• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konsumsi Produk Minyak Sawit Mentah dan Minyak Sawit Merah Tanpa Fraksinasi Terhadap Karakteristik Penerimaan Produk dan Kandungan Retinol Air Susu Ibu (ASI) pada Responden Program SawitA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Konsumsi Produk Minyak Sawit Mentah dan Minyak Sawit Merah Tanpa Fraksinasi Terhadap Karakteristik Penerimaan Produk dan Kandungan Retinol Air Susu Ibu (ASI) pada Responden Program SawitA."

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN RETINOL AIR SUSU IBU (ASI) PADA

RESPONDEN PROGRAM SAWITA

KORNELIA RISMARINI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Oil Consumption toward Characteristic of Product Acceptance and Retinol Content in Human Milk of SawitA Program Respondents. Under Supervision of HANIFAH NURYANI LIOE and FRANSISKA R. ZAKARIA

Crude palm oil is rich in carotenoids, tocopherol, and tocotrienol components. During processing into commercial cooking oil, major functional components of palm oil have degraded drastically. The objective of this study is to support socialization and education of crude palm oil (CPO) as a source of provitamin A. This study is a part of SawitA Program which was focused on the effects of CPO and unfractionated red palm oil (URPO) toward consumer acceptance and retinol concentration in human milk (ASI) in Neglasari dan Sukadamai Village, Dramaga, Bogor. Home Use Test (HUT) was conducted to 61 respondents after consuming two products, SawitA Gurih (CPO) and SawitA Tumis (URPO) during 2 months. Approximately 52% of respondents prefer URPO to CPO. Acceptability level of Sawita product had increased for daily usage. Average consumption of Sawita was 1,4309 g/cap/day. Average vitamin A intake from SawitA source was 163 RE/cap/day equal to 33% RDA. The analysis of retinol concentration in 6 samples of human milk was conducted using HPLC method. There is a significant increment of retinol concentration in human milk after SawitA consumption compared to initial state (p<0,05).

Keywords : SawitA Program, CPO, retinol, human milk

ABSTRAK

KORNELIA RISMARINI. Pengaruh Konsumsi Produk Minyak Sawit Mentah dan Minyak Sawit Merah Tanpa Fraksinasi Terhadap Karakteristik Penerimaan Produk dan Kandungan Retinol Air Susu Ibu (ASI) pada Responden Program SawitA. Di bawah bimbingan HANIFAH NURYANI LIOE dan FRANSISKA R. ZAKARIA.

(3)

pada 6 sampel ASI dilakukan dengan metode HPLC. Terdapat peningkatan yang signifikan terhadap kandungan retinol pada ASI setelah konsumsi SawitA dibandingkan dengan sebelum konsumsi (p<0,05).

(4)
(5)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitiam 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN 26

Alat dan Bahan 26

Tahapan dan Metodologi Penelitian 27

Pengolahan dan Analisis Data 33

HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Karakteristik Responden 35

Penerimaan Produk SawitA 40

Perilaku Konsumen SawitA 43

Pemilihan Produk dan Karakter yang Disukai 46

Distribusi Konsumsi Produk SawitA dan Asupan Vitamin A 47

Konsentrasi Retinol pada Air Susu Ibu (ASI) 52

SIMPULAN DAN SARAN 55

DAFTAR PUSTAKA 57

(6)

DAFTAR TABEL

1. Klasifikasi ilmiah kelapa sawit 3

2. Komposisi monogliserida, digliserida, dan trigliserida dalam minyak sawit

mentah (MSMn) 7

3. Sifat fisik kimia minyak sawit mentah 8

4. Komponen mikro dalam minyak sawit mentah (MSMn) 8 5. Perbedaan karateristik fraksi stearin dan olein 10

6. Angka kecukupan gizi (AKG) vitamin A 17

7. Kategori status vitamin A 18

8. Komponen antimikrobial dan perkembangan sistem imun pada ASI 21

9. Karakteristik kimia MSMn, NRPO, dan MSMTF 25

10.Hasil analisis logam berat MSMn, NRPO, dan MSMTF 26 11.Standar minyak makan menurut SNI 01-3741-2002 26 12.Deret konsentrasi larutan standar eksternal retinol 33

13.Kondisi HPLC untuk analisis retinol 34

14.Sebaran karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin 36 15.Sebaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir 38 16.Sebaran karakteristik responden berdasarkan besarnya keluarga 39 17.Sebaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan 39 18.Sebaran tingkat pendapatan per kapita responden 40 19.Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan produk minyak sawit 41

20.Respon awal terhadap produk SawitA 42

21.Penerimaan responden di Desa Neglasari dan Desa Sukadamai setelah

mengkonsumsi produk MSMn 43

22.Penerimaan responden di Desa Neglasari terhadap produk MSMTF 44 23.Cara konsumsi produk MSMn yang sering dilakukan 46 24.Sebaran konsumsi produk SawitA dan asupan vitamin A yang berasal dari

MSMn dan MSMTF pada responden di Desa Neglasari 50 25.Distribusi konsumsi SawitA dan asupan vitamin A dari SawitA pada

responden yang mengkonsumsinya 50

26.Kadar retinol pada ASI responden 53

DAFTAR GAMBAR

1. Penampang kelapa sawit 4

2. Diagram alir proses produksi MSMn 7

3. Diagram alir proses produksi MSMTF 12

4. Struktur kimia α, , dan -karoten 13

5. Struktur kimia vitamin A 17

6. Anatomi payudara manusia 20

7. Produk SawitA Tumis MSMn 25

8. Diagram alir penelitian 29

9. Karakteristik responden berdasarkan kebiasaan konsumsi 44

10.Frekuensi konsumsi produk SawitA 45

(7)

12.Preferensi responden terhadap dua jenis produk SawitA 47 13.Kurva distribusi normal konsumsi SawitA oleh 61 responden 51 14.Kurva distribusi normal asupan vitamin A pada konsumsi SawitA 51

DAFTAR LAMPIRAN

1. Riwayat hidup penulis 63

2. Informed consent responden program SawitA 64

3. Kuesioner program SawitA 65

4. Media informasi program SawitA 75

5. Data responden Desa Neglasari dan Sukadamai 77

6. Data umum responden 88

7. Data konsumsi SawitA dan asupan vitamin A dari MSMn dan MSMTF di

Desa Neglasari 90

8. (a) Kurva distribusi normal konsumsi produk SawitA di Desa Neglasari

menggunakan program @RISK 6.0.1 91

8. (b) Probability-probability plot konsumsi produk SawitA di Desa Neglasari

menggunakan program @RISK 6.0.1 9 2

9. (a) Kurva distribusi normal asupan vitamin A dari MSMn dan MSMTF di Desa Neglasari menggunakan program @RISK 6.0.1 93 9. (b) Probability-probability plot asupan vitamin A dari MSMn dan MSMTF di

Desa Neglasari menggunakan program @RISK 6.0.1 94

10.Deret konsentrasi kurva standar retinol 95

11.Kromatogram kurva standar retinol eksternal HPLC 96

(8)

PENGARUH KONSUMSI PRODUK MINYAK SAWIT MENTAH

DAN MINYAK SAWIT MERAH TANPA FRAKSINASI

TERHADAP KARAKTERISTIK PENERIMAAN PRODUK DAN

KANDUNGAN RETINOL AIR SUSU IBU (ASI) PADA

RESPONDEN PROGRAM SAWITA

KORNELIA RISMARINI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(9)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Konsumsi Produk Minyak Sawit Mentah dan Minyak Sawit Merah Tanpa Fraksinasi Terhadap Penerimaan Sensori dan Kandungan Retinol Air Susu Ibu (ASI) Pada Responden Program SawitA adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Kornelia Rismarini

(10)

ABSTRACT

KORNELIA RISMARINI. Effect of Crude Palm Oil and Unfractionated Red Palm Oil Consumption toward Characteristic of Product Acceptance and Retinol Content in Human Milk of SawitA Program Respondents. Under Supervision of HANIFAH NURYANI LIOE and FRANSISKA R. ZAKARIA

Crude palm oil is rich in carotenoids, tocopherol, and tocotrienol components. During processing into commercial cooking oil, major functional components of palm oil have degraded drastically. The objective of this study is to support socialization and education of crude palm oil (CPO) as a source of provitamin A. This study is a part of SawitA Program which was focused on the effects of CPO and unfractionated red palm oil (URPO) toward consumer acceptance and retinol concentration in human milk (ASI) in Neglasari dan Sukadamai Village, Dramaga, Bogor. Home Use Test (HUT) was conducted to 61 respondents after consuming two products, SawitA Gurih (CPO) and SawitA Tumis (URPO) during 2 months. Approximately 52% of respondents prefer URPO to CPO. Acceptability level of Sawita product had increased for daily usage. Average consumption of Sawita was 1,4309 g/cap/day. Average vitamin A intake from SawitA source was 163 RE/cap/day equal to 33% RDA. The analysis of retinol concentration in 6 samples of human milk was conducted using HPLC method. There is a significant increment of retinol concentration in human milk after SawitA consumption compared to initial state (p<0,05).

Keywords : SawitA Program, CPO, retinol, human milk

ABSTRAK

KORNELIA RISMARINI. Pengaruh Konsumsi Produk Minyak Sawit Mentah dan Minyak Sawit Merah Tanpa Fraksinasi Terhadap Karakteristik Penerimaan Produk dan Kandungan Retinol Air Susu Ibu (ASI) pada Responden Program SawitA. Di bawah bimbingan HANIFAH NURYANI LIOE dan FRANSISKA R. ZAKARIA.

(11)

pada 6 sampel ASI dilakukan dengan metode HPLC. Terdapat peningkatan yang signifikan terhadap kandungan retinol pada ASI setelah konsumsi SawitA dibandingkan dengan sebelum konsumsi (p<0,05).

(12)

PENGARUH KONSUMSI PRODUK MINYAK SAWIT MENTAH

DAN MINYAK SAWIT MERAH TANPA FRAKSINASI

TERHADAP KARAKTERISTIK PENERIMAAN PRODUK DAN

KANDUNGAN RETINOL AIR SUSU IBU (ASI) PADA

RESPONDEN PROGRAM SAWITA

KORNELIA RISMARINI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(13)

Judul Skripsi : Pengaruh Konsumsi Produk Minyak Sawit Mentah dan Minyak Sawit Merah Tanpa Fraksinasi Terhadap Karakteristik Penerimaan Produk dan Kandungan Retinol Air Susu Ibu (ASI) pada Responden Program SawitA

Nama : Kornelia Rismarini

NIM : F24080061

Disetujui oleh

Dr.Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si Pembimbing I

Tanggal Ujian : 22 Maret 2013

Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc Pembimbing II

Diketahui oleh

(14)
(15)
(16)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Mahaesa atas segala karuniaNya dan pendampinganNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga September 2011 ialah minyak sawit mentah, dengan judul Pengaruh Konsumsi Produk Minyak Sawit Mentah dan Minyak Sawit Merah Tanpa Fraksinasi Terhadap Karakteristik Penerimaan Produk dan Kandungan Retinol Air Susu Ibu (ASI) pada Responden Program SawitA.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si sebagai pembimbing pertama tugas akhir dan Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc sebagai pembimbing kedua, serta Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si karena bersedia meluangkan waktu sebagai penguji. Penghargaan dan terima kasih kepada Mama, Papa, adik atas segala doa dan cinta kasih yang tanpa henti. Terima kasih kepada Fakultas Teknologi Pertanian dan PT. Smart Tbk yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut terlibat dalam program SawitA dan turut serta dalam penyebaran informasi mengenai produk minyak sawit merah sebagai minyak makan dan menjadikannya sebagai tugas akhir. Terima kasih kepada seluruh dosen, staf departemen (Mbak Anie, Bu Novi, Mbak May, Mbak Darsih, Mbak Ina, Mbak Ratni, dan Mas Samsu), asisten praktikum dan teknisi (Mbak Vera, Pak Yahya, dan Mas Eko dari Departemen Kimia IPB), teman-teman Beswan Djarum 26, Program MIT, semua warga ITP 45 yang tidak dapat disebutkan satu per satu, saudara Michael Jefferson, teman seperjuangan penelitian (Mizu, Ratna, Eka, Euis), IAAS, teman-teman CVS UiTM Shah Alam (Dyone, Lindu, Beth Via, Stipung, Bebeth, Zyzy, Dozier, Luby, Tom, Ben, Jenny), club Veteran (Mega, Dika, Khoirun Nisa’, Yani, Ian, Ipit, Jojo, Harum, Nisa, Vivi), teman-teman terdekat (Niken, Arin, Sendy, Cindy, Icha, Sam, Desy, Lili, Cimi, Adela, Astri, Maya), dan semua orang yang penulis kenal.

Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.

Bogor, Februari 2013

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitiam 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN 26

Alat dan Bahan 26

Tahapan dan Metodologi Penelitian 27

Pengolahan dan Analisis Data 33

HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Karakteristik Responden 35

Penerimaan Produk SawitA 40

Perilaku Konsumen SawitA 43

Pemilihan Produk dan Karakter yang Disukai 46

Distribusi Konsumsi Produk SawitA dan Asupan Vitamin A 47

Konsentrasi Retinol pada Air Susu Ibu (ASI) 52

SIMPULAN DAN SARAN 55

DAFTAR PUSTAKA 57

(18)

DAFTAR TABEL

1. Klasifikasi ilmiah kelapa sawit 3

2. Komposisi monogliserida, digliserida, dan trigliserida dalam minyak sawit

mentah (MSMn) 7

3. Sifat fisik kimia minyak sawit mentah 8

4. Komponen mikro dalam minyak sawit mentah (MSMn) 8 5. Perbedaan karateristik fraksi stearin dan olein 10

6. Angka kecukupan gizi (AKG) vitamin A 17

7. Kategori status vitamin A 18

8. Komponen antimikrobial dan perkembangan sistem imun pada ASI 21

9. Karakteristik kimia MSMn, NRPO, dan MSMTF 25

10.Hasil analisis logam berat MSMn, NRPO, dan MSMTF 26 11.Standar minyak makan menurut SNI 01-3741-2002 26 12.Deret konsentrasi larutan standar eksternal retinol 33

13.Kondisi HPLC untuk analisis retinol 34

14.Sebaran karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin 36 15.Sebaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir 38 16.Sebaran karakteristik responden berdasarkan besarnya keluarga 39 17.Sebaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan 39 18.Sebaran tingkat pendapatan per kapita responden 40 19.Karakteristik responden berdasarkan pengetahuan produk minyak sawit 41

20.Respon awal terhadap produk SawitA 42

21.Penerimaan responden di Desa Neglasari dan Desa Sukadamai setelah

mengkonsumsi produk MSMn 43

22.Penerimaan responden di Desa Neglasari terhadap produk MSMTF 44 23.Cara konsumsi produk MSMn yang sering dilakukan 46 24.Sebaran konsumsi produk SawitA dan asupan vitamin A yang berasal dari

MSMn dan MSMTF pada responden di Desa Neglasari 50 25.Distribusi konsumsi SawitA dan asupan vitamin A dari SawitA pada

responden yang mengkonsumsinya 50

26.Kadar retinol pada ASI responden 53

DAFTAR GAMBAR

1. Penampang kelapa sawit 4

2. Diagram alir proses produksi MSMn 7

3. Diagram alir proses produksi MSMTF 12

4. Struktur kimia α, , dan -karoten 13

5. Struktur kimia vitamin A 17

6. Anatomi payudara manusia 20

7. Produk SawitA Tumis MSMn 25

8. Diagram alir penelitian 29

9. Karakteristik responden berdasarkan kebiasaan konsumsi 44

10.Frekuensi konsumsi produk SawitA 45

(19)

12.Preferensi responden terhadap dua jenis produk SawitA 47 13.Kurva distribusi normal konsumsi SawitA oleh 61 responden 51 14.Kurva distribusi normal asupan vitamin A pada konsumsi SawitA 51

DAFTAR LAMPIRAN

1. Riwayat hidup penulis 63

2. Informed consent responden program SawitA 64

3. Kuesioner program SawitA 65

4. Media informasi program SawitA 75

5. Data responden Desa Neglasari dan Sukadamai 77

6. Data umum responden 88

7. Data konsumsi SawitA dan asupan vitamin A dari MSMn dan MSMTF di

Desa Neglasari 90

8. (a) Kurva distribusi normal konsumsi produk SawitA di Desa Neglasari

menggunakan program @RISK 6.0.1 91

8. (b) Probability-probability plot konsumsi produk SawitA di Desa Neglasari

menggunakan program @RISK 6.0.1 9 2

9. (a) Kurva distribusi normal asupan vitamin A dari MSMn dan MSMTF di Desa Neglasari menggunakan program @RISK 6.0.1 93 9. (b) Probability-probability plot asupan vitamin A dari MSMn dan MSMTF di

Desa Neglasari menggunakan program @RISK 6.0.1 94

10.Deret konsentrasi kurva standar retinol 95

11.Kromatogram kurva standar retinol eksternal HPLC 96

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Persoalan kekurangan vitamin A (KVA) di Indonesia sudah menjadi masalah yang serius. Vitamin A memang tidak dapat dihasilkan di dalam tubuh oleh karena itu perlu mendapat suplai dari makanan yang dikonsumsi. Kondisi KVA pada umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi yang memicu timbulnya gizi buruk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi yakni sebesar 10,57%. Sedangkan Kabupaten Bogor yang merupakan bagian dari Jawa Barat memiliki persentase penduduk miskin sebesar 9.97%.

Defisiensi vitamin A banyak terjadi pada balita dan anak-anak. Air susu ibu (ASI) menjadi satu-satunya sumber asupan zat gizi bagi bayi berusia 4 hingga 6 bulan pertama. Status gizi ibu menyusui harus diperhatikan agar dapat memenuhi kebutuhan gizi bayinya. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan KVA di Indonesia, salah satu caranya adalah melalui suplementasi dan fortifikasi. World Health Organization menganjurkan asupan vitamin A untuk bayi usia di bawah 1 tahun adalah 350 retinol ekivalen (RE) per hari. Sedangkan untuk anak usia 1-10 tahun, konsumsi vitamin A yang dianjurkan adalah 400 RE per hari. Ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi 600 RE per hari dan ibu menyusui dianjurkan menambah konsumsi vitamin A hingga 850 RE per hari. Selain berfungsi untuk perkembangan organ pengelihatan, vitamin A memiliki peran penting dalam proses diferensiasi sel. Diferensiasi sel merupakan proses yang vital pada saat pertumbuhan bayi.

Minyak kelapa sawit merupakan sumber alami kelompok karotenoid, tokoferol, dan tokotrienol yang melimpah. Dalam proses pembuatan minyak goreng, minyak kelapa sawit mengalami beberapa tahapan proses, yakni ekstraksi,

degumming, deodorisasi, fraksinasi, dan bleaching. Proses tersebut merusak karoten dan komponen minor lainnya. Minyak sawit mentah (MSMn) merupakan produk pengolahan minyak kelapa sawit melalui proses ekstraksi dan klarifikasi untuk mempertahankan kandungan karotenoid, tokoferol, dan tokotrienol tetap tinggi. MSMn mengandung 500-700 ppm karotenoid (Choo et al. 1994). Jatmika dan Guritno (1997) mengemukakan bahwa kadar karoten pada MSMn 60 kali lebih tinggi dibandingkan pada minyak goreng. Oleh karena kandungan karotenoid yang tinggi, MSMn sangat berpotensi untuk mengurangi masalah defisiensi vitamin A di Indonesia. Produk turunan MSMn yang lainnya adalah minyak sawit merah tanpa fraksinasi (MSMTF). MSMTF dibuat dari MSMn yang melalui proses netralisasi dan deodorisasi.

(21)

Indonesia dengan memanfaatkan kandungan provitamin A alami (Zakaria et al.

2011). Rangkaian kegiatan program SawitA selama 2 bulan meliputi sosialisasi, edukasi, dan monitoring responden yang tergolong keluarga prasejahtera di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Produk SawitA merupakan produk baru dan masyarakat tidak terbiasa mengkonsumsi MSMn, maka uji penerimaan konsumen penting dilaksanakan untuk melihat respon dari calon konsumen terhadap produk. Selama program berlangsung, produk SawitA berupa MSMn dan MSMTF diberikan secara cuma-cuma kepada 2142 responden. Penelitian ini merupakan bagian dari program SawitA keseluruhan yang menggunakan 61 orang responden saja. Selain itu, juga dilakukan analisis kandungan retinol pada sampel ASI 9 responden.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mensosialisasikan dan memberikan edukasi pada masyarakat mengenai manfaat minyak sawit mentah sebagai sumber provitamin A untuk mengatasi masalah defisiensi vitamin A di Indonesia.

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain :

1. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan aspek sosiodemografis 2. Menganalisis penerimaan sensori dan perilaku konsumsi responden dalam

mengkonsumsi produk minyak sawit mentah

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi responden terhadap produk minyak sawit mentah

4. Mengetahui distribusi konsumsi SawitA dan asupan vitamin A yang berasal dari SawitA pada responden

5. Menganalisis pengaruh konsumsi minyak sawit mentah terhadap konsentrasi retinol pada air susu ibu (ASI)

Manfaat Penelitian

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis quineensis Jacq.) merupakan jenis tanaman tropis yang berasal dari Afrika. Pada tahun 1840-an, tanaman kelapa sawit mulai diperkenalkan di Indonesia sebagai tanaman hias yang ditandai dengan ditanamnya pohon kelapa sawit pertama di Kebun Raya Bogor. Sejak saat itu, tanaman tersebut menyebar dengan sangat cepat khususnya di wilayah Asia Tenggara. Kondisi iklim yang mendukung membuat tanaman kelapa sawit dapat tumbuh subur di negara-negara khususnya di wilayah Asia Tenggara. Hingga saat ini, dua negara-negara dengan lahan kelapa sawit terluas adalah Indonesia dan Malaysia, keduanya terletak di Asia Tenggara (Fife 2007). Taksonomi tanaman kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi ilmiah kelapa sawit Klasifikasi ilmiah

Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Arecales Famili : Arecaceae Genus : Elaeis Jacq. Sumber : Ketaren (2005)

Kelapa sawit merupakan jenis tanaman berkeping satu yang termasuk ke dalam famili Arecaceae. Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan temperatur udara 22 – 320C (Ketaren 2005). Muchtadi (1993) menyebutkan bahwa kelapa sawit dibedakan berdasarkan ketebalan tempurung dan buahnya, yaitu Dura, Pisifera, Tenera, Macro Carys, dan Diwikka-Wakka. Varietas Dura memiliki tebal tempurung antara 2 hingga 8 mm, persentase daging buah dengan buahnya bervariasi antara 35-50%, serta kandungan minyak yang rendah pada bagian bijinya (kernel). Tempurung yang tipis dengan daging buah (mesokarp) yang tebal merupakan ciri dari kelapa sawit jenis Pisifera. Bila terjadi penyerbukan silang antara jenis Dura dan Pisifera, maka akan menghasilkan jenis Tenera. Dengan tempurung yang tipis dan persentase yang tinggi antara daging buah dan buah, yaitu antara 60-96%, serta jumlah tandan buah yang relatif lebih banyak membuat kelapa sawit jenis Tenera banyak ditanam di perkebunan-perkebunan saat ini. Kelapa sawit jenis Macro Carys memiliki tempurung yang tebal dengan daging buah yang sangat tipis. Varietas Diwikka-Wakka memiliki dua lapisan daging buah. Perbedaan ketebalan daging buah merupakan faktor yang penting, sebab menentukan rendemen minyak sawit yang dihasilkannya.

(23)

1993). Secara anatomi, buah kelapa sawit terdiri atas 80% bagian perikarp dan 20% bagian biji. Bagian perikarp tersusun atas bagian kulit buah yang keras yang disebut epikarp dan bagian daging buah atau mesokarp. Bagian biji terdiri dari bagian endocarp, endosperm, dan lembaga embrio. Bagian endocarp merupakan tempurung biji yang berwarna hitam dan keras, sedangkan endosperm adalah bagian daging biji yang berwarna putih. Dari bagian endosperm inilah dapat dihasilkan minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO).

Hasil utama dari kelapa sawit adalah minyak kelapa sawit. Kualitas produk yang diinginkan dapat dihasilkan apabila pemanenan kelapa sawit dilakukan pada saat kadar minyak pada mesokarp mencapai maksimum dan kandungan asam lemak minimum (Ketaren 2005). Dalam kondisi matang, bagian mesokarp mengandung 49% minyak sawit kasar, 35% air, dan 16% padatan non minyak (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003). Berdasarkan penelitian, terdapat hubungan yang linier antara kandungan minyak pada mesokarp dengan jumlah buah yang rontok pada tiap tandan (Ketaren 2005). Selain minyak yang diekstraksi dari bagian mesokarp, tanaman kelapa sawit juga menghasilkan minyak inti kelapa sawit yang berasal dari bungkil inti kelapa sawit. Meskipun berasal dari tanaman yang sama, tetapi kedua jenis minyak ini berbeda. Minyak yang berasal dari bagian mesokarp memiliki jenis asam lemak dominan asam pamitat (40-46%), sedangkan asam lemak dominan pada minyak inti sawit adalah asam laurat, yaitu berkisar antara 46-52% (Ketaren 2005 – Eckey SW 1955).

Gambar 1. Penampang kelapa sawit (Pahan 2008)

Cara pemanenan buah kelapa sawit menentukan kualitas minyak yang dihasilkan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemanenan kelapa sawit adalah kriteria panen yang meliputi matang panen, cara dan alat panen, rotasi dan sistem panen, dan mutu panen harus diperhatikan (Muchtadi 1993). Tandan buah kelapa sawit yang memar akan membawa banyak tanah dan kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi mikroorganisme, logam, terutama besi, sehingga dapat mempercepat peningkatan kandungan asam lemak bebas (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003). Kondisi buah yang rusak dapat menurunkan daya pemucatan dari minyak sawit mentah yang diperoleh, selain itu warna dari inti buah yang rusak juga cenderung lebih gelap (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003).

Pembentukan minyak pada bagian mesokarp dan inti sawit terjadi 100 hari setelah penyerbukan kemudian terhenti jika minyak dalam buah sudah jenuh yakni pada saat kurang lebih 180 hari. Ketika pembentukan minyak sudah tidak terjadi lagi, maka yang terjadi adalah proses pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol (Naibaho 1998).

Tanaman kelapa sawit membentuk senyawa kimia untuk melindungi minyak dari oksidasi oleh sinar matahari, yaitu karoten dan fitol. Pembentukan karoten pada

(24)

tanaman kelapa sawit dapat dikenali pada saat terjadi perubahan warna buah dari yang tadinya hitam kehijau-hijauan menjadi ungu kehijau-hijauan (Naibaho 1998).

Minyak Sawit Mentah (MSMn)

Dalam Yuliawan (1997) dijabarkan bahwa proses pembuatan minyak sawit mentah (MSMn) melalui beberapa tahapan antara lain adalah perebusan, perontokan, pencacahan, ekstraksi, dan klarifikasi.

Perebusan

Tujuan dari perebusan adalah menginaktivasi enzim lipase dan oksidase, melepaskan buah dari spiklet, menurunkan kadar air, memecah emulsi, melepaskan serat dan biji, dan membantu proses pelepasan inti dari cangkang. Enzim lipase dan oksidase yang masih aktif dalam buah yang sudah dipanen dapat dihentikan dengan cara pemanasan pada suhu 1200C untuk menghentikan aktivitas enzim (Naibaho 1998). Agar didapatkan hasil yang optimum, perebusan dilakukan dalam kondisi tekanan uap 2,8-3,0 kg/cm2 dengan lama perebusan 90 menit. Tekanan uap dan waktu perebusan yang tidak cukup akan mengakibatkan peningkatan kehilangan minyak, sedangkan perebusan yang terlalu lama akan menyebabkan penurunan mutu minyak (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003). Buah dapat terlepas dari spiklet dengan cara menghidrolisis komponen hemiselulosa dan pektin pada pangkal buah yang dipercepat dengan adanya pemanasan. Penurunan kadar air pada buah dan inti sawit dapat menyebabkan terbentuknya rongga-rongga kosong sehingga memudahkan proses pengeluaran minyak. Minyak yang terkandung dalam buah berbentuk emulsi dan akan lebih sulit dikeluarkan jika dibandingkan bila dalam bentuk minyak. Proses pemanasan dapat menyebabkan terpisahnya fraksi air dengan minyak sehingga minyak dapat dengan mudah diekstrak. Serat dilepaskan dari buah agar lignin tidak menghalangi keluarnya minyak.

Perontokan

Proses perontokan dilakukan untuk memisahkan antara buah dari tandannya. Buah sawit yang rontok inilah yang diproses lebih lanjut untuk diambil minyaknya. Proses perontokan buah menggunakan bantuan perputaran mesin perontok.

Pencacahan

Buah sawit yang telah dirontokkan kemudian mengalami proses pencacahan untuk memudahkan pengeluaran minyak dari daging buah. Proses pelumatan buah dilakukan dengan menginjeksikan uap 3 kg/cm2 sehingga tercipta kondisi suhu 90-950C dalam digester selama 30 menit. Dalam proses pelumatan ini, terdapat juga minyak yang terekstrak dari buah yang segera harus dialirkan keluar agar tidak mengganggu pisau pelumat dalam digester (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003).

Ekstraksi

(25)

dengan alat kempa ataupun dengan secara kimia dengan metode “solvent extraction”.

Sebuah alat kempa (screw press) memiliki sebuah silinder (press cylinder) yang berlubang-lubang dan di dalamnya dilengkapi 2 buah ulir yang akan berputar berlawanan arah. Pengepresan berlangsung dalam kondisi tekanan 50-60 bar. Untuk menghasilkan minyak dengan viskositas yang tinggi, digunakan air pembilas screw press dengan suhu 90-950C sebanyak 7% dari berat tandan buah segar (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003).

Klarifikasi

Klarifikasi dilakukan untuk memisahkan minyak dari kotoran. Tahapan dari proses klarifikasi berdasarkan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2003) adalah pengendapan, sentrifugasi, dan penguapan. Cairan minyak kasar hasil proses ektraksi pertama-tama akan memasuki tangki pengendap pasir (sand trap tank), saringan bergetar (vibrating screen), tangki minyak kasar (crude oil tank), decanter, tangki pemisah, tangki pemasakan minyak, sentifusi minyak, tangki apung, pengeringan minyak, timbangan minyak, tangki sludge, saringan berputar, pre-cleaner, sentrifusi

sludge, tangki minyak kutipan, tangki penampung minyak, bak penampung minyak, dan terakhir tangki penampungan minyak. Minyak hasil ektraksi dialirkan menuju tangki pengendap pasir kemudian udara panas diinjeksikan ke dalam tangki untuk mempermudah proses pemisahan pasir dari minyak. Benda asing berupa padatan yang masih ikut tercampur dengan minyak dipisahkan menggunakan vibrating screen. Selanjutnya, minyak dipompakan ke tangki pemisah dengan mempertahankan suhu minyak 90-950C. Lumpur atau air yang masih terkandung di dalam minyak dipisahkan dengan dua cara, yaitu pertama menggunakan gaya sentrifugal dengan kecepatan putaran 6000 rpm oleh alat yang disebut decanter dan dilanjutkan dengan proses pengendapan dalam tangki pemisah. Pemisahan lumpur dari minyak menggunakan prinsip perbedaan berat jenis, lumpur yang memiliki berat jenis lebih besar dari minyak akan mengendap sehingga mudah dipisahkan. Minyak yang telah bersih dari lumpur dan air mengalami proses pemanasan lagi sebelum menuju pengolahan lebih lanjut, yaitu menuju sentrifusi minyak di mana air yang masih terkandung di dalam minyak sebanyak ± 0,50-0,70% dipisahkan menggunakan gaya sentrifugal 5000-6000 rpm. Pemisahan air dari minyak dilakukan 2 tahap, selain menggunakan gaya sentrifugal juga menggunakan penguapan dalam ruang hampa (vacuum dryer).

Proses klarifikasi tidak hanya memproses minyak kasar tetapi juga sludge

atau lumpur yang dipisahkan dari minyak. Lumpur hasil pemisahan yang masih mengandung minyak sebanyak 7-9% ditampung kembali dalam tangki sludge

selanjutnya dipompa menuju saringan berputar untuk memisahkan serabut dan desander untuk memisahkan bagian pasir. Pengutipan minyak dari sludge yang sudah bersih dari serabut dan pasir berlangsung di dalam sludge separator dengan memanfaatkan gaya sentrifugal. Minyak hasil pengutipan dialirkan menuju tangki minyak kutipan yang kemudian dicampur dengan minyak hasil pemurnian.

(26)

(nukleasi) yang merupakan prekursor terjadinya kristalisasi dan presipitasi pada minyak. Diagram alir proses produksi minyak sawit mentah disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir proses produksi minyak sawit mentah (MSMn)

Tabel 2. Komposisi monogliserida, digliserida, dan trigliserida dalam minyak sawit mentah (MSMn)

Komponen Komposisi (%)

Trigliserida >90

Digliserida 5,30 – 7,70 Monogliserida

Asam lemak bebas Komponen minor

0,21 – 0,34 2,40 – 4,50 1

Sumber : Goh dan Timms (1985); Goh et al. (1985)

Basiron (2005) mengatakan bahwa struktur dan posisi asam lemak penyususn suatu trigliserida sangat mempengaruhi titik lelehnya. Susunan asam lemak juga mempengaruhi sifat fisik suatu lemak dan minyak. Minyak berwujud padat dalam suhu kamar karena kandungan asam lemak jenuhnya tinggi, seperti asam palmitat dan stearat yang memiliki titik cair tinggi pada suhu kamar.

Karakteristik fisik dan kimia MSMn meliputi warna, bau dan flavor, indeks bias, bilangan iod, titik cair, dan bobot jenis. Warna dari MSMn yang seperti campuran jingga-kekuningan berasal dari komponen karoten yang terlarut dalam MSMn, yakni sebanyak 500-700 ppm (Choo et al. 1994). Bau dan flavor dalam minyak dapat berasal dari dua sumber, yakni secara alami yang disebabkan oleh

Tandan sawit

Perebusan pada suhu 1200C

Perontokan

Buah sawit

Pencacahan dengan digester

Ekstraksi

Klarifikasi

(27)

keberadaan senyawa beta-ionone, atau dapat disebabkan oleh asam lemak rantai pendek yang timbul akibat kerusakan minyak (Ketaren 2005). Titik cair minyak sangat dipengaruhi oleh jenis asam lemak penyusunnya. Beberapa parameter sifat fisik dan kimia MSMn disajikan pada Tabel 3.

Minyak sawit mentah (MSMn) memiliki kandungan gizi mikro yang bermanfaat bagi kesehatan, antara lain adalah karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid, skualen, triterpenil, dan hidrokarbon alifatik (Nagendran et al. β000). Konsumsi MSMn dapat meningkatkan konsentrasi α-tokoferol dan -karoten pada eritrosit (Fujiarti 2012; Lestari 2012). Daftar komponen mikro yang terkandung dalam MSMn disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Sifat fisik kimia minyak sawit mentah Sifat fisik kimia Nilai

Bobot jenis (150C) (Kg/L) 0,859 – 0,870 Indeks bias D 400C 36,0 – 37,5 Titik cair (0C) 21 – 29

Bilangan iod 224 – 249

Bilangan saponifikasi 196 – 205 Sumber : Krischenbauer (1960); Ketaren (2005)

Tabel 4. Komponen mikro dalam minyak sawit mentah (MSMn)

Komponen mikro Konsentrasi (ppm)

Karotenoid

Tingginya kandungan -karoten dalam MSMn turut berkontribusi pada karakteristik minyak yang tahan terhadap oksidasi karena peran -karoten sebagai antioksidan (O’Brien β009).

Minyak Sawit Merah (MSM)

(28)

minyak (Ketaren 2005). Dalam proses pemurnian tersebut, banyak komponen yang tereliminasi dari minyak, termasuk komponen minor yang bersifat fungsional bagi kesehatan, di antaranya adalah komponen karotenoid yang memberikan warna jingga kemerahan pada minyak sawit merah (MSM).

Komponen karoten banyak terbuang dalam proses bleaching atau pemucatan minyak yang memang bertujuan untuk mendapatkan warna minyak yang kuning keemasan cenderung bening. Terdapat upaya untuk mempertahankan kandungan karotenoid pada minyak sawit mentah (MSMn) dengan cara membuat MSM atau Red Palm Oil (RPO). Minyak sawit merah yang dalam pengolahannya menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan pengolahan minyak sawit pada umumnya dengan tujuan untuk mempertahankan kandungan karotenoidnya telah banyak diperkenalkan sebagai produk pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan manusia dan juga digunakan sebagai pewarna alami dalam pembuatan margarin dan

shortening(O’Brien β009).

Di samping karoten, MSM juga memiliki kandungan vitamin E yang tinggi yakni 730 ppm dalam bentuk α-tokoferol, serta α, , , dan δ-tokotrienol (Kritchevsky et al. 2002). Dalam sistem biologis, α-tokoferol memiliki jumlah yang paling banyak yang berfungsi untuk mencegah peroksidasi membran fosfolipid dan menghindari kerusakan membran sel (Lucarini dan Pedulli 2007).

Proses pemurnian minyak secara umum adalah perlakuan pendahuluan berupa

degumming, netralisasi, deodorisasi, fraksinasi, dan pemucatan (bleaching). MSM dihasilkan dari MSMn yang melalui proses pemurnian tetapi tanpa proses pemucatan sehingga kandungan karotenoid, tokoferol, dan tokotrienolnya tetap dipertahankan.

Degumming merupakan proses pemisahan komponen fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin, tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak (Ketaren 2005). Proses degumming diawali dengan dehidratasi sehingga gum dan kotoran lainnya dapat terpisahkan dengan proses sentrifusi, dilanjutkan dengan penambahan asam mineral pekat seperti NaCl. Proses ini berlangsung pada suhu 32-500C agar gum lebih encer sehingga mudah terpisah. Degumming perlu dilakukan sebelum proses netralisasi agar pemisahan sabun yang dihasilkan dari netralisasi dapat berjalan optimal. Ketika minyak yang masih mengandung gum dinetralisasi, maka terjadi peningkatan partikel emulsi yang mengakibatkan penurunan rendemen trigliserida.

(29)

Deodorisasi dilakukan untuk menghilangkan bau dan rasa (flavor) yang tidak diinginkan dalam minyak. Prinsipnya adalah penyulingan minyak pada suhu 200-2500C pada tekanan 1-6 atm selama 0,3-12 jam sehingga senyawa yang mudah menguap dapat terangkut, termasuk sebagian asam lemak bebas. Minyak yang keluar dari proses deodorisasi mengandung 0,015-0,030 % asam lemak bebas (Ketaren 2005).

Fraksinasi merupakan proses pemurnian minyak dengan memisahkan antara fraksi yang memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu stearin dan olein. Dengan memisahkan minyak menjadi fraksi olein dan stearin, maka MSM dapat dimanfaatkan secara lebih luas sesuai dengan karakter fisik dan kimia masing-masing fraksi. Prinsip fraksinasi adalah pemisahan berdasarkan perbedaan kelarutan komponen trigliserida yang bergantung pada komposisi dan distribusi asam lemak bebas dengan penurunan suhu secara perlahan (O’Brien β009).

Setelah proses fraksinasi, fraksi olein didominasi oleh asam lemak rantai C18, sedangkan fraksi stearin lebih tinggi kandungan asam lemak palmitatnya (C16). Komponen minor lebih banyak terlarut dalam fraksi olein, termasuk di dalamnya adalah asam lemak, digliserida, karoten, sterol, tokoferol, tokotrienol, peroksida, dan produk oksidasi. Fosfolipid dan logam banyak terdapat di fraksi stearin. Rendahnya kandungan tokoferol dan tokotrienol, serta tingginya kandungan logam menyebabkan tingkat stabilitas stearin cenderung lebih rendah dibandingkan fraksi olein (O’Brien 2009). Fraksi olein lebih mudah untuk dipucatkan dan hanya membutuhkan 1,5% bahan adsorben, sedangkan fraksi stearin membutuhkan lebih banyak bahan adsorben untuk pemucatan, yakni 2% (Patterson 2009). Perbedaan karakteristik antara fraksi stearin dan olein disajikan pada Tabel 5.

Pemucatan (bleaching) adalah tahap pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan zat warna dengan menggunakan bahan adsorben berupa fuller earth, activated clay, atau arang aktif. Bahan adsorben tidak hanya dapat menyerap zat warna tetapi juga suspensi koloid dan hasil degradasi minyak lainnya. Arang aktif dapat menyerap 95-97% total zat warna dalam minyak. Pada proses pembuatan MSM, tahapan bleaching tidak dilakukan untuk mempreservasi komponen minor fungsional karotenoid, tokoferol, serta tokotrienol. Dalam Patterson (2009) dikatakan bahwa selama 20 menit pada suhu 1800C, sebanyak 50% kandungan karoten hilang, pada suhu 2000C sebanyak dua per tiga, dan pada 2400C hanya tersisa 2% saja.

Tabel 5. Perbedaan karateristik fraksi stearin dan olein

Karakteristik Olein Stearin

(30)

Minyak Sawit Merah Tanpa Fraksinasi (MSMTF)

Produk minyak sawit yang digunakan dalam program SawitA ini antara lain adalah minyak sawit merah tanpa fraksinasi (MSMTF) atau unfractionated red palm oil (URPO). Produk MSMTF dibuat dengan proses yang sama seperti MSM, hanya saja MSMn sebagai bahan bakunya dan tanpa proses degumming (pemisahan gum) dan fraksinasi (pemisahan fraksi stearin dan olein). Hal ini dikarenakan pada proses

degumming terdapat perlakuan dengan suhu tinggi dan asam yang dapat mengakibatkan penurunan kandungan karotenoid karena perubahan struktur karotenoid menjadi policis-isomer.

Pada pembuatan MSMTF, proses degumming dihilangkan karena penambahan air panas dan asam mineral pekat dapat menurunkan kandungan -karoten. Proses degumming sebenarnya dapat saja tidak dilakukan karena gum merupakan serat larut yang tidak berbahaya jika dikonsumsi. Di samping itu, fraksi stearin juga dapat menambah rasa gurih pada MSMTF.

Minyak sawit merah tanpa fraksinasi diproduksi dari MSMn yang dinetralisasi dan dideodorisasi. Netralisasi merupakan proses yang bertujuan untuk memisahkan asam lemak bebas dengan menggunakan basa atau pereaksi lain sehingga membentuk sabun. Pembuatan MSMTF untuk program SawitA menggunakan soda kaustik (NaOH) 16 0Be yang direaksikan dengan asam lemak bebas selama 26 menit. Reaksi antara asam lemak bebas dengan soda kaustik akan menghasilkan sabun yang dapat melarutkan zat warna dan kotoran berupa getah dan lendir dalam suatu emulsi. Kemudian sabun yang terbentuk dihilangkan dengan menggunakan air panas untuk melarutkan sabun sebanyak 3 kali hingga terbuang semuanya.

(31)

Gambar 3. Diagram alir proses produksi MSMTF

Karotenoid dan Sifat Nutrisionalnya

Karotenoid adalah sekelompok pigmen alami berwarna kuning hingga merah dengan struktur alifatik atau alisiklik yang terdiri dari rantai hidrokarbon tidak jenuh, dengan 8 unit isoprene, dan 40 atom karbon (Belitz 2009). Bersama dengan klorofil, karotenoid berada di dalam kloroplas, terutama di dekat dinding sel-sel palisade pada permukaan atas daun (Winarno 2008). Kelompok besar karotenoid terbagi atas dua kelompok berdasarkan komponen penyusunnya, yakni karoten dan xantofil. Yang termasuk di dalam kelompok karoten adalah α, , -karoten, serta likopen (Winarno 2008). Ketiga jenis karoten yang disebutkan sebelumnya memiliki perbedaan pada letak ikatan rangkap dari gugus cincinnya (Meyer 1966). Xantofil selain tersusun dari unsur C dan H, juga terdapat unsur O (Belitz 2009). Kriptosantin yang memiliki struktur mirip dengan beta karoten merupakan salah satu contoh xantofil. Kriptoxantin merupakan pigmen utama pada tanaman jagung, lada, pepaya, dan jeruk keprok (Winarno 2008). Pada umumnya anggota kelompok karoten bersifat nutrisi aktif, sedangkan kelompok xantofil mayoritas bersifat non nutrisi aktif (Tan 1985). Lebih lanjut menurut Bauernfeind et al. (1981), kadar karoten pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kadar xantofil, yakni antara 60-70%.

Karotenoid menyebabkan warna kuning dan merah pada tanaman, ganggang, mikroorganisme dan hewan (Fennema 1996). Lebih lanjut dalam Winarno (2008),

MSMn (CPO)

Penimbangan (50 kg)

Netralisasi MSA dengan NaOH teknis dan diaduk perlahan selama 26 menit

Pencucian dengan air panas

Deodorisasi 1400C selama 1 jam

(32)

terdapat hubungan yang linier antara derajat warna kehijauan terhadap jumlah kandungan karoten dalam sayuran, semakin hijau warna daun maka semakin tinggi kandungan karotennya. Sayuran yang berwarna pucat seperti kol dan sawi diketahui memiliki kandungan karoten yang rendah (Winarno 2008). Kandungan karoten dalam diet manusia merupakan hal esensial karena tubuh memiliki kemampuan untuk mengubah karoten menjadi vitamin A, sehingga karoten disebut sebagai provitamin A. Provitamin A karotenoid merupakan kelompok karotenoid yang memiliki cincin beta-ionone non substitusi yang dapat membelah sehingga terbentuk retinaldehid melalui reaksi oksidatif. Retinaldehid kemudian dapat tereduksi untuk membentuk retinol atau teroksidasi menghasilkan asam retinoat (Bender 2003). Kendati sumber karoten melimpah pada bahan-bahan nabati, tetapi efektifitas perubahan dari karoten menjadi vitamin A rendah. Menurut hasil perhitungan FAO-WHO, hanya separuh dari karoten yang terserap yang dapat diubah menjadi vitamin A, atau dengan kata lain hanya 1/6 dari kandungan karoten dalam bahan makanan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh (Winarno 2008). Oleh karena itu, tidak ada bahaya kelebihan konsumsi karotenoid yang berasal dari bahan nabati.

Dari 600 jenis karotenoid yang diketahui, kurang lebih 50 memiliki aktivitas sebagai provitamin A (Fennema 1996). Dari sekian banyak jenis karotenoid, yang memiliki aktivitas sebagai provitamin A adalah α, , dan -karoten (Gambar 4) dengan aktivitas tertinggi dimiliki oleh -karoten yakni 100% atau dapat dikatakan bahwa seluruh kandungan -karoten dapat dikonversi menjadi vitamin A (Narasingha 2000). Proses konversi molekul provitamin A yang terjadi di dinding mukosa usus halus terjadi melalui reaksi enzimatik oksidatif pada gugus C15-C15’ untuk menghasilkan 2 molekul retinol (Fennema 1996). Konversi provitamin A menjadi vitamin A terjadi melalui reaksi enzimatis sehingga vitamin A yang dihasilkan sejumlah kebutuhan tubuh.

Gambar 4. Struktur kimia α, , dan -karoten (Telfer et al. 2008)

Struktur karotenoid menjadi faktor penentu fungsi fisiologis dari karoten. Ukuran, struktur tiga dimensi, keberadaan gugus fungsional membantu efisiensi fungsi karotenoid pada organ atau jaringan target. Konformasi trans karotenoid lebih stabil dibandingkan isomer cis-nya. Kestabilan konformasi turut mempengaruhi stabilitas gugus fungsional karotenoid. Lebih lanjut Britton (2009) mengemukakan bahwa ikatan rangkap terkonjugasi pada molekul karotenoid memungkinkannya untuk memiliki kemampuan menangkal radikal bebas (singlet oksigen) sehingga berfungsi sebagai antioksidan. Karotenoid merupakan antioksidan larut lemak, stabil pada kondisi alkali, tetapi rentan rusak bila dalam kondisi suhu tinggi, asam, dan

α-karoten

-karoten

(33)

oksidasi. Ikatan rangkap terkonjugasi mudah rusak oleh proses hidrogenasi dan menyebabkan hilangnya zat warna (Patterson 2009).

Manusia mendapatkan asupan provitamin A dari dietnya berupa bahan pangan nabati, baik yang berupa buah maupun daun. Jenis sayur-sayuran hijau mengandung karoten lebih rendah dibandingkan buah atau sayur yang berwarna kuning atau merah. Studi menyebutkan bahwa karoten yang berasal dari buah lebih mudah dicerna dibandingkan dengan yang berasal dari daun-daunan (Thurnham 2007). Minyak sawit merah (MSM) sendiri mengandung 500-700 ppm karoten di mana 90%-nya terdiri dari α dan -karoten. Jumlah kandungan karoten pada MSM 15x karoten pada wortel dan 300x dari tomat (Nagendran 2000). Bentuk α-karoten, kripstosantin, dan cis- -karoten memiliki aktivitas vitamin A hanya setengah daripada trans- -karoten (Tang et al. 2000). Akan tetapi, dalam studi yang dilakukan oleh Farombi (1998) diperkirakan bahwa aktivitas antioksidan α-karoten lebih tinggi dibandingkan -karoten dalam menangkal radikal peroksil. Misran (2012) menyimpulkan bahwa konsumsi MSMn dapat meningkatkan konsentrasi antioksidan pada plasma secara signifikan.

Konsumsi MSM membawa banyak manfaat bagi kesehatan manusia. Minyak sawit merah sendiri mengandung karotenoid sebanyak 573 mg/kg yang terdiri dari fitoen, fitofluen, α-karoten, -karoten, -karoten, δ-karoten, ζ-karoten, neurosporen, α-zeakaroten, -zeakaroten, dan likopen (Choo 1993). Kandungan karotenoid dalam MSM diyakini dapat menanggulangi masalah defisiensi vitamin A yang banyak melanda negara-negara berkembang. Selanjutnya Kritchevsky (1999) menambahkan bahwa konsumsi MSM dapat mencegah terjadinya aterosklerosis. Tan (1987) dan Muhilal (1991) juga menambahkan bahwa konsumsi -karoten dapat menanggulangi penyakit xeroftalmia, meningkatkan sistem imun tubuh, serta mengurangi resiko terkena penyakit degeneratif. Konsumsi -karoten juga diyakini dapat menurunkan resiko terkena kanker kolon (Hussein 1999) dan kanker kulit (Tan 1992). Mayne et al.(β009) mengamati bahwa peningkatan asupan -karoten berasosiasi dengan resiko terhadap kanker paru-paru.

Karotenoid banyak terkandung dalam sayuran hijau dan sayuran atau buah yang berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, papaya, mangga, nangka, dan jeruk (Almatsier 2006). Sumber lain dari karotenoid adalah minyak nabati dari biji-bijian seperti minyak jagung, minyak kedelai, minyak zaitun, minyak biji bunga matahari, dan minyak kacang tanah. Minyak kelapa sawit merupakan contoh minyak nabati yang kaya karotenoid, yakni mengandung 15-300 kali retinol ekivalen wortel, tomat, dan sayuran hijau (May 2007).

(34)

menurunkan kandungan karoten dalam pangan. Logam juga dapat menjadi katalis reaksi oksidasi, khususnya tembaga, besi, dan mangan. Karoten juga dapat mengalami isomerisasi yang menghasilkan policis-isomer dalam kondisi asam. Oleh karena itu, kondisi penyimpanan perlu mendapat perhatian khusus untuk mencegah degradasi provitamin A. Karotenoid akan lebih tahan jika terlarut dalam asam lemak tidak jenuh karena asam lemak tidak jenuh lebih rentan terkena radikal bebas sehingga karoten dapat terlindungi.

Karotenoid yang dikonsumsi sebagian besar berfungsi sebagai antioksidan yang menangkal senyawa radikal (singlet oksigen) dan sebagian lainnya menjadi sumber vitamin A. Satu molekul -karoten dikonversi menjadi 2 molekul vitamin A di dalam usus halus manusia melalui reaksi enzimatis oleh enzim 15,15’ -karoten dioksigenase sehingga vitamin A yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Tubuh kita telah memiliki mekanisme yang teratur mengenai konversi karotenoid menjadi vitamin A sehingga mengkonsumsi karotenoid dari sumber alamiah dalam jumlah banyak setiap hari tidak menimbulkan efek samping (Narasingha 2000).

Peningkatan asupan karoten akan menjadi efektif apabila konsumsinya didampingi dengan asupan lemak juga. Hal ini dikarenakan trigliserida dapat menstimulasi sekresi garam empedu yang dapat membantu pembentukan emulsi dalam sistem pencernaan lemak beserta vitamin larut lemak (Parker 1996). Diet rendah lemak dapat mengakibatkan penurunan konversi -karoten menjadi retinol secara drastis (Prince 1993). Selanjutnya Chandrasekharan (1997) menambahkan bahwa terjadi penurunan tingkat absorbsi dan konversi -karoten menjadi vitamin A seiring dengan adanya peningkatan asupan -karoten.

Dalam Muchtadi et al. (2006) dijelaskan bahwa -karoten memiliki keaktifan yang setara dengan setengah retinol, sedangkan keaktifan karotenoid lain setara dengan seperempat retinol. Di antara jenis karotenoid yang lain, -karoten memiliki aktivitas biologis paling tinggi yakni setara dengan seperenam retinol, sedangkan aktivitas karotenoid lainnya setara dengan seperduabelas retinol. Bentuk retinol diserap dengan sempurna di dalam usus, sedangkan karoten hanya diserap sepertiganya saja.

(35)

Vitamin A dan Kekurangan Vitamin A (KVA) di Indonesia

Salah satu zat gizi mikro yang penting bagi kesehatan manusia terutama dalam meningkatkan sistem imun dan menjaga kesehatan organ pengelihatan adalah vitamin A. Vitamin A merupakan suatu senyawa poliisoprenoid yang memiliki cincin sikloheksenil. Vitamin A merupakan sebutan untuk sekelompok komponen yang memiliki aktivitas biologis sebagai vitamin A, yakni retinol, retinal, dan asam retinolat. Di antara ketiga komponen tersebut, yang menunjukkan aktivitas vitamin A secara penuh hanyalah retinol, sehingga retinol merupakan bentuk asupan vitamin A yang paling umum (Murray et al. 2003).

Vitamin A merupakan substansi berwarna kekuningan yang larut lemak, stabil dalam kondisi panas, asam, dan alkali, tetapi sangat mudah teroksidasi oleh udara serta mudah rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi. Kerusakan vitamin A akan semakin cepat apabila oksidasi disertai dengan pemanasan, paparan sinar matahari, dan lemak yang tengik (Winarno 2008). Kondisi kekurangan vitamin A terjadi ketika jumlah vitamin A di dalam tubuh tidak mencukupi untuk menjalankan fungsi organ target secara optimal yang biasanya terjadi ketika konsentrasi vitamin A di hati kurang dari 20 µg/g (Olson 1982). Masalah kekurangan vitamin A banyak melanda negara-negara berkembang. Hingga saat ini, banyak negara berkembang yang mengandalkan bahan pangan alami sebagai sumber asupan vitamin A. Oleh sebab itu, karakteristik kimia komponen vitamin A perlu dicermati karena akan mempengaruhi cara penyajian pangan yang paling efektif untuk mendapatkan asupan vitamin A yang maksimal.

Sumber asupan vitamin A dibedakan menjadi dua kelompok, yakni asupan dalam bentuk retinol (vitamin A bentuk jadi) maupun dalam bentuk provitamin A (bahan baku vitamin A). Underwood (2000) mendata bahwa asupan vitamin A bentuk jadi tersedia dalam bahan pangan hewani seperti daging, susu dan olahannya (mentega dan keju), kuning telur, hati, ikan, dan minyak ikan (terutama jenis cod). Sedangkan sumber provitamin A adalah sayuran hijau (bayam, daun singkong), wortel, tomat, ubi jalar kuning atau merah, buah-buahan yang berwarna kuning hingga merah (pepaya, mangga, apricot), dan minyak sawit merah (MSM).

Bentuk aktif dari vitamin A adalah retinaldehid dan asam retinolat yang keduanya merupakan turunan retinol. Retinaldehid berperan aktif dalam sistem pengelihatan sebagai sinyal tranduser ketika terjadi penerimaan cahaya pada retina yang dilanjutkan dengan inisiasi impuls saraf. Sedangkan asam retinolat bertugas mengatur ekspresi gen dan diferensiasi jaringan sebagai nuclear receptor (Bender 2003). Retinaldehid dalam bentuk cis-nya membentuk kompleks dengan protein opsin menjadi rhodopsin (sel batang) yang merupakan pigmen pengelihatan berwarna ungu. Ketika cahaya mengenai retina, rhodopsin memudar menjadi kuning dan retinal terpisah dari opsin dan diubah menjadi retinol kembali (Muchtadi et al. 2006). Ketika membentuk kompleks rhodopsin, cis-retinaldehid mengalami oksidasi menjadi bentuk trans-retinaldehid. Komponen inilah yang berperan penting dalam proses transmisi sinyal cahaya ke otak (Bender dan Mayes 2003). Struktur kimia beberapa jenis vitamin A disajikan pada Gambar 5.

(36)

adalah asam retinolat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa asam retinolat dapat meningkatkan sitotoksisitas dan proliferasi sel T (Mora et al. 2008). Dalam kondisi tidak kekurangan vitamin A, sel-sel epitel mukosa pada organ mata memproduksi mukus yang membantu mencegah terjadinya infeksi. Sedangkan pada kondisi kekurangan vitamin A, sel-sel epitel mukosa bukan memproduksi mukus melainkan keratin yang berakibat pada pengeringan dan pengerasan sel-sel membran. Keadaan tersebut disebut dengan penyakit xeroftalmia (Winarno 2008). Vitamin A merupakan salah satu regulator dalam proses pertumbuhan sel, diferensiasi, serta apoptosis (kematian sel secara terprogram). Fungsi vitamin A dalam menginduksi apoptosis sering dikaitkan dengan aktifitas anti tumor dan anti kanker (Semba 1998).

Gambar 5. Struktur kimia vitamin A (Fennema 1996)

Di samping berfungsi untuk pengelihatan yang baik dan sistem imun, asupan vitamin A yang cukup dibutuhkan untuk pertumbuhan yang normal. Pada tahun 2004, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi menetapkan angka kecukupan vitamin A yang dibedakan berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin seperti yang terdapat pada Tabel 6.

Faktor yang dapat mempengaruhi status vitamin A seseorang antara lain adalah asupan protein, lemak, vitamin E, dan zinc (Booth 1997). Selain itu kondisi fisiologis seperti kecukupan vitamin A, protein dan lemak individu, kondisi hormon, tingkat pertumbuhan, serta adanya infeksi juga mempengaruhi status vitamin A individu (WHO 1994). Proses konversi karoten menjadi vitamin A melibatkan reaksi ezimatis, sehingga diperlukan asupan protein yang cukup (Scott 1999).

Tabel 6. Angka kecukupan gizi (AKG) vitamin A

Kelompok usia dan jenis kelamin Vitamin A (RE per hari) 0 – 1 tahun

1 – 3 tahun 4 – 6 tahun 7 – 9 tahun

Laki-laki 10 tahun ke atas Perempuan 10 -18 tahun Perempuan 19 tahun ke atas

(37)

Hamil Menyusui

800 850 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004)

Vitamin A banyak terdapat di organ liver atau hati dalam bentuk retinol atau ester retinol (Fennema 1996). Konsumsi vitamin A yang berlebihan dapat menimbulkan efek toksik yang ditandai dengan gejala karotenis (warna kuning pada kulit) dan akan hilang apabila konsumsi diturunkan. Hal ini disebabkan karena vitamin A merupakan salah satu vitamin yang larut lemak sehingga tidak dapat diekskresi melalui urin. Vitamin A yang berlebih disimpan di dalam sel-sel parenkim organ hati dalam bentuk butiran lemak berisi campuran rantai-rantai ester retinil, yaitu retinil palmitat (50%), retinil stearat, dan retinil oleat. Bentuk ester-ester tersebut dihidrolisis menjadi retinol di dalam usus oleh enzim pankreatik sebelum dilepaskan ke seluruh tubuh. Di dalam darah, retinol terikat pada Retinol Binding Protein (RBP) yang menuju jaringan tubuh seperti mata, usus, dan kelenjar mukosa (Winarno 2008). Bentuk retinil asetat dan retinil palmitat merupakan bentuk yang sering digunakan sebagai bahan fortifikan dalam makanan (Fennema 1996). Konsumsi vitamin A dapat menyebabkan hipervitaminosis (kelebihan konsumsi vitamin A) apabila dikonsumsi 75000-500000 SI (45-γ00 mg -karoten) setiap hari dalam jangka waktu beberapa bulan (Winarno 2008).

Masalah defisiensi vitamin A hingga kini telah menjadi masalah kesehatan dunia. Hal yang sangat disayangkan bahwa penderita defisiensi vitamin A biasanya merupakan masyarakat golongan ekonomi kurang mampu yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan yang memadai. Labenjang (2011) menyebutkan bahwa angka kebutaan di Indonesia, yakni 1,5% merupakan yang tertinggi di antara beberapa negara Asia Tenggara yang lainnya, seperti Bangladesh (1%), India (0,7%), dan Thailand (0,3%). Kasus kekurangan vitamin A dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni klinis dan subklinis. Seseorang dikatakan mengalami KVA klinis jika gejalanya langsung terlihat, yaitu timbulnya penyakit xeroftalmia. Sedangkan yang banyak terjadi di Indonesia adalah KVA subklinis di mana hanya dapat diketahui dengan pemeriksaan sampel darah. Pada tahun 2003, Departemen Kesehatan mencatat bahwa setidaknya 50% dari populasi balita di Indonesia menderita KVA subklinis. Kategori status vitamin A disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kategori status vitamin A

Kategori Cut of point (µg/dL)

Defisiensi (klinis)

Marginal (rendah) – defisiensi subklinis Cukup Sumber : Departemen Kesehatan (2003)

(38)

terganggunya proses absorpsi vitamin A di dalam tubuh yang membutuhkan karbohidrat dan protein. Kekurangan vitamin A pada balita biasanya diawali ketika mulai disapih (Gaman dan Sherrington 1994).

Vitamin A di dalam tubuh disimpan di dalam hati dalam bentuk retinaldehid (retinil ester). Oleh karena itu, cara terbaik untuk menentukan status vitamin A adalah dengan mengukur kadar retinil ester dalam hati. Tetapi tentu saja pengukuran secara biopsi tidak dapat dilakukan. Cara lain yang dapat dilakukan untuk menentukan status vitamin A seseorang adalah dengan mengukur konsentrasi retinol pada serum. Kelemahannya adalah, serum hanya mengandung 1% total cadangan vitamin A sedangkan konsentrasi retinol tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya apabila tidak terjadi kekurangan atau kelebihan yang teramat sangat (Gibson 2005).

Air Susu Ibu dan Masa Menyusui

Defisiensi vitamin A pada balita dan anak-anak sangat berbahaya apabila dibiarkan karena dapat mengakibatkan kebutaan dan menghambat pertumbuhan. Oleh sebab itu, usaha untuk meningkatkan asupan vitamin A untuk anak-anak terus dilakukan, salah satu caranya adalah dengan cara meningkatkan asupan vitamin A pada ibu menyusui sehingga akan berdampak pada peningkatan konsentrasi vitamin A pada air susu ibu (ASI).

ASI baru dapat dihasilkan bila adanya sekresi hormon prolaktin. Pada masa kehamilan, sekresi hormon prolaktin terhenti sebagai efek dari peningkatan sekresi hormon estrogen dan progesteron. Setelah melahirkan sekresi hormon prolaktin baru dapat terjadi. Pada masa-masa awal setelah melahirkan, ASI belum dapat diproduksi, sebagai gantinya dihasilkan kolostrum, yaitu cairan berwarna kekuningan yang kaya akan antibodi. Sekresi hormon prolaktin dirangsang oleh gerakan menghisap yang dilakukan oleh bayi ketika menyusu. Ujung-ujung saraf pada areola akan terstimulir kemudian mengirim perintah ke hipotalamus untuk pelepasan hormon oksitosin yang bertanggung jawab terhadap pengeluaran air susu (Mader 2004). Anatomi payudara manusia disajikan pada Gambar 6.

(39)

Gambar 6. Anatomi payudara manusia (Riordan 2005)

Kandungan komponen zat gizi pada ASI dapat bervariasi tergantung dari masa menyusui, waktu menyusui, periode menyusui, status gizi ibu, umur ibu, umur bayi, rutinitas menyusui, paritas, perbedaan wilayah, musim, serta makanan ibu (Prentice 1996; Nascimento et al. 2002). Komponen yang menunjang sistem imun bayi terkandung di kolostrum, yaitu air susu yang banyak mengandung sekretori IgA, laktoferin, vitamin A, dan yodium (Prentice 1996). Kolostrum keluar pada tiga hingga lima hari setelah melahirkan.

Pada umumnya, ASI terdiri dari 80% air dengan osmolaritas yang sama dengan plasma. ASI mengandung 7 g/dL karbohidrat yang sebagian besar adalah jenis laktosa (5,5 – 6,0 g/dL). ASI juga mengandung setidaknya 80 jenis oligosakarida, yang didominasi oleh frukto-oligosakarida (FOS) dan galakto-oligosakarida (GOS) (Niers 2007). Komponen lainnya adalah protein sebanyak 0,9 g/dL, lemak sebanyak 3 – 4 g/dL. ASI hanya mengandung sepertiga dari komponen mineral yang terdapat pada susu sapi. Selain vitamin A, vitamin larut air lainnya juga dapat ditemui dalam ASI (Nascimento et al. 2002).

Protein yang terkandung dalam ASI terbagi atas dua jenis, yakni miscellar casein dan aqueous whey protein dengan komposisi 40:60. Komponen utama pada bagian miscellar casein adalah -kasein, sedangkan pada aqueous whey protein

adalah laktalbumin, laktoferin, albumin, dan sekretori IgA (sIgA) yang merupakan komponen immunoglobulin utama pada ASI. Laktoferin berperan dalam membawa dan mendorong absorpsi zat besi serta menghasilkan asam amino untuk penyerapan dan pencernaan (Prentice 1996).

Menurut Niers (2007), konsentrasi sIgA pada ASI bekisar antara 69–153 mg/100 kkal ASI. Sekretori IgA berperan dalam melindungi permukaan mukosa bayi terutama pada saluran pernafasan dan pencernaan (Araujo et al. 2005). Komponen sIgA memiliki fungsi sebagai bakterisidal, penetral virus, agregasi antigen dan pelindung sel epitel dari pelekatan bakteri (Abdulla 2005). Sekretori IgA melindungi bayi dari bakteri patogen seperti Escherichia coli, Vibrio cholerae, Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae, Clostridium dicille, Salmonella, jamur seperti

(40)

Tabel 8. Komponen antimikrobial dan perkembangan sistem imun pada ASI

Sumber : Chirico et al. 2008

ASI merupakan makanan utama bayi, oleh sebab itu salah satu metode yang dapat dilakukan untuk menentukan status vitamin A bayi secara tidak langsung adalah dengan mengukur kandungan vitamin A pada ASI (Gibson 2005). Ibu hamil dan menyusui yang mengalami defisiensi vitamin A tidak hanya berdampak terhadap kesehatan dirinya sendiri, tetapi juga terhadap kesehatan bayinya (Wallingford dan Underwood 1986; Underwood 1994). Ibu dengan status gizi yang baik, air susunya memiliki 1,92 µmol vitamin A per liter atau setara dengan 54 µg/dL. Sedangkan ibu-ibu di negara berkembang, pada umumnya hanya dapat memberikan vitamin A 1,05 µmol/L atau 30 µg/dL (Miller 2003). Komponen lipase yang terkandung di dalam ASI mempermudah bayi untuk mencerna vitamin A dari ASI dengan sempurna (Fredrickson 1978). Ross (2003) menyebutkan bahwa kandungan vitamin A pada ASI bervariasi tergantung pada status vitamin A ibu dan masa menyusui. Masa menyusui terbagi menjadi empat fase, yakni colostral (3-5 hari pertama setelah melahirkan), transitional (hingga akhir minggu ke-2), mature (selama masa menyusui penuh), dan involutional (akhir masa menyusui). Kolostrum ibu yang sehat memiliki vitamin A 151 µg/100 mL, ASI masa transisi 88 µg/100 mL, dan ASI

mature 75 µg/100 mL.

Uji Penggunaan di Rumah (Home Use Test)

Suatu metode ilmiah yang digunakan untuk mengukur, menganalisis, dan menginterpretasikan respon terhadap suatu produk berdasarkan yang ditangkap oleh indera manusia seperti pengelihatan, penciuman, perasa, peraba, dan pendengaran didefinisikan sebagai evaluasi sensori oleh Stone dan Sidel (2004). Lawless dan Heymann (1998) menambahkan bahwa terdapat tiga jenis metode evaluasi sensori, yaitu uji pembeda (difference test), uji deskriptif (descriptive test), dan uji afektif (acceptance and preference test). Deteksi terhadap ada atau tidaknya perbedaan dari produk-produk yang diuji dapat dilakukan melalui uji pembeda. Melalui uji pembeda juga kemampuan panelis dalam mendeteksi suatu sifat sensori dapat diukur. Uji pembeda sering dilakukan untuk mengetahui apakah konsumen dapat mendeteksi adanya perbedaan pada produk jika bahan bakunya diganti dengan jenis yang lain. Dalam uji deskriptif, dibutuhkan keahlian khusus oleh responden karena responden diminta untuk menilai dan menjelaskan perbedaan mengenai produk yang diujikan.

Komponen antimikrobial Komponen perkembangan sistem imun

 Immunoglobulin : sIgA, sIgG, sIgM

 Laktoferin : laktoferin B, laktoferin H

(41)

Metode evaluasi sensori yang ketiga adalah uji afektif yang dilakukan untuk mengetahui produk yang disukai atau produk yang lebih disukai oleh responden. Dalam uji afektif, responden diminta untuk memberi penilaian terhadap bahan pangan serta karakteristik tertentu yang membuatnya memberikan penilaian demikian. Uji afektif cenderung bersifat subyektif sehingga sebaiknya panelis yang bersikap ekstrim terhadap suatu bahan pangan tertentu tidak diikutsertakan (Chambers & Wolf 1996).

Uji afektif dapat dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan lokasi pengujian, yaitu pengujian di laboratorium (sensory laboratory test), pengujian di pusat konsumen (central location test), dan pengujian di rumah (Home Use Test = HUT). Kondisi pengujian di laboratorium dapat dikontrol oleh peneliti. Pengujian di pusat konsumen diselenggarakan di tempat umum seperti pusat perbelanjaan, pasar, atau rumah sakit. Pengujian di rumah merupakan kondisi pengujian yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti karena melibatkan kondisi natural dari konsumen dan produknya serta kondisi aktual dari penggunaan produk oleh konsumen (Ressurreccion 1998).

Hasil uji Home Use Test (HUT) dapat menggambarkan secara aktual pola konsumsi konsumen. Kondisi pengujian yang berada di rumah, tidak memungkinkan peneliti untuk mengontrol kondisi sehingga hasil uji HUT sangat variatif. Ukuran sampel yang digunakan dalam uji ini adalah antara 50 sampai 100 responden untuk setiap produk yang diujikan (Resurreccion 1998). Kedua produk diberikan secara bergantian untuk menghindari terjadinya kesalahan saat memberikan tanggapan pada

scoresheet (Meilgaard et al. 1999). Metode pengujian dengan HUT dapat digunakan untuk pengujian preferensi, penerimaan panelis, serta kinerja dari pemasaran (Moskowitz et al. 2012).

Selanjutnya, menurut Moskowitz et al. (2012), kelebihan dari HUT adalah produk diuji pada kondisi lingkungan yang aktual, yaitu pada saat penggunaan di rumah secara normal sehingga dapat dikatakan sebagai uji yang paling efektif. Respon yang diterima tidak hanya berasal dari panelis, tetapi juga seluruh anggota keluarga yang lain. Sedangkan Resurreccion (1998) mengemukakan bahwa kekurangan dari uji HUT adalah dibutuhkan waktu yang cukup lama dan memakan biaya cukup besar dalam pelaksanaannya. Selain itu, tidak adanya kontrol dari peneliti terhadap kondisi pengujian mengakibatkan data yang dihasilkan sangat bervariasi. Untuk mengantisipasi kekurangan tersebut, HUT harus dirancang dengan sesederhana mungkin, termasuk di dalamnya penggunaan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti pada kuesioner. HUT tidak dianjurkan untuk dilakukan pada banyak jenis produk karena semakin banyak produk, semakin rumit bagi responden untuk berpartisipasi dalam uji ini (Ressurreccion 1998).

Perilaku Konsumen

Gambar

Gambar 2. Diagram alir proses produksi minyak sawit mentah (MSMn)
Tabel 5. Perbedaan karateristik fraksi stearin dan olein
Gambar 3. Diagram alir proses produksi MSMTF
Tabel 6. Angka kecukupan gizi (AKG) vitamin A
+7

Referensi

Dokumen terkait