• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Subjek

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah laki-laki dewasa yang tidak memiliki riwayat penyakit DM dalam keluarga dan memiliki status gizi normal berdasarkan nilai IMT. Untuk mempermudah memperoleh sampel, peneliti menetapkan populasi studi yang diambil adalah mahasiswa IPB berusia 20-30 tahun yang tidak memiliki penyakit diabetes mellitus dan memiliki status gizi normal. Karakteristik subjek disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik subjek

Nilai Statistik Karakteristik subjek Usia (tahun) Pendidikan (tahun) Pendapatan (Rp) IMT (kg/m2) Rata-rata ± SEM 22.8 ± 0.6 16 ± 0.3 1,059,091 ± 93,375.6 22.4 ± 0.6 Minimum 21 15 600000 18.8 Maksimum 26 18 1500000 24.8 Subjek < Rata-rata [n(%)] 5 (45.5%) 4 (36.4%) 9 (81.8%) 5 (45.5%) Subjek ≥ Rata-rata [n(%)] 6 (54.5%) 7 (63.6%) 2 (18.2%) 6 (54.5%)

Subjek berusia antara 21-26 tahun dengan rata-rata usia subjek adalah 22.8 ± 0.6 tahun. Sebagian besar subjek (54.5%) berusia di atas rata-rata usia subjek secara keseluruhan. Menurut Hurlock (2001) usia 21 tahun telah memasuki usia dewasa awal. Mengontrol kadar glikemia post-prandial sangat penting dilakukan subjek pada usianya sekarang untuk pencegahan terjadinya DM. Buruknya pola makan atau pola konsumsi yang terbentuk pada usia dewasa seperti tingginya asupan lemak dan gula serta rendahnya asupan serat merupakan manifestasi timbulnya penyakit-penyakit tidak menular seperti DM dan dislipidemia (WHO 2014). Berdasarkan Riskesdas 2012 prevalensi DM mulai meningkat pada usia 25 tahun (Kemenkes 2013). Draznin et al. (2011) mengungkapkan bahwa onset DM sudah dimulai pada saat usia remaja dan mencapai puncaknya pada usia dewasa.

Subjek telah menempuh pendidikan selama 20-26 tahun. Sebanyak 63.6 persen subjek telah menempuh pendidikan formal selama 16 tahun atau lebih. Subjek dalam penelitian ini merupakan mahasiswa tingkat akhir IPB jenjang pendidikan sarjana sebanyak delapan orang dan tiga orang lainnya mahasiswa pascasarjana (S2). Sebagian besar subjek berasal dari Departemen Gizi Masyarakat. Hal ini dikarenakan mahasiswa gizi sudah paham dan berpengalaman mengenai perlakuan yang akan diberikan kepada mereka. Atmarita dan Fallah (2004) berpendapat bahwa tingkat pendidikan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kemudahan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari. Tingkat pendidikan yang tinggi khususnya terkait dengan infromasi gizi dan kesehatan akan mendorong terbentuknya perilaku makan yang baik. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka orang tersebut memiliki akses yang lebih mudah dalam memperoleh informasi mengenai gizi sehingga akan mempunyai pengetahuan gizi yang lebih tinggi (Hardinsyah 2007). Chilton et al. (2006)

memaparkan bahwa tingginya tingkat pendidikan seseorang akan meningkatkan pengetahuan gizinya khususnya tentang DM. Orang yang berpendidikan tinggi juga cenderung memilih makanan yang murah, tetapi kandungan gizinya tinggi sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan. Dengan demikian, kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal dan keikutsertaan dalam pendidikan non-formal merupakan faktor yang penting dalam status gizi dan status kesehatan. Tingkat pendidikan merupakan salah satu prediktor penting dari pengetahuan terkait faktor risiko dan pencegahan DM (Shafaee et al. 2008). Semakin tinggi pengetahuan masyarakat akan membentuk kesadaran untuk memperbaiki gaya hidup agar dapat terhindar dari penyakit DM (Lorga et al. 2012).

Selain pendidikan, karakteristik subjek yang juga penting dalam kontribusinya terhadap gizi dan kesehatan adalah tigkat pendapatan. Menurut Sumarwan (2003) jumlah pendapatan menunjukkan besarnya daya beli seseorang dan dapat dijadikan indikator besarnya jumlah produk yang dapat dibeli. Kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi tidak lepas kaitannya dengan pendapatan. Peluang untuk memilih pangan yang baik akan meningkat dengan semakin besanya pendapatan. Sebagian besar subjek (81.8%) memiliki pendapatan per bulan kurang dari rata-rata (Rp 1,059,091 ± 93,375.6) yang berasal baik dari uang saku dari orang tua, beasiswa, maupun dengan bekerja freelance. Nilai rata-rata tersebut tidak jauh beda dengan hasil penelitian Noviarini (2015) bahwa rata-rata uang saku mahasiswa IPB baik yang berasal dari orang tua, beasiswa, ataupun bekerja adalah sebesar Rp 1,049,188. Semua subjek menggunakan sebagian besar pendapatan mereka untuk pengeluaran konsumsi pangan.

Status gizi dapat berpengaruh terhadap respon glukosa darah. Pada penelitian ini dipilih subjek dengan status gizi normal berdasarkan nilai IMT. IMT merupakan perbandingan berat badan dalam kilogram (kg) terhadap nilai kuadrat dari tinggi badan dalam meter (m2). Indeks tersebut tidak terikat pada jenis kelamin (Gropper et al. 2009). Subjek memiliki status gizi yang normal berdasarkan IMT yaitu pada rentang IMT 18.8-24.8 dengan rata-rata 22.4 ± 0.6. Sebanyak 54.5% subjek memiliki IMT 22.4 atau lebih.

Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi Makro

Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan baik secara tunggal maupun beragam yang dikonsumsi individu atau perlakuan tertentu. Konsumsi pangan seseorang dapat berpengaruh langsung terhadap status gizi orang tersebut. Asupan gizi makro yang diperoleh subjek dari konsumsi pangannya kemudian dibandingkan dengan kebutuhan gizinya sehingga diperoleh tingkat kecukupan gizi makro subjek. Hasil perhitungan tingkat kecukupan gizi tersebut kemudian dikategorikan. Tingkat kecukupan gizi dikatakan defisit tingkat berat jika tingkat konsumsi kurang dari 70%, defisit tingkat sedang jika konsumsi 70-79%, defisit tingkat ringan jika tingkat konsumsi 80-89%. Tingkat kecukupan dikatakan normal atau cukup jika 90-119% dan di atas kecukupan jika lebih dari 120% (Hardinsyah 2002). Asupan dan tingkat kecukupan gizi makro subjek dapat dilihat pada Tabel 7-10.

Energi

Mahan & Stump (2008) memaparkan bahwa kapasitas atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan disebut energi. Tabel 7 berikut menampilkan asupan dan kecukupan energi subjek.

Tabel 7 Asupan dan tingkat kecukupan energi subjek

Variabel Nilai Asupan energi (Kal) Rata2 ± SEM 2834 ± 54.6 Minimum 2452 Maksimum 3112 Tingkat kecukupan energi (%) Rata2 ± SEM 84.2 ± 2.6 Minimum 69.5 Maksimum 98.3 Kategori tingkat kecukupan energi [n(%)] Defisit berat 1 (9.1%) Defisit sedang 2 (18.1%) Defisit ringan 5 (45.5%) Normal 3 (27.3%) Lebih -

Berdasarkan Tabel 7 di atas, asupan energi subjek berkisar antara 2452- 3112 Kal dengan rata-rata 2834 ± 54.6 Kal. Nilai rata-rata asupan energi tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Noviarini (2015) yang menyatakan bahwa rata-rata asupan energi mahasiswa IPB adalah 1424 Kal. Selisih perbedaan yang cukup jauh tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin dan aktivitas subjek. Pada penelitian tersebut subjek terdiri atas perempuan dan laki- laki sedangkan pada peneltiian ini subjeknya hanya laki-laki. Subjek pada penelitian tersebut adalah mahasiswa yang masih padat jadwal perkuliahannya sedangkan pada penelitian ini subjek lebih banyak waktu luang karena sudah tidak ada lagi kegiatan perkuliahan. Padatnya jadwal perkuliahan diduga dapat mengurangi konsumsi pangan karena waktu yang cukup terbatas misalnya waktu makan siang dan tidak jarang mahasiswa yang sibuk dengan tugas kuliahnya melewatkan waktu makan.

Tingkat kecukupan energi subjek berkisar antara 69.5 hingga 98.3 persen dengan nilai rata-rata 84.2 ± 2.6 persen. Sebagian besar subjek mengalami defisit energi, yaitu 9.1 persen subjek defisit energi tingkat berat, 18.1 persen defisit sedang, dan 45.5 persen defisit ringan. Hanya 27.3 persen subjek yang tingkat kecukupan energinya tergolong normal. Menurut Noviarini (2015) sebagian besar mahasiswa IPB mengalami defisit energi tingkat berat dengan rata-rata kecukupan energi 64.4%. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan rata-rata kecukupan energi pada penelitian ini. Hal ini terjadi karena asupan energi subjek pada penelitian tersebut lebih rendah.

Subjek memperoleh energi dari karbohidrat, lemak, dan protein pada pangan yang dikonsumsinya. Energi yang tersedia pada zat gizi makro (karbohidrat, lemak, dan protein) terkunci dalam ikatan kimia pada makanan. Energi tersebut dilepaskan saat makanan dimetabolisme. Produksi energi di dalam sel terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama selama proses pencernaan dan penyerapan molekul seperti karbohidrat, lemak, dan protein dipecah menjadi bagian yang lebih kecil, misalnya protein dipecah menjadi asam amino. Pada

tahap kedua, molekul-molekul yang lebih kecil tersebut didegradasi menjadi komponen antara dua karbon, yakni asam asetat. Asam asetat kemudian didegradasi menjadi karbondioksida dan air. Selama proses katabolik tersebut energi dilepaskan membentuk adenosin trifosfat (ATP). ATP merupakan sumber energi utama dalam sel (Mahan & Stump 2008).

Asupan energi secara regular dalam jumlah yang cukup penting untuk memenuhi kebutuhan energi. Kebutuhan energi merupakan asupan energi harian yang dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan energi pada orang sehat sesuai dengan usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan tingkat aktivitas fisik agar tetap dalam kondisi sehat. Energi dikeluarkan dari tubuh manusia untuk memenuhi laju metabolisme basal, efek panas pangan, dan aktivitas thermogenesis. Laju meatbolisme basal (basal metabolic rate) merupakan energi yang dibutuhkan untuk menopang aktivitas metabolisme sel dan jaringan dalam rangka mempertahankan kelancaran sistem peredaran darah, pernapasan, gastrointestinal, dan kinerja ginjal. Peningkatan pengeluaran energi terkait dengan proses pencernaan, penyerapan, dan metabolisme pangan disebut efek panas pangan (thermic effect of food). Sementara itu, aktivitas termogenesis adalah pengeluaran energi selama proses latihan aktif (seperti fitness, aerobik, dll) dan pengeluaran energi selama kegiatan sehari-hari (Mahan & Stump 2008). Karbohidrat

Asupan karbohidrat yang cukup sangat penting untuk menjaga keseimbangan energi karena karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi tubuh (Almatsier 2010). Tabel 8 menyajikan asupan dan tingkat kecukupan karbohidrat subjek.

Tabel 8 Asupan dan tingkat kecukupan karbohidrat subjek

Variabel Nilai Asupan karbohidrat (g) Rata2 ± SEM 428.5 ± 13.7 Minimum 326.1 Maksimum 505.2 Tingkat kecukupan karbohidrat (%) Rata2 ± SEM 75.5 ± 3.0 Minimum 54.5 Maksimum 89.1 Kategori tingkat kecukupan karbohidrat [n(%)] Defisit berat 2 (18.2%) Defisit sedang 6 (54.5%) Defisit ringan 3 (27.3%) Normal - Lebih -

Tabel 8 menunjukkan bahwa asupan karbohidrat subjek paling sedikit adalah 326.1 g dan paling banyak 505.2 g dengan nilai rata-rata asupannya adalah 428.5 ± 13.7 g. Setelah asupan karbohidrat dibandingkan dengan kebutuhan karbohidrat subjek, diperoleh nilai tingkat kecukupan karbohidrat berkisar antara 54.5 sampai 89.1 persen dengan nilai rata-rata tingkat kecukupan karbohidrat 75.5 ± 3.0 persen. Semua subjek mengalami defisit karbohidrat. Lebih dari separuh total subjek (54.5%) mengalami defisit karbohidrat tingkat sedang, 18.2 persen

defisit berat, dan sisanya (27.3%) defisit karbohidrat tingkat ringan. Tidak ada subjek yang tingkat kecukupan karbohidratnya normal ataupun lebih.

Sebagian besar karbohidrat diperoleh dari makanan pokok. Makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi subjek adalah nasi putih. Pada beberapa subjek di waktu makan tertentu juga menjadikan mie, roti, dan sereal sebagai asupan sumber karbohidratnya. Rendahnya tingkat kecukupan karbohidrat subjek dapat disebabkan karena tingginya kebutuhan karbohidrat subjek, tetapi semua kebutuhannya tidak dapat tercukupi dalam porsi makan subjek.

Semua sumber karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti serealia dan umbi-umbian karena karbohidrat merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Sebagian besar bentuk karbohidrat tersusun oleh atom karbon, hidrogen, dan oksigen dengan rasio 1:2:1 atau dengan rumus umum molekul karbohidrat (CH2O)n. Karbohidrat menyediakan energi sebesar 4

Kal per gram (Almatsier 2010).

Berdasarkan strutkturnya, karbohidrat terdiri atas karbohidrat sederhana yang biasa disebut gula (monosakarida, disakarida, dan oligosakarida) dan karbohidrat kompleks (polisakarida). Monosakarida adalah perlakuan karbohidrat sederhana yang selama proses pencernaan tidak dapat dipecah lagi menjadi bentuk komponen lain (Shils et al. 2006). Monosakarida dapat memiliki tiga sampai tujuh atom karbon. Namun, monosakarida yang paling penting dalam diet manusia adalah monosakarida dengan enam karbon (hexose), yaitu: glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Ketiga monosakarida tersebut merupakan manifestasi bentuk karbohidrat yang dapat dicerna untuk selanjutnya diabsorpsi. Glukosa merupakan bentuk gula yang paling banyak terdapat di alam, biasanya merupakan komponen penyusun disakarida ataupun polisakarida. Glukosa merupakan molekul monosakarida yang berperan sebagai komponen utama penghasil energi (ATP) di dalam sel tubuh. Fruktosa merupakan monosakarida dengan tingkat kemanisan paling tinggi (Mahan & Stump 2008). Shils et al. (2006) mengutarakan bahwa fruktosa banyak terdapat pada buah-buahan. Galaktosa jarang ditemukan di alam dalam bentuk bebas, melainkan sebagai penyusun disakarida seperti laktosa.

Disakarida terdiri atas dua unit monosakarida yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Tiga jenis disakarida yang paling penting adalah sukrosa, laktosa, dan maltosa. Sukrosa merupakan gula yang paling sering digunakan sebagai gula meja. Disakarida tersebut terdiri atas fruktosa dan glukosa. Sukrosa dalam jumlah besar dapat ditemukan pada gula bit dan gula maple. Laktosa yang merupakan gula utama pada susu dan olahannya terdiri atas glukosa dan galaktosa. Maltosa terdiri atas dua molekul glukosa. Maltosa jarang ditemukan secara alami pada makanan melainkan terbentuk dari hasil hidrolisis polimer- polimer pati selama pencernaan. Maltosa banyak digunakan sebagai bahan tambahan pada produk-produk pangan tertentu. Oligosakarida terdiri atas 3 sampai 10 unit monosakarida, di antaranya adalah rafinosa dan stakiosa yang banyak terdapat pada kacang-kacangan dan tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan. Polisakarida merupakan karbohidrat dengan lebih dari 10 unit monosakarida. Tanaman menyimpan cadangan karbohidrat sebagai granula- granula pati. Ada dua jenis pati, yaitu: amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki molekul yang linear dengan berat molekul lebih kecil. Amilopektin memiliki berat molekul yang lebih besar dan bercabang sehingga keberadaannya di alam lebih melimpah. Proses pemasakan makanan berpati ini akan membuat

makanan lebih mudah dicerna karena lebih larut air, granula-granula pati mengembang, terjadi gelatinisasi pati, serta melunakkan dan memecahkan dinding sel tanaman (Mahan & Stump 2008).

Lemak

Lemak atau lipid yang merupakan salah satu zat gizi makro ini tersusun sebagian besar oleh karbon dan hidrogen dengan atom oksigen yang lebih sedikit dibandingkan karbohidrat (Gropper et al. 2009). Asupan dan tingkat kecukupan lemak subjek dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9 Asupan dan tingkat kecukupan lemak

Variabel Nilai Asupan lemak (g) Rata2 ± SEM 86.9 ± 2.1 Minimum 78.5 Maksimum 102.8 Tingkat kecukupan lemak (%) Rata2 ± SEM 92.7 ± 2.5 Minimum 82.3 Maksimum 106.4 Kategori tingkat kecukupan lemak [n(%)] Defisit berat - Defisit sedang - Defisit ringan 5 (45.5%) Normal 6 (54.5%) Lebih -

Rata-rata asupan lemak subjek pada penelitian ini adalah 86.9 ± 2.1 g dengan rentang asupannya antara 78.5 sampai 102.8 g. Sementara itu, nilai rata- rata tingkat kecukupan lemaknya adalah 92.7 ± 2.5 persen dengan nilai minimal

82.3 persen dan maksimal 106.4 persen. Lebih dari separuh total subjek (54.5%) mempunyai tingkat kecukupan lemak yang normal sedangkan sisanya (45.5%) masih mengalami defisit lemak tingkat ringan. Sumber lemak dominan yang diasup subjek adalah minyak goreng yang berasal dari minyak kelapa sawit. Konsumsi minyak goreng subjek sebagai bahan untuk menggoreng beberapa makanan seperti tahu, tempe, ikan, telur, ayam, pisang, dan bakwan, serta untuk menumis beberapa sayuran yang dikonsumsi subjek. Selain dari lemak pada makanan terutama pangan hewani dan minyak goreng, beberapa subjek juga memperoleh asupan lemak dari margarin dan santan.

Murray et al. (2003) memaparkan bahwa trigliserida merupakan lemak yang paling banyak terdapat pada makanan yang menjadi sumber energi bagi tubuh dengan menyediakan 9 Kal/g lipid. Lipid atau lemak juga merupakan bentuk simpanan energi terbanyak di dalam tubuh. Selain sebagai sumber energi, lipid juga memiliki fungsi penting lainnya bagi tubuh misalnya sebagai komponen struktural, lipid melindungi beberapa bagian tubuh dan untuk transport vitamin- vitamin larut lemak. Kelas lipid lainnya seperti fosfolipid merupakan komponen penting penyusun membran sel serta kolesterol sebagai penyusun beberapa hormon dan asam empedu.

Struktur dasar lipid adalah molekul gliserol tiga karbon dengan asam lemak yang menempel pada masing-masing karbon. Struktur tersebut secara

general disebut trigliserida. Lipid tidak larut dalam air, tetapi larut dalam beberapa pelarut organik seperti eter dan benzena. Berdasarkan strukturnya, asam lemak terbagi menjadi asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak jenuh tidak memiliki ikatan karbon ganda sedangkan asam lemak tidak jenuh memiliki satu atau lebih ikatan karbon ganda. Lemak hewani banyak mengandung asam lemak jenuh yang membuatnya bersifat padat pada suhu ruang. Minyak nabati yang sering dikonsumsi subjek melalui makanan gorengan/tumisan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga bersifat cair pada suhu ruang. Dua asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated faty acid-PUFA) yakni asam linoleat dan linolenat merupakan asam lemak penting yang bersifat essensial atau tidak dapat diproduksi oleh tubuh (Gropper et al. 2009).

Protein

Seperti halnya karbohidrat dan lemak, protein juga menyediakan energi bagi tubuh meskipun bukan sebagai sumber energi utama. Tabel 10 menampilkan asupan dan tingkat kecukupan protein subjek.

Tabel 10 Asupan dan tingkat kecukupan protein

Variabel Nilai Asupan protein (g) Rata2 ± SEM 65 ± 1.7 Minimum 51.9 Maksimum 72.3 Tingkat kecukupan protein (%) Rata2 ± SEM 104.6 ± 5.7 Minimum 83.1 Maksimum 144.6 Kategori tingkat kecukupan protein [n(%)] Defisit berat - Defisit sedang - Defisit ringan 2 (18.1%) Normal 6 (54.5%) Lebih 3 (27.3%)

Berdasarkan data pada Tabel 10, rata-rata asupan protein subjek adalah 65 ± 1.7 g. Nilai minimum asupan protein subjek adalah 51.9 g sedangkan nilai maksimumnya adalah 72.3 g. Menurut Noviarini (2015) rata-rata asupan protein mahasiswa IPB adalah 48.7 g. Nilai tersebut lebih rendah karena nilai asupan pangan secara keseluruhannya lebih rendah. Pada penelitian tersebut masih banyak subjek yang frekuensi makannya hanya dua kali sehari sedangkan pada penelitian ini hampir semua subjek frekuensi makan utamanya tiga kali sehari.

Cukup tingginya asupan protein subjek membuat tingkan kecukupan proteinnya pun cukup tinggi. Nilai rata-rata tingkat kecukupannya lebih dari 100 persen, yakni 104.6 persen dengan rentang kecukupannya 83.1 sampai 144.6 persen. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Noviarini (2015) yang mengungkapkan bahwa nilai rata-rata tingkat kecukupan protein mahasiswa IPB adalah 89.9 persen. Perbedaan tersebut tidak lain disebabkan perbedaan frekuensi makan subjek pada penelitian tersebut rata-rata hanya dua kali makan berat sedangkan pada penelitian ini hampir semua subjek makan berat tiga kali sehari. Sebagian besar subjek (54.5%) memiliki tingkat kecukupan protein yang

normal atau cukup bahkan ada yang tingkat kecukupan proteinnya lebih (27.3%). Akan tetapi, ternyata masih ada subjek yang mengalami defisit protein tingkat ringan (18.1%).

Asupan protein hewani subjek banyak diperoleh dari telur, ikan tongkol, ayam, ikan mas, dan ikan bandeng. Sementara itu, bahan pangan subjek yang banyak menyumbang protein nabati adalah tahu dan tempe. Subjek mengonsumsi tahu dan tempe terutama tahu goreng dan tempe goreng baik sebagai lauk maupun sebagai makanan selingan.

Satu gram protein menghasilkan 4 Kal energi. Selain sebagai sumber energi, protein juga merupakan penyusun struktur tubuh yang vital seperti hormon, enzim, protein transport di aliran darah, sistem kekebalan tubuh, pigmen penglihatan, dan menopang struktur di dalam tulang. Protein merupakan salah satu komponen penting yang ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan cairan serta keseimbangan asam dan basa. Dibandingkan dengan zat gizi makro lainnya, protein paling menimbulkan rasa kenyang setelah mengonsumsinya (Lejeune et al. 2005).

Secara molekuler, protein berbeda dengan karbohidrat dan lemak. Protein tidak hanya mengandung karbon, hidrogen, dan oksigen. Namun, protein juga mengandung nitrogen dan beberapa di antaranya juga mengandung sulfur. Satu molekul protein terdiri atas beberapa asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Molekul asam amino terdiri atas empat bagian, yakni: grup amina (NH2),

asam (COOH), hidrogen (H), dan dilengkapi oleh grup R. Grup R inilah yang membedakan antara asam amino yang satu dengan yang lainnya dan menentukan nama dari asam amino itu sendiri. Grup R tersebut di antaranya dapat berupa hidrogen, metil, atau sulfur (Shils et al. 2006).

Wardlaw & Hampl (2007) mengutarakan bahwa berdasarkan mampu atau tidaknya tubuh memproduksinya, asam amino diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: asam amino essensial, asam amino semi essensial, dan asam amino non essensial. Asam amino essensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga diperlukan asupan dari makanan. Asam amino yang tergolong esensial yaitu histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, dan valin. Isoleusin, leusin, dan valin merupakan asam amino dengan rantai bercabang (branched chain amino acid-BCAA). Asam amino semi essensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh, tetapi dalam kondisi tertentu jumlah sintesis asam amino tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan tubuh, misalnya pada balita yang sedang dalam masa pertumbuhan atapun pada orang dewasa dengan luka traumatik sehingga diperlukan asupan asam amino tersebut dari makanan. Arginin, sistein, glutamin, glisin, prolin, dan tirosin merupakan asam amino semi essensial. Sintesis asam-asam amino tersebut berasal dari asam amino lainnya. Sistein dapat disintesis dengan adanya metionin dan tirosin disintesis dari fenilalanin. Asam amino yang dapat disintesis tubuh dalam jumlah yang mencukupi disebut asam amino non essensial. Berikut adalah asam-asam amino non essensial: alanin, asparagin, asam aspartat, sistin, asam glutamat, dan serin.

Asupan dan tingkat kecukupan gizi makro baik energi, karbohidrat, lemak, maupun protein antar subjek berbeda-beda karena jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh subjek pun berbeda-beda. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan adalah tingkat kesukaan (preferensi pangan) dan faktor ekonomi (Harper et al. 1986). Tingkat konsumsi berdasarkan pendapat

Sedioetama (1996) lebih cenderung dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan menunjukkan adanya zat gizi yang dibutuhkan tubuh yang terdapat dalam bahan pangan. Sementara itu, kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan.

Menurut Harper et al. (1986) konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang berperan dalam penyediaan energi tubuh, pengaturan proses metabolisme, perbaikan jaringan tubuh, dan untuk pertumbuhan. Memperoleh asupan zat gizi terutama gizi makro atau memenuhi keinginan makan ataupun rasa lapar merupakan tujuan fisiologis dari konsumsi pangan. Selain tujuan tersebut, konsumsi pangan juga memiliki tujuan psikologis dan tujuan sosiologis. Tujuan psikologis memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sedioetama 1996).

Suhardjo & Riyadi (2009) memaparkan bahwa penilaian konsumsi pangan adalah mengukur jenis pangan yang dikonsumsi kemudian melakukan analisis terhadap kandungan gizinya. Jumlah zat gizi yang dikonsumsi dibandingkan

Dokumen terkait