkat pendapatan per kapita responden (n=61) Pendapatan per kapita per bulan (Rp)

<Rp 209.777,00 >Rp 209.777,00 Rataan pendapatan Kisaran pendapatan 67,2 % 32,8 % Rp 243.000,00 Rp 75.000,00 – Rp 375.000,00

Biro Pusat Statistik Jawa Barat (2011) telah menentukan batas garis kemiskinan dan upah sejak September 2011, yaitu sebesar Rp 209.777,00. Sedangkan nilai upah minimum regional (UMR) Kabupaten Bogor adalah sebesar Rp 800.000,00 (Ria 2011). Pendapatan per kapita berasal dari kepala keluarga, ataupun anggota keluarga yang lain seperti ibu. Data pendapatan per kapita per bulan yang terbagi dalam 2 kisaran, yaitu yang berada di bawah garis kemiskinan atau pendapatan per kapita kurang dari Rp 209.777,00 (67,2%) dan yang berada di atas garis kemiskinan dengan pendapatan lebih dari Rp 209.777,00 (32,8%). Berdasarkan acuan tersebut dapat dikatakan bahwa mayoritas responden termasuk keluarga prasejahtera.

Pengetahuan Tentang Minyak Sawit dan Produknya

Selain aspek sosiodemografis, karakteristik responden juga berdasarkan seberapa jauh mereka mengenal dan mengetahui kelapa sawit dan produk turunannya. Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan produk minyak sawit disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan produk minyak sawit (n=61)

Pertanyaan Persentase kenal (%)

Sebelum program Setelah program Melihat dan mengetahui pohon kelapa sawit 49,20 86,90

Mengenal minyak sawit mentah 6,60 82,00

Mengenal produk minyak sawit 14,80 91,80

Mengenal minyak sawit merah 0,00 93,40

Mengetahui manfaat minyak sawit merah 0,00 91,80

Pernah mencoba minyak sawit merah 0,00 95,10

Responden diwawancara pada awal program untuk mengetahui seberapa tingkat pengetahuan responden mengenai kelapa sawit dan produk turunannya. Pendekatan terhadap responden untuk menyampaikan pengetahuan mengenai minyak sawit, baik yang dilakukan secara kolektif maupun individu, memberikan dampak berupa peningkatan pengetahuan mengenai minyak sawit. Dalam wawancara pada awal sebelum program SawitA dimulai, sebesar 49,2% responden sudah pernah melihat dan mengetahui pohon kelapa sawit. Meskipun demikian, hanya 6,6% responden yang mengenal produk minyak sawit mentah sedangkan 14,8% yang mengaku mengenal produk minyak sawit. Sayangnya tidak ada sama sekali responden yang mengenal minyak sawit merah dan manfaatnya ataupun pernah mencoba produknya. Wawancara responden kembali dilakukan pada akhir program untuk mengetahui tingkat pengetahuan akhir responden, di mana terdapat peningkatan sebesar 37,7% pada responden yang pernah melihat dan mengetahui pohon kelapa sawit. Peningkatan yang sangat besar juga terdapat pada pengetahuan responden mengenai minyak sawit mentah, produk minyak sawit, minyak sawit merah, manfaat minyak sawit merah, dan pernah mencoba minyak sawit merah yaitu masing-masing sebesar 75,4%, 77%, 93,4%, 91,8%, dan 95,1%.

Penerimaan Produk SawitA

Cardello (1996) mendefinisikan penerimaan pangan (food acceptance) sebagai hasil dari interaksi antara pangan sebagai stimulus sensori yang memiliki karakter fisikokimia dengan indera manusia sehingga menghasilkan respon terhadap penampakan, rasa, aroma, tekstur dan karakteristik lainnya. Respon yang dihasilkan dipengaruhi oleh kondisi emosional yang dinyatakan dalam bentuk kesukaan atau ketidaksukaan terhadap stimulus tersebut. Penerimaan pangan juga sangat dipengaruhi oleh ekspektasi awal yang dimiliki konsumen terhadap suatu produk. Uji penerimaan konsumen dilakukan untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap suatu produk tunggal tanpa membandingkan dengan produk lain (Resurreccion 1998).

Metode yang digunakan untuk uji penerimaan adalah Home Use Test (HUT). Dalam metode HUT digunakan antara 50 hingga 100 panelis untuk setiap produk yang diujikan (Resurreccion 1998). Home Use Test biasanya menggunakan 1-2

produk saja. Penggunaan produk yang terlalu banyak dikhawatirkan dapat membingungkan responden.

Dalam HUT, penggunaan produk diserahkan secara sepenuhnya kepada responden, baik jenis masakan ataupun jumlah yang digunakan. Penulis hanya memberikan saran mengenai beberapa cara mengkonsumsi SawitA tetapi responden dibebaskan untuk mencoba cara konsumsi yang lain.

Respon Awal

Produk SawitA merupakan produk pangan baru yang belum dikenal oleh masyarakat sehingga respon awal responden terhadap produk dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan responden terhadap produk. Respon awal responden didapatkan melalui proses wawancara dengan panduan kuesioner 2 (Lampiran 2). Respon terhadap atribut sensori dinyatakan dalam kategori “bagus”, “biasa saja”, dan terganggu seperti yang disajikan pada Tabel 20. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa untuk atribut rasa, mayoritas responden menyatakan tidak mengalami gangguan (91,8%), bahkan ada sebagian responden yang memberikan respon sangat positif terhadap produk (6,6%). Akan tetapi, terdapat sebagian kecil responden yang merasa terganggu dengan perubahan rasa makanan yang diolah menggunakan SawitA (1,6%).

MSMn yang digunakan dalam penelitian ini belum mengalami pengolahan lebih lanjut, hanya proses ekstraksi minyak yang didahului proses perebusan, perontokan, dan pencacahan. MSMn tersusun dari komponen asam lemak yang sebagian besar merupakan trigliserida dan sebagian kecil digliserida dan monogliserida, serta komponen lainnya seperti asam lemak bebas dan nontrigliserida. Komponen trigliserida tersebut dapat menimbulkan bau dan rasa yang khas pada MSMn (Choo et al. 1994). Kandungan asam lemak bebas yang relatif masih tinggi menyebabkan perubahan aroma masakan yang dimasak dengan MSMn.

Jumlah responden yang menyatakan terganggu meningkat pada atribut aroma makanan yang diolah dengan SawitA, yaitu sebanyak 16,4%. Sedangkan yang menyatakan tidak terganggu atau biasa saja memiliki proporsi 83,6%. Responden menyatakan bahwa tercium aroma yang lebih menyengat ketika proses memasak dengan SawitA dalam hal ini produk MSMn. MSMn merupakan hasil ekstraksi buah kelapa sawit yang memiliki aroma alami minyak sawit mentah itu sendiri (Zakaria et al. 2011).

Terjadi peningkatan respon positif terhadap atribut warna makanan yang diolah dengan MSMn. Mayoritas responden (93,4%) menyatakan tidak terganggu dengan perubahan warna pada makanan pada makanan yang menjadi berwarna kemerahan, sedangkan sebagian kecil lainnya (6,6%) responden memberikan respon sangat bagus.

Tabel 20. Respon awal terhadap produk MSMn (n=61) Atribut Bagus Biasa saja Terganggu

Rasa Aroma Warna 6,6% - 6,6% 91,8% 83,6% 93,4% 1,6% 16,4% -

Setelah dilakukan analisis terhadap respon awal terhadap produk MSMn, maka analisis penerimaan produk dilanjutkan untuk mengetahui adanya perbedaan respon terhadap atribut rasa, aroma, warna, dan keseluruhan aspek terhadap produk jika konsumsi dilakukan secara rutin. Evaluasi penerimaan dilakukan secara berkala dalam rentang waktu 2 minggu dan 1 bulan untuk produk MSMn yang diberikan kepada responden di Desa Neglasari dan Desa Sukadamai. Sedangkan evaluasi penerimaan untuk produk MSMTF hanya dilakukan terhadap responden di Desa Neglasari pada akhir bulan ke-2 konsumsi.

Tabel 21 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan respon positif pada atribut rasa, yakni terdapat 93,4% responden yang menyatakan “mau”, sebagian kecil sisanya menyatakan “agak mau”. Respon “agak mau” muncul ketika responden tidak sepenuhnya dapat menerima produk tersebut. Terjadi penurunan jumlah responden yang menyatakan “mau” pada evaluasi di akhir bulan pertama konsumsi. Pada atribut aroma, juga terdapat peningkatan respon “mau”, yaitu menjadi 86,9% kemudian terjadi penurunan lagi menjadi 85,2% pada akhir bulan pertama. Sama halnya dengan atribut aroma, respon “mau” terhadap aroma juga meningkat pada minggu ke-2 menjadi 95,1% kemudian menurun lagi menjadi 85,2% pada akhir bulan pertama. Terhadap keseluruhan atribut sensori produk, sebanyak 95,1% responden menyatakan “mau” dan menunjukkan penurunan menjadi 88,5% pada akhir bulan pertama. Aroma yang menyengat dan rasa yang berbeda pada masakan masih menjadi permasalahan utama responden yang menyatakan “agak mau”. Antusiasme responden yang tinggi pada awal program ini berlangsung menciptakan ekspektasi yang sangat mempengaruhi tingkat penerimaan terhadap produk. Kondisi tingkat penerimaan setelah 1 bulan konsumsi lebih menunjukkan kondisi tingkat penerimaan yang lebih aktual.

Tabel 21. Penerimaan responden di Desa Neglasari dan Desa Sukadamai setelah mengkonsumsi produk MSMn (n=61)

Atribut

Tingkat penerimaan (%)

2 minggu 1 bulan

Mau Agak mau Mau Agak mau

Rasa Aroma Warna Overall 93,4 86,9 95,1 95,1 6,6 13,1 4,9 4,9 90,2 85,2 90,2 88,5 9,8 14,8 9,8 11,5

Tabel 22 menunjukkan respon terhadap produk MSMTF pada atribut rasa, aroma, warna, dan keseluruhan karakter produk. Respon “mau” terhadap rasa, aroma, dan warna cenderung sama yaitu 86,5%. Sedangkan respon terhadap atribut overall menunjukkan angka yang tinggi yaitu 98,1%, lebih tinggi dibandingkan respon terhadap MSMn. Meskipun terjadi peningkatan respon “agak mau”, tetapi responden memberikan penilaian baik pada aspek overall. Responden menyatakan terjadi penurunan intensitas aroma yang menyengat dan rasa mual ketika menelan sudah tidak begitu terasa. Kedekatan dengan responden yang dibangun melalui peningkatan intensitas pertemuan dengan fasilitator, mengakibatkan responden memiliki sikap lebih terbuka dalam mengemukakan penilaiannya sehingga hasil evaluasi lebih obyektif.

Tabel 22. Penerimaan responden di Desa Neglasari terhadap produk MSMTF (n=52) Atribut Tingkat penerimaan (%)

Mau Agak mau

Rasa Aroma Warna Overall 86,5 86,5 86,5 98,1 13,5 13,5 13,5 1,9

Perilaku Konsumsi Produk SawitA

Aspek yang terkandung dalam perilaku konsumsi suatu produk antara lain adalah kebiasaan cara konsumsi, pola makan, frekuensi makan, serta penerimaan terhadap suatu produk. Suhardjo (1989) mendefinisikan kebiasaan makan sebagai cara individu atau kelompok individu dalam memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial, dan budaya. Frekuensi makan yang tinggi menyebabkan peningkatan peluang terpenuhinya kecukupan gizi. Kebiasaan Konsumsi dalam Keluarga

Dalam hal kebiasaan konsumsi dalam keluarga, kaum ibu memegang peranan yang penting. Kebiasaan ibu dalam mengolah pangan sangat mempengaruhi jenis masakan yang sering dikonsumsi oleh keluarga. Cara pengolahan pangan, seperti dengan cara ditumis, digoreng, direbus, dikukus, ataupun dimakan mentah sangat bergantung pada jenis pangan yang diolah. Cara pengolahan mempengaruhi komponen gizi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggota keluarga.

Gambar 9. Karakteristik responden berdasarkan kebiasaan konsumsi

Pada Gambar 9 disajikan karakteristik responden berdasarkan kebiasaan konsumsi pangan dalam keluarga. Di samping beras, sumber karbohidrat lainnya yang sering dikonsumsi antara lain adalah singkong dan ubi jalar. Dalam mengolah pangan sumber karbohidrat selain beras, sekitar 42,6% responden biasa mengolah

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 sumber karbohidrat

lauk sayur lalapan cemilan masakan yg disukai 0 0 0 100 0 0 24.6 1.6 0 0 0 0 0 1.6 73.8 0 0 3.3 42.6 93.4 6.6 0 70.5 91.8 32.8 3.3 19.7 0 4.9 4.9 0 0 0 0 24.6 0 ju m la h r e sp o n d e n ( % )

jenis makanan dan cara pengolahan yang sering dilakukan

dengan cara digoreng, 32,8% direbus, dan sisanya lebih menyukai dikukus. Cara pengolahan yang banyak dipilih untuk mengolah lauk adalah dengan cara digoreng, yaitu dipilih oleh 93,4% responden, sedangkan sisanya memilih dengan cara direbus. Tempe, tahu, dan ikan asin merupakan contoh lauk pauk yang sering dikonsumsi responden. Responden yang lebih menyukai lauk yang dikukus atau direbus biasanya adalah yang berumur cukup tua. Sayur sehari-hari diolah dengan cara ditumis oleh 73,8% responden, direbus oleh 19,7%, dan digoreng oleh 6,6% responden. Jenis sayur-sayuran yang biasa dikonsumsi tidak jauh dari daun singkong, kangkung, atau bayam. Pangan jenis lalapan tentu saja dikonsumsi tanpa pengolahan lebih dulu. Cemilan yang disukai oleh 70,5% responden adalah yang diolah dengan cara digoreng, sedangkan 24,6% sisanya menyukai yang dipanggang, misalnya roti-rotian. Pada umumnya, cara penyajian makanan yang paling disukai responden adalah dengan cara digoreng. Hal ini menunjukkan preferensi penduduk Indonesia yang lebih menyukai makanan yang renyah.

Tingginya kebiasaan responden untuk menumis sayuran merupakan kesempatan yang baik untuk menggunakan produk SawitA dalam diet responden. Kendati demikian, Misran (2012) menyimpulkan bahwa penggunaan produk SawitA tidak memberi pengaruh terhadap konsumsi minyak goreng karena produk SawitA lebih banyak digunakan untuk menumis.

Frekuensi Konsumsi

Frekuensi konsumsi adalah ukuran seberapa sering responden mengkonsumsi suatu produk. Produk SawitA disarankan untuk dikonsumsi setiap hari dengan takaran 1-2 sendok makan per hari. Tetapi pada kenyataannya, hanya 70,5% dari responden yang mengkonsumsi secara rutin setiap hari, 26,2% responden mengkonsumsi 3-4 kali dalam seminggu (kadang-kadang), dan sisanya (3,3%) mengaku pernah tidak mengkonsumsi dalam seminggu. Tingginya jumlah responden yang mengkonsumsi SawitA dengan frekuensi setiap hari menandakan respon yang positif terhadap produk. Hal ini sejalan dengan Zakaria et al. (2011) yang menyatakan bahwa sebanyak 67% dari responden di Kecamatan Dramaga mengkonsumsi SawitA setiap hari. Responden yang tidak mengkonsumsi setiap hari disebabkan karena tidak memasak atau merasa bahwa masakan yang dimasak tidak sesuai jika ditambahkan SawitA ataupun lupa menggunakan saat memasak.

Gambar 10. Frekuensi konsumsi MSMn (n=61)

70.5 26.2

3.3

Cara Konsumsi Produk SawitA

Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu yang dapat ditinjau dari jenis pangan dan jumlah yang dikonsumsi (Martianto 1992). Hardinsyah dan Martianto (1992) menambahkan bahwa konsumsi pangan dipengaruhi oleh pendapatan, pengetahuan gizi, keadaan kesehatan, ketersediaan bahan pangan, dan kebiasaan makan.

Cara Konsumsi MSMn

Pendataan cara konsumsi produk SawitA MSMn dilakukan terhadap responden di Desa Neglasari dan Sukadamai. Tabel 23 menunjukkan beberapa cara konsumsi yang pernah dilakukan oleh responden, antara lain adalah dengan cara dikonsumsi langsung atau dikecrotkan ke makanan, atau untuk menumis bumbu. Mayoritas responden (98,4%) menggunakan produk SawitA untuk menumis bumbu, misalnya untuk membuat nasi goreng atau tumisan sayur. Meskipun telah disosialisasikan bahwa SawitA dapat dikonsumsi secara langsung, baik diminum langsung atau dikecrotkan ke makanan yang sudah jadi, tetapi nampaknya responden

Dokumen terkait