• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Minuman Sari Tempe Terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial Pada Laki-Laki Dewasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Minuman Sari Tempe Terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial Pada Laki-Laki Dewasa"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MINUMAN SARI TEMPE TERHADAP RESPON

GLUKOSA DARAH

POST-PRANDIAL

PADA LAKI-LAKI

DEWASA

DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Minuman Sari Tempe terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial pada Laki-Laki Dewasa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Desiani Rizki Purwaningtyas

(4)

RINGKASAN

DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS. Pengaruh Minuman Sari Tempe terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial pada Laki-Laki Dewasa. Dibimbing oleh EVY DAMAYANTHI dan HADI RIYADI

Besaran masalah Diabetes Mellitus (DM) di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Padahal DM dapat menurunkan kualitas hidup dan usia harapan hidup serta meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Pengontrolan kadar glukosa darah post-prandial penting dilakukan untuk pencegahan DM karena hiperglikemia post-prandial merupakan kelainan awal metabolisme glukosa sebelum menjadi DM. Tempe mengandung beberapa komponen seperti protein dengan BCAA (Branched Chain Amino Acid) cukup tinggi, isoflavon khususnya genistein, dan serat pangan yang berpotensi untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Sari tempe dapat dijadikan alternatif untuk mengonsumsi tempe dengan lebih praktis.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa. Adapun tujuan khususnya adalah: 1) mengidentifikasi karakteristik subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan IMT; 2) mengidentifikasi asupan dan tingkat kecukupan gizi makro (energi, protein, lemak, dan karbohidrat), kebiasaan konsumsi isoflavon, serta aktivitas fisik subjek; 3) menganalisis pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah

post-prandial pada masing-masing perlakuan; 4) menganalisis pengaruh sari tempe dan susu sapi terhadap kadar glukosa darah post-prandial, luas AUC (Area Under Curve), dan skor glukosa; dan 5) menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon (genistein dan total isoflavon), dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial.

Desain penelitian ini adalah cross-over controlled trial yang terdiri atas tiga tahap intervensi yang dilakukan dengan metode tes toleransi glukosa oral (TTGO). Ada tiga perlakuan: kontrol (300 ml air putih + 75 g glukosa murni), susu sapi (300 ml susu sapi + 75 g glukosa murni), dan sari tempe (300 ml sari tempe + 75 g glukosa murni). Subjek berjumlah 11 laki-laki dewasa berusia 21-29 tahun yang merupakan mahasiswa IPB dan diambil menggunakan teknik

purposive sampling. Kriteria inklusinya adalah tidak memiliki penyakit serius (DM, kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit hati, dan penyakit ginjal), tidak ada riwayat keluarga penyandang DM, IMT normal (18.5-24.9 kg/m2), tidak memiliki intoleransi laktosa dan alergi protein susu dan protein kedelai, tidak merokok dan mengonsumsi minuman beralkohol, tidak mengonsumsi obat-obatan atau suplemen, serta bersedia menandatangani informed consent.

(5)

rata-rata, SEM (Standard Error of Mean), nilai minimum, dan nilai maksimum.

Repeated ANOVA dan uji lanjut Tukey digunakan untuk menganalisis pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah post-prandial. Sementara itu, pengaruh perlakuan terhadap kadar glukosa darah post-prandial, luas AUC, dan skor glukosa dianalisis berdasarkan hasil dari oneway ANOVAdan uji lanjut Tukey. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon, dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial.

Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata usia, tingkat pendidikan, pendapatan, dan IMT subjek secara berturut-turut adalah 22.8 ± 0.6 tahun; 16 ± 0.3 tahun; Rp 1,059,091 ± 93,375.6; dan 22.4 ± 0.6 kg/m2. Rata-rata tingkat kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat subjek secara berturut-turut adalah 84.2 ± 2.6; 104.6 ± 5.7; 92.7 ± 2.5; dan 75.5 ± 3.0 persen. Sebagian besar subjek mengalami defisit energi ringan (45.5% subjek) dan defisit karbohidrat tingkat sedang (54.5% subjek). Namun, lebih dari separuh subjek (54.5%) memiliki tingkat kecukupan lemak dan protein normal atau cukup. Rata-rata asupan genistein dan total isoflavon subjek per hari secara berturut-turut adalah 21.8 ± 2.7 mg dan 39.6 ± 5.1 mg. Pangan mengandung isoflavon yang paling sering dikonsumsi subjek adalah tahu dan tempe dengan rata-rata frekuensi 6.4 ± 1.8 dan 6.0 ± 0.9 per minggu. Sebagian besar subjek (63.6%) memiliki tingkat aktivitas fisik dalam kategori ringan dengan rata-rata nilai PAL 1.42 ± 0.02.

Semua perlakuan menghasilkan pola kurva glukosa darah yang sama hanya berbeda ketinggian antar perlakuan. Kurva mulai meningkat sejak awal dan mencapai puncaknya pada menit ke-30 lalu terus menurun hingga menit ke-120. Pada semua perlakuan, rata-rata kadar glukosa darah puasa (menit ke-0) signifikan lebih rendah daripada kadar glukosa darah post-prandial pada setiap waktu pengukuran. Rata-rata kadar glukosa darah perlakuan kontrol pada menit ke-30 signifikan lebih tinggi dibandingkan menit ke-15. Setelah menit ke-30, rata-rata kadar glukosa darah tidak berbeda nyata menit ke-15 dan 30. Kadar glukosa darah

post-prandial perlakuan susu sapi antar waktu pengukuran tidak berbeda nyata. Kadar glukosa darah puncak perlakuan sari tempe signifikan lebih tinggi dibandingkan pada menit ke-15, 60, 90, dan 120. Rata-rata kadar glukosa darah perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol pada menit ke-60, 90, dan 120 dan dibandingkan susu sapi pada menit ke-90 dan 120. Luas AUC perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol pada 0-90 dan 0-120 menit. Skor glukosa perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan susu sapi.

Rata-rata kadar glukosa darah dua jam post-prandial subjek setelah mengkonsumsi larutan 75 g glukosa murni adalah 114.1 ± 4.9 mg/dl. Tingkat kecukupan energi dan karbohidrat signifikan berhubungan positif dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial. Tingkat aktivitas fisik signifikan berkorelasi negatif dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial.

(6)

SUMMARY

DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS. Effect of Tempeh Milk on Post-Prandial Plasma Glucose Responses in Young Men). Supervised by EVY DAMAYANTHI and HADI RIYADI.

Magnitude of DM in Indonesia is worried enough. Whereas DM decrease quality of life and life expectancy and increase healthcare budget. Managing postprandal blood glucose is important for preventing DM because postprandal hyperglycemic is early glucose homeostatic disorder before to be DM. Tempeh contains any components like protein with high BCAA, isoflavon especially genistein, and dietary fiber which are potential to control blood glucose. Tempeh milk can be selected as alternative of tempeh consumption which more practically.

General objective of this study was to examine effect of tempeh milk on postprandial plasma glucose responses in young men. Spesific objectives of this study were to: 1) identify subject characteristics which include age, education level, income, and BMI; 2) identify intake and adequacy level of macronutrient (energy, protein, fat, and carbohydrate), isoflavone consumption habitually, and physical activity of subjects; 3) analyze effect of measuring time on postprandial plasma glucose levels in each group; 4) analyze effect of tempeh mlk and cow milk on postprandial plasma glucose levels, AUC, and glucose score; and 5) analyze correlation between macronutrient adequacy level, isoflavone intake (genistein and total isoflavone), and physical activity level with 2-h postprandal plasma glucose level.

The design of this study was cross-over controlled trial which consisted of three phase of intervention with used oral glucose tolerance test (OGTT) method. There were three group: reference (300 mineral water + 75 g pure glucose), cow milk (300 ml cow milk + 75 g pure glucose), and tempeh milk (300 ml tempeh milk + 75 g pure glucose). Eleven young men aged 21-29 years old who were Bogor Agricultural students volunteered in this study with purposive sampling. The inclusion criteria were no serious illness (DM, cancer, cardiovascular disorder, liver disease, renal failure, etc), no family history of DM, normal BMI (18.5-24.9 kg/m2), no lactose intolerance and allergy of cow milk and soy protein, no smoking and alcohol consumption, no use regular medications and supplements, and gave written informed consent.

(7)

AUC, and glucose score were analyzed by one-way ANOVA and Tukey’s multiple comparisons test. Pearson’s correlation test was used to analyze correlation between macronutrient adequacy and physical activity level with 2-h post-prandial blood glucose level.

This study showed that the mean ± SEM of age, education level, income, and BMI of subjects were 22.8 ± 0.6 years old; 16 ± 0.3 years; IDR 1,059,091 ± 93,375.6; and 22.4 ± 0.6 kg/m2 respectively. The mean ± SEM of energy, protein, fat, and carbohydrate adequacy level were 84.2 ± 2.6; 104.6 ± 5.7; 92.7 ± 2.5; dan 75.5 ± 3.0 percent. Most of subjects had mild energy deficit (45.5% subjects) and moderate energy deficit (54.5% subjects). But, more of half of subjects (54.5%) had normal (enough) protein and fat adequacy level. The mean ± SEM of genistein and total isoflavone intake of subjects per day were 21.8 ± 2.7 mg and 39.6 ± 5.1 mg. The most frequently isoflavone contained food consumption were tofu (6.4 ± 1.8 times per week) and tempeh (6.0 ± 0.9 times per week). Most of subjects (63.6%) had sedentary lifestyle with mean ± SEM of PAL value was 1.42 ± 0.02.

All group showed same trend of postprandial plasma glucose curve with different height. After ingestion reference and test drink, plasma glucose rise to the maximum after 30 min and decreased until 120 min. In all group, the mean of fasting plasma glucose level was significant lower than postprandial plasma glucose levels in each measuring time. In reference group the mean of plasma glucose level at 30 min was significant lower than 15 min. After 30 min,

postprandial plasma glucose levels weren’t significant with 15 and 30 min. In cow

milk group, postprandial plasma glucose levels among measuring time weren’t

significant different. In tempeh milk group, the peak plasma glucose level was significant higher than 15, 60, 90, and 120 min. The mean of postprandial plasma glucose levels of tempeh milk group were significant lower than reference group at 60, 90, and 120 min and significant lower than cow milk group at 90 and 120 min. AUC of tempeh milk group was significant lower than reference group at 0-90 min and 0-120 min. Glucose score of tempeh milk was significant lower than reference and cow milk.

The mean of 2-h postprandial plasma glucose level after ingestion 75 g pure glucose was 114.1 ± 4.9 mg/dl. Energy and carbohydrate adequacy level significantly related with 2-h postprandial plasma glucose level with positive correlation. Physical activity level significantly related with 2-h postprandial plasma glucose level with negative correlation.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

PENGARUH MINUMAN SARI TEMPE TERHADAP RESPON

GLUKOSA DARAH

POST-PRANDIAL

PADA LAKI-LAKI

DEWASA

DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Imu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan Kehadirat Allah Swt. atas limpahan karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang

berjudul “Pengaruh Minuman Sari Tempe terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial pada Laki-Laki Dewasa” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini: 1. Prof Dr Ir Evy Damayanthi, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir

Hadi Riyadi, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk memberikan bimbingan dan semangat dengan sangat bijak.

2. Prof Dr Ir Made Astawan, MS selaku penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku moderator pada ujian tesis atas saran dan masukan yang diberikan.

3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas beasiswa BPPDN (Beasiswa Porgram Pascasarjana Dalam Negeri) yang telah diberikan selama dua tahun. 4. Suamiku Sukma Arfianto atas dukungan materi, motivasi, dan bantuannya

dalam mengambil sampel darah, pelaksanaan penelitian, dan dalam penyusunan tesis beserta anakku tersayang Daidzein Tsaqib Arfianto yang selalu menjadi penyemangat dalam menyusun tesis dan menyelesaikan studi. 5. Ibu, mbah yayi, dan semua keluarga besar atas do’a, kasih sayang, dan

dukungannya baik secara moril maupun materil yang senantiasa dicurahkan untuk penulis.

6. Sahabatku Debby Nurfariza Putri, Nazhif Gifari, Fachruddin Perdana atas kebersamaan dan motivasinya selama menjalani perkuliahan, Kak Sanya Anda Lusiana dan Lutfi atas motivasi dan bantuannya selama seminar.

7. Teman-teman Pascarsarjana Gizi Masyarakat 2013 atas kebersamaan dalam suka maupun duka yang telah banyak memberikan pelajaran berharga untuk penulis.

8. Responden penelitian yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data penelitian.

9. Mba Nurul beserta staf Prodi Gizi Masyarakat lain dan staf-staf Sekolah Pascasarjana IPB atas arahan dan kemudahannya dalam mengurus administrasi.

10. Seluruh pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Tesis ini diharapkan bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2016

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Mellitus (DM) ... 5

Regulasi Glukosa Darah ... 6

Glukosa Darah Post-Prandial ... 7

Tempe ... 8

Isoflavon ... 10

Indeks Glikemik Pangan ... 13

Gizi Makro ... 14

Energi ... 14

Karbohidrat ... 14

Lemak ... 16

Protein ... 16

Penilaian Konsumsi Pangan ... 17

Metode Food Recall ... 18

Kecukupan Gizi ... 19

Aktivitas Fisik ... 19

KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

Desain Penelitian ... 23

Kriteria dan Cara Penarikan Subyek ... 25

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 26

Pengolahan dan Analisis Data ... 27

Definisi Operasional ... 32

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Subyek ... 34

Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi Makro ... 34

Energi ... 35

Karbohidrat ... 37

Lemak ... 39

Protein ... 40

Kebiasaan Konsumsi Isoflavon ... 43

Aktivitas Fisik ... 45

(14)

Respon Glukosa Darah Post-Prandial Perlakuan Susu Sapi ... 50

Respon Glukosa Darah Post-Prandial Perlakuan Sari Tempe ... 51

Pengaruh Perlakuan terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial ... 53

Luas AUC (Area Under Curve) Glukosa Darah ... 57

Skor Glukosa ... 59

Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi Makro, Asupan Isoflavon, dan Tingkat Aktivitas Fisik dengan Kadar Glukosa Darah Dua Jam Post-Prandial ... 62

KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan ... 64

Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN ... 72

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kriteria diagnosis gangguan glukosa darah ... 5

2. Kandungan isoflavon dalam bahan pangan ... 10

3. Nilai physical activity ratio (PAR) beberapa kegiatan ... 20

4. Variabel dan cara pengumpulan data ... 26

5. Pengkategorian dan analisis data ... 27

6. Karakteristik subyek ... 34

7. Asupan dan tingkat kecukupan energi subyek ... 36

8. Asupan dan tingkat kecukupan karbohidrat subyek ... 37

9. Asupan dan tingkat kecukupan lemak subyek... 39

10. Asupan dan tingkat kecukupan protein subyek ... 40

11. Frekuensi konsumsi pangan yang mengandung isoflavon ... 43

12. Asupan isoflavon subyek per hari ... 45

13. Tingkat aktivitas fisik subyek ... 46

14. Rata-rata luas AUC (Area Under Curve) glukosa darah ... 58

15. Rata-rata selisih luas AUC antar perlakuan ... 58

16. Hubungan tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon, dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial ... 62

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Perbandingan respon glukosa darah post-prandial penyandang DM dan orang non DM ... 8

2. Struktur kimia isoflavon genistein dan daidzein ... 11

(15)

4. Tahapan penelitian pengaruh minuman sari tempe terhadap

respon glukosa darah post-prandialpada laki-laki dewasa ... 24 5. Contoh perhitungan luas AUC glukosa darah... 30 6. Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM)

perlakuan kontrol (75 g glukosa murni) ... 47 7. Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM)

perlakuan susu sapi (300 ml susu sapi + 75 g glukosa murni)... 51 8. Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM)

perlakuan sari tempe (300 ml sari tempe + 75 g glukosa murni) ... 52 9. Pengaruh perlakuan terhadap respon glukosa darah

post-prandial ... 52 10. Pengaruh perlakuan terhadap skor glukosa ... 60

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Formulir informed consent ... 73 2. Surat izin etik penelitian (ethical approval) ... 74 3. Dokumentasi penelitian ... 75

(16)
(17)

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan nasional suatu negara dapat dilihat dari berbagai hal. Usia harapan hidup merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan nasional. Penyakit tidak menular (Non-communicable disease -NCD) merupakan masalah kesehatan yang dapat menurunkan kualitas hidup dan usia harapan hidup. Penyakit tidak menular tersebut banyak terjadi baik di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data WHO report on NCD sebanyak 67.9 persen kematian di dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular (WHO 2014).

Salah satu penyakit tidak menular yang perlu diwaspadai adalah diabetes mellitus (DM) khususnya DM tipe II. Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal (hiperglikemia)yang disertai gejala sering merasa lapar (polifagia), rasa haus yang berlebihan (polidipsi), dan sering kencing (poliuria) terutama di malam hari. Satu dari 11 orang dewasa di dunia mengalami DM dan 50 persen di antaranya tidak terdeteksi sejak dini. Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dalam jumlah orang dewasa dengan gangguan toleransi glukosa dan peringkat ketujuh dunia dalam jumlah orang dewasa yang mengalami DM (IDF 2015). Di Indonesia prevelensi penyandang DM meningkat hampir dua kali lipat yakni 1.1 persen pada 2007 menjadi 2.1 persen pada 2013 (Kemenkes 2013). Suyono (2006) menuturkan bahwa prediksi WHO akan terjadi peningkatan penyandang DM secara pesat di dunia dari 171 juta orang pada tahun 2000 menjadi 366 juta orang pada 2030. Berdasarkan hasil survey WHO pada 1995 Indonesia menempati peringkat ketujuh jumlah penyandang DM, yaitu 4.5 juta jiwa. WHO memproyeksikan jumlah tersebut akan naik menjadi 12.4 juta jiwa pada tahun 2025 dan menempati peringkat lima secara global.

Besaran masalah (magnitude) DM cukup mengkahawatirkan. Padahal, DM dapat menurunkan kualitas hidup manusia bahkan tidak jarang menimbulkan kematian. Pada perlakuan usia yang sama, penyandang DM memiliki risiko struk dua kali lipat. Diabetes merupakan penyebab utama gagal ginjal dan kebutaan karena retinopati. Penyandang DM membutuhkan biaya perawatan tiga kali lipat lebih besar dibandingkan orang tanpa DM dan rata-rata biaya perawatan mencapai 15 persen anggaran nasional biaya perawatan kesehatan (WHO 2014).

WHO (2014) juga memaparkan bahwa diet yang tidak sehat merupakan salah satu faktor risiko penyakit tidak menular termasuk DM tipe II. Diet tidak sehat yang merupakan faktor risiko DM tipe II adalah tingginya konsumsi pangan yang berdensitas energi tinggi, tinggi konsumsi lemak jenuh, dan rendahnya konsumsi serat pangan. Konsumsi pangan yang memiliki indeks glikemik tinggi juga akan mengarah pada kondisi hiperglikemia.

Diabetes dapat dicegah dengan mempertahankan kondisi glukosa darah dalam batas normal melalui konsumsi pangan. Salah satu pangan yang bermanfaat untuk mencegah terjadinya hiperglikemia adalah tempe kedelai (Ghozali et al.

(18)

yang terbuat dari kedelai melalui proses fermentasi menggunakan kapang

Rhizopus sp. Tempe adalah salah satu sumber protein nabati utama bagi masyarakat Indonesia. Harga tempe cukup terjangkau, tetapi tempe memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, salah satunya adalah untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Kandungan protein pada tempe kedelai dapat mengontrol kadar glukosa darah. Chang et al. (2008) menuturkan bahwa pemberian suplemen kedelai yang mengandung 23.9 g protein kedelai signifikan dapat menurunkan kadar glukosa darah post-prandial pasien DM. Menurut Gunnerud et al. (2012) pemberian minuman berbasis kedelai signifikan menurunkan kadar glukosa darah

post-prandial. Asam-asam amino pada protein tempe kedelai yang turut berperan sebagai agen antihiperglikemik adalah asam amino rantai bercabang/BCAA, yaitu: isoleusin, leusin, dan valin. Nilsson et al. (2004) memaparkan bahwa asam amino isoleusin, leusin, valin, lisin, dan treonin memiliki efek insulinogenik (pelepasan insulin). Selain itu dengan adanya proses fermentasi, protein pada tempe lebih mudah dicerna.

Di samping protein, isoflavon merupakan salah satu komponen pada tempe yang turut berperan sebagai agen antihiperglikemik. Isoflavon pada tempe juga telah mengalami degradasi akibat aktivitas kapang selama fermentasi sehingga mempunyai bioavailabilitas lebih baik dibandingkan isoflavon pada kacang kedelai (Astawan 2008). Cheng et al. (2008) suplementasi 100 mg isoflavon dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa. Menurut Lee & Lee (2001) senyawa isoflavon yaitu genistein akan menghambat enzim α-glukosidase

dan menghambat uptake glukosa di brush border usus halus. Menurut Astawan (2008) tempe juga banyak mengandung serat pangan. Serat akan membuat nilai indeks glikemik pangan menjadi lebih rendah. Pangan dengan indeks glikemik rendah baik untuk pencegahan ataupun pengendalian DM. Jadi terdapat beberapa komponen pada tempe dengan berbagai mekanisme aksi yang membuat tempe berpotensi mengendalikan kadar glukosa darah.

(19)

Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dikaji pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana karakteristik subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan IMT (Indeks Massa Tubuh)?

2. Bagaimana asupan dan tingkat kecukupan gizi makro (energi, protein, lemak, dan karbohidrat), kebiasaan konsumsi isoflavon, serta aktivitas fisik subjek? 3. Bagaimana pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah

post-prandial pada masing-masing perlakuan?

4. Bagaimana pengaruh perlakuan sari tempe dan susu sapi terhadap kadar glukosa darah post-prandial, luas AUC (Area Under Curve), dan skor glukosa? 5. Bagaimana hubungan antara tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon (genistein dan total isoflavon), dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial?

Tujuan Penelitian Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pemberian minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa.

Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan IMT?

2. Mengidentifikasi asupan dan tingkat kecukupan gizi makro (energi, protein, lemak, dan karbohidrat), kebiasaan konsumsi isoflavon, serta aktivitas fisik subjek.

3. Menganalisis pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah post-prandial pada masing-masing perlakuan.

4. Menganalisis pengaruh sari tempe dan susu sapi terhadap kadar glukosa darah

post-prandial, luas AUC (Area Under Curve), dan skor glukosa.

5. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon (genistein dan total isoflavon), dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial.

Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah:

H0 : Tidak terdapat perbedaan nyata antara efek perlakuan dan kontrol terhadap respon glukosa darah post-prandial.

(20)

Manfaat Penelitian

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes Mellitus (DM)

Diabetes mellitus merupakan serangkaian gangguan metabolisme glukosa yang ditandai tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia). Terdapat tiga jenis DM, yaitu: DM gestational, DM tipe I, dan DM tipe II. DM gestational merupakan peningkatan intoleransi glukosa yang terjadi pada saat hamil. Intoleransi tersebut akan hilang setelah melahirkan. DM tipe I (juvenile) terjadi karena kerusakan autoimun pada pankreas sehingga sel β pankreas tidak mampu menghasilkan insulin yang memadai (defisiensi insulin absolut) dan sebagian besar terjadi karena faktor genetik (ADA 2006).

Sementara itu, pada sebagian besar kasus DM tipe II terjadi kombinasi resistensi insulin dan kerusakan sel β pankreas. Tingkat insulin yang dihasilkan kemungkinan normal atau menurun, tetapi terjadi penurunan sensitivitas jaringan dalam merespon insulin (ADA 2006). Ada beberapa faktor risiko DM tipe II seperti genetik atau riwayat penyakit pada keluarga, usia tua, obesitas, diet yang tidak sehat, dan kurangnya aktivitas fisik. Pada DM tipe II terjadi pola sekresi dan kinerja insulin yang abnormal, penurunan uptake seluler glukosa, dan peningkatan kadar glukosa post-prandial (Price dan Wilson 2005).

Diagnosis klinis adanya diabetes dibuat berdasarkan pemeriksaan di laboratorium. Penyandang penyakit ini mengalami hiperglikemia (kadar glukosa darah di atas normal). Kriteria diagnosis DM, gangguan toleransi glukosa, dan gangguan glukosa puasa berdasarkan WHO (2006) dapat dilihat pada Tabel 1. Adanya DM juga ditandai dengan timbulnya glukosuria jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang kemampuan ginjal untuk glukosa. Hal tersebut menyebabkan peningkatan pengeluaran urin (poliuria). Oleh karena itu, akan timbul rasa haus yang berlebihan (polidipsi). Glukosa hilang bersama urin sehingga penyandang penyakit ini mengalami keseimbangan kalori negatif kemudian terjadi penurunan berat badan. Penyandang DM akan sering merasa lelah dan mengantuk. Rasa lapar yang berlebihan (polifagia) juga akan timbul karena kehilangan kalori (IDF 2015).

Tabel 1 Kriteria diagnosis gangguan glukosa darah Jenis pengukuran glukosa darah Kadar glukosa darah Normal

Glukosa darah puasa 60-109 mg/dl Glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl

Glukosa darah 2 jam post-prandial < 140 mg/dl (7.8 mmol/l) Gangguan glukosa puasa (impaired fasting glucose)

Glukosa darah puasa 110-125 mg/dl (6.1-6.9 mmol/l) Glukosa darah 2 jam post-prandial < 140 mg/dl (7.8 mmol/l) Gangguan toleransi glukosa (impaired glucose tolerance) Glukosa darah puasa < 126 mg/dl (< 7 mmol/l)

Glukosa darah 2 jam post-prandial 140-200 mg/dl (7.8-11.1 mmol/l) Diabetes Mellitus (DM)

Glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl (≥ 7 mmol/l) Glukosa darah 2 jam post-prandial ≥ 200 mg/dl (≥ 11.1 mmol/l)

(22)

Diabetes dapat menurunkan kualitas hidup manusia bahkan tidak jarang menimbulkan kematian. Tingginya kadar glukosa darah secara terus menerus akan merusak jaringan-jaringan tubuh sehingga pada orang DM dapat timbul berbagai macam komplikasi. Pada perlakuan usia yang sama, penyandang DM memiliki risiko struk dua kali lipat. Diabetes merupakan penyebab utama gagal ginjal dan kebutaan karena retinopati. Penyandang DM membutuhkan biaya perawatan tiga kali lipat lebih besar dibandingkan orang tanpa DM dan rata-rata biaya perawatan mencapai 15 persen anggaran nasional biaya perawatan kesehatan (WHO 2014).

Regulasi Glukosa Darah

Mahan & Stump (2008) memaparkan bahwa karbohidrat terabsorbsi ditransportasikan dalam bentuk glukosa melalui vena portal. Hati merupakan organ utama yang menerima glukosa darah portal. Sekitar 50 persen glukosa terabsobsi memasuki hati melalui non-insulin dependent transporter GLUT 2. GLUT merupakan salah satu fasilitator transport glukosa yangtidak tergantung pada ion natirum (Na). Hati membantu mengontrol jumlah glukosa yang memasuki aliran darah setelah makan. Pada kondisi glukosa darah yang tinggi, di dalam hati juga terjadi peningkatan sintesis glikogen, peningkatan glikolisis, dan fosforilasi glukosa oleh glukokinase, serta peningkatan sintesis asam lemak dan trigliserida. Sebaliknya, pada kondisi puasa atau kelaparan, di dalam hati akan terjadi pemecahan glikogen (glikogenolisis), peningkatan glukoneogenesis (pembentukan/sintesis glukosa yang berasal dari konversi asam amino dan asam laktat), oksidasi asam lemak, dan sintesis badan keton.

Selain hati, pankreas juga merupakan organ yang memiliki peranan penting dalam regulasi glukosa darah. Pankreas memproduksi dua hormon penting yang mengatur glukosa darah, yaitu: hormon insulin yang diproduksi oleh

sel β pulau Langerhans dan hormone glukagon yang diproduksi sel α pulau

Langerhans pankreas (Wardlaw & Hampl 2007). Pada saat terjadi peningkatan glukosa darah, insulin dilepaskan ke aliran darah. Insulin berikatan dengan reseptor sel jaringan perifer yang sensitif terhadap insulin (seperti sel otot dan adiposa) dan memfasilitasi glukosa memasuki sel-sel tersebut dengan bantuan

transporter GLUT 4. Di dalam hati, insulin memfasilitasi oksidasi glukosa dan sintesis glikogen serta menghambat glukoneogenesis. Jika asupan pangan berlebihan atau konsentrasi glukosa di dalam darah masih tinggi, insulin juga akan memfasilitasi sintesis asam lemak dan menyimpannya di sel adiposa. Dalam kondisi puasa atau kelaparan, pankreas melepaskan hormon glukagon. Hormon ini bekerja terutama di hati memfasilitasi glikogenolisis untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah. Ketiadaan insulin membuat glukagon menghambat oksidasi glukosa dan menstimulasi glukoneogenesis (Andrali et al. 2008).

(23)

glukosa darah yang rendah, epinefrin dan norepinefrin akan menstimulasi mobilisasi glikogen otot untuk diubah menjadi glukosa serta menstimulasi glukosa untuk melepaskan trigliserida yang kemudian akan diubah menjadi badan keton. Glukokortikoid kortisol merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal dalam kondisi puasa/kelaparan atau stress. Kortisol meningkatkan level glukosa darah terutama dengan cara menstimulasi terjadinya glukoneogenesis. Kortisol memudahkan pelepasan lemak dari jaringan adiposa dan asam amino dari otot yang merupakan substrat untuk sintesis ATP dan gluconeogenesis. Hormon pertumbuhan yang diproduksi oleh kelenjar pituitary anterior juga berperan dalam meningkatkan konsentrasi glukosa darah. Mekanisme kerjanya antagonis dengan insulin dengan mengurangi uptake glukosa seluler. Namun, hormon pertumbuhan meningkatkan uptake asam amino dan sintesis protein oleh semua sel. Hormon pertumbuhan juga meningkatkan mobilisasi lemak untuk dijadikan energi.

Glukosa Darah Post-Prandial

Packer & Sies (2008) mendefinisikan bahwa glukosa darah post-prandial

menunjuk kan kadar glukosa darah setelah konsumsi pangan. Peningkatan kadar glukosa darah post-prandial secara cepat dengan nilai yang tinggi mengindikasikan adanya hiperglikemia post-prandial. Studi-studi epidemiologi dan intervensi menunjukkan bahwa hiperglikemia post-prandial merupakan faktor risiko langsung dan independen untuk terjadinya penyakit kardiovaskular (Packer & Sies 2008). Hasil meta-analisis Levitan et al. (2005) menunjukkan bahwa kadar glukosa darah post-prandial juga berhubungan dengan risiko kematian karena penyakit kardiovaskular.

Mengacu pada CDC (2007) tes toleransi glukosa oral (TTGO) merupakan metode standar yang sering digunakan untuk pengukuran glukosa darah post-prandial. Metode tersebut cukup sederhana, yakni dengan pengukuran tunggal glukosa plasma setelah 2 jam konsumsi 75 atau 100 g glukosa murni. TTGO merupakan alat yang valid merepresentasikan metabolisme glukosa setelah konsumsi pangan. Pengukuran kadar glukosa darah dengan metode ini sebagian besar dilakukan dengan menggunakan metode finger prick capillary blood samples. Pembuluh darah kapiler pada jari tangan khususnya jari tengah dan jari manis dipilih karena darah yang diambil dari pembuluh kapiler mempunyai variasi kadar glukosa darah pada panelis yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh vena. Selain itu, pengukuran menggunakan pembuluh darah vena kurang memenuhi nilai etis penelitian (Ragnhild et al.

(24)

Sumber: Wardlaw & Hampl (2007)

Gambar 1 Perbandingan respon glukosa darah post-prandial penyandang DM dan orang non DM

Pola kurva standar glukosa darah post-prandial antara penyandang DM berbeda dengan orang non DM. Pada penyandang DM setelah mengonsumsi 75 g glukosa murni, kadar glukosa darah akan mencapai titik puncak yang lebih tinggi dibanding pada orang non DM. Puncak kadar glukosa darah pada orang sehat non DM normalnya maksimal 150 mg/dl. Sementara itu, pada orang DM puncak kadar glukosa darahnya bisa mencapai lebih dari 250 mg/dl. Setelah mencapai titik puncak, penurunan glukosa darah pada penyandang DM menunjukkan kurva yang lebih curam yang berarti laju penurunan kadar glukosa darahnya lebih cepat (Wardlaw & Hampl 2007).

Tempe

Muchtadi (2012) memaparkan bahwa tempe adalah pangan tradisional khas Indonesia yang umumnya terbuat dari kacang kedelai melalui proses fermentasi menggunakan kapang khususnya Rhizopus sp.. Proses fermentasi membutuhkan oksigen untuk metabolisme kapang dan pembentukan miselia yang yang menghubungkan biji-biji kedelai membentuk tekstur kompak pada tempe yang secara umum berwarna putih. Senyawa-senyawa kompleks yang terdapat pada kedelai akan dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih mudah dicerna selama proses fermentasi.

Dibandingkan kedelai, kadar zat antigizi pada tempe lebih rendah. Fitat yang dapat menghambat penyerapan beberapa mineral akan diuraikan menjadi inositol dan fosfat oleh enzim fitase yang dihasilkan selama fermentasi. Selain itu, bioavailabilitas beberapa zat gizi pada tempe seperti protein, beberapa vitamin B, dan isoflavon lebih mudah dicerna dibandingkan pada kedelai. Tempe merupakan pangan nabati dengan protein berkualitas tinggi dengan nilai PER hampir setara dengan beberapa pangan hewani (Muchtadi 2012).

Kadar protein tempe dan kedelai hampir sama. Namun, dari kedelai menjadi tempe terdapat peningkatan jumlah asam amino bebas. Hal tersebut terjadi karena kapang tempe menghasilkan enzim protease yang menghidrolisis

(25)

ikatan peptide pada protein menjadi asam amino bebas (Koswara 1992). Asam-asam amino yang mengalami peningkatan adalah arginine (Ghozali et al. 2010), treonin, metionin, leusin, dan lisin (Zamora & Veum 1998). Hasil penelitian Utari (2011) menunjukkan bahwa arginin merupakan asam amino yang dominan pada tempe. Tempe juga mengandung asam-asam amino rantai bercabang (branched chain amino acids-BCAAs). Minuman berbasis tempe mengandung 180.9 mg BCAA/g protein dengan rincian: 83.6 mg leusin, 48.3 mg isoleusin, dan 49 mg valin (Jauhari 2014).

Meskipun pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kandungan total isoflavon. Namun, senyawa isoflavon yang terdapat pada kedelai akan lebih mudah diserap setelah diolah menjadi tempe. Sebagian besar isoflavon pada kedelai tersedia dalam bentuk glikosida (terikat pada molekul glukosa), yaitu: genistin, daidzin, dan glycetin. Selama fermentasi terjadi hidrolisis enzimatis yang akan melepaskan molekul glukosa dari isoflavon dan dihasilkan isoflavon dalam bentuk aglikon (tidak terikat), yaitu: genistein, daidzein, dan glycitein. Bentuk aglikon tersebut lebih mudah diserap di dalam usus dibandingkan bentuk glukosida (Astawan 2008). Dalam 100 g tempe kukus mengandung 24.8 mg isoflavon. Sementara itu, menurut Surya (2011) 300 ml sari tempe mengandung 4.7 mg daidzein, 2.3 daidzin, 4.8 mg genistein, dan 3.5 mg genistin dengan jumlah total isoflavon sebesar 15.3 mg.

Tempe tidak hanya dijadikan sebagai lauk. Seperti halnya kedelai, pengolahan tempe juga dapat divariasikan menjadi minuman seperti minuman sari tempe atau yang biasa masyarakat awal menyebutnya dengan susu tempe. Pembuatan minuman sari tempe cukup mudah, yaitu meliputi pemotongan, perebusan tempe, penggilingan, penyaringan, penambahan bahan tambahan pangan jika diperlukan, perebusan sari tempe misalnya dengan metode pasteurisasi, dan pengemasan.

(26)

Isoflavon

Isoflavon merupakan senyawa fitokimia yang termasuk ke dalam golongan flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan. Isoflavon juga merupakan senyawa fitoestrogen yang dapat bertindak seperti hormon estrogen dengan berikatan pada reseptor estrogen karena memiliki struktur yang mirip dengan 17-β estradiol. Senyawa bioaktif ini dapat ditemukan pada pangan nabati seperti pada kacang-kacangan, beberapa sayuran dan buah-buahan. Kacang kedelai merupakan sumber utama isoflavon (Wang & Murphy 1994).

Ada dua bentuk isoflavon, yaitu bentuk glikosida yang terikat pada molekul glukosa dan aglikon yang dalam bentuk bebas. Sebagian besar pada tanaman mentah isoflavon yang ditemukan dalam bentuk tidak aktif karena terkonjugasi dengan molekul glukosa (glikosida) yaitu: genistin, daidzin, dan glycitin (Wiseman et al. 2002). Proses pengolahan dan fermentasi kedelai akan melepaskan molekul glukosa yang terikat pada isoflavon glikosida tersebut menghasilkan isoflavon aglikon. Sebagian besar isoflavon yang terdapat pada produk olahan kedelai adalah isoflavon dalam bentuk aglikon yang lebih mudah dicerna. Ada tiga jenis isoflavon aglikon, yakni: genistein, daidzein, dan glisitein. Isoflavon genistein dan daidzein merupakan bentuk biologis yang paling bermanfaat bagi kesehatan manusia (Muchtadi 2012). Struktur kimia isoflavon genistein dan daidzein dapat dilihat pada Gambar 2. Kandungan isoflavon pada bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan isoflavon dalam 100 g bahan pangan

Bahan Pangan Kandungan isoflavon aglikon (mg)

Genistein Daidzein Glisitein Total

(27)

Sumber: Pilsakova et al. (2010)

Gambar 2 Struktur kimia isoflavon genistein dan daidzein

Setchell et al. (2001) memaparkan bahwa selain proses pengolahan dan fermentasi, proses pencernaan juga akan mengubah isoflavon glikosida menjadi aglikon. Setelah dikonsumsi, isoflavon dalam bentuk glikosida akan dihidrolisa oleh bakteri β-glukosidase di dalam usus menjadi bentuk aktif (aglikon). Bentuk aglikon isoflavon tersebut diserap dari usus halus ke aliran darah. Degradasi isoflavon terjadi di dalam hati oleh reaksi glukuronidasi. Isoflavon diekskresikan lewat empedu yang kemudian diserap kembali oleh usus halus ataupun diekskresikan lewat urin. Sebagian besar genistein dan daidzein dieliminasi dari tubuh dalam jangka waktu 24 jam setelah konsumsi. Konsentrasi metabolit isoflavon dalam sirkulasi darah mencapai puncaknya pada satu sampai dua jam pasca kosumsi isoflavon. Menurut Gilbert & Liu (2013) konsentrasi isoflavon dalam darah mencapai puncaknya pada satu sampai dua jam dan empat hingga sepuluh jam pasca konsumsi isoflavon.

Isoflavon memiliki beberapa manfaat kesehatan, seperti kesehatan sistem reproduksi, kepadatan tulang, dan kesehatan sistem kardiovaskular termasuk dalam mengontrol kadar glukosa darah. Selain sebagai fitoestrogen, isoflavon

khususnya genistein juga merupakan inhibitor beberapa jenis enzim, seperti α -glukosidase, protein tyrosine kinase, dan DNA topoisomerase II. Genistein sebagai penghambat enzim tyrosine kinase juga mempunyai efek insulinotropik yang akan menambah sekresi insulin yang terstimulasi glukosa. Efek insulinotropik genistein tersebut tidak tergantung pada reseptor estrogen (Gilbert & Liu 2013).

Menurut Lee & Lee (2001) senyawa isoflavon yaitu genistein akan

menghambat enzim α-glukosidase sehingga menurunkan uptake glukosa di brush border usus halus. Hasil penelitian Cheng et al. (2004) menunjukkan bahwa suplementasi 100 mg isoflavon kedelai selama enam bulan dapat menurunkan kadar glukosa darah dan kadar insulin puasa pada wanita pascamenopause. Shim

et al. (2007) memaparkan bahwa ekstrak isoflavon bermanfaat bagi tikus yang diinduksi DM dalam memperbaiki toleransi glukosa dan menekan penurunan berat badan tanpa menimbulkan kerusakan pada hati dengan dosis 3 mg per kg berat badan. Penerapan diet rendah kalori dengan suplementasi genistein pada tikus obes selama empat minggu merupakan langkah yang efektif dalam mengontrol berat badan dan mempunyai efek hipoglikemik, hipolipidemik, dan aktivitas anti inflamasi (Shahi et al. 2012).

(28)

oleh variasi jumlah konsumsi kedelai dan produk-produk turunannya. Perbedaan jenis bahan pangan dan frekuensi konsumsi kedelai atau bahan pangan lain yang mengandung isoflavon pun mempengaruhi perbedaan jumlah asupan isoflavon. Frekuensi konsumsi makanan mempengaruhi jumlah banyaknya makanan yang dikonsumsi oleh individu karena akan berpengaruh terhadap jumlah asupan suatu zat gizi termasuk isoflavon (Zaddana 2014).

Indeks Glikemik Pangan

Rimbawan & Siagian (2004) memaparkan bahwa respon glukosa darah erat kaitannya dengan konsep indeks glikemik. Indeks glikemik (IG) pangan merupakan tingkatan pangan berdasarkan pengaruhnya terhadap kadar gula darah tubuh. Dengan kata lain, indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap pangan acuan atau pangan uji. indeks glikemik disusun untuk semua orang, yaitu: orang sehat, penyandang diabetes, atlet, ataupun penyandang obesitas. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik suatu pangan perlu diketahui untuk memberi petunjuk kepada efek faali pangan terhadap kadar gula darah dan respon insulin. Konsep indeks glikemik juga memberikan cara yang lebih mudah dan efektif untuk mengendalikan fluktuasi kadar gula (glukosa) darah. Dengan mengenal pangan khususnya sumber karbohidrat menurut IG-nya, seseorang dapat memilih jumlah dan jenis karbohidrat (pangan) yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan.

Menurut Thompson (2006) indeks glikemik bahan makanan berbeda-beda tergantung pada fisiologi. Miller et al. (1997) menggolongkan pangan menurut indeks glikemik. Berdasarkan nilai indeks glikemiknya, pangan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: pangan IG rendah, pangan IG sedang, dan pangan IG tinggi. Pangan IG rendah memiliki rentang indeks glikemik kurang dari 55. Sementara itu, pangan dengan IG sedang memiliki rentang indeks glikemik 55-70 dan pangan yang nilai indeks glikemiknya lebih dari 70 tergolong pangan dengan IG tinggi.

Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan (karbohidrat) ini cepat dan tinggi. Artinya bahwa kadar glukosa dalam aliran darah akan meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah. Indeks glikemik glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentuan IG pangan lain (Rimbawan & Siagian 2004).

(29)

bahwa keberadaan serat pada pangan juga sangat memberikan pengaruh pada kenaikan kadar gula darah. Sebaliknya, pangan dengan kadar lemak dan protein yang tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung dan cenderung memiliki IG yang lebih rendah dibandingkan pangan dengan lemak rendah. Di lain sisi, keberadaan zat-zat anti-gizi pada pangan akan menghambat terjadinya proses pencernaan sehingga dapat menyebabkan respon gula darah menjadi lambat.

Subjek yang diukur glukosa darahnya harus memiliki IMT normal dan tidak menderita diabetes. Orang yang gemuk cenderung cepat lapar karena kadar glukosa darah mereka cepat turun sebagai respon terhadap kebutuhan energi dan metabolisme basal yang lebih tinggi daripada orang yang lebih kurus. Pada penderita diabetes, hormon insulin yang ada di dalam tubuh tidakmencukupi atau tidak efektif sehingga tidak dapat mengatur kadar glukosa darah secara normal (Rimbawan & Siagian 2004).

Rimbawan & Siagian (2004) menguraikan hasil pengukuran ditebar pada dua sumbu, yaitu: sumbu x untuk waktu dan sumbu y untuk kadar gula darah. Data tersebut dapat diolah secara manual maupun menggunakan Micfrosoft Excel. Setelah diketahui grafiknya, dicari luas daerah bawah kurva (AUC-Area Under Curve) untuk bahan pangan uji dan bahan pangan acuan. Indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan. Perhitungan luas daerah di bawah kurva dilakukan dengan tiga metode, yakni: metode polynomial, trapezoid, dan luas bangun. Penghitungan luas daerah bawah kurva metode polynomial dilakukan dengan mengintegralkan persamaan kuadrat pangan uji dan pangan acuan dengan waktu sebagai batasnya. Perhitungan yang digunakan pada metode trapezoid adalah penjumlahan luas bangun trapesium yang dibentuk oleh kurva. Sementara itu, untuk memperoleh luas daerah bawah kurva pada metode luas bangun dilakukan dengan menghitung penjumlahan luas daerah diatas garis pada titik terendah. Nilai IG diperoleh dengan membandingkan luas daerah bawah kurva pangan uji dengan luas daerah bawah kurva pangan acuan dan kemudian dikali 100.

(30)

Gizi Makro Energi

Mahan & Stump (2008) memaparkan bahwa kapasitas atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan disebut energi. Manusia memperoleh energi dari karbohidrat, lemak, protein, ataupun alkohol pada pangan yang dikonsumsinya. Energi yang tersedia pada zat gizi makro (karbohidrat, lemak, dan protein) terkunci dalam ikatan kimia pada makanan. Energi tersebut dilepaskan saat makanan dimetabolisme. Asupan energi secara regular untuk memenuhi kebutuhan energi. Kebutuhan energi merupakan asupan energi harian yang dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan energi pada orang sehat sesuai dengan usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan tingkat aktivitas fisik agar tetap dalam kondisi sehat. Energi dikeluarkan dari tubuh manusia untuk memenuhi laju metabolisme basal, efek panas pangan, dan aktivitas thermogenesis. Laju metbolisme basal (basal metabolic rate) merupakan energi yang dibutuhkan untuk menopang aktivitas metabolisme sel dan jaringan dalam rangka mempertahankan kelancaran sistem peredaran darah, pernapasan, gastrointestinal, dan kinerja ginjal. Peningkatan pengeluaran energi terkait dengan proses pencernaan, penyerapan, dan metabolisme pangan disebut efek panas pangan (thermic effect of food). Sementara itu, aktivitas termogenesis adalah pengeluaran energi selama proses latihan aktif (seperti fitness, aerobik, dll) dan pengeluaran energi selama kegiatan sehari-hari.

Produksi energi di dalam sel terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama selama proses pencernaan dan penyerapan molekul seperti karbihidrat, lemak, dan protein dipecah menjadi bagian yang lebih kecil, misalnya protein dipecah menjadi asam amino. Pada tahap kedua, molekul-molekul yang lebih kecil tersebut didegradasi menjadi komponen antara dua karbon, yakni asam asetat. Asam asetat kemudian didegradasi menjadi karbondioksida dan air. Selama proses katabolik tersebut energi dilepaskan membentuk adenosin trifosfat (ATP). ATP merupakan sumber energi utama dalam sel (Wardlaw & Hampl 2007).

Karbohidrat

Karbohidrat merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Sebagian besar bentuk karbohidrat tersusun oleh atom karbon, hidrogen, dan oksigen dengan rasio 1:2:1 atau dengan rumus umum molekul karbohidrat (CH2O)n. Karbohidrat menyediakan energi sebesar 4 Kal per gram.

(31)

monosakarida yang berperan sebagai komponen utama penghasil energi (ATP) di dalam sel tubuh. Fruktosa merupakan monosakarida dengan tingkat kemanisan paling tinggi (Mahan & Stump 2008). Keim (2006) mengutarakan bahwa fruktosa banyak terdapat pada buah-buahan. Galaktosa jarang ditemukan di alam dalam bentuk bebas, melainkan sebagai penyusun disakarida seperti laktosa.

Disakarida terdiri atas dua unit monosakarida yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Tiga jenis disakarida yang paling penting adalah sukrosa, laktosa, dan maltosa. Sukrosa merupakan gula yang paling sering digunakan sebagai gula meja. Disakarida tersebut terdiri atas fruktosa dan glukosa. Sukrosa dalam jumlah besar dapat ditemukan pada gula bit dan gula maple. Laktosa yang merupakan gula utama pada susu dan olahannya terdiri atas glukosa dan galaktosa. Maltosa terdiri atas dua molekul glukosa. Maltosa jarang ditemukan secara alami pada makanan melainkan terbentuk dari hasil hidrolisis polimer-polimer pati selama pencernaan. Maltosa banyak digunakan sebagai bahan tambahan pada produk-produk pangan tertentu. Oligosakarida terdiri atas 3 sampai 10 unit monosakarida, di antaranya adalah rafinosa dan stakiosa yang banyak terdapat pada kacang-kacangan dan tidak dapat dicerna leh enzim-enzim pencernaan. Polisakarida merupakan karbohidrat dengan lebih dari 10 unit monosakarida. Tanaman menyimpan cadangan karbohidrat sebagai granula-granula pati. Ada dua jenis pati, yaitu: amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki molekul yang linear dengan berta molekul lebih kecil. Amilopektin memiliki berat molekul yang lebih besar dan bercabang sehingga keberadaannya di alam lebih melimpah. Proses pemasakan makanan berpati ini akan membuat makanan lebih mudah dicerna karena lebih larut air, granula-granula pati mengembang, terjadi gelatinisasi pati, serta melunakkan dan memecahkan dinding sel tanaman (Mahan & Stump 2008).

Pencernaan karbohidrat secara enzimatik mulai terjadi di dalam mulut

dengan adanya enzim α-amilase yang dikeluarkan oleh kelenjar saliva. Ikatan α -1.4 glukosida dihidrolisis menjadi dekstrin oleh α-amilase pankreas. Namun, proses tersebut berlangsung singkat sehingga jumlah karbohidrat yang dicerna dalam mulut minimal. Enzim amilase menjadi inaktif ketika makanan memasuki lambung dengan keasaman yang tinggi (pH:1-2). Di dalam duodenum dengan pH

tujuh atau lebih, pencernaan karbohidrat diteruskan. Enzim α-amilase dilepaskan oleh pankreas untuk memecah dekstrin menjadi maltose, maltotriosa, dan limit dekstrin (untuk dekstrin yang berasal dari amilopektin). Maltosa dipecah menjadi dua molekul glukosa oleh enzim maltase dari getah pankreas dan mukosa intestinal. Enzim 1.6 glukosidase memecah cabang dekstrin. Laktosa dipecah oleh mukosa intestinal menjadi glukosa dan galaktosa. Sukrase yang juga dihasilkan mukosa intestinal berperan dalam memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Wardlaw & Hampl 2007).

(32)

hati melalui vena porta. Di dalam hati, galaktosa dan fruktosa diubah menjadi glukosa. Sebagian fruktosa juga menjadi senyawa intermediate pada proses glikolisis. Hati melepaskan glukosa ke aliran darah untuk ditransportasikan ke seluruh tubuh seperti otak, ginjal, dan jaringan adiposa. Hati juga dapat mengubah glukosa menjadi glikogen dan mensintesis lemak tergantung jumlah asupannya.

Lemak

Lipid mengacu pada lemak (fat) dan minyak (oil). Lemak merupakan lipid yang berbentuk padat sedangkan minyak berbentuk cair pada suhu ruangan. Lipid tersusun sebagian besar oleh karbon dan hidrogen dengan atom oksigen yang lebih sedikit dibandingkan karbohidrat. Struktur dasar lipid adalah molekul gliserol tiga karbon dengan asam lemak yang menempel pada masing-masing karbon. Struktur tersebut secara general disebut trigliserida. Lipid tidak larut dalam air, tetapi larut dalam beberapa pelarut organik seperti eter dan benzena. Berdasarkan strukturnya, asam lemak terbagi menjadi asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak jenuh tidak memiliki ikatan karbon ganda sedangkan asam lemak tidak jenuh memiliki satu atau lebih ikatan karbon ganda.Lemak hewani banyak mengandung asam lemak jenuh yang membuatnya bersifat padat pada suhu ruang. Minyak nabati banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga bersifat cair pada suhu ruang. Dua asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated faty acid-PUFA) yakni asam linoleat dan linolenat merupakan asam lemak penting yang bersifat essensial atau tidak dapat diproduksi oleh tubuh (Gropper et al. 2005).

Murray et al. (2003) memaparkan bahwa trigliserida merupakan lemak yang paling banyak terdapat pada makanan yang menjadi sumber energi bagi tubuh dengan menyediakan 9 Kal/g lipid. Lipid juga merupakan bentuk simpanan energi terbanyak di dalam tubuh. Selain sebagai sumber energi, lipid juga memiliki fungsi penting lainnya bagi tubuh misalnya sebagai komponen struktural, lipid melingdungi beberapa bagian tubuh dan untuk transport vitamin-vitamin larut lemak. Kelas lipid lainnya seperti fosfolipid merupakan komponen penting penyusun membran sel serta kolesterol sebagai penyusun beberapa hormon dan asam empedu.

Protein

Secara molekuler, protein berbeda dengan karbohidrat dan lemak. Protein tidak hanya mengandung karbon, hidrogen, dan oksigen. Namun, protein juga mengandung nitrogen dan beberapa di antaranya juga mengandung sulfur. Satu molekul protein terdiri atas beberapa asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Molekul asam amino terdiri atas empat bagian, yakni: grup amina (NH2),

asam (COOH), hidrogen (H), dan dilengkapi oleh grup R. Grup R inilah yang membedakan antara asam amino yang satu dengan yang lainnya dan menentukan nama dari asam amino itu sendiri. Grup R tersebut di antaranya dapat berupa hidrogen, metil, atau sulfur (Shils et al. 2006).

(33)

Asam amino essensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga diperlukan asupan dari makanan. Asam amino yang tergolong esensial yaitu histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, dan valin. Isoleusin, leusin, dan valin merupakan asam amino dengan rantai bercabang (branched chain amino acid-BCAA). Asam amino semi essensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh, tetapi dalam kondisi tertentu jumlah sintesis asam amino tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan tubuh, misalnya pada balita yang sedang dalam masa pertumbuhan atapun pada orang dewasa dengan luka traumatik sehingga diperlukan asupan asam amino tersebut dari makanan. Arginin, sistein, glutamin, glisin, prolin, dan tirosin. Sintesis asam-asam amino tersebut berasal dari asam amino lainnya. Sistein dapat disintesis dengan adanya metionin dan tirosin disintesis dari fenilalanin. Asam amino yang dapat disintesis tubuh dalam jumlah yang mencukupi disebut asam amino non essensial. Berikut adalah asam-asam amino non essensial: alanin, asparagin, asam aspartat, sistin, asam glutamat, dan serin.

Seperti halnya karbohidrat dan lemak, protein juga menyediakan energi bagi tubuh meskipun bukan sebagai sumber energi utama. Satu gram protein menghasilkan 4 Kal energi. Selain sebagai sumber energi, protein juga merupakan penyusun struktur tubuh yang vital seperti hormon, enzim, protein transport di aliran darah, sistem kekebalan tubuh, pigmen penglihatan, dan menopang struktur di dalam tulang. Protein merupakan salah satu komponen penting yang ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan cairan serta keseimbangan asam dan basa. Dibandingkan dengan zat gizi makro lainnya, protein paling menimbulkan rasa kenyang setelah mengkonsumsinya (Lejeune 2005).

Penilaian Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan baik secara tunggal maupun beragam yang dikonsumsi individu atau perlakuan tertentu dalam rangka pemenuhan kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis yaitu upaya memenuhi keinginan makan ataupun rasa lapar atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sedioetama 1996). Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang berperan dalam penyediaan energi tubuh, pengaturan proses metabolisme, perbaikan jaringan tubuh, dan untuk pertumbuhan. Konsumsi pangan seseorang dapat berpengaruh langsung terhadap status gizi orang tersebut (Suhardjo & Riyadi 2009).

(34)

Suhardjo & Riyadi (2009) memaparkan bahwa penilaian konsumsi pangan adalah mengukur pangan yang dikonsumsi kemudian melakukan analisis terhadap kandungan gizinya. Jumlah zat gizi yang dikonsumsi dibandingkan dengan kebutuhan (anjuran) makan sehari sesuai umur, jenis kelamin dan aktivitas. Penilaian konsumsi pangan dilakukan dengan cara survei. Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan individu, keluarga atau perlakuan orang baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, penilaian konsumsi pangan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif berguna untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara-cara memperoleh makanan tersebut. Metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kualitatif antara lain: metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon, dan metode pendaftaran makanan (food list). Sementara itu, metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lainnya. Metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kuantitatif antara lain metode food recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan makanan (food weighing), food account, inventory method, dan pencatatan (household food records) (Supariasa et al. 2002).

Metode Food Recall

Metode pengukuran konsumsi pangan untuk individu dapat dilakukan dengan metode food recall. Prinsip dari metode ini adalah mencatat jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi misalkan pada periode 24 jam yang lalu. Responden diminta menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu. Data konsumsi yang dicatat mulai bangun pagi di hari kemarin sampai istirahat tidur malam harinya. Selain itu, pengambilan data recall yang dicatat dapat dimulai saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam (Supariasa et al. 2002).

Data yang diperoleh dari food recall bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jumlah konsumsi pangan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukuran rumah tangga (sendok, gelas, piring dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa data recall minimal dua kali 24 jam, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi yang optimal dalam memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Supariasa et al. 2002).

Kelebihan metode recall 24 jam adalah mudah melaksanakannya, murah, cepat, dapat digunakan untuk responden yang buta huruf, dan dapat memberikan gambaran nyata mengenai apa yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga asupan zat gizi pada periode tersebut dapat dihitung. Akan tetapi, food recall

(35)

Kecukupan Gizi

Muhilal & Hardinsyah (1998) mendefinisikan Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97.5%) orang sehat berdasarkan perlakuan umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian zat gizi diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam perlakuan umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecukupan energi, yaitu: umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim, dan adaptasi. Kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi, dan adaptasi (Muhilal & Hardinsyah 1998).

Menurut Hardinsyah (2002), tingkat kecukupan mineral dan vitamin dikatakan defisit tingkat berat jika tingkat konsumsi kurang dari 70%, defisit tingkat sedang jika konsumsi 70-79%, defisit tingkat ringan jika tingkat konsumsi 80-89%. Tingkat kecukupan dikatakan normal atau cukup jika 90-119% dan di atas kecukupan jika lebih dari 120%.

Aktivitas Fisik

Almatsier (2010) berpendapat bahwa aktivitas fisik merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh beserta sistem penunjangnya. Gerakan tersebut memerlukan energi di luar kebutuhan yang diperlukan untuk metabolisme basal. Saat aktivitas fisik, otot memerlukan energi di luar metabolisme untuk bergerak sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Jumlah energi yang dibutuhkan tergantung pada jumlahotot yang bergerak, durasi aktivitas fisik yang dilakukan, dan berat aktivitas yang dilakukan.

Tingkat aktivitas fisik (physical activity level-PAL) dapat diukur menggunakan empat dimensi utama, yakni: tipe, frekuensi, durasi, dan intensitas aktivitas fisik. Frekuensi aktivitas fisik merupakan jumlah babak aktivitas fisik per satuan waktu. Durasi aktivitas fisik adalah lamanya waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas fisik (Sjostrom et al. 2005). Aktivitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Diperlukan nilai PAR (physical activity ratio) untuk menentukan tingkat aktivitas fisik (PAL). Tingkat aktivitas fisik atau PAL mencerminkan jumlah energi yang dikeluarkan (Kal) setiap kilo gram berat badan dalam waktu 24 jam. Nilai tersebut diperoleh dengan mengalikan PAR (Physical Activity Ratio) dengan lama melakukan sebuah aktivitas (FAO/WHO/UNU 2001). Daftar nilai PAR beberapa kegiatan tertuang pada Tabel 3.

(36)

Tabel 3 Nilai physical activity ratio (PAR) beberapa kegiatan

Kegiatan PAR

Tidur 1

Perawatan diri (mandi dan berpakaian) 2.3

Makan 1.5

Memasak 2.1

Kegiatan yang dilakukan dengan duduk 1.5

Pekerjaan rumah tangga 2.8

Mengendarai kendaraan 2.0

Berjalan 3.2

Kegiatan ringan (menonton televisi) 1.4 Kegiatan yang dilakukan dengan berdiri 2.2

Transportasi bekerja dengan bus 1.2

Olahraga ringan 4.2

Kegiatan pertanian tanpa menggunakan alat 4.1

Mengambil air 4.4

Pekerjaan rumah tangga yang erat 2.3

Sumber: FAO/WHO/UNU (2001)

Menurut FAO/WHO/UNU (2001) tingkat aktivitas fisik (PAL /Physical Activity Level) dikategorikan menjadi tiga, yaitu: aktivitas sangat ringan, ringan, sedang dan berat. Seseorang yang memeiliki nilai PAL 1.2-1.39 digolongkan memiliki aktivitas fisik yang sangat ringan. Aktivitas fisik ringan memiliki nilai PAL antara 1.40-1.69. Seseorang dengan aktivitas fisik yang ringan menggunakan kendaraan untuk transportasi, umumnya tidak berolahraga, dan cenderung meluangkan waktu hanya untuk kegiatan yang dilakukan dengan duduk dan berdiri dengan sedikit gerakan tubuh. Aktivitas fisik sedang mempunyai nilai PAL 1.70-1.99. Seseorang dengan tingkat aktivitas fisik sedang tidak membutuhkan energi yang besar, tetapi kebutuhan energi pada kegiatan ini lebih tinggi dari kegiatan aktivitas yang ringan. Aktivitas fisik berat memiliki PAL 2.00-2.39. Aktifitas fisik berat dilakukan oleh seseorang yang melakukan kerja berat dalam waktu yang lama.

Gambar

Tabel 2  Kandungan isoflavon dalam 100 g bahan pangan
Gambar 2  Struktur kimia isoflavon genistein dan daidzein
Tabel 3  Nilai physical activity ratio (PAR) beberapa kegiatan
Gambar 3  Kerangka pemikiran penelitian pengaruh minuman sari tempe terhadap
+5

Referensi

Dokumen terkait