• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Beberapa Jamur Antagonis Dengan Berbagai Tingkat Konsentrasi Untuk Menekan Perkembangan Jamur Pythium sp. Penyebab Rebah Kecambah Pada Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pemberian Beberapa Jamur Antagonis Dengan Berbagai Tingkat Konsentrasi Untuk Menekan Perkembangan Jamur Pythium sp. Penyebab Rebah Kecambah Pada Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum L.)"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA JAMUR ANTAGONIS DENGAN BERBAGAI TINGKAT KONSENTRASI UNTUK MENEKAN PERKEMBANGAN JAMUR Pythium sp. PENYEBAB REBAH KECAMBAH PADA TANAMAN TEMBAKAU (Nicotiana tabaccum L.)

SKRIPSI

OLEH

JONTAR M GULTOM 020302037

HPT

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA JAMUR ANTAGONIS DENGAN BERBAGAI TINGKAT KONSENTRASI UNTUK MENEKAN PERKEMBANGAN JAMUR Pythium sp. PENYEBAB REBAH KECAMBAH PADA TANAMAN TEMBAKAU (Nicotiana tabaccum L.)

SKRIPSI

OLEH

JONTAR M GULTOM 020302037

HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hasanuddin, MS Ir. Zulnayati

Ketua Anggota

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRACT

Jontar M Gultom “ THE EFFECTS OF ANTAGONIST FUNGI

WITH VARIOUS LEVEL OF CONCENTRATIONS FOR DEPRESSING THE GROWTH OF Pythium sp. THAT CAUSE DAMPING OFF AT

TOBACCO PLANT (Nicotiana tabaccum L.)", with the conseling Dr. Ir. Hasanuddin, MS as a leader and Ir. Zulnayati as co-author. The experiment

was done at laboratory Plant Disease and Green House of Agriculture Faculty, North Sumatera University, during September - Desember 2007. The experiment was aimed to know the type of antagonist fungi and the level of conidia concentration for depressing the growth of Pythium sp. that cause of damping off tobacco plant. The experiment used Non Factorial Completely Randomized Design, with 3 treatment and 3 replication. The treatment are : J1 (Trichoderma koningii 104), J2 (Trichoderma koningii 106), J3 (Trichoderma koningii 108), J4

(Trichoderma harzianum 104), J5 (Trichoderma harzianum 106), J6 (Trichoderma

harzianum 108), J7 (Trichoderma viridae 104), J8 (Trichoderma viridae 106), J9 (Trichoderma viridae 108), J10 (Gliocladium virens 104), J11 (Gliocladium virens 106), J12 (Gliocladium virens 108). Observable variable is

Germination Percentage (%) and intensity of damping off (%). The result showed that the highest germination percentage are at J5, J6, J9 J12 (99,67%) and and the

lowest is J0 (controlled) (72,57 %). The highest intensity at J0 (controlled) (55,44%) and the lowest is J6 ( Trichoderma harzianum 108)

(4)

ABSTRAK

Jontar M Gultom “PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA JAMUR

ANTAGONIS DENGAN BERBAGAI TINGKAT KONSENTRASI UNTUK MENEKAN PERKEMBANGAN JAMUR Pythium sp. PENYEBAB REBAH KECAMBAH PADA TANAMAN TEMBAKAU (Nicotiana tabaccum L.)”,

dengan komisi pembiming Dr. Ir. Hasanuddin, MS sebagai ketua dan Ir. Zulnayati sebagai anggota. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Penyakit Tumbuhan dan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dari mulai bulan September-Desember 2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis jamur antagonis dan tingkat kerapatan konidia yang efektif untuk menekan perkembangan jamur Pythium sp. penyebab rebah kecambah pada tembakau. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL)

non faktorial dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diuji adalah : J0 (kontrol/tanpa jamur antagonis, J1 (Trichoderma koningii 104), J2 (Trichoderma

koningii 106), J3 (Trichoderma koningii 108), J4 (Trichoderma harzianum 104), J5 (Trichoderma harzianum 106), J6 (Trichoderma harzianum 108), J7 (Trichoderma viridae 104), J8 (Trichoderma viridae 106), J9 (Trichoderma viridae 108), J10 (Gliocladium virens 104), J11 (Gliocladium virens 106), J12 (Gliocladium virens 108). Peubah yang diamati

adalah Persentase Perkecambahan (%) dan Intensitas Serangan (%). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa persentase perkecambahan tertinggi terdapat pada J5, J6, J9, J12 yaitu sebesar 99,67 % dan terendah adalah J0 (kontrol) yaitu 72,57 %.

Intesitas serangan tertinggi terdapat pada J0 (kontrol) yaitu sebesar 55,44% dan

terendah pada J6 (Trichoderma harzianum 108) yaitu sebesar 38,33%.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Jontar M Gultom, dilahirkan pada tanggal 18 November 1983 di

Sidikalang, Sumatera Utara. Merupakan anak keempat dari enam bersaudara dari

bapak M. Gultom (+) dan Ibu P. Sinambela.

Adapun pendidikan yang pernah ditempuh adalah :

Tahun 1990-1996 : Sekolah Dasar negeri 030279 di Sidikalang.

Tahun 1996-1999 : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 di Sidikalang.

Tahun 1999-2002 : Sekolah Menengah Umum Negeri 1 di Sidikalang.

Tahun 2002 : Diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Jurusan Ilmu Hama Dan Penyakit Tumbuhan melalui

Jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Kegiatan Selama Perkuliahan

- Menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanamaan (IMAPTAN)

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara periode 2002/2007.

- Menjadi asisten Laboratorium Pengendalian Hama Terpadu Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera T.A 2005/2006

- Menjadi asisten Laboratorim Hama Penting Tanaman Perkebunan

T.A 2005/2006 dan 2006/2007

- Melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Kebun percobaan

Tanaman Buah /Balai Penelitian Tanaman Buah (KPTB/BPTB) Tongkoh

kabupaten Karo, Sumatera Utara tahun 2006.

- Melaksanakan praktek skripsi di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang maha Esa karena

atas berkat dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun

judul dari skripsi adalah PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA JAMUR

ANTAGONIS DENGAN BERBAGAI TINGKAT KONSENTRASI UNTUK MENEKAN PERKEMBANGAN JAMUR Pythium sp. PENYEBAB REBAH KECAMBAH PADA TANAMAN TEMBAKAU (Nicotiana tabaccum L.).

Adapun tujuan dan kegunaan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat

untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang

membutuhkan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Hasanuddin, MS

selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Ir. Zulnayati sebagai anggota komisi

pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada

penulis, dan tidak lupa juga kepada para rekan yang telah banyak membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini

bermanfaat.

Medan, Januari 2008

(7)

DAFTAR ISI

Hipotesa Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Rebah Kecambah Tembakau ... 4

Biologi Penyebab Penyakit (Pythium sp.) ... 4

Gejala Penyakit ... 6

Daur Hidup Penyakit ... 7

Faktor Yang Mempengaruhi ... 8

Jamur Antagonis... 8

Trichoderma koningii... 8

Trichoderma harzianum ... 10

Trichoderma viridae ... 11

Gliocladium virens... 13

Mekanisme Antagonis ... 15

BAHAN DAN METODA Tempat Dan Waktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat ... 18

Metode Penelitian ... 18

Pelaksanan Penelitian ... 20

Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)... 20

Penyediaan Inokulum Pythium sp ... .21

Pembuatan Suspensi Jamur Pythium sp ... 21

Pembiakan Jamur Antagonis ... 22

Pembuatan Suspensi Jamur Antagonis ... 22

Persiapan Media Semai ... 23

Inokulasi Jamur Pythium sp. ... 24

Aplikasi Jamur Antagonis ... 24

(8)

Peubah Pengamatan ... 24 Persentase Perkecambahan ... 24 Intensitas Serangan Damping off (Rebah Kecambah) ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Perkecambahan ... 27

Intensitas Serangan ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 34

Saran ... 34

(9)

DAFTAR TABEL

No Judul Hlm

1. Rata-rata Persentase Perkecambahan (%)

Benih Tembakau Pada 7 dan 14 Hari Setelah Semai. ... 27

2. Rata-rata Intensitas Serangan Rebah Kecambah (%) ... 30

3. Pengaruh Kerapatan Konidia Dari Jamur Antagonis

(10)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Hlm

1. Pythium sp... 5

2. Ilustrasi Pythium sp. ... 6

3. Trichoderma koningii ... 9

4. Ilustrasi Trichoderma koningii ... 10

5. Trichoderma harzianum ... 11

6. Ilustrasi Trichoderma harzianum ... 11

7. Trichoderma viridae ... 12

8. Ilustrasi Trichoderma viridae ... 12

9. Gliocladium virens ... 14

10. Ilustrasi Gliocladium virens ... 14

11. Histogram Pengaruh Pengaruh Pemberian Jamur Antagonis Terhadap Persentase Perkecambahan Benih Tembakau ... 28

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hlm

1. Bagan Percobaan ... 39

2. Data Persentase Perkecambahan I (7 HSS) (%)... 40

3. Analisa Sidik Ragam Persentase Perkecambahan I (7 HSS) ... 40

4. Uji Jarak Duncan Persentase Perkecambahan I (7 HSS) ... 41

5. Data Persentase Perkecambahan II (14 HSS) (%) ... 41

6. Analisa Sidik Ragam Persentase Perkecambahan II (14 HSS)... 42

7. Uji Jarak Duncan Persentase Perkecambahan II (14 HSS) ... 42

8. Data Intensitas Serangan Rebah Kecambah(%) ... 43

9. Analisa Sidik Ragam Intensitas Serangan Rebah Kecambah ... 43

10. Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan Rebah Kecambah... 44

11. Foto-Foto Penelitian ... 45

12. Perhitungan Kerapatan Sporangium... 49

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tembakau (Nicotiana spp. L.) adalah genus tanaman yang berdaun lebar

yang berasal dari daerah Amerika Utara dan Amerika Selatan. Daun dari pohon

ini sering digunakan sebagai bahan baku rokok. Daun tembakau dapat pula

dikunyah atau dikulum, dan ada pula yang menghisap bubuk tembakau melalui

hidung. Tembakau mengandung zat alkaloid nikotin, sejenis neurotoxin yang

sangat ampuh jika digunakan pada serangga. Zat ini sering digunakan sebagai

bahan utama insektisida (Murdiyati dan Sembiring, 2000).

Komoditas tembakau mempunyai peran sangat penting dalam

pembangunan nasional. Pemerintah telah menetapkan hasil tembakau dan industri

tembakau (IHT) sebagai industri prioritas karena kontribusinya yang besar dalam

penyediaan lapangan kerja dan pendapatan negara. Agribisnis tembakau mampu

menyediakan lapangan kerja bagi kurang lebih 10 juta orang, dan pendapatan

negara sekitar Rp 42 trilyun, serta pemasukan devisa melalui ekspor tembakau

sebesar Rp 1,9 trilyun (Titik, 2007).

Permasalahan yang sangat dirasakan pada beberapa tahun ini adalah

rendahnya produktivitas, meskipun berbagai upaya telah dilakukan, volume

produksi pasar masih belum terpenuhi. Penyebab belum terpenuhinya kebutuhan

pasar tersebut cukup kompleks, antara lain akibat serangan hama dan penyakit,

disamping faktor fisik lingkungan seperti iklim, terutama curah hujan dan faktor

(13)

Salah satu penyakit penting pada tanaman tembakau adalah hangus batang

(Damping off) atau rebah semai yang disebabkan oleh jamur Pythium spp. Sampai

saat ini penyakit ini masih banyak dijumpai menyerang bibit tembakau dan

dianggap cukup berbahaya. Penyakit ini dapat menyebabkan turunnya produksi

sampai 20%, karena tidak baiknya bibit. Jamur ini pada umumnya berkembang di

daerah tropikal (Erwin, 2000).

Untuk mengendalikan penyakit petani cenderung menggunakan pestisida

sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan,

pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis. Oleh karena itu

perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan semakin

besar untuk menurunkan penggunaan pestisida sintetis dan salah satunya adalah

dengan pengendalian hayati (Istikorini, 2002).

Pengendalian hayati terhadap cendawan patogenik memberi harapan untuk

dikembangkan di lapangan. Banyak peneliti yang menarik manfaat jamur

antagonis sebagai agensia yang efektif untuk mengendalikan berbagai patogen

dalam tanah (Istikorini, 2002).

Trichoderma dan Gliocladium merupakan jamur yang umum terdapat

dalam tanah, tumbuh dengan cepat dan bersifat antagonistik terhadap jamur lain.

Mekanisme antagonis jamur tersebut terjadi dengan cara kompetisi, mikoparasitik,

dan antibiosis. Biakannya dapat diperoleh dengan cara mengisolasi dari tanah.

(Abadi, 2003).

Keberhasilan pengendalian hama dengan menggunakan jamur

entomopatogen maupun pengendalian patogen penyebab penyakit dengan

(14)

yang akan diaplikasikan, yaitu kerapatan konidia dalam setiap mililiter air. Jumlah

konidia berkaitan dengan banyaknya biakan cendawan yang dibutuhkan

(Prayogo, 2006).

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui jenis jamur antagonis yang efektif untuk

mengendalikan jamur Pythium sp. Penyebab rebah kecambah pada tanaman

tembakau (Nicotiana tabaccum L.)

Untuk mengetahui tingkat konsentrasi (kerapatan konidia) jamur

antagonis yang efektif untuk mengendalikan jamur Pythium sp. Penyebab rebah

kecambah pada tanaman tembakau (Nicotiana tabaccum L.).

Hipotesa Penelitian

Beberapa jamur antagonis efektif untuk mengendalikan jamur

Pythium sp. penyebab rebah kecambah pada tanaman tembakau

(Nicotiana tabaccum L.)

Diduga ada tingkat kerapatan konidia tertentu dari jamur antagonis yang

efektif untuk mengendalikan jamur patogen

Kegunaan Penelitian

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Rebah Kecambah Tembakau Biologi Penyebab Penyakit (Pythium sp.)

Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) jamur Pythium sp. dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Mycetae

Divisio : Eumycota

Sub Divisio : Mastigomycotina

Kelas : Oomycetes

Ordo : Peronosporales

Famili : Pythiaceae

Genus : Pythium

Spesies : Pythium sp.

Alat perkembang biakan seksual terdiri atas oogonium dan anteredium

yang biasanya tumbuh berdekatan pada satu hifa. Oogonium berupa bola,

berisikan satu oosfer yag berinti banyak dan diselubungi oleh lapisan periplasma.

Anteredium dibawah oogonium, bentuknya langsing memanjang atau seperti

gada. Bila anteredium bersinggungan dengan oogonium, maka anteredium

menghasilkan saluran yang masuk ke dalam oosfer (Dwidjoseputro, 1978).

Pythium mempunyai sporangium (konidium) yang bulat. Sporangium akan

membentuk zoospora (spora yang dapat bergerak dan berenang di air). Zoospora

(16)

Pythium juga akan membentuk struktur istirahat yakni membentuk klamidospora

yang akan bertahan di dalam tanah (Gutierez and Melton, 1999).

Jamur Pythium sp. mempunyai miselium kasar, lebarnya kadang-kadang

sampai 7 µm. Selain membentuk sporangium biasa, (berbentuk bulat atau

lonjong), jamur juga membentuk sporangium yang bentuknya tidak teratur seperti

batang atau bercabang-cabang yang dipisahkan dari ujung hifa. Bagian ini sering

disebut presporangium dan ukurannya dapat mencapai 800 x 20 µm. Pada agar

kentang, jamur membentuk banyak klamidospora bulat yang berukuran

21-39 µm (Semangun, 2000).

Gambar 1. Pythium sp. (Perbesaran 400 X)

Keterangan : a. Sporangium, b. Sporangiofor, c. Miselium

a

b

(17)

Gambar 2. Ilustrasi Pythium sp.

Keterangan : a. Presporangium, b. Oogonium, c. Oospora yang Masak, d. Pembentukan Sporangium, e. Pembentukan Zoospora,

f. Zoospora, g. Zoospora Berkecambah Sumber : Semangun 2000

Gejala Penyakit

Gejala khas yang disebabkan penyakit rebah kecambah dapat terlihat pada

pagi hari, dimana disekitar tanaman sakit tampak terdapat benang-benang seperti

rumah labah-labah dengan tetes-tetes embun yang tergantung. Sering menyerang

tanaman yang masih muda dan dekat tanah yang menyebabkan hawar daun atau

bercak daun yang lebar (Semangun, 1996).

Penyakit timbul pada hari-hari pertama setelah pemindahan. Pangkal

batang berlekuk sepanjang 1-15 cm dan membusuk. Tanaman yang sakit “busuk

batang” ini biasanya tidak menunjukkan gejala kelayuan yang jelas. Kulit batang

rusak dan empulur batang berlubang. Apabila batang belum berkayu maka

tanaman akan rebah (Semangun, 2000).

Pythium sp. juga mengakibatkan pre emergance damping off yaitu

(18)

benih menunjukkan gejala busuk dan berwarna kehitaman disertai dengan

miselium putih pada permukaan benih dan post emergence damping off atau

kecambah yang telah muncul ke permukaan menjadi rebah dan mati karena

memiliki batang yang lunak atau karena busuk (Duble, 2000).

Daur Hidup Penyakit

Pythium merupakan jamur tanah (soil inhibitant) yang dapat bertahan lama

dengan hidup sebagai saprofit pada bahan-bahan organik dalam tanah.

Pemencaran dalam kebun pada umumnya terjadi bersama-sama dengan tanah atau

bahan organik yang terangkut air (Semangun, 2004).

Jamur Pythium sp. tersebut umum terdapat dalam tanah dan dalam

bahan-bahan organik yang mengalami perombakan. Jamur ini bersifat polyfag

sehingga dapat mempunyai beberapa jenis tanaman inang antara lain lamtoro

(Leucana leucocephala), bayam duri (Amaranthus sp), kucingan (Mimosa invisa),

kerokot (Portulaca oleracea). Jamur Pythium ini hidup menyebar pada tanah yang

terinfeksi, dan pertumbuhan hyfa akan cepat menyebar dari tanaman yang satu

ke tanaman yang lain pada pembibitan yang terlalu padat (Semangun, 2000).

Pythium umumnya dapat dipencarkan oleh air dan tanah buangan. Jamur

ini dapat hidup pada tanaman yang mati maupun jasad binatang. Jamur ini bersifat

sebagai saprofit atau sebagai parasit tingkat rendah yang menyerang jaringan akar

tanaman. Ketika tanah basah terinfeksi Pythium, maka bibit atau tanaman muda

(19)

Faktor Yang Mempengaruhi

Perubahan aerasi mempengaruhi kerentanan tanaman, virulensi patogen

atau kedua-duanya, sehingga timbulnya penyakit akan dipengaruhi oleh keadaan

aerasi tanah, begitu juga dengan penyebaran biji yang terlalu rapat memberikan

lingkungan yang sangat baik kepada parasit yang perkembangannya dibantu oleh

kelembaban yang tinggi (Triharso, 1992).

Suhu optimal untuk Pythium dapat menyerang tanaman tembakau

bervariasi cukup besar antara 24–350 C. Walaupun demikian pertumbuhan dari

beberapa jenis akan menurun atau terhambat pada kondisi pH rendah (pH > 5)

(Guiterrez and Melton, 1999).

Penyebaran penyakit ini sangat dipengaruhi oleh kelembaban yang tinggi

dan penerimaan cahaya sinar matahari yang kurang baik di pembibitan.

Perkembangan penyakit ini juga dibantu oleh kerapatan bibit dan embun yang

banyak terjadi di waktu malam (Semangun, 2000).

Jamur Antagonis Trichoderma koningii

Koloni Trichoderma pada media biakan PDA tumbuh dengan cepat pada

suhu 25-300 C dan tidak tumbuh pada suhu 350 C. Koloni ini akan berubah warna

menjadi hijau tua sedangkan bagian bawahnya tidak berwarna.

(Samuel, et al, 2005).

Pada media biakan, pada suhu 200 C koloni Trichoderma tumbuh cepat dan

dapat mencapai diameter 9 cm dalam 4 hari. Mula-mula pertumbuhan seperti

anyaman miselium dengan permukaan halus, karena terjadi pembentukan hifa-hifa

(20)

mempertahankan diri dengan pembentukan klamidospora. Trichoderma menyukai

suasana masam untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan optimum terjadi antara

pH 3,5-5,5 karena pada suasana masam ini Trichoderma membentuk suatu zat

yang mudah menguap yaitu antibiotika gliotoksin (Rifai, 1969).

Miselium Trichoderma koningii terdiri dari hifa-hifa yang hialin (terang),

berdinding mulus, bersepta dan bercabang banyak. Konidiofor tegak lurus,

muncul dari yang rendah, dari cabangnya akan keluar cabang yang lain, dimana

cabangnya selalu berhadapan yang berbentuk seperti pucuk dan sudut terminal

dibatasi dengan konidia head. Konidia kecil umumnya berbentuk seperti bol,

berwarna terang atau hialin (Gilman, 1971).

Trichoderma koningii mempunyai sporodokia bercabang kurang teratur

pada lingkaran, sporodokia berbentuk piramida yang kasar, fialides dan cabang

cenderung bercabang satu-satu dan secara menyeluruh bentuk konidiofor lebih

cenderung linier daripada bentuk piramida, hifa berdiameter 5-10 µm. Konidia

berdinding halus dan pendek silindris dengan ukuran 3-5 µm yang dilepaskan

dalam jumlah yang banyak, klamidospora dibentuk secara interkalar

(Harman, 1998 ).

Gambar 3. Trichoderma koningii (Perbesaran 400 X) Keterangan : a. Konidia, b. Konidiofor c. Fialid,

a

b

(21)

Gambar 4. Ilustrasi Trichoderma koningii Keterangan : a. Fialid, b. Konidia

Sumber : Rifai, 1969

Trichoderma harzianum

Trichoderma harzianum mempunyai hifa bersepta, bercabang dan

mempunyai dinding licin, tidak berwarna, diameter 1,5-12 µm. Percabangan hifa

membentuk sudut siku-siku pada cabang utama. Cabang-cabang utama konidiofor

berdiameter 4-5 µm dan menghasilkan banyak cabang-cabang sisi yang dapat

tumbuh satu-satu tetapi sebagian besar berbentuk dalam kelompok yang agak

longgar dan kemudian berkembang menjadi daerah-daerah seperti cincin. Pada

ujung konidiofor terbentuk konidiospora berjumlah 1-3, berbentuk pendek,

dengan kedua ujungnya meruncing dibandingkan dengan bagian tengah,

berukuran 5-7 x 3-3,5 µm, diujung konidiofor terdapat konidia berbentuk bulat,

berdinding rata dengan warna hijau suram, hijau keputihan, hijau terang atau agak

(22)

Gambar 5. Trichoderma harzianum (Perbesaran 400 X) Keterangan : a. Konidia, b. Fialid, c. Konidiofor

Gambar 6. Ilustrasi Trichoderma harzianum Keterangan : a. Konidiofor, b. Fialid, c. Konidia

Sumber : Rifai, 1969

Beberapa ciri morfologi jamur Trichoderma harzianum yang menonjol

antara lain koloninya berwarna hijau muda sampai hijau tua yang memproduksi

konidia aseksual berbentuk globus dengan konidia tersusun seperti buah anggur

dan pertumbuhannya cepat (fast grower ) (Harman, 1998).

Trichoderma viridae

Trichoderma viride dapat diisolasi dari tanah. Suhu optimum untuk

pertumbuhannya adalah 150-300 C dan maksimum 300–360 C. Koloni pada

(23)

medium OA (Oat Agar) mencapai diameter lebih dari 5 cm dalam waktu 9 hari,

semula berwarna hialin, kemudian menjadi putih kehijauan dan selanjutnya hijau

redup terutama pada bagian yang banyak konidia. Konidiofor dapat bercabang

menyerupai piramida, yaitu pada bagian cabang lateral secara berulang-ulang,

sedangkan kearah ujung percabangan menjadi bertambah pendek. Fialid

berukuran 1,8–2,5 µm. Konidia berbentuk semi bulat hingga oval pendek,

berukuran 2,8–3,2 x 2,5–2,8 µm dan berdinding kasar. Klamidospora umumnya

ditemukan dalam miselia dari koloni yang sudah tua, terletak interkalar dan

kadang-kadang terminal (Gandjar, dkk., 1999).

Gambar 7. Trichoderma viridae (Perbesaran 400 X) Keterangan : a. Konidia, b. Fialid, c. Konidiofor

Gambar 8. Ilustrasi Trichoderma viridae Keterangan : a. Konidiofor, b. Konidia, Fialid

Sumber : Rifai, 1969.

a

(24)

Koloni muda T. viridae tumbuh sangat cepat, bisa mencapai 5-8 cm

selama 7 hari dalam media PDA, tipis seperti kapas yang menjadi semakin hijau

saat konidia berkembang. Sporodokia kasar berbentuk piramid, dengan

cabang-cabang panjang dekat pangkal dan cabang-cabang-cabang-cabang lebih pendek di atasnya.

Cabang disudut poros utama berdekatan, biasanya dalam lingkaran dan juga

menghasilkan fialid yang lateral dilingkaran yang sama, seperti terminal

lingkaran fialid. Konidia T. viridae bulat gemuk, biasanya diameternya 3,6-4,5

µm. Terkadang konidianya terlihat kasar dengan jelas, tetapi kadang-kadang

terlihat ramping (Sinulingga, 1989).

Jamur T. viridae lebih menyukai suasana asam, dengan suasana asam

tersebut, T. viridae akan menghasilkan anti biotika gliotoksin dan viridin

(Basuki dan Situmorang, 1994).

Gliocladium virens

Gliocladium spp. adalah salah satu jamur yang bersifat antagonis terhadap

patogen tanah. Pertumbuhan jamur Gliocladium optimal pada suhu 26-280 C dan

pada pH optimum 5-6 (Domsch, et al., 1980).

Gliocladium menghasilkan hifa, konidiofor, fialid dan konidia. Hifa

bersepta dan hialin. Cabang terakhir memunculkan pialides berbentuk botol.

Konidia bersel satu, oval sampai bentuk silinder. Konidiofor tegak, diakhiri

dengan brus padat seperti susunan cabang yang memuat fialid runcing. Konidia

tidak berwarna, pink atau hijau dan dihasilkan dalam massa basah yang padat dari

(25)

Gambar 9. Gliocladium virens (Perbesaran 400 X) Keterangan : a. Konidiofor, b. Fialid, c. Konidia

Gambar 10. Ilustrasi Gliocladium virens Keterangan : a. Konidia, b. Konidiofor, c. Fialid

Sumber : Rifai, 1969

Konidiofor jamur dari Gliocladium virens ini bersepta, bagian atas

berbentuk penicilite membentuk satu sikat yang pendek seperti Penicillium.

Konidia hialin atau cerah dan bersel satu ( Barnett, 1960 ).

Perkembangan Gliocladium sangat cepat, penyebaran dan

koloni-koloninya seperti kapas atau benang-benang. Dalam seminggu

pertumbuhannya akan menutupi keseluruhan permukaan cawan. Tampak depan

koloni, awalnya putih sampai krem dan dapat menjadi pink sampai merah atau

a

(26)

hijau gelap. Setelah matang, sebaliknya tidak berwarna, putih dan menguning.

jamur ini juga tidak hanya menghasilkan berbagai toksin dan antibiotik, tetapi

menghasilkan berbagai enzim seperti ekso dan endo glikonase, selobiase dan

kitinase (Mahr, 2005).

Mekanisme Antagonis

Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai

pengaruh yang merugikan terhadap mikrooraganisme lain yang tumbuh dan

berasosiasi dengannya. Antagonisme meliputi (a) kompetisi nutrisi atau sesuatu

yang lain dalam jumlah terbatas tetapi diperlukan oleh OPT, (b) antibiosis sebagai

hasil dari pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang lain oleh

mikroorganisme dan berbahaya bagi OPT dan (c) predasi, hiperparasitisme,

mikroparasitisme atau bentuk yang lain dari eksploitasi langsung terhadap OPT

oleh mikroorganisme yang lain (Istikorini, 2002).

Pengendalian dengan jamur antagonis umumnya secara mikoparasitik,

kompetitif, antibiosis atau amansalisme. Keberhasilan pengendalian secara biologi

oleh jamur antagonis yang dicampurkan ke dalam tanah, dipengaruhi oleh

lamanya waktu berhubungan (incorporration) antara antagonis dengan patogen.

Jamur antagonis tersebut memerlukan suatu media untuk dapat bertahan hidup

dalam ekosistem baru dan mampu menjalankan fungsinya sebagai antagonis

(Cook dan Baker (1983) dalam Hardaningsih, 1995)

Waktu pemberian inokulum jamur antagonis lebih awal memungkinkan

untuk jamur tersebut memperbanyak diri dan beradaptasi hingga potensinya lebih

(27)

inokulum yang tinggi berarti memberi modal awal agar populasinya tinggi

di dalam tanah sehingga menekan perkembangan musuhnya

(Rachmawati dkk, 1995).

Sifat antagonis jamur Trichoderma spp. telah diteliti sejak lama. Inokulasi

Trichoderma ke dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang

menyerang di persemaian, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang

dihasilkan jamur ini (Khairul, 2000).

Trichoderma merupakan jamur saprofit yang hidup dalam tanah, serasah

dan kayu mati. Trichoderma memparasit miselium jamur lain dengan menembus

dinding sel untuk mengambil zat makanan dari dalamnya sehingga jamur

patogenik menjadi mati. Dalam kompetisi Trichoderma mempunyai kemampuan

memperebutkan sumber makanan atau disekitar perakaran tanaman menghasilkan

enzim -1,3 glukanase dan kitinase (Suwahyono dan Wahyudi, 2005).

Menurut Harman (1998) mekanisme utama pengendalian patogen tanaman

yang bersifat tular tanah dengan menggunakan jamur Trichoderma spp. dapat

terjadi melalui:

• Mikoparasit (memarasit miselium jamur lain dengan menembus dinding sel

dan masuk ke dalam sel untuk mengambil zat makanan dari dalam sel

sehingga jamur menjadi mati).

• Menghasilkan antibiotik seperti alametichin, paracelsin, trichotoxin yang

dapat menghancurkan sel jamur melalui pengrusakan terhadap permeabilitas

membran sel, dan enzim chitinase, laminarinase yang dapat menyebabkan lisis

(28)

• Mempunyai kemampuan berkompetisi memperebutkan tempat hidup dan

sumber makanan.

Mempunyai kemampuan melakukan interferensi hipa. Hifa Trichoderma spp.

akan mengakibatkan perubahan permeabilitas dinding sel.

Gliocladium virens dapat mengendalikan patogen tanah dengan beberapa

mekanisme kerja yaitu: secara parasitisme, antibiosis, kompetisi dan pengeluaran

zat – zat beracun. G. virens akan melilitkan dirinya sendiri ke sekeliling patogen

dan melepaskan enzim-enzim yang menghancurkan dinding sel patogen, sehingga

patogen tersebut mudah terserang. G. virens menghasilkan antibiotik yang

berspektrum luas berupa gliotoxin, viridin, dan enzim–enzim seperti

endoglucanase, cellobiase dan chitinase yang dapat mematikan berbagai patogen

(29)

BAHAN DAN METODA

Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Dengan ketinggian tempat ± 25 m.

di atas permukaan laut. Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai

Desember 2007

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah media PDA, alkohol 70%, kloroks 0,5%,

aquades, media dedak, kapas, biakan murni jamur Pythium sp., benih tembakau,

tanah humus, kompos, biakan murni Trichoderma koningii,

Trichoderma harzianum, Trichoderma viride, Gliocladium virens.

Alat yang digunakan adalah cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, jarum

kait, objek glass, timbangan, shaker, handsprayer, pinset, kotak inokulasi,

mikroskop, lampu bunsen, autoclave, oven, selotip, bak perkecambahan, glass

ukur, haemocytometer, kantong plastik, karung goni.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) non faktorial yang terdiri dari 13 perlakuan yaitu :

J0 : Tanpa Jamur Antagonis.

J1 : Jamur Trichoderma koningii dengan kerapatan konidia 104 konidia/ml air.

(30)

J3 : Jamur Trichoderma koningii dengan kerapatan konidia 108 konidia/ml air.

J4 : Jamur Trichoderma harzianum dengan kerapatan konidia 104 konidia/ml

air.

J5 : Jamur Trichoderma harzianum dengan kerapatan konidia 106 konidia/ml

air.

J6 : Jamur Trichoderma harzianum dengan kerapatan konidia 108 konidia/ml

air.

J7 : Jamur Trichoderma viridae dengan kerapatan konidia 104 konidia/ml air.

J8 : Jamur Trichoderma viridae dengan kerapatan konidia 106 konidia/ml air.

J9 : Jamur Trichoderma viridae dengan kerapatan konidia 108 konidia/ml air.

J10 : Jamur Gliocladium virens dengan kerapatan konidia 104 konidia/ml air.

J11 : Jamur Gliocladium virens dengan kerapatan konidia 106 konidia/ml air.

J12 : Jamur Gliocladium virens dengan kerapatan konidia 108 konidia/ml air.

Setiap perlakuan perlakuan diulang sebanyak tiga (3) kali.

Jumlah ulangan diperoleh dengan menggunakan rumus :

(t-1) (r-1) ≥ 15 (13-1) (r-1) ≥ 15

12 r-12 ≥ 15

12 r ≥ 15

r ≥ 2,25 dibulatkan menjadi tiga (3).

Jumlah tanaman setiap perlakuan adalah sebanyak 100 tanaman, yang

(31)

Model linear yang digunakan adalah :

Yij = µ + Ti + ∑ij : i = 1,2,….. t j = 1,2,….. r

Dimana :

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Nilai tengah umum

Ti = Pengaruh perlakuan ke-i

∑ij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

(Sastrosupadi, 2000).

Pelaksanan Penelitian

Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)

Kentang dicuci bersih dan dikupas, seterusnya 200 gr dipotong kecil-kecil,

kemudian dimasak dengan aquadest 500 ml sampai mendidih, lalu disaring

ekstraknya dengan kain muslin. Pada waktu yang sama dididihkan aquadest steril

sebanyak 500 ml bersama dengan agar sebanyak 20 gr, setelah larut disatukan

dengan ekstrak kentang ke dalam beaker glass yang berukuran 1 liter, setelah itu

dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Ditutup dengan kapas steril yang dilapisi

dengan alumunium foil, lalu dimasukkan ke dalam autoclave untuk disterilkan

selama 15 menit dengan suhu 1210 C dan tekanan 1,5 Atm, kemudian PDA

dibiarkan hingga panasnya menjadi hangat kuku dan siap dituang ke dalam cawan

(32)

Penyediaan Inokulum Pythium sp.

Sumber inokulum diambil dari tanaman yang terserang penyakit rebah

kecambah yang disebabkan oleh jamur Pythium sp. Dipotong-potong batas antara

tanaman yang sakit dan sehat dengan ukuran 3-4 mm dan direndam dengan

kloroks 1 % selama 1 menit, selanjutnya dicuci dengan aquadest steril sebanyak

2 kali. Potongan diambil dan diletakkan pada cawan petri yang berisi kertas tissue

supaya kering. Tahap selanjutnya potongan-potongan tersebut ditanam pada

cawan petri yang berisi PDA. Jamur yang tumbuh dipisahkan untuk mendapatkan

biakan murni. Biakan murni jamur patogen kemudian diperbanyak pada media

yang sama pada cawan petri. Biakan yang akan digunakan adalah biakan yang

berumur 2 minggu (Supeno, 1999).

Pembuatan Suspensi Jamur Pythium sp.

Pembuatan suspensi jamur patogen dilakukan dengan cara : biakan murni

jamur patogen. di dalam cawan petri diberi aquades 10 ml, kemudian dikikis,

sehingga bagian yang terdapat pada bagian atas terlepas, selanjutnya suspensi

dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan dengan aquades steril

sehingga volumenya menjadi 100 ml (Sumaraw, 1999). Sespensi kemudian

diguncang dengan menggunakan shaker dengan kecepatan 200 rpm

selama 30 menit untuk membebaskan sporangium dari miselium

(Burns dan Benson, 2000). Suspensi jamur patogen yang telah didapat kemudian

diteteskan pada haemocytometer untuk menghitung kerapatan sporangium.

Kerapatan sporangium yang digunakan untuk aplikasi adalah 106 sporangium/ml

(33)

Kerapatan sporangium dihitung dengan menggunakan rumus:

S = t x 2,5. 103

keterangan :

S : Jumlah sporangium

t : Jumlah sporangium di dalam kotak yang besar

2,5. 103 : Konstanta

(Syafiuddin, 1992).

Pembiakan Jamur Antagonis

Jamur antagonis yang digunakan diperoleh dari BP2TP

(Balai Pengembangan Proteksi Tanaman Perkebunan) Sumatera Utara.

Jamur antagonis dibiakkan di dalam cawan petri, isolat diperbanyak dalam

media dedak yang diletakkan di kantong plastik. Isolat yang sudah ada kemudian

ditanamkan ke dalam media dedak. Isolat jamur antagonis yang diperbanyak dapat

digunakan setelah berumur 2 minggu (Sudantha, 1999).

Pembuatan Suspensi Jamur Antagonis

Untuk persiapan aplikasi, jamur antagonis yang telah berumur 2 minggu

diambil sebanyak 10 gr dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan

dengan aquades steril sehingga volumenya menjadi 100 ml (Julak, 2006),

kemudian dishaker dengan kecepatan 200 rpm selama 30 menit

agar konidia-konidianya terlepas dari miselium, setelah itu disaring dengan

menggunakan kain muslin. Suspensi kemudian diambil 1 tetes

(34)

konidianya (Prayogo dan Hardaningsih, 2001). Kerapatan konidia yang digunakan

untuk aplikasi adalah 104, 106 dan 108 konidia/ml air (sesuai dengan perlakuan).

Apabila dalam perhitungan kerapatan konidia terlalu rapat dan sulit untuk

dihitung maka dilakukan pengenceran kembali sampai tingkat kerapatan

betul-betul bisa dihitung (Julak, 2006).

Kerapatan konidia dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

(t x d)

S = x juta konidia per ml (n x 0,25)

Keterangan :

S : Jumlah konidia

t : Total konidia di dalam semua kotak yang dihitung

d : Faktor pengenceran. (d =1 jika tidak diencerkan, d =10 jika suspensi

diencerkan 1:10 dan seterusnya).

n : Jumlah semua kotak yang dihitung

(Gabriel dan Riyatno dalam Sulistyorini dkk., 1995)

Persiapan Media Semai

Media semai yang digunakan adalah berupa campuran top soil dan

kompos dengan perbandingan 1 : 1. Campuran disterilkan dengan cara mengukus

dalam drum, dipanaskan pada suhu 1000 C selama 1 jam. Setelah dikukus, tanah

dikering anginkan dengan cara menebarkannya diatas karung di dalam ruangan

yang tertutup dengan sirkulasi udara yang baik, setelah itu tanah diisi

ke dalam bak-bak perkecambahan (Murdiyati dan Sembiring, 2000). Bak

(35)

Inokulasi Jamur Pythium sp.

Inokulasi jamur Pythium sp. dilakukan pada media pada bak

perkecambahan dengan cara menyemprot suspensi Pythium sp. diatas permukaan

tanah sebanyak 30 ml (Rachmawaty dkk., 1995). Dibiarkan selama 1 minggu

dengan ditutupi plastik yang bertujuan untuk mengurangi kontaminan dan

menjaga kelembaban tetap tinggi (Santoso dkk., 1999).

Aplikasi Jamur Antagonis

Jamur antagonis diaplikasi 1 minggu setelah jamur Pythium

diinokulasikan. aplikasi dilakukan dengan cara menyemprot suspensi di atas

permukaan tanah sebanyak 30 ml dan ditutup kembali dengan plastik selama

1 minggu sebelum penyemaian dilakukan (Murdan dan Thoyibah, 1997).

Penyemaian Benih

Penyemaian benih dilakukan 1 minggu setelah aplikasi jamur antagonis,

sebelumnya dilakukan seleksi pada benih yang akan ditanam. Direndam dengan

air, dilakukan desinfeksi dengan menggunakan larutan alkohol 70 % selama

3 menit. Selanjutnya dibilas dengan air steril (Santoso dkk, 1999). Penyemaian

dilakukan pada bak-bak perkecambahan dengan menanam 100 benih pada

tiap-tiap bak.

Peubah Pengamatan

Persentase Perkecambahan

Pengamatan persentase perkecambahan benih tembakau dilakukan sebanyak

dua kali yaitu 7 dan 14 hari setelah semai karena ada perbedaan lama dormansi

(36)

tembakau yang telah berkecambah. Persentase perkecambahan ini dapat dihitung

dengan menggunakan rumus :

a

P = X 100% a + b

keterangan :

P = Persentase Perkecambahan

a = Jumlah benih yang berkecambah normal

b = Jumlah benih yang tidak berkecambah

Intensitas Serangan Damping off (Rebah Kecambah)

Pengamatan parameter intensitas serangan rebah kecambah

(Pythium sp.) dilakukan pada saat tanaman berumur 40-45 hari setelah semai. Hal

ini dilakukan karena bibit tembakau dapat dipindahtanamkan ke lapangan setelah

berumur 40-45 hari setelah semai (Murdiyati dan Sembiring, 2000).

Pada umur 40-45 hari setelah semai, tanaman dibongkar dan akar dicuci

dengan air mengalir, kemudian dihitung intensitas serangan rebah kecambah atau

busuk pangkal akar.

Menurut Filonow dan Dole (1999) intensitas serangan rebah kecambah

dan busuk pangkal akar (Pythium sp.) dihitung dengan menggunakan rumus :

IS = ( )x100% NxZ

nxv

dimana :

IS = Intensitas serangan

n = Jumlah tanaman pada tiap skoring

(37)

N = Jumlah tanaman yang diamati

Z = Nilai skoring tertinggi

Skala serangan yang digunakan adalah :

Skala 0 : Tanaman sehat

Skala 1 : 1-25 % busuk

Skala 2 : 26-50 % busuk

Skala 3 : 51-75 % busuk

Skala 4 : >75 % busuk

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Perkecambahan Benih Tembakau

Hasil pengamatan terhadap persentase perkecambahan benih tembakau

dapat dilihat pada lampiran 1-3. dari hasil analisa sidik ragam dapat dilihat bahwa

perlakuan jamur antagonis (Trichoderma koningii, Trichoderma harzianum,

Trichoderma viridae dan Gliocladium virens) berpengaruh sangat nyata terhadap

persentase perkecambahan pada setiap pengamatan (7 dan 14 hari setelah semai).

Untuk mengetahui antara perlakuan mana yang berbeda nyata dapat dilihat pada

tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata persentase perkecambahan (%) benih tembakau pada 7 dan 14 hari setelah semai.

Perlakuan Waktu pengamatan (HSS)

7 14 berbeda nyata pada taraf 5 % dengan uji jarak duncan (DMRT).

HSS : Hari Setelah Semai

Dari tabel 1. dapat dilihat bahwa perlakuan J0 (kontrol/tanpa pemberian

jamur antagonis) pada setiap pengamatan berbeda nyata terhadap masing-masing

(39)

dengan jamur antagonis tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap

pengamatan.

Pada pengamatan 1 (7 HSS), persentase perkecambahan tertinggi terdapat

pada perlakuan J12 (Gliocladium virens 108) yaitu sebesar 99,67 % dan terendah

pada perlakuan J0 (kontrol) yaitu sebesar 71,00 %. Pada pengamatan 2 (14 HSS)

persentase perkecambahan tertinggi terdapat pada perlakuan

J6 (Trichoderma harziuanum 108) yaitu sebesar 99,67 % dan terendah pada

perlakuan J0 (kontrol) yaitu sebesar 72,33 %.

Beda rataan pengaruh pemberian jamur antagonis terhadap persentase

perkecambahan benih tembakau dapat dilihat pada histogram berikut :

Persentas e Perkecambahan I dan II (%)

0,00

Gambar 11. Histogram Pengaruh Pengaruh Pemberian Jamur Antagonis Terhadap Persentase Perkecambahan Benih Tembakau

Dengan menghitung selisih persentase perkecambahan 2 (14 HSS) dengan

persentase perkecambahan 1 (7 HSS) pada tabel 1. dapat dilihat bahwa ada benih

(40)

J2 (1,33), J3 (0,66), J4 (0,33), J5 (2,00), J6 (0,34), J7 (0,66), J8 (0,66) dan J9 (0,39).

Hal ini menunjukkan bahwa sebelum pengamatan 2 (14 HSS) biji tembakau masih

dalam keadaan dorman. Dari data pengamatan 2 (14 HSS) persentase

perkecambahan (Tabel 1.) dapat dilihat bahwa tidak ada perlakuan yang mencapai

persentase perkecambahan yang 100 %, hal ini menunjukkan bahwa ada benih

yang tidak berkecambah, hal ini terjadi karena benih telah mati yang ditandai

dengan gejala busuk dan berubah warna menjadi kehitaman. Hal tersebut di atas

menunjukkan bahwa benih tersebut telah terserang rebah kecambah pada fase Pre

emergance. Duble (2000) menyatakan bahwa Pythium sp. Juga menyebabkan Pre

emergence damping off yaitu matinya kecambah sebelum muncul ke permukaan,

yang ditandai dengan benih menjadi busuk kehitaman dan disertai dengan

miselium putih pada permukaan benih.

Intensitas Serangan

Hasil pengamatan intensitas serangan damping off (rebah kecambah) dapat

dilihat pada lampiran 5-6. dari hasil analisa sidik ragam dapat dilihat bahwa

perlakuan jamur antagonis (Trichiderma koningii, Trichoderma harzianum,

Trichoderma viridae dan Gliocladium virens) berpengaruh nyata terhadap

intensitas serangan rebah kecambah. Untuk mengetahui perlakuan mana yang

berbeda nyata maka dilakukan uji jarak duncan. Hasilnya dapat dilihat pada

(41)

Tabel 2. Rata-rata Intensitas Serangan Rebah Kecambah (%)

Perlakuan Intensitas Serangan (%)

J0 55,44 a berbeda nyata pada taraf 5 % dengan uji jarak duncan (DMRT).

Dari hasil pengamatan intensitas serangan Pythium sp (Tabel 2.) dapat

dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan J0 (kontrol

yaitu sebesar 55,44 % dan terendah terdapat pada perlakuan J6 yaitu sebesar

38,33%. Perlakuan J0 berbeda nyata dengan J10 dan berbeda sangat nyata terhadap

perlakuan lainnya.

Dari tabel 2. dapat dilihat bahwa dengan perlakuan jamur antagonis maka

intensitas serangan jamur Pythium sp. semakin kecil bila dibandingkan dengan

kontrol (tanpa jamur antagonis). Hal ini terjadi karena jamur antagonis tersebut

dapat menghambat dan menekan perkembangan dari jamur Pythium sp. dengan

berbagai mekanisme antagonis. Istikorini (2002) menyatakan mekanisme dalam

pengandalian patogen tular tanah dengan menggunakan jamur antagonis dapat

terjadi melalui mikoparasit, antibiosis yang dapat menyebabkan pengrusakan

permeabilitas membran sel dan lisis pada dinding sel, kompetisi dan interferensi

(42)

jamur Pythium sp. relatif besar bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal

ini disebabkan jamur patogen tersebut bebas menginfeksi jaringan tanaman karena

tidak ada jamur antagonis yang bersifat sebagai kompetitor yang dapat

menghambat perkembangannya.

Adapun pengaruh perlakuan jamur antagonis terhadap intensitas serangan

jamur Pythium sp. dapat dilihat pada histogram berikut :

Intensitas Serangan (%)

Gambar 12. Gambar Histogram Pengaruh Pengaruh Perlakaun Jamur Antagonis Terhadap Intensitas Serangan Jamur Pythium sp.

Dari data intensitas serangan rebah kecambah dapat dilihat adanya

perbedaan yang nyata antar perlakuan, tetapi bila dilihat dari angka-angkanya

memang ada kecenderungan intensitas serangan tersebut tergolong cukup besar.

Hal ini terjadi karena belum begitu besar pengaruh dari jamur antagonis yang

diaplikasikan. Hal ini disebabkan karena jamur antagonis yang diaplikasikan

tersebut belum berkembang di dalam tanah, ini dikarenakan tidak ada media

pembawa pada ekosistem barunya, sehingga jamur antagonis tersebut perlu

beradaptasi terlebih dahulu. Hardaningsih (1995) menyatakan jamur antagonis

(43)

sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai antagonis. Oleh sebab itu bahan

pembawa harus disertakan dalam aplikasi.

Pada pengamatan pengamatan intensitas serangan (tabel 1.) dapat dilihat

bahwa semakin tinggi kerapatan konidia dari jamur antagonis yang dicobakan

maka semakin rendah intensitas serangan dari jamur Pythium sp. Hal ini terjadi

karena perbedaan dari jumlah populasi jamur antagonis di dalam tanah. Dengan

meningkatnya populasi jamur antagonis ini maka aktivitas dalam menekan

patogen tular tanah juga meningkat, atau dengan kata lain semakin banyak

populasi jamur antagonis maka semakin banyak musuh atau kompetitor dari

Pythium sp. sehigga populasinya semakin tertekan. Rachmawati dkk (1995)

menyatakan waktu pemberian inokulum jamur antagonis lebih awal

memungkinkan untuk jamur memperbanyak diri dan menyesuaikan diri,

sedangkan dosis tinggi berarti mempertinggi populasi di dalam tanah.

Untuk mengetahui pengaruh kerapatan konidia dari jamur antagonis dalam

menekan perkembangan jamur Pythium sp. dapat dilihat pada lampiran 3. hasilnya

disajikan pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Pengaruh kerapatan konidia dari jamur antagonis terhadap intensitas serangan jamur Pythium sp.

Perlakuan Intensitas serangan (%)

Kontrol 55,44

104 106 108

Trichoderma koningii 49,16 44,48 38,63

Trichoderma harzianum 44,35 42,54 38,33

Trichoderma viridae 49,80 47,30 42,72

Gliocladium virens 50,55 48,22 42,72.

Dari tabel 3 dapat dilihat semakin tinggi kerapatan konidia dari jamur

(44)

jamur antagonis yang paling rendah intensitas serangannya (paling efektif dalam

menekan perkembangan jamur Pythium sp.) adalah secara berurutan adalah

Trichoderma harzianum lalu Trichoderma koningii, Trichoderma viridae dan

Gliocladium virens. Hal ini dikarenakan mekanisme antagonis dari

masing-masing jamur. Jamur Trichoderma dapat berkompetisi cepat dengan patogen.

Harman (1998) menyatakan mekanisme utama dalam pengendalian patogen tular

tanah dengan menggunakan Trichoderma spp. dapat melalui mikoparasitik,

antibiotik yang dapat menguap seperti alanatechin, paracelsin, trichotoxin yang

dapat menghancurkan sel, kompetisi dan interferensi hifa. Suwahyono dan

Wahyudi (2005) juga menyatakan Trichoderma menghasilkan enzim -1,3 glukanase dan kitinase.

Gliocladium virens juga dalam mengendaliakan patogen tular tanah

dengan berbagai mekanisme yang hampir sama dengan Trichoderma yaitu

parasitisme, antibiosis, kompetisi, dan mengeluarkan zat-zat beracun bagi

patogen. Mahr (2005) menyatakan Gliocladium dapat mengendaliakan patogen

tular tanah dengan mekanisme parasitisme, kompetisi, menghasilkan antibiotik

yang berspektrum luas berupa gliotoxin, viridin dan menghasilkan enzim-enzim

seperti enoglucanase, cellubiase dan chitinase yang dapat mematikan berbagai

(45)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perlakuan jamur antagonis (Trichoderma koningii,

Trichoderma harzianum, Trichoderma viridae dan Gliocladium virens)

berpengaruh sangat nyata terhadap persentase perkecambahan.

2. Perlakuan jamur antagonis (Trichoderma koningii,

Trichoderma harzianum, Trichoderma viridae dan Gliocladium virens)

berpengaruh nyata terhadap Intensitas serangan jamur Pythium sp.

3. Intensitas serangan Pythium sp. tertingi terdapat pada J0 (kontrol) yaitu

sebesar 55,44% dan terendah pada perlakuan J6 (T. harzianum 108) yaitu

sebesar 38,63 %.

4. Jenis jamur antagonis yang efektif untuk menekan perkembangan jamur

Pythium sp. secara berurutan adalah T. harzianum, T. Koningii,

T. Viridae dan Gliocladium virens).

5. Kerapatan konidia yang efektif dalam mengendalikan jamur Pythium sp.

adalah 108 konidia/ml air.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di lapangan karena kondisi

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, A. L. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Bayu Media Publishing. Malang. Hlm. 68-69.

Agrios, G. N. 1978. Plant Pathology. Academic Press. New York. P.209-210.

Alexopoulos, C. J and C. W. Mims. 1979. Introductory Mycology. Third Edition. John Wiley and Sons, New York. P. 170-172.

Barnett, H. L. 1960. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. 2nd.ed. Department of Plant Pathology, Bacteriology and Entomology, West Virginia University, Margantown, West Virginia, Burgess Publishing Company, Minneapolis. P.52-54.

Basuki dan A. Situmorang. 1994. Trichoderma koningii dan Pemanfaatannya Dalam Pengendalian Penyakit Akar Putih (Rigidoporus microporus) Pada Tanaman Karet. Pusat Penelitian Karet Sei Putih. Hlm. 19-20.

Brown, F., A. Kerr., F. D. Morgan and I. H. Rarbery. 1980. Plant Protection Hedges and Bell Pty Ltd, Melbourne. P. 50-52

Burns, J. R and D. M. Benson. 2000. Biocontrol of Damping off Catharanthus roseus Caused by Pythium ultimum with Trichoderma virens and Binucleate Rhizoctonia Fungi.

http://www.google.com/search?q=cache:S9Enx5Qd2y0J:199.86.26.56/pd/p dfs/2000/04032R.pdf+control+damping+off+pythium&hl=id&ct=clnk&cd =28&gl=id [20 Maret 2007].

Deptan, 2005. Benih Tembakau (Nicotiana tabaccum L.) Kelas Benih Dasar (BD) dan Benih Sebar (BS).

Domsch, K. H., W. Cams, and T. H. Anderson, 1980. Compedium of Soil Fungi, Academic Press, London. P. 798-799.

Duble, R. L. 2000. Pythium Blight.

http://aggiehorticulture.tamu.edu/PLANTanswers/publications/PythBlight. [22April 2006].

Dwidjoseputro, D. 1978. Pengantar Mikologi. Edisi Kedua. Penerbit Alumni.Bandung. Hlm. 81-83.

(47)

Filonow, A. B and Dole, J. M.1999. Biological Control of Damping-off and Root Rot of Greenhouse-Grown Geraniums and Poinsettias.

Gandjar, I., Samson, R. A., Tweel-Vermeulen, K., Oetari, A., Santoso., I. 1999. Pengenalan kapang tropik umum., Universitas Indonesia. Depok, Jakarta. Hlm. 133-134.

Gilman, J. C. 1971. A Manual Of Soil Fungi. The Lowa State University Press. Ames Lowa, USA. Hlm. 212-214.

Guiterrez, W. A and T. A. Melton, 1999. Pythium Root Rot in Tobacco Greenhouse.

http://images.google.co.id/imgres?imgrul=http://www.ces.ncsu.edu/depts/ pp/notes/tobacco/tdin008/pythium. [2 Februari 2007].

Hardaningsih, S. 1995. Efektivitas Gliocladium roseum Untuk Megendalikan Penyakit Terbawa Benih Pada Tanaman Kacang-Kacangan. Prosiding Kongres Nasional XII dan Seminar Nasional PFI, Mataram. Hlm 185-188.

Harman, G. E., 1998. Trichoderma spp. Proc. Am. Acad. Sci. USA.

[22April 2006].

Istikorini, Y. 2002. Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Hayati Yang Ekologis dan berkelanjutan.

Julak, 2006. Pengembangan Agens Hayati.

[29 april 2007]

Khairul, U. 2000. Pemanfaatan Bioteknologi Untuk Meningkatkan Produksi Pertanian.

Mahr, S. 2005. Gliocladium virens. Know Your Friends Vol. V No. 9, University

of Wisconsin-Madison. [14 April 2006].

Murdan dan Thoyibah, K. 1997. Pengaruh Aplikasi Trichoderma harzianum Terhadap Populasi Rhizoctonia solani Pada Padi Gogo. Prosiding Kongres

(48)

Murdiyati, A. S dan Sembiring, H. 2000. Tembakau (Nicotiana tabaccum). Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat. Malang, Jawa Timur.

Prayogo, Y. 2006. Upaya Mempertahankan Keefektifan Cendawan

Entomopatogen untuk Mengendalikan hama tanaman pangan. Jurnal Litbang Pertanian 25(2) 47-52.

Prayogo, Y dan Hardaningsih, S. 2001. Potensi Jamur Gliocladium roseum Untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum manihotis ) Pada Ubi Kayu. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah PFI, Bogor. Hlm. 112-114.

Rachmawaty, A., Ambarwati, H. T. dan Toekidjo, M. 1995. Kajian Pengendalian Penyakit Busuk batang Vanili Dengan Trichoderma viridae. Prosiding Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI, Mataram. Hlm. 207-210.

Rifai, M. A. 1969. Revision of Genus Trichoderma. Commmon Wealth Micologycal Paper. Surrey, England. P. 15-17.

Samuel, G. J., P. Chaverri., D. F. Farr and E. B. Mc Cray. 2005. Trichoderma Online, Systematic Botany and Mycology Laboratory, ARS, USDA.

[14 April 2006].

Santoso, E. Maman, T dan Simon, T. N. 1999. Studi Antagonis Trichoderma harzianum Rifai Terhadap Pythium sp. Penyebab Penyakit Lodoh Pada Semai Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI, Purwekerto. Hlm. 553-558.

Sastrosupadi, A., 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Hlm. 53-56.

Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hlm. 83-84.

.2000. Penyakit-Peyakit Penting Tanaman Perkebunan Di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hlm. 661-665.

. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hlm. 59.

(49)

Sudantha, I. M. 1999. Pengendalian Secara Hayati Jamur Sclerotium rolfsii Pada Tanaman Kedelai Menggunakan Biofungisida Biotric. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Nasional PFI Purwekerto.Hlm. 121-125.

Sulistyorini, Mulyadi dan Sulistyowati, L. 1995. Antagonisme Jamur Trichoderma sp. Dengan Jamur Fusarium oxysporum f. Sp. Cubense. Pada Tanaman Pisang di Rumah Kaca. Prosiding Kongres Nasional XVIII dan Seminar Ilmiah PFI Mataram. Hlm. 572-576

Sumaraw, S. M. 1999. Periode Kritis Tanaman Tomat Terhadap Serangan

Alternaria solani (Ell. & G. Martin) Sor. Dan Faktor penentunya. Buletin Hama Dan Penyakit Tumbuhan 11 (2) : 67-72.

Supeno, B. 1999. Uji Patogenisitas jamur Trichoderma harzianum yang Digunakan Sebagai Agen Pengendali Hayati. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Nasional PFI Purwekerto. Hlm. 48-51.

Suwahyono, U dan P. Wahyudi. 2005. Penggunaan Biofungisida Pada Usaha

Perkebunan. Direktorat Tekhnologi Bioindustri-BPPTP.

http://www.iptek.net.id/ind/terapan.a [10 Mei 2006].

Syafiuddin, 1992. Pengelolaan Laboratorium. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Deli Serdang. Hlm 20.

Titik, 2007. Lokakarya Tembakau.

http://www.balittas.info/index.php?option=isi&task=view&id [14 Maret 2007].

Triharso, 1992. Beberapa Gatra Pengendalian Penyakit Tumbuhan dan Kemungkinan Penerapannya Di Indonesia.

Whittaker, B. 2001 Haemocytometers Procedure.

(50)
(51)

2. Data Persentase Perkecambahan I (7 HSS) (%)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

3. Analisa Sidik Ragam Persentase Perkecambahan I (7 HSS)

(52)

4. Uji Jarak Duncan Persentase Perkecambahan I (7 HSS)

5. Data Persentase Perkecambahan II (14 HSS) (%)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(53)

6. Analisa Sidik Ragam Persentase Perkecambahan II (14 HSS)

SK dB JK KT F Hit F 0,05 F 0,01

Perlakuan 12 2018,26 168,19 10,44 ** 2,15 2,96

Galat 26 418,67 16,10

Total 38 2436,92

FK = 368699,08

Keterangan : ** = Sangat Nyata

* = Nyata

tn =

Tidak Nyata

7. Uji Jarak Duncan Persentase Perkecambahan II (14 HSS) (%) SY 2,316791179

P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 SSR.05 2,91 3,06 3,14 3,21 3,27 3,3 3,34 3,36 3,38 3,385 3,41 LSR.05 6,742 7,089 7,275 7,437 7,576 7,645 7,738 7,784 7,831 7,842 7,900

Rataan Pembanding 72,33 98,67 99,00 99,33 99,67 72,33 -

98,67 91,92

a 99,00 91,91

b 99,33 92,06

(54)

8. Data Intensitas Serangan Rebah Kecambah (%)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

9. Daftar Sidik Ragam Intensitas Serangan Rebah Kecambah

(55)

10. Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan Rebah Kecambah

SY 3,344415552

P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

SSR.05 2,91 3,06 3,14 3,21 3,27 3,3 3,34 3,36 3,38 3,385 3,41

LSR.05 9,732 10,234 10,501 10,736 10,936 11,037 11,170 11,237 11,304 11,321 11,404

38,33 38,63 42,54 42,72 44,35 44,48 47,30 48,22 49,16 49,80 50,55 55,44

a

b

c

Gambar

Gambar 1. Pythium sp. (Perbesaran 400 X) Keterangan : a. Sporangium, b. Sporangiofor, c
Gambar 2. Ilustrasi Pythium sp. Keterangan : a. Presporangium, b. Oogonium, c. Oospora yang Masak,
Gambar 3. Trichoderma koningii (Perbesaran 400 X) Keterangan : a. Konidia, b. Konidiofor c
Gambar 4. Ilustrasi  Trichoderma koningii Keterangan : a. Fialid, b. Konidia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan taman-taman kota yang ada beserta bangunan-bangunan di sekitarnya dapat dikatakan bahwa taman kota merupakan bagian yang cukup penting dalam perancangan

Siklus IV disusun berdasarkan hasil penelitian siklus III yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan tindakan ( action ) siklus IV dengan tidak mengurangi

Menghitung nilai kondisi kerusakan permukaan jalan pada tiap ruas jalan yang direncanakan menggunakan penilaian kerusakan jalan menurut Indrasurya dan P. Hasil dari

Pada saat sumber 3 phasa normal maka motor akan berjalan normal yaitu sebagai motor induksi 3 phasa, ketika sumber tiga phasa mengalami gangguan hilang 1 phasa atau

Panitia Pengadaan Barang/Jasa Kegiatan Pengadaan Perlengkapan Rumah Tangga Rumah Sakit (Dapur, Ruang Pasien, Loundry, Ruang Tunggu dan lain-lain) akan melaksanakan

[r]

Hal ini tidak bisa dianggap sebagai menyimpang dari sistem demokrasi di Indonesia dikarenakan hal ini sudah mejadi keistimewaan yang dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta

Berkomunikasi secara efektif dan empirik dengan peserta didik, orang tua peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan masyarakat. pendidik, tenaga kependidikan,