• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh hewan dalam jangka waktu tertentu (Parakkasi, 1999). Menurut Tillman et al. (1991), konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang digunakan oleh ternak dan zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan pokok dan untuk produksi hewan tersebut.

Gambar 12 menyajikan rataan konsumsi ransum puyuh periode grower dan layer. Hasil penelitian (Gambar 12) menunjukkan rataan konsumsi ransum puyuh periode grower berkisar 13,89-14,88 g/ekor/hari dengan umur puyuh 3-12 minggu. Kisaran ini sejalan dengan pernyataan Listyowati dan Roospitasari (2000) bahwa jumlah ransum yang dikonsumsi puyuh sebesar 8-15 g/ekor/hari. Kisaran konsumsi ransum puyuh periode layer sebesar 10,67-18,90 g/ekor/hari.

Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Superskrip yang berbeda pada grafik menunjukkan beda sangat nyata (P<0,01)

Gambar 12. Rataan Konsumsi Ransum Puyuh Periode Grower dan Layer

Gambar 12 memperlihatkan bahwa rataan konsumsi ransum periode layer relatif mengalami penurunan dari periode grower, kecuali pada perlakuan R3 (ransum yang mengandung kombinasi tepung daun katuk dan murbei). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan R3 (ransum yang mengandung kombinasi

14,45 14,28 14,88 13,90 12,35b 12,65b 10,67b 18,09a 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 R0 R1 R2 R3 K o ns um si Ra ns um g /ek o r/ha ri Perlakuan : Grower : Layer

tepung daun katuk dan murbei) yang tersarang pada periode layer memiliki pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap peningkatan rataan konsumsi ransum. Tingginya konsumsi ransum perlakuan R3 periode layer mengindikasikan bahwa kandungan nutrien yang masuk ke dalam tubuh ternak terakumulasi lebih banyak dan lebih palatable dibandingkan dengan ransum perlakuan lainnya. Rendahnya rataan konsumsi ransum pada perlakuan R3 periode grower menyebabkan puyuh kekurangan nutrien untuk persiapan bertelur sehingga asupan konsumsi meningkat seiring dengan kebutuhan nutrien yang dibutuhkan puyuh untuk periode layer.

Perlakuan R0 (ransum tanpa tepung daun) pada periode grower dan layer memberikan pengaruh yang sama terhadap rataan konsumsi ransum. Rataan konsumsi ransum perlakuan R0 merupakan rataan konsumsi ransum yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan kandungan serat kasar R0 lebih tinggi sebesar 1,08% dibandingkan dengan R1; 1,14% dari R2 dan 1,11% dari R3. Tingginya serat kasar menyebabkan ransum bulky sehingga laju pakan cepat namun nutrien yang diserap oleh usus halus puyuh kurang optimal. Selain itu, tingginya serat kasar pada perlakuan R0 menyebabkan rendahnya tingkat palatabilitas bagi puyuh. Menurut Starck dan Rahmaan (2003), gizzard dan usus halus pada puyuh memiliki sifat fleksibel sehingga mampu merespon pakan yang berserat tinggi. Dalam hal ini, puyuh pada masa perlakuan masih dapat menoleransi kandungan serat kasar ransum yang tergolong tinggi bagi unggas.

Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum diantaranya susunan ransum (komposisi nutrisi dalam ransum, formula ransum, level suatu bahan pakan yang digunakan dan kualitas pelet) dan manajemen (ketersediaan pakan dan air dalam kandang, sanitasi lingkungan, kepadatan kandang, kontrol terhadap penyakit), tetapi faktor yang paling berpengaruh untuk meningkatkan konsumsi ransum yaitu pengontrolan sumber stres dan penyakit (Fernet dan Gernat, 2006).

Konsumsi Protein

Konsumsi protein dihitung untuk mengetahui jumlah protein yang masuk ke dalam tubuh dan pemanfaatannya disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan. Konsumsi protein pada periode grower berkisar 3,70-4,03 g/ekor/hari sedangkan pada periode layer berkisar 2,66-4,61 g/ekor/hari. Hasil penelitian (Gambar 13)

memperlihatkan bahwa relatif terjadi penurunan rataan konsumsi protein dari periode grower ke layer, kecuali pada perlakuan R3 (ransum mengandung kombinasi tepung daun katuk dan murbei). Tingginya rataan konsumsi protein pada perlakuan R3 yang tersarang pada periode layer mengindikasikan bahwa ransum yang mengadung kombinasi tepung daun katuk dan murbei bersifat palatable bagi puyuh. Semakin tinggi konsumsi protein, protein yang masuk ke dalam tubuh puyuh akan terakumulasi lebih banyak dibandingkan dengan ransum lainnya yang tidak menggunakan tepung daun maupun penggunaan tepung daun (katuk dan murbei) secara tunggal pada ransum.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan R3 yang tersarang pada periode layer memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan rataan konsumsi protein. Hal ini sejalan dengan hasil analisis statistik konsumsi ransum yang memperlihatkan bahwa perlakuan R3 (kombinasi tepung daun katuk dan murbei) pada periode layer memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan konsumsi ransum.

Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Gambar 13. Rataan Konsumsi Protein Puyuh Periode Grower dan Layer

Berdasarkan analisis proksimat, kandungan protein kasar (PK) tepung daun katuk sebesar 30,68% sedangkan tepung daun murbei sebesar 20,96%. Penggunaan

3.70 4.01 4.03 3.83 2.93 3.29 2.66 4.61 0 1 2 3 4 5 6 R0 R1 R2 R3 K o ns um si P ro tein (g /ek o r/ha ri) Perlakuan : Grower : Layer

tepung daun katuk dan murbei dalam ransum puyuh juga bertujuan sebagai komponen penambah kandungan protein dalam ransum guna memenuhi kebutuhan asam amino untuk kebutuhan puyuh. Menurut Widodo (2005), fungsi protein meliputi banyak aspek, salah satunya yaitu sebagai komponen protein darah, albumin dan globulin yang merupakan zat yang diperlukan tubuh. Pada sumsum tulang belakang terdapat sel-sel yang disebut sel stem hemopoietik pluripoten yang merupakan asal dari seluruh sel-sel dalam sirkulasi darah. Pertumbuhan dan reproduksi sel stem diatur oleh bermacam-macam protein yang disebut penginduksi pertumbuhan (Guyton dan Hall, 2010). Semakin tinggi konsumsi protein, akan semakin banyak pula gugus protein yang digunakan oleh puyuh untuk maintenance tubuhnya maupun untuk fungsi-fungsi tubuh lainnya, seperti produksi (misalnya kandungan protein daging dan telur) dan reproduksi. Protein merupakan bahan dasar dalam erythropoiesis (proses pembentukan eritrosit) selain glukosa dan berbagai aktivator (Praseno, 2005).

Mineral Fe (besi)

Menurut Muchtadi (2001), zat besi merupakan komponen hemoglobin yang berfungsi mengangkut oksigen di darah menuju sel-sel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa, lemak, dan protein menjadi energi (ATP). Mineral Fe merupakan mikro elemen mineral yang terdapat di dalam darah. Darah dalam semua sel tubuh bertindak sebagai pembawa oksigen yang diperlukan sel dan karbondioksida dari sel ke paru-paru (Harper, 2006). Zat besi yang terkandung dalam bahan makanan dikenal dua jenis, yaitu besi heme dan non-heme (Patimah, 2007). Daun katuk dan murbei merupakan bahan makanan yang mengandung besi non- heme karena berasal dari golongan sayuran hijau.

Kandungan Fe dalam ransum berasal dari kandungan Fe setiap bahan pakan penyusun ransum. Mineral Fe diperlukan dalam proses pembentukan darah dan dapat terekspresi pada serum puyuh. Rataan konsumsi Fe puyuh periode grower dan layer tertera pada Tabel 6.

Rataan konsumsi Fe dipengaruhi oleh konsumsi ransum dan kandungan Fe dari bahan pakan penyusun ransumnya. Menurut Widodo (2005), kebutuhan zat besi puyuh periode grower sebesar 0,1 g/ekor/hari sedangkan pada layer sebesar 0,06

g/ekor/hari. Rataan konsumsi Fe puyuh periode grower berkisar 0,008-1,240 g/ekor/hari. Kisaran ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rataan konsumsi Fe puyuh periode layer (0,008-14,38 g/ekor/hari). Perlakuan ransum tanpa tepung daun (perlakuan R0) memiliki rataan konsumsi Fe yang berada dibawah kisaran normal kebutuhan puyuh yang mengindikasikan bahwa puyuh akan mengalami defisiensi Fe, baik pada periode grower maupun layer. Rataan konsumsi Fe yang paling tinggi yaitu pada perlakuan ransum yang mengandung 10% tepung daun katuk (perlakuan R1).

Tabel 6. Rataan Konsumsi Fe Puyuh Periode Grower dan Layer (g/ekor/hari)

Perlakuan Periode Rataan

Grower Layer R0 0,008±0,001 b 0,008±0,001 0,008±0,001 R1 1,240±0,111 a 1,163±0,234 1,202±0,173 R2 0,920±0,072 a 0,715±0,031 0,817±0,052 R3 0,625±0,026 a 0,863±0,005 0,744±0,015 Rataan 0,698±0,052 A 0,687±0,068 B 0,693±0,060 Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01).

Berdasarkan hasil perhitungan analisis laboratorium kandungan Fe tepung daun katuk dan murbei, kandungan Fe yang paling tinggi terdapat pada ransum yang mengandung 10% tepung daun katuk (periode grower dan layer), yang masing- masing berenilai 868,17 ppm dan 919,72 ppm. Hal ini menjadi indikator bahwa tepung daun katuk memiliki kandungan Fe yang lebih tinggi dibandingkan tepung daun murbei dan bahan pakan penyusun ransum lainnya.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rataan konsumsi Fe periode grower dinilai lebih baik dibandingkan periode layer. Ransum perlakuan yang tersarang pada periode grower memberikan pengaruh sangat nyata terhadap rataan konsumsi Fe puyuh. Ransum perlakuan yang mengandung tepung daun katuk dan murbei secara tunggal maupun kombinasi memberikan pengaruh yang sama terhadap rataan konsumsi Fe. Hal ini dikarenakan kandungan mineral Fe pada ransum yang

menggunakan tepung daun lebih tinggi dibandingkan ransum kontrol (ransum tanpa tepung daun).

Mineral besi (Fe) yang terkandung dalam pakan sangat berperan dalam pembentukan hemoglobin, mioglobin dan sitokrom melalui aktivitas pengangkutan, penyimpanan dan pemanfaatan oksigen. Mineral Fe akan berikatan dengan protein membentuk transferin dalam plasma darah. Jika dalam darah tidak terdapat transferin dalam jumlah cukup, akan terjadi kegagalan pengangkutan besi menuju eritroblas yang mengakibatkan penurunan sel darah merah yang mengandung lebih rendah kadar hemoglobinnya dibandingkan kondisi normal (Guyton dan Hall, 2010).

Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Gambar 14. Rataan Kandungan Fe Serum Puyuh Periode Grower dan Layer

Kandungan Fe juga terdapat pada serum puyuh, selain pada ransum. Serum adalah plasma darah tanpa fibrinogen. Serum terdiri dari mineral dan protein termasuk cairan elektrolit, antibodi, antigen, hormon, dan semua substansi eksogenus. Terdapat dua jenis protein yang utama dalam serum, yaitu albumin dan globulin. Pada hakekatnya serum mempunyai komposisi yang sama seperti plasma, kecuali fibrinogen dan serotonin yang tinggi (Ganong, 1998).

Secara deskriptif, pada Gambar 14 dapat diketahui bahwa serum yang mengandung Fe paling tinggi terdapat pada perlakuan R1 yang merupakan ransum dengan kandungan 10% tepung daun katuk . Hal ini sejalan dengan tren pada rataan

konsumsi Fe yang menunjukkan bahwa konsumsi Fe paling tinggi juga terdapat pada perlakuan ransum dengan penggunaan 10% tepung daun katuk (perlakuan R1). Tingginya kandungan Fe dalam tepung daun katuk (0,36%) mendukung bahwa penggunaannya dapat dijadikan sebagai bahan pakan sumber mineral Fe. Tingkat absorbsi besi pada usus berlangsung sangat lambat sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat diabsorbsi (Schalm, 2010) dan juga adanya pengaruh asam fitat yang mengikat mineral Fe.

Semua jenis sayuran hijau merupakan sumber utama zat besi non heme (Wahyuni, 2004). Zat besi (Fe) lebih mudah diserap di usus halus dalam bentuk ferro (Fe2+) (Sediaoetama, 2006) namun kandungan Fe dalam daun katuk dan murbei bersifat non-heme (besi anorganik yang kompleks) yang tidak mudah diserap karena sebagian Fe tidak larut akan membentuk khelat dengan senyawa fenolik (misalnya fitat dan tanin) yang terkandung dalam tanaman. Tingkat absorbsi Fe non heme ini hanya sebesar 5% (Mulyawati, 2003). Menurunnya kadar Fe pada serum dari periode grower ke layer pada perlakuan R0, R1 dan R3 mengindikasikan bahwa penyerapan zat besi kurang optimal pada periode layer dibandingkan periode grower. Kurang optimalnya penyerapan zat besi tersebut dikarenakan adanya penurunan konsumsi Fe (dari grower-layer) dan juga karena adanya pengalihan pemanfaatan zat besi untuk bertelur (produksi).

Eritrosit (Butir Darah Merah)

Eritrosit dikelilingi oleh suatu plasmalemma. Plasmalemma merupakan membran sel yang terdiri dari kira-kira 40% lipid (fosfolipid, kolestrol, glikolipid dan sebagainya), 50% protein dan 10% karbohidrat. Bagian dalam, eritrosit mengandung 33% hemoglobin (Junquera, 1997). Faktor yang juga mempengaruhi jumlah eritrosit dalam sirkulasi antara lain hormon eritropoietin yang berfungsi merangsang eritropoiesis dengan memicu produksi produksi proeritroblas dari sel-sel hemopoietik dalam sumsum tulang (Meyer dan Harvey, 2004).

Gambar 15 menyajikan rataan jumlah eritrosit puyuh periode grower dan layer. Kisaran rataan jumlah eritrosit puyuh periode grower sebesar 2,52-3,20 juta/mm3 sedangkan pada periode layer sebesar 2,72-3,45 juta/mm3. Menurut Strukie dan Griminger (1976), jumlah eritrosit pada puyuh betina normal sebesar 3,86

juta/mm3. Kisaran jumlah eritrosit puyuh selama perlakuan berada dibawah jumlah eritrosit puyuh betina normal.

Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Rendahnya jumlah eritrosit disebabkan oleh beberapa hal diantaranya rendahnya absorbsi zat besi yang terjadi di usus halus. Kandungan serat kasar yang tinggi pada ransum (13,26%-14,57%) menyebabkan laju pakan meningkat sedangkan penyerapan nutrien berlangsung sangat lambat. Selain itu, zat besi yang terkandung dalam pakan tergolong Fe non-heme yang tingkat absorbsinya hanya 5% karena berasal dari sumber nabati (Mulyawati, 2003). Dengan demikian, zat besi yang diabsorpsi oleh usus halus sangat rendah dan yang dimanfaatkan untuk homeopoiesis juga sangat terbatas sehingga eritrosit yang terbentuk pun tidak optimal.

Jumlah eritrosit yang berada dibawah nilai normal bagi puyuh betina mengindikasikan bahwa puyuh mengalami anemia. Anemia merupakan kondisi kurangnya eritrosit pada tubuh dan dapat terjadi karena minimalnya konsentrasi hemoglobin yang berarti juga sangat sedikit oksigen terangkut ke seluruh tubuh (Budiyanto, 2002). Fungsi utama eritrosit adalah untuk transpor hemoglobin, yang selanjutnya membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton dan Hall, 2010)

Gambar 15. Rataan Eritrosit Puyuh Periode Grower dan Layer

: Grower : Layer 3.05 2.52 3.18 3.20 2.94 2.72 2.99 3.45 0 1 2 3 4 R0 R1 R2 R3 J um la h E rit o sit (j uta /mm 3) Perlakuan

sehingga jika jumlah eritrosit pada puyuh rendah, asupan oksigen juga akan rendah dan dapat berimplikasi terhadap kelangsungan metabolisme tubuh.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa periode puyuh dan perlakuan ransum yang tersarang pada periode tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rataan eritrosit puyuh selama masa perlakuan. Tingginya kandungan protein dan zat besi dalam ransum dapat mendukung pembentukan eritrosit karena kedua nutrien tersebut merupakan elemen esensial pada homeopoiesis. Namun, penggunaan dedak padi yang cukup tinggi dalam ransum menyebabkan adanya pengaruh asam fitat terhadap pengikatan protein dan Fe. Adanya pengikatan ini menyebabkan protein dan Fe yang tersedia untuk eritropoiesis menjadi kurang optimal sehingga jumlah eritrosit puyuh berada dibawah jumlah eritrosit normal puyuh betina.

Jumlah eritrosit yang paling tinggi terlihat pada puyuh perlakuan R3 periode layer yaitu yang mendapat ransum dengan kombinasi tepung daun katuk dan murbei. Hal ini berbanding lurus dengan konsumsi proteinnya dan mengindikasikan bahwa semakin tinggi konsumsi protein, jumlah eritrosit yang diproduksi juga akan semakin tinggi. Protein dibutuhkan dalam homeopoiesis, yaitu berupa asam amino glisin.

Disisi lain, terjadi fluktuasi jumlah eritrosit puyuh yang disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi pembentukan eritrosit di dalam tubuh, diantaranya status kecukupan (protein dan Fe) gizi dan suhu lingkungan tempat tinggal. Suhu lingkungan saat pemeliharaan sangat fluktuatif, dengan kisaran 24- 38°C, sehingga turut mempengaruhi produksi eritrosit. Menurut Hassan etal. (2003), periode cekaman panas pada puyuh berkisar 34-36°C. Kondisi tersebut mengakibatkan produksi eritrosit pada semua perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan puyuh normal yang dipelihara pada kondisi tanpa cekaman panas.

Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin merupakan protein yang berperan utama sebagai pengangkut oksigen (O2) dari paru-paru ke seluruh jaringan badan, juga berperan dalam pengangkutan CO2 dan menentukan kapasitas penyangga dari darah (Campbell, 2004; Ganong, 1998; Sherwood, 2001). Molekul hemoglobin terdiri dari dua bagian, yaitu bagian globin dan heme. Bagian globin merupakan suatu protein yang terbentuk dari 4 rantai polipeptida yang berlipat-lipat. Heme merupakan gugus

netrogenosa non protein yang mengandung besi dan masing-masing terikat pada satu polipeptida (Sherwood, 2001). Hemoglobin merupakan kompleks protein dan besi (Rastogi, 2007). Globin merupakan komponen protein dan heme merupakan komponen besi non protein. Hemoglobin disintesis pada sel darah merah dari asam asetat dan glisin.

Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Gambar 16. Rataan Kadar Hb Puyuh Periode Grower dan Layer

Data pada Gambar 16 menyajikan bahwa rataan Hb puyuh periode grower lebih tinggi (12,89-14,10 g%) dibandingkan dengan periode layer (10,11-12,32 g%). Menurut Sturkie dan Griminger (1976), kadar hemoglobin pada puyuh betina normal yaitu 12,3 g%. Rataan hemoglobin puyuh secara umum berada dibawah kadar hemoglobin puyuh betina normal. Hal ini sejalan dengan data yang disajikan pada Gambar 15 bahwa puyuh pada masa perlakuan memiliki jumlah eritrosit yang lebih rendah dibandingkan dengan jumlah eritrosit puyuh betina normal.

Menurunnya kadar hemoglobin pada puyuh periode layer mengindikasikan bahwa nutrien yang terkandung dalam ransum akan dimetabolisme untuk persiapan bertelur dan masa produksi. Nutrien berupa protein dan mineral besi pun difokuskan untuk sintesis telur sehingga pembentukan hemoglobin tidak seoptimal pada masa

14.10 12.89 14.07 13.06 10.11 10.37 10.51 12.32 0 2 4 6 8 10 12 14 16 R0 R1 R2 R3 K a da r H b (g %) Perlakuan : Grower : Layer

grower. Dalam hal ini, puyuh pada masa grower membutuhkan asupan nutrien yang lebih tinggi dibandingkan pada masa layer.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa periode puyuh dan perlakuan ransum yang tersarang pada periode tidak memberikan pengaruh terhadap kadar hemoglobin puyuh masa perlakuan. Menurut Swenson (1984), hemoglobin dipengaruhi oleh jumlah eritrosit. Hemoglobin disintesis dalam pembentukan eritrosit (Schalm, 2010) sehingga ada kecenderungan jika jumlah eritrosit sedikit, kadar hemoglobin pun akan rendah. Jika kadar hemoglobin pada puyuh rendah, oksigen yang akan ditranspot ke bagian tubuh juga sedikit dan akan mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme mengingat pentingnya peran oksigen dalam metabolisme tubuh.

Hematokrit (PCV)

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase sel darah merah dalam 100 ml total darah. Pada hewan normal, PCV sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Menurut Colville dan Bassert (2002), nilai hematokrit dapat digunakan untuk melihat status anemia.

Berdasarkan Gambar 17 dapat diketahui bahwa kisaran hematokrit puyuh periode grower sebesar 39,30%-40,95% sedangkan pada periode layer 28,10%- 31,35%. Menurut Sturkie dan Griminger (1976), PCV pada puyuh betina normal sebesar 37%. Gambar 21 memperlihatkan bahwa persentase PCV periode grower lebih tinggi dibandingkan dengan periode layer. Kecenderungan ini seiring dengan data hemoglobin (Gambar 16).

Hasil analisis statistik menyatakan bahwa faktor periode memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase hematokrit namun tidak dipengaruhi oleh perlakuan ransum yang tersarang pada faktor periode tersebut. Berdasarkan uji beda rataan nilai tengah, dapat dinyatakan bahwa kadar PCV puyuh periode grower dinilai lebih baik meningkatkan persentase hematokrit dibandingkan pada periode layer. Dalam hal ini, metabolisme eritrosit (pemanfaatan protein dan Fe) puyuh periode grower lebih aktif dibandingkan layer sehingga jumlah sel darah merah per 100 ml total darahnya pun akan tinggi.

40,45a 40,95a 39,30a 40,20a 30,60b 28,10b 29,80b 31,35b 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 R0 R1 R2 R3 H em a to k rit (%) Perlakuan Keterangan :

R0 = ransum kontrol tanpa tepung daun katuk (TDK) dan tepung daun murbei (TDM) R1 = ransum mengandung 10% TDK

R2 = ransum mengandung 10% TDM

R3 = ransum mengandung 5% TDK dan 5% TDM

Superskrip yang berbeda pada grafik menunjukkan beda sangat nyata (P<0,01)

Gambar 17. Rataan Kadar Hematokrit Puyuh Periode Grower dan Layer

Bahasan Umum Hubungan Eritrosit, Hemoglobin dan Hematokrit

Pembentukan eritrosit diawali dengan berkembangnya sel stem hematopioetik di dalam sumsum tulang belakang. Sel ini akan terus membelah dan akan mengalami diferensiasi yang diawali proeritroblas hingga membentuk eritrosit yang matur. Pembentukan eritrosit (eritropoiesis) ini melibatkan beberapa komponen nutrien dan aktivator, diantaranya protein, glukosa, mineral (Fe, Cu, Zn) dan hormon eritropoietin. Dalam proses pembentukan eritrosit, sintesis hemoglobin (Hb) pun turut berlangsung sejak dalam proeritroblas. Sintesis Hb juga melibatkan komponen nutrien berupa protein dan mineral Fe sehingga molekul ini akan dapat mengikat oksigen. Mineral Fe yang telah diabsorbsi usus halus akan segera bergabung di dalam plasma darah yang nantinya akan berikatan dengan protein (membentuk feritin) (Schalm, 2010). Dalam hal ini, protein (glisin) dan mineral Fe merupakan komponen vital dalam homeopoiesis maupun eritropoiesis.

Hematokrit merupakan persentase jumlah eritrosit dalam 100 ml total darah. Persentase hematokrit yang semakin tinggi mengindikasikan bahwa jumlah eritrosit sebagai komponen total darah juga tinggi. Jumlah eritrosit yang tinggi juga mengindikasikan bahwa kadar Hb yang terkandung dalam darah tinggi sehingga

asupan oksigen ke seluruh tubuh tidak akan mengalami gangguan dan metabolisme berlangsung lancar.

Rataan eritosit puyuh periode grower dan layer yang disajikan pada Gambar 15 menunjukkan bahwa secara umum rataan tersebut masih berada di bawah jumlah eritrosit puyuh betina normal. Rataan eritrosit yang cenderung rendah ini akan berimplikasi pada hemoglobin puyuh karena sintesis hemoglobin berkaitan dengan eritropoiesis. Gambar 16 memperlihatkan bahwa rataan kadar Hb puyuh periode layer lebih rendah dibandingkan grower. Hal ini disebabkan komponen nutrien pembentuk Hb lebih difokuskan untuk periode produksi dan sintesis telur.

Jumlah sel darah merah, hematokrit atau hemoglobin dapat dijadikan sebagai petunjuk anemia. Jumlah eritrosit yang sedikit dan kadar hemoglobin yang rendah merupakan indikator bahwa puyuh masa perlakuan mengalami anemia. Colville dan Bassert (2002) mendefinisikan anemia adalah kondisi patologis disebabkan karena terjadinya penurunan kemampuan darah mengangkut oksigen.

Diagnosis tipe anemia dapat dilakukan dengan menghubungkan pengukuran jumlah sel darah merah, hematokrit dan hemoglobin terhadap derivatnya, diantaranya Mean Corpuscular Volume (MCV) dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). Istilah MCV mengkategorikan ukuran rata-rata eritrosit dengan cara membagi hematokrit dengan jumlah eritrosit. Sel yang memiliki ukuran normal disebut normositik, sel dengan ukuran kecil disebut mikrositik sedangkan sel dengan ukuran besar dinamakan makrositik (McGill Virtual Lab, 2009). Data MCV puyuh masa perlakuan disajikan pada Gambar 18.

Kisaran normal MCV pada puyuh yaitu 90-140 fl (Schalm, 2010). Berdasarkan Gambar 17, rataan MCV puyuh periode grower berkisar 126,14-234,44 fi sedangkan periode layer berkisar 95,10-147,69 fl. Secara umum ukuran eritrosit memiliki tipe normositik (ukuran sel dalam keadaan normal). Dalam hal ini, puyuh masa perlakuan dikategorikan mengalami anemia normositik.

Hasil analisis statistik menujukkan bahwa MCV nyata dipengaruhi oleh periode puyuh (P<0,05) dan tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan yang tersarang pada periode. Periode grower memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap tingginya MCV dibandingkan periode layer. Nilai MCV dipengaruhi oleh nilai

Dokumen terkait