• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persentase Perkecambahan Benih Tembakau

Hasil pengamatan terhadap persentase perkecambahan benih tembakau dapat dilihat pada lampiran 1-3. dari hasil analisa sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan jamur antagonis (Trichoderma koningii, Trichoderma harzianum, Trichoderma viridae dan Gliocladium virens) berpengaruh sangat nyata terhadap persentase perkecambahan pada setiap pengamatan (7 dan 14 hari setelah semai). Untuk mengetahui antara perlakuan mana yang berbeda nyata dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata persentase perkecambahan (%) benih tembakau pada 7 dan 14 hari setelah semai.

Perlakuan Waktu pengamatan (HSS)

7 14 J0 71,00 b 72,33 b J1 98,00 a 99,00 a J2 98,00 a 99,33 a J3 98,67 a 99,33 a J4 98,67 a 99,00 a J5 97,67 a 99,67 a J6 99,33 a 99,67 a J7 98,00 a 98,67 a J8 98,67 a 99,33 a J9 99,33 a 99,67 a J10 99,00 a 99,00 a J11 99,33 a 99,33 a J12 99,67 a 99,67 a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % dengan uji jarak duncan (DMRT).

HSS : Hari Setelah Semai

Dari tabel 1. dapat dilihat bahwa perlakuan J0 (kontrol/tanpa pemberian jamur antagonis) pada setiap pengamatan berbeda nyata terhadap masing-masing perlakuan dengan jamur antagonis. Sedangkan masing-masing antar perlakuan

dengan jamur antagonis tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap pengamatan.

Pada pengamatan 1 (7 HSS), persentase perkecambahan tertinggi terdapat pada perlakuan J12 (Gliocladium virens 108) yaitu sebesar 99,67 % dan terendah pada perlakuan J0 (kontrol) yaitu sebesar 71,00 %. Pada pengamatan 2 (14 HSS)

persentase perkecambahan tertinggi terdapat pada perlakuan J6 (Trichoderma harziuanum 108) yaitu sebesar 99,67 % dan terendah pada

perlakuan J0 (kontrol) yaitu sebesar 72,33 %.

Beda rataan pengaruh pemberian jamur antagonis terhadap persentase perkecambahan benih tembakau dapat dilihat pada histogram berikut :

Persentas e Perkecambahan I dan II (%)

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 J0 J1 J2 J3 J4 J5 J6 J7 J8 J9 J10 J11 J12 Perlakuan R at aa n I II

Gambar 11. Histogram Pengaruh Pengaruh Pemberian Jamur Antagonis Terhadap Persentase Perkecambahan Benih Tembakau

Dengan menghitung selisih persentase perkecambahan 2 (14 HSS) dengan persentase perkecambahan 1 (7 HSS) pada tabel 1. dapat dilihat bahwa ada benih tembakau yang bertambah berkecambah, yaitu pada perlakuan J0 (1,33), J1 (1,00),

J2 (1,33), J3 (0,66), J4 (0,33), J5 (2,00), J6 (0,34), J7 (0,66), J8 (0,66) dan J9 (0,39). Hal ini menunjukkan bahwa sebelum pengamatan 2 (14 HSS) biji tembakau masih dalam keadaan dorman. Dari data pengamatan 2 (14 HSS) persentase perkecambahan (Tabel 1.) dapat dilihat bahwa tidak ada perlakuan yang mencapai persentase perkecambahan yang 100 %, hal ini menunjukkan bahwa ada benih yang tidak berkecambah, hal ini terjadi karena benih telah mati yang ditandai dengan gejala busuk dan berubah warna menjadi kehitaman. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa benih tersebut telah terserang rebah kecambah pada fase Pre emergance. Duble (2000) menyatakan bahwa Pythium sp. Juga menyebabkan Pre emergence damping off yaitu matinya kecambah sebelum muncul ke permukaan, yang ditandai dengan benih menjadi busuk kehitaman dan disertai dengan miselium putih pada permukaan benih.

Intensitas Serangan

Hasil pengamatan intensitas serangan damping off (rebah kecambah) dapat dilihat pada lampiran 5-6. dari hasil analisa sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan jamur antagonis (Trichiderma koningii, Trichoderma harzianum, Trichoderma viridae dan Gliocladium virens) berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan rebah kecambah. Untuk mengetahui perlakuan mana yang

berbeda nyata maka dilakukan uji jarak duncan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata Intensitas Serangan Rebah Kecambah (%)

Perlakuan Intensitas Serangan (%)

J0 55,44 a J1 49,16 abcd J2 44,48 abcd J3 38,63 cd J4 44,35 abcd J5 42,54 bcd J6 38,33 d J7 49,80 abc J8 47,30 abcd J9 42,72 bcd J10 50,55 ab J11 48,22 abcd J12 42,72 bcd

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % dengan uji jarak duncan (DMRT).

Dari hasil pengamatan intensitas serangan Pythium sp (Tabel 2.) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan J0 (kontrol yaitu sebesar 55,44 % dan terendah terdapat pada perlakuan J6 yaitu sebesar 38,33%. Perlakuan J0 berbeda nyata dengan J10 dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan lainnya.

Dari tabel 2. dapat dilihat bahwa dengan perlakuan jamur antagonis maka intensitas serangan jamur Pythium sp. semakin kecil bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa jamur antagonis). Hal ini terjadi karena jamur antagonis tersebut dapat menghambat dan menekan perkembangan dari jamur Pythium sp. dengan berbagai mekanisme antagonis. Istikorini (2002) menyatakan mekanisme dalam pengandalian patogen tular tanah dengan menggunakan jamur antagonis dapat terjadi melalui mikoparasit, antibiosis yang dapat menyebabkan pengrusakan permeabilitas membran sel dan lisis pada dinding sel, kompetisi dan interferensi hifa. Sementara pada perlakuan kontrol dapat dilihat bahwa intesitas serangan dari

jamur Pythium sp. relatif besar bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan jamur patogen tersebut bebas menginfeksi jaringan tanaman karena tidak ada jamur antagonis yang bersifat sebagai kompetitor yang dapat menghambat perkembangannya.

Adapun pengaruh perlakuan jamur antagonis terhadap intensitas serangan jamur Pythium sp. dapat dilihat pada histogram berikut :

Intensitas Serangan (%) 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 J0 J1 J2 J3 J4 J5 J6 J7 J8 J9 J10 J11 J12 Pe rlakuan

R

at

aan

Gambar 12. Gambar Histogram Pengaruh Pengaruh Perlakaun Jamur Antagonis Terhadap Intensitas Serangan Jamur Pythium sp.

Dari data intensitas serangan rebah kecambah dapat dilihat adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan, tetapi bila dilihat dari angka-angkanya memang ada kecenderungan intensitas serangan tersebut tergolong cukup besar. Hal ini terjadi karena belum begitu besar pengaruh dari jamur antagonis yang diaplikasikan. Hal ini disebabkan karena jamur antagonis yang diaplikasikan tersebut belum berkembang di dalam tanah, ini dikarenakan tidak ada media pembawa pada ekosistem barunya, sehingga jamur antagonis tersebut perlu beradaptasi terlebih dahulu. Hardaningsih (1995) menyatakan jamur antagonis memerlukan suatu media untuk bertahan hidup dalam ekosistem yang baru

sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai antagonis. Oleh sebab itu bahan pembawa harus disertakan dalam aplikasi.

Pada pengamatan pengamatan intensitas serangan (tabel 1.) dapat dilihat bahwa semakin tinggi kerapatan konidia dari jamur antagonis yang dicobakan maka semakin rendah intensitas serangan dari jamur Pythium sp. Hal ini terjadi karena perbedaan dari jumlah populasi jamur antagonis di dalam tanah. Dengan meningkatnya populasi jamur antagonis ini maka aktivitas dalam menekan patogen tular tanah juga meningkat, atau dengan kata lain semakin banyak populasi jamur antagonis maka semakin banyak musuh atau kompetitor dari Pythium sp. sehigga populasinya semakin tertekan. Rachmawati dkk (1995) menyatakan waktu pemberian inokulum jamur antagonis lebih awal memungkinkan untuk jamur memperbanyak diri dan menyesuaikan diri, sedangkan dosis tinggi berarti mempertinggi populasi di dalam tanah.

Untuk mengetahui pengaruh kerapatan konidia dari jamur antagonis dalam menekan perkembangan jamur Pythium sp. dapat dilihat pada lampiran 3. hasilnya disajikan pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Pengaruh kerapatan konidia dari jamur antagonis terhadap intensitas serangan jamur Pythium sp.

Perlakuan Intensitas serangan (%)

Kontrol 55,44 104 106 108 Trichoderma koningii 49,16 44,48 38,63 Trichoderma harzianum 44,35 42,54 38,33 Trichoderma viridae 49,80 47,30 42,72 Gliocladium virens 50,55 48,22 42,72.

Dari tabel 3 dapat dilihat semakin tinggi kerapatan konidia dari jamur antagonis maka semakin rendah intensitas serangan jamur Pythium sp. Perlakuan

jamur antagonis yang paling rendah intensitas serangannya (paling efektif dalam menekan perkembangan jamur Pythium sp.) adalah secara berurutan adalah Trichoderma harzianum lalu Trichoderma koningii, Trichoderma viridae dan Gliocladium virens. Hal ini dikarenakan mekanisme antagonis dari masing-masing jamur. Jamur Trichoderma dapat berkompetisi cepat dengan patogen. Harman (1998) menyatakan mekanisme utama dalam pengendalian patogen tular tanah dengan menggunakan Trichoderma spp. dapat melalui mikoparasitik, antibiotik yang dapat menguap seperti alanatechin, paracelsin, trichotoxin yang dapat menghancurkan sel, kompetisi dan interferensi hifa. Suwahyono dan Wahyudi (2005) juga menyatakan Trichoderma menghasilkan enzim -1,3 glukanase dan kitinase.

Gliocladium virens juga dalam mengendaliakan patogen tular tanah dengan berbagai mekanisme yang hampir sama dengan Trichoderma yaitu parasitisme, antibiosis, kompetisi, dan mengeluarkan zat-zat beracun bagi patogen. Mahr (2005) menyatakan Gliocladium dapat mengendaliakan patogen tular tanah dengan mekanisme parasitisme, kompetisi, menghasilkan antibiotik yang berspektrum luas berupa gliotoxin, viridin dan menghasilkan enzim-enzim seperti enoglucanase, cellubiase dan chitinase yang dapat mematikan berbagai patogen tanah.

Dokumen terkait