• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di dua sekolah menengah atas Kabupaten Bogor bagian barat, yaitu SMA X dan SMA Y. Kedua sekolah merupakan sekolah negeri yang berakreditasi A. Kedua sekolah juga memiliki siswa yang sudah terbagi berdasarkan bidang studi yaitu IPA dan IPS.

Lokasi penelitian pertama adalah SMA X yang berjarak sekitar 75 km ke pusat Kabupaten Bogor. Akses menuju SMA X hanya dapat ditempuh dari satu arah saja, karena masih terhambat oleh jalan yang rusak dan kendaraan yang masih jarang. Kondisi sarana prasarana yang dimiliki oleh SMAX pada umumnya dalam kondisi baik, hanya terdapat beberapa kerusakan berat di Laboratorium IPA. Sarana dan prasarana SMA ini terdiri dari 25 ruang kelas, ruang BK, laboratorium biologi, laboratorium TIK, ruang multi media, ruang guru, ruang tata usaha, dan ruang perpustakaan. Kekurangan dari SMA ini adalah belum tersedianya laboratorium bahasa.

Lokasi penelitian kedua adalah SMA Y yang terletak 25 km dari pusat Kabupaten Bogor. Akses menuju SMA Y lebih mudah dibandingkan dengan SMA X, karena lokasi yang strategis tidak jauh dari jalan utama yang ramai dilalui oleh kendaraan umum. Keadaan sarana dan prasarana di SMA ini umumnya dalam kondisi baik dan lengkap, 20 ruang kelas, ruang BK, laboratorium IPA, laboratorium TIK, laboratorium Bahasa, ruang UKS, ruang guru, perpustakaan, dan ruang tata usaha.

Karakteristik Remaja

Masa remaja sering diartikan sebagai masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Hasil penelitian menunjukan bahwa hampir keseluruhan responden berada pada kategori remaja akhir (Papalia, Olds, & Fieldman 2008). Usia tertinggi responden adalah 18 tahun dan usia terendah adalah 15 tahun dengan rata-rata usia responden adalah 16.71 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah responden laki-laki dan perempuan berbeda yaitu 50 responden laki-laki dan 82 responden perempuan. Sebaran contoh menurut usia dan jenis kelamin disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin Usia Contoh Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan n % n % n % 15 Tahun 1 2.0 1 1.2 2 1.6 16 Tahun 16 32.0 32 39.0 48 36.3 17 Tahun 27 54.0 41 50.0 68 51.5 18 Tahun 6 12.0 8 9.8 14 10.6 Total 50 100.0 82 100.0 132 100.0 Rata-rata±std 16.71 ± 0.671 Min-maks 15-18

15

Karakteristik Keluarga

Menurut teori struktural fungsional, keluarga merupakan sebuah sistem yang terkait antar anggota keluarga di dalamnya. Setiap anggota keluarga memiliki peran dan tugas yang harus dijalankan oleh anggota keluarga untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat (Megawangi 1999). Karakteristik keluarga terdiri atas usia ayah dan ibu, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga.

Usia orang tua dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dewasa muda, dewasa madya, dan dewasa lanjut (Santrock 2007). Hasil penelitian menunjukan bahwa usia ayah contoh berkisar antara 32-69 tahun, sedangkan usia ibu contoh dalam penelitian ini berkisar antara 29-59 tahun. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar usia ayah dan ibu contoh termasuk dalam kategori dewasa madya yakni sebanyak 80.3 persen dan 53 persen.

Tabel 2 Sebaran keluarga contoh berdasarkan usia ayah dan ibu

Usia (tahun) Ayah Ibu

n % n %

Dewasa muda (20-40 tahun) 22 16.7 61 46.3

Dewasa madya (41-65 tahun) 106 80.3 70 53.0

Dewasa lanjut (>65) 1 0.7 0 0.0

Almarhum 3 2.3 1 0.7

Total 132 100.0 132 100.0

Rata – rata ± Std 47.6 ± 6.8 42.7 ± 6.9

Min – Max 32–69 29-59

Pendapatan keluarga pada penelitian ini dikonversikan kedalam pendapatan per kapita yang dihitung berdasarkan jumlah pendapatan ayah, ibu, dan anggota keluarga lain yang sudah bekerja per bulan dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan per kapita tersebut kemudian dimasukan kedalam kategori kemiskinan yang diambil berdasarkan garis kemiskinan Jawa Barat tahun 2014 yaitu sebesar Rp 285 706. Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata pendapatan per kapita per bulan keluarga contoh berada pada kisaran Rp 548 206. Sebanyak 62.9 persen contoh pada penelitian ini berasal dari keluarga tidak miskin atau berada di atas garis kemiskinan, sisanya sebanyak 31.7 persen termasuk dalam kategori miskin.

Tabel 3 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan per kapita

Pendapatan (Rp/kap/bl) n % Miskin 49 37.1 Tidak miskin 83 62.9 Total 132 100.0 Rata-rata ± std 548206 ± 512359.06 Min-Maks 7142.85-2500000

16

Lama pendidikan orangtua akan mempengaruhi cara orang tua menanamkan sikap, nilai hidup, minat, serta kepribadian anak. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum ayah menempuh pendidikan formal yang lebih lama dibandingkan ibu. rata-rata lama pendidikan ayah contoh adalah 9.17 tahun (std= 3.679), sementara ibu lebih rendah yaitu 8.44 tahun (std= 3.653). Lebih dari separuh ayah (55%) dan ibu (59%) menempuh pendidikan selama 6 tahun. Pendidikan terendah ayah dan ibu adalah tidak bersekolah yang mana jumlah ayah sebanyak 1 orang dan jumlah ibu sebanyak 5 orang. Lama pendidikan tertinggi yang dicapai ayah ibu contoh adalah perguruan tinggi yaitu 12.2 persen pada ayah dan 7.6 persen pada ibu. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama pendidikan orang tua

Lama Pendidikan Ayah Ibu

n % n % 0 tahun 1 0.7 5 3.8 ≤6 tahun 55 41.7 59 44.7 7-9 tahun 24 18.2 23 17.4 9-12 tahun 36 27.3 35 26.5 >12 tahun 16 12.1 10 7.6 Total 132 100.0 132 100.0 Rata-rata ± std 9.17±3.679 8.44±3.653 Min-maks 0-18 0-16

Hasil penelitian berdasarkan pekerjaan ayah contoh memperlihatkan bahwa terdapat 4 orang ayah berstatus tidak bekerja. Proporsi terbesar pekerjaan ayah adalah wiraswasta (31.1%), diikuti profesi ayah sebagai buruh (28.0%), dan pedagang (12.1%). Sementara itu, lebih dari separuh ibu dari contoh (78.8%) adalah ibu rumah tangga/ tidak bekerja. Profesi lain ibu sebesar 9.1 persen sebagai pedagang, 6.1 persen sebagai wiraswasta, dan 3.8 persen bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil serta profesi lainnya. Tabel 5 memperlihatkan lebih jelas sebaran ayah dan ibu berdasarkan jenis pekerjaan.

Tabel 5 Sebaran keluarga contoh berdasarkan jenis pekerjaan orang tua

Jenis Pekerjaan Ayah Ibu

n % n % Petani 5 3.8 0 0.0 Wiraswasta 41 31.1 8 6.1 Pegawai swasta 9 6.8 0 0.0 PNS 15 11.4 5 3.8 Pedagang 16 12.1 12 9.1 Buruh 37 28.0 0 0.0 Tidak bekerja 4 3.0 104 78.8 Lainnya 5 3.8 3 2.3 Total 132 100.0 132 100.0

Besar keluarga dalam penelitian ini merupakan keseluruhan jumlah anggota kelurga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lainnya

17 yang tinggal dalam satu rumah. Menurut kategori Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1998) kategori keluarga kecil berjumlah kurang atau sama dengan 4 orang, kategori keluarga sedang bejumlah 5-7 orang, dan kategori keluarga besar berjumlah lebih dari 7 orang. Sebagian besar (60.6%) contoh termasuk ke dalam tipe keluarga sedang. Rata-rata besar keluarga pada penelitian ini adalah 5.705 dengan jumlah anggota terkecil yaitu 2 orang hingga terbesar yaitu 11 orang. Data selengkapnya tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Besar Keluaga n % Kecil (≤4 orang) 34 25.8 Sedang (5-7 orang) 80 60.6 Besar (>7 orang) 18 13.6 Total 132 100.0 Rata-rata±std 5.705 1.84 Min-maks 2-11 Lingkungan Sekolah

Upaya sekolah dalam memfasilitasi tugas-tugas perkembangan siswa akan berjalan dengan baik jika sekolah tersebut dapat menciptakan iklim atau suasana pembelajaran yang sehat, efektif dan kondusif. Siswa yang merasa nyaman dengan lingkungan sekolah akan memiliki persepsi yang positif mengenai sekolah. Persepsi positif terhadap lingkungan sekolahnya akan membantu siswa memahami materi pelajaran dengan baik sehingga prestasi belajarnya pun lebih baik. Hasil uji deskriptif pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa lebih dari separuh remaja (68.9%) mempersepsikan lingkungan sekolah termasuk dalam kategori cukup dengan nilai rata-rata indeks lingkungan sekolah secara keseluruhan adalah 64.42. Secara keseluruhan persepsi remaja pada capaian kualitas lingkungan sekolah penelitian ini tidak terlalu tinggi.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan kategori lingkungan sekolah Kategori

Proses pembelajaran

Interaksi sekolah dengan orang tua

Peraturan dan sanksi sekolah Total n % n % n % n % Kurang (<60) 20 15.2 66 50 71 53.8 38 28.8 Cukup (60-80) 103 78.0 62 47 61 46.2 91 68.9 Baik (>80) 9 6.8 4 3.0 0 0 3 2.3 Total 132 100.0 132 100.0 132 100.0 132 100.0 Min-maks 39.83-91.86 26.67-93.33 38.46-79.48 39.06-86.45 Rataan ± std 67.44±7.26 58.13±12.64 59.73±7.73 64.42 ± 7.26 Proporsi siswa terbanyak dalam mempersepsikan lingkungan sekolah per dimensinya adalah dimensi proses pembelajaran di sekolah yang termasuk dalam

18

kategori cukup yaitu 78 persen dengan nilai rataan indeks sebesar 67.44. Sebagian besar remaja merasa bahwa proses pembelajaran di sekolah dapat membantu mereka mengetahui kemajuan belajarnya selama ini. Sebanyak 50 persen remaja perdesaan dalam penelitian ini mempersepsikan kerjasama antara pihak sekolah dengan orang tua sudah terjalin dengan baik, namun komunikasi yang terjalin antara pihak sekolah dengan orang tua contoh masih kurang (55.3%). Sementara itu, dimensi peraturan dan sanksi sekolah dipersepsikan oleh 53.8 persen sebagai dimensi kurang, dan tidak seorang siswa pun yang mempersepsikan dimensi tersebut pada kategori tinggi. Hal tersebut terlihat dari jawaban 65.2 persen contoh, yang berpendapat guru kurang cepat atau tanggap dalam hal menegur siswa yang melanggar aturan. Hal ini sejalan dengan penelitian Utami (2014), yang menemukan bahwa juga menemukan bahwa siswa masih menganggap bahwa peraturan dan sanksi yang diterapkan sekolah di wilayah perdesaan masih kurang.

Kecerdasan Sosial

Kecerdasan sosial berkaitan erat dengan cara seseorang untuk menyesuaikan diri dengan orang lain termasuk norma-norma kelompok, moral, dan tradisi orang lain. Menurut Raj dalam Wulandari (2009) mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai tingkat kecakapan dan kesadaran sosial yang telah dicapai individu terhadap norma tertentu. Tabel 8 memperlihatkan sebagian besar remaja dalam penelitian ini (79.5%) memiliki kecerdasan sosial yang dalam kategori cukup matang. Artinya, sebagian besar remaja perdesaan dalam penelitian ini sudah memiliki kemampuan yang cukup dalam berempati, mendengarkan orang lain, peduli, dan bersosialisasi dengan baik terhadap lingkungannya.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan kategori kecerdasan sosial Kategori

Kesadaran Sosial Keterampilan Sosial Total n % N % n % Kurang matang (<60) 21 15.9 22 16.7 17 12.9 Cukup matang (60-80) 99 75.0 91 68.9 105 79.5 Matang (>80) 12 9.1 10 14.4 10 7.6 Total 132 100.0 132 100.0 132 100.0 Min-maks 51.67-88.33 50.72-98.55 52.71-93.79 Rataan ± std 68.85±7.76 69.08±9.20 68.97±7.62

Kecerdasan sosial pada penelitian ini terdiri dari dua dimensi yaitu kesadaran sosial dan keterampilan sosial. Kesadaran sosial adalah kemampuan untuk dapat menyadari dan merasakan pikiran diri sendiri dan orang lain yang membantunya untuk menjalin suatu hubungan sosial. Kemampuan kesadaran sosial meliputi empati dasar, kemampuan mendengarkan, ketepatan empatik, dan pengertian sosial (Goleman 2007). Hasil penelitian menunjukan lebih dari separuh remaja memiliki kesadaran sosial pada kategori cukup matang. Lebih dari separuh

19 remaja menyenangi kebersamaan dengan teman dan bersedia menerima kesepakatan rapat bersama teman walaupun tidak sesuai dengan keinginannya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar remaja dalam penelitian ini sudah memiliki kemampuan mendengarkan dan pengertian sosial yang cukup baik, meskipun masih terbatas pada lingkungan pertemanan.

Dimensi lain dari kecerdasan sosial adalah keterampilan sosial. Keterampilan sosial adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mampu bergerak dan menjalankan interaksi yang efektif dengan orang lain. Hasil penelitian pada dimensi keterampilan sosial menunjukan bahwa lebih dari separuh remaja (68.9%) memiliki keterampilan sosial pada kategori cukup. Hal ini bermakna sebagian besar remaja pada penelitian ini telah melakukan tindakan sosial yang cukup baik dan sesuai terhadap lingkungannya. Sebagian besar remaja merasa bahwa mereka mampu mendengarkan keluh kesah teman, senang berada dalam situasi sosial, membantu teman yang membutuhkan bantuan, dan berupaya memahami orang lain. Selain itu, tidak ada seorang remaja penelitian ini yang menjawab kurang setuju atau sangat tidak setuju pada item pertanyaan “saya berusaha membantu teman yang sedang mengalami kesulitan”. Artinya bahwa remaja perdesaan dalam penelitian ini memiliki rasa tolong menolong dan kepekaan sosial yang baik.

Self-Esteem

Remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa. Masa ini remaja mulai mempunyai kesadaran yang mendalam mengenai diri (self). Remaja mulai meyakini adanya kemauan, potensi dan cita-cita yang dimilikinya. Kesadaran remaja yang mendalam mengenai diri ini membuat remaja mampu melakukan penilaian atau evaluasi terhadap diri yang disebut self-esteem (Santrock 2003). Self-esteem remaja pada penelitian ini menunjukan bahwa lebih dari separuh (57.6%) remaja memiliki self-esteem pada kategori sedang. Sebanyak 35.6 persen remaja yang memiliki self-esteem kategori rendah. Sisanya adalah remaja yang memiliki self-esteem kategori tinggi yaitu 6.8%. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori self-esteem

Self-Esteem n % Rendah(<60) 47 35.6 Sedang (60-80) 76 57.6 Tinggi (>80) 9 6.8 Total 132 100.0 Rata-rata±std 64.41±10.48 Min-maks 35.7-90.4

Sebagian besar remaja penelitian ini memiliki self-esteem dengan kategori tinggi mereka yang merasa dirinya berharga, merasa dirinya mempunyai sifat-sifat yang baik, selalu bersikap positif terhadap dirinya sendiri, merasa percaya diri dengan kemampuannya dan mampu berteman dengan siapa saja. Remaja dengan

20

self-esteem nya rendah mereka merasa gagal, tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan, merasa tidak diperhatikan oleh orang lain dan lebih baik tidak memiliki tanggung jawab untuk orang lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Emler (2001) bahwa individu yang memliki self-esteem yang rendah memiliki masalah dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

Prestasi Akademik

Prestasi akademik merupakan hasil penilaian yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu dan tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar (Sobur 2006). Menurut Suryabrata (2005) penilaian hasil belajar tersebut betujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa yang kemudian dirumuskan dalam bentuk angka. Tabel 10 menunjukan bahwa hampir seluruh remaja pada penelitian ini (92.4%) memiliki prestasi akademik dalam kategori baik. Sisanya memiliki prestasi akademik cukup (7.4%). Rata-rata nilai prestasi akademik penelitian ini adalah sebesar 3.20, dengan nilai terendah 2.82 dan tertinggi 3.49.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik

Prestasi Akademik n % Kurang (≤ 2.49) 0 0.0 Cukup (2.50-2.99) 10 7.6 Baik (3.00-3.49) 122 92.4 Sangat Baik (3.50-4.00) 0 0.0 Total 132 100.0 Rata-rata±std 3.20 ± 0.150 Min-maks 2.82-3.49

Hubungan Karakteristik Remaja, Karakteristik Keluarga, Lingkungan Sekolah, Kecerdasan Sosial, Self-esteem, dan Prestasi Akademik.

Hasil uji korelasi Pearson menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik remaja yang terdiri dari usia dan jenis kelamin dengan lingkungan sekolah, kecerdasan sosial, dan self-esteem. Hasil yang tidak jauh berbeda antara karakteristik keluarga yakni usia orang tua, lama pendidikan orang tua, besar keluarga, dan pendapatan keluarga juga menunjukan tidak terdapat hubungan signifikan dengan variabel lingkungan sekolah, kecerdasan sosial, dan self-esteem. Uji hubungan antara karakteristik remaja dan karakteristik keluarga dengan prestasi akademik menunjukan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan nyata positif dengan prestasi akademik (r= 0.293; p<0.010). Artinya, remaja perempuan di wilayah perdesaan berpeluang memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi dari remaja laki-laki. Pendapatan keluarga yang memiliki hubungan nyata negatif dengan prestasi akademik (r=0.234; p<0.01). Hal ini

21 menunjukan bahwa semakin besar pendapatan keluarga, maka berpeluang mengakibatkan prestasi akademik remaja perdesaan menjadi kurang optimal. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Koefisiensi korelasi antara karakteristik remaja dan keluarga dengan lingkungan sekolah, kecerdasan sosial, self-esteem dan prestasi akademik.

Hubungan Antarvariabel Lingkungan sekolah Kecerdasan Sosial Self-esteem Prestasi Akademik Karakteristik remaja Usia -0.021 -0.122 0.018 0.146 Jenis Kelamin 0.121 0.092 0.148 0.293** Karakteristik keluarga Usia ayah 0.122 -0.006 0.024 0.038 Usia ibu -0.128 0.099 -0.062 0.019

Lama pendidikan ayah 0.114 0.072 -0.007 -0.056

Lama pendidikan ibu 0.029 0.043 0.082 -0.080

Besar keluarga -0.031 -0.002 0.023 0.163

Pendapatan keluarga 0.096 0.088 0.009 -0.236**

Keterangan:

*=signifikan pada p<0.05; **=signifikan pada 0.01

Hasil uji hubungan memperlihatkan bahwa variabel lingkungan sekolah memiliki hubungan dengan kecerdasan sosial (r= 0.221; p<0.05) dan self-esteem (r= 0.292; p<0.01). Artinya semakin baik lingkungan sekolah maka semakin tinggi kecerdasan sosial dan self-esteem remaja. Variabel kecerdasan sosial dan self-esteem memiliki hubungan positif signifikan antara keduanya (r= 0.543; p<0.01). Hal ini bermakna bahwa semakin baik kemampuan remaja berdaptasi dengan lingkungan sosialnya maka self-esteem remaja akan lebih tinggi. Hasil berikutnya menunjukan hubungan antara lingkungan sekolah, kecerdasan sosial, self-esteem dan prestasi akademik. Terlihat bahwa terdapat hubungan signifikan positif antara prestasi akademik dengan variabel lingkungan sekolah (r=0.213; p<0.05) dan self-esteem (r= 0.256; p<0.01). Artinya, semakin baik lingkungan sekolah dan semakin tinggi self-esteem yang dimiliki remaja maka semakin tinggi prestasi akademiknya. Variabel kecerdasan sosial tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi akademik remaja. Hasil selengkapnya tertera dalam Tabel 12.

Tabel 12 Koefisiensi korelasi antara lingkungan sekolah, kecerdasan sosial, self- esteem dan prestasi akademik.

Hubungan Antarvariabel Kecerdasan Sosial Self-esteem Prestasi Akademik Lingkungan sekolah 0.221* 0.292** 0.213* Kecerdasan sosial 1.000 0.543** 0.149 Self-esteem 0.543** 1.000 0.256** Keterangan:

22

Pengaruh Karakteristik Individu, Karakteristik Keluarga, Lingkungan Sekolah, Kecerdasan Sosial, dan Self-Esteem terhadap Prestasi Akademik

Hasil uji regresi linier pada Tabel 13 menunjukan bahwa nilai koefisien determinasi yang sudah disesuaikan (Adjusted R Square) adalah sebesar 0.182. Artinya, sebanyak 18.2 persen prestasi akademik dipengaruhi oleh variabel yang digunakan dalam pengujian, sementara sebanyak 81.8 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar variabel yang ada pada model regresi ini. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi akademik pada penelitian ini adalah jenis kelamin, pendapatan keluarga dan lingkungan sekolah. Jenis kelamin (B=0.085) memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap prestasi akademik. Artinya, remaja perempuan akan cenderung menaikan prestasi belajarnya sebesar 0.276 poin. Pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang negatif nyata terhadap prestasi akademik (β= -7.331E-8). Hal ini bermakna bahwa setiap peningkatan satu rupiah pendapatan maka akan menurunkan prestasi akademik sebesar -7.331E-8. Berbeda dengan itu, variabel lingkungan sekolah memiliki pengaruh positif terhadap prestasi akademik remaja (β= 0.154). Artinya, setiap kenaikan satu skor kualitas lingkungan sekolah akan menaikan prestasi akademik siswa sebesar 0.154 poin. Sementara itu, hasil uji pengaruh pada variabel lama pendidikan ibu, besar keluarga, kecerdasan sosial dan self-esteem tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap prestasi akademik remaja di wilayah perdesaan.

Tabel 13 Pengaruh karakteristik keluarga, lingkungan sekolah, kecerdasan sosial, self-esteem terhadap prestasi akademik

Variabel Prestasi Akademik Koefisien Tidak Terstandarisasi (B) Koefisien Terstandarisasi ( Sig. Konstanta 2.839 - 0.000

Jenis kelamin (laki-laki=0; perempuan=1)

0.085 0.276 0.001***

Lama pendidikan ibu 0.002 0.042 0.645

Besar keluarga 0.007 0.082 0.392

Pendapatan keluarga -7.331E-8 -0.250 0.013**

Lingkungan Sekolah 0.003 0.154 0.067* Kecerdasan sosial 0.001 0.027 0.778 Self-esteem 0.002 0.153 0.121 F 5.167 Sig 0.000 0.226 R²Adjusted 0.182 Keterangan:

23

Pembahasan

Masa remaja bukan hanya sebagai tahapan yang penting dalam siklus kehidupan, tetapi juga sebagai periode membentuk kepribadian. Perkembangan remaja berfokus pada pembentukan identitas atau jati diri. Menurut Erikson (Santrock 2003) masa remaja berkaitan erat dengan perkembangan “sense of identity vs role confusion” yaitu perasaan atau kesadaran tentang jati dirinya. Perkembangan identitas pada remaja berkaitan erat dengan komitmennya terhadap okupasi masa depan, peran-peran masa dewasa dan sistem keyakinan pribadi (Cobb 2001). Apabila remaja gagal dalam pembentukan jati dirinya maka mereka akan mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan sehingga mereka akan mengalami kerancuan peran (role confusion). Erikson memandang pengalaman hidup remaja berada dalam keadaan moratorium, yaitu suatu periode saat remaja diharapkan mampu mempersiapkan dirinya untuk mempersiapkan masa depan dan mampu mengenali identitas dirinya. Salah satu cara remaja membentuk identitas dirinya adalah melalui pencapaian prestasi di bidang akademik.

Kebutuhan berprestasi merupakan salah satu motif yang berperan penting pada remaja. Hal ini di dikarenakan kebutuhan berprestasi yang tinggi akan mendorong remaja untuk berfokus pada pencapaian prestasi. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004) prestasi akademik yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal dari internal individu itu sendiri dan lingkungan disekitarnya. Proses pencapaian prestasi akademik pada penelitian ini digambarkan oleh karakteristik individu, karakteristik keluarga, lingkungan sekolah, kecerdasan sosial, dan self-esteem.

Beberapa studi penelitian menemukan bahwa perbedaan gender berpengaruh tehadap prestasi belajar (Jacobs et al. 2002; Linver et al. 2002; Salami 2013). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jenis kelamin berpengaruh tehadap prestasi akademik, dimana contoh perempuan cenderung menaikan prestasi akademiknya lebih besar daripada contoh laki-laki. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Joshi dan Srivastava (2009) yang menemukan bahwa prestasi akademik remaja perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Martono et al. (2009) perempuan lebih berprestasi daripada laki-laki dikarenakan perempuan lebih termotivasi dan bekerja lebih rajin daripada laki-laki dalam mengerjakan pekerjaan sekolah, kepercayaan diri perempuan lebih bagus daripada laki, dan perempuan lebih suka membaca dibandingkan laki-laki.

Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder remaja setelah lingkungan keluarga. Sekolah memiliki peranan penting dalam membantu remaja mencapai tugas perkembangannya. Upaya sekolah dalam memfasilitasi tugas-tugas perkembangan remaja akan berjalan dengan baik jika sekolah tersebut dapat menciptakan iklim atau suasana pembelajaran yang sehat, efektif dan kondusif. Bedasarkan hasil penelitian, lebih dari separuh (68.9%) remaja mempresepsikan lingkungan sekolah mereka berada pada kategori cukup, hanya 2.3 persen remaja yang berada dalam kategori baik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar remaja perdesaan dalam penelitian ini merasa suasana lingkungan sekolah mereka masih belum optimal, terutama pada dimensi interaksi sekolah dengan orang tua serta peraturan dan sanksi yang berlaku di sekolah. Sekolah selayaknya berkewajiban untuk menjalin hubungan komunikasi yang aktif dengan orang tua

24

murid, untuk memantau pembelajaran siswanya dirumah. Komunikasi yang terjalin antaraa sekolah dan orang tua juga dapat memberikan gambaran pada orang tua terkait perkembangan pendidikan anaknya. Selain itu, menurut Henson & Eller (1999) sekolah yang baik adalah sekolah yang memiliki peraturan dan disiplin yang adil dan jelas. Tidak ada toleransi terhadap pelanggaran yang terjadi. Meski demikian tetap menghindari kekerasan, penerapan disiplin dilakukan dengan tegas dan adil. Peraturan dan sanksi sekolah diberlakukan untuk mendisiplinkan dan mendidik siswa agar dapat mengubah perilaku siswa yang salah menjadi perilaku baik yang sesuai dengan norma. Terciptanya sikap disiplin belajar di sekolah akan mendukung proses kegiatan belajar mengajar yang ada, sehingga siswa akan dapat memperoleh prestasi yang baik.

Suasana lingkungan sekolah yang dirasakan oleh remaja merupakan hasil interaksi antara remaja dengan dengan semua faktor pendukung pembelajaran yang ada di sekolah. Siswa yang merasa nyaman dengan lingkungan sekolah akan memiliki persepsi yang positif mengenai sekolah, sehingga dapat memahami materi pelajaran dengan baik sehingga prestasi belajarnya pun lebih baik. Hasil penelitian menunjukan bahwa lingkungan nonfisik sekolah berpengaruh terhadap prestasi akademik remaja di perdesaan. Hal ini sejalan dengan penelitian Wang dan Holcombe (2012) bahwa persepsi yang positif terhadap lingkungan sekolah dapat mempengaruhi perilaku remaja, afeksi, dan keterkaitan kognisi di sekolah,

Dokumen terkait