Karakteristik Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah remaja putri SMA/sederajat. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa karakteristik sampel sebelum suplementasi adalah homogen (p>0.05) (Tabel 4). Umur sampel dihitung sejak dari lahir sampai dengan saat awal pemberian suplemen. Rata-rata umur sampel adalah 16.7±0.7 tahun, dan dengan uji Anova diketahui tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan (p>0.05) (Tabel 4). Pada ketiga kelompok, sebagian besar sampel (96.4%) berada pada batasan usia remaja pertengahan (middle adolescence) yaitu antara 15-17 tahun (Brown, 2011). Remaja pertengahan memiliki beberapa karakteristik diantaranya masih dipengaruhi teman sebaya yang sangat dekat ikatannya, rasa percaya mulai menurun, mandiri secara sosial, emosional, dan finansial karena telah mampu membuat keputusan terhadap makanan dan minuman apa yang akan dikonsumsi.
Rata-rata uang saku sampel per hari adalah Rp. 4846.6±2003.4. Hasil uji Kruskal-Wallis juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata dalam hal uang saku antar kelompok perlakuan (p>0.05). Rata-rata berat badan (BB) seluruh sampel sebelum suplementasi adalah 47.2±7.0 Kg. Selang berat badan pada ketiga kelompok adalah 34-73.5 kg. Berat badan sampel diantara ketiga kelompok relatif sama, dan dengan uji Kruskal-Wallis tidak berbeda nyata (p>0.05). Standar berat badan normal remaja wanita usia 16-18 tahun adalah 50 kg (Jahari 2014). Distribusi sampel yang mempunyai berat badan dibawah normal cukup besar, yaitu 76.2% pada kelompok M, 69.8% kelompok M+Mens, dan 77.8% kelompok M+PG.
Tabel 4 Karakteristik sampel menurut kelompok perlakuan†
Karakteristik Kelompok P Sampel M M+Mens M+PG Umur (tahun) 16.7±0.8a 16.7±0.8a 16.7±0.7a 0.9332 Uang saku 5301.6±2581.8a 4555.6±1864.6 a 4846.6±1305.4 a 0.1051 BB (Kg) 47.5±6.4 a 47.9±8.3 a 46.1±6.1 a 0.3581 TB (cm) 150.8±4.5 a 150.0±5.2 a 149.1±4.5 a 0.1532 Zscore IMT/U -0.12±0.80 a -0.02±1.02 a -0.17±0.80 a 0.6442 Status Gizi Kurus Normal Gemuk Obese 1 (1.6%) 58 (92.1%) 4 (6.3%) 0 (0%) 1 (1.6%) 50 (79.4%) 10 (15.9%) 2 (3.2%) 0 (0%) 59 (93.7%) 6 (6.3%) 0 (0%) Umur pertama menstruasi (tahun) 13.2±0.9 a 12.9±1.0 b 13.1±0.8 a,b 0.0421 Lama menstruasi 6.7±1.6 a 6.6±1.0 a 6.5±1.1 a 0.8521
Lama siklus (hari) 26.5±2.2 a 26.8±3.3 a 25.4±4.7 a 0.0981
†
x ± Sd, ( ) proporsi sampel
a
Pada baris yang sama, angka dengan huruf sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05)
a,b
Pada baris yang sama, angka dengan huruf berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p<0.05)
1
30
Rata-rata tinggi badan sampel pada ketiga kelompok perlakuan adalah 149.9±4.8 cm dengan selang antara 137.1-165.2 cm (Tabel 4). Hasil uji Anova menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tinggi badan sampel di ketiga kelompok perlakuan (p>0.05). Batasan 158 cm adalah standar tinggi badan normal remaja wanita (Jahari 2014). Proporsi sampel yang mempunyai tinggi badan di bawah normal bahkan sangat besar dan mencapai hampir seluruh sampel, yaitu 96.8% kelompok M, 92.1% kelompok M+Mens, dan 98.4% kelompok M+PG.
Penilaian status gizi sampel menggunakan ukuran Zscore indeks masa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Rata-rata nilai Zscore IMT/U keseluruhan sampel pada ketiga kelompok perlakuan relatif sama yaitu -0.10SD±0.8SD dengan kisaran - 2.4SD sampai +2.2SD. Hasil analisis Anova rata-rata nilai IMT/U ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Adapun status gizi sampel sebelum suplementasi sebagian besar (88.4%) termasuk kategori normal (Tabel 4). Hasil uji menunjukkan tidak terdapat perbedaan proporsi status gizi pada ketiga kelompok perlakuan (p>0.05).
Seluruh sampel penelitian adalah remaja yang sudah mengalami menstruasi, dan teratur setiap bulannya serta tidak mengalami gangguan menstruasi. Umur pertama kali sampel mengalami menstruasi (menarche) berkisar antara 10-16 tahun. Rata-rata umur menarche sampel adalah 13.1±0.9 tahun (Tabel 4). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Briawan (2008), Februhartanty et al. (2002) dan Adrianto (2013), juga sesuai dengan Brown (2011) yang menyatakan bahwa menarche terjadi pada wanita rata-rata ketika usia 12.4 tahun, akan tetapi secara kisaran terjadi antara usia 9-17 tahun. Hasil uji kruskal wallis menunjukkan terdapat perbedaan signifikan pada umur pertama kali mendapatkan menstruasi antar ketiga kelompok perlakuan (p<0.05), yaitu antara kelompok M dengan M+Mens (uji Mann-Whitney). Namun demikian, perbedaan umur pertama kali menstruasi sampel tidak mempengaruhi outcome yang akan diukur pada penelitian. Sebanyak 21.2%
sampel sudah mengalami menstruasi sejak umur ≤ 12.0 tahun, dan bahkan 4.2%
sudah mengalami menstruasi sejak umur ≤ 10 tahun.
Lama menstruasi pada seluruh sampel berkisar antara 3-14 hari, dengan rata- rata lama menstruasi adalah 6.6±1.3 hari (Tabel 4). Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata diantara ketiga kelompok perlakuan (p>0.05). Sebagian besar sampel (86.8%) mengalami lama menstruasi normal yaitu selama 3-7 hari, dan ada sebanyak 2.1% yang mempunyai lama menstruasi lebih panjang dari normal (>8 hari). Untuk lama siklus menstruasi, rata-rata sampel secara keseluruhan mempunyai siklus menstruasi 26.5±4.1 hari. Hasil ini sejalan dengan penelitian Adrianto (2013) dimana rata-rata lama siklus menstruasi siswi SMK di Bogor adalah 26±9.0 hari.
Siklus normal menstruasi pada wanita adalah 21-35 hari. Pada penelitian ini sebagian besar sampel (88.9%) mengalami siklus menstruasi yang normal. Terdapat sebanyak 10.6% sampel yang mengalami siklus menstruasi yang pendek (<21 hari), dan sebanyak 0.5% yang mengalami siklus menstruasi yang panjang (>35 hari). Berdasarkan uji Kruskal-Wallis diketahui tidak terdapat perbedaan signifikan dalam lama siklus menstruasi pada ketiga kelompok perlakuan (p>0.05). Berdasarkan hal ini dapat dinyatakan bahwa pengeluaran zat besi pada masing-masing sampel adalah sama.
Sebelum suplementasi, sebagian besar sampel menyatakan mengalami keluhan pada saat menjelang menstruasi dengan distribusi pada kelompok M
31 88.9%, kelompok M+Mens 85.7%, dan kelompok M+PG 95.2%. Jumlah keluhan yang dirasakan masing-masing sampel berbeda-beda, namun secara rata-rata jumlah keluhan adalah 3 macam, bahkan terdapat sebanyak 15.3% sampel yang mengalami keluhan menjelang menstruasi lebih dari 5 macam. Keluhan tersebut sebagian besar adalah jerawatan (42.9%), lebih emosional (41.8%) dan 40.2% sakit pinggang. Adapun keluhan yang paling jarang dirasakan sampel adalah nyeri punggung (14.3%), dan mual (4.2%). Pada kelompok M, keluhan menjelang menstruasi yang paling banyak dirasakan sampel adalah sakit pinggang (57.1%). Keluhan yang paling banyak dirasakan sampel kelompok M+Mens adalah jerawatan (41.2%), sedangkan pada kelompok M+PG adalah lelah/lesu (47.6%).
Begitu pula dengan keluhan saat menstruasi, sebagian besar sampel (92.6%) mengalaminya. Jumlah keluhan yang dirasakan sampel secara keselurahan rata-rata berjumlah 3 macam, dengan jenis keluhan yang paling banyak dirasakan oleh sampel sedikit berbeda dengan keluhan menjelang menstruasi, yaitu antara lain lebih emosional (57.7%), lemah/lesu (53.4%), dan sakit/kram bawah perut (48.1%). Keluhan lebih emosional baik itu menjelang maupun saat menstruasi dipengaruhi oleh hormonal. Adapun rasa sakit/kram bawah perut disebabkan oleh kontraksi otot- otot perut untuk meluruhkan selaput dalam dinding rahim dan mengeluarkannya. Sedangkan untuk keluhan lemah/lesu disebabkan karena terjadinya proses perdarahan yang menyebabkan tubuh kehilangan sel darah merah, dimana diketahui sel darah merah tersebut berfungsi sebagai pengangkut nutrisi dan oksigen ke seluruh tubuh.
Setelah suplementasi terdapat penurunan jumlah sampel yang mengalami keluhan baik menjelang menstruasi maupuan saat menstruasi. Adapun jenis keluhan yang paling banyak dirasakan sampel relatif sama dengan keluhan pada saat sebelum suplementasi, yaitu menjelang menstruasi (lelah 37%, lebih emosional 36.0%, dan jerawatan 37.1%) dan saat menstruasi (lelah 47.7%, lebih emosional 47.7% dan sakit kram bawah perut 36.8%).
Sosial Ekonomi Keluarga Sampel
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa sosial ekonomi keluarga sampel sebelum suplementasi adalah homogen (p>0.05). Latar belakang pekerjaan orang tua (ayah) cukup beragam yaitu meliputi PNS, pegawai swasta, wiraswasta, petani, dan buruh (Tabel 5). Jenis pekerjaan orangtua sampel antra ketiga kelompok perlakuan sama, dengan mayoritas buruh. Sebaran sampel menurut latar belakang pekerjaan orangtua antar kelompok pelakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Dengan jenis pekerjaan tersebut rata-rata pendapatan orangtua per bulan pada ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05), yaitu sebesar Rp.790.062±684.015. Sebagian besar sampel dapat dikatakan berasal dari keluarga menengah ke bawah, dan pada semua kelompok perlakuan relatif sama.
Sebagian besar orang tua (ibu) sampel hanya menamatkan pendidikan sampai jenjang SD (63%) dan SMP (30.2%). Hasil uji menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan proporsi jenjang pendidikan ibu pada ketiga kelompok perlakuan (p>0.05). Untuk besar keluarga, pada ketiga kelompok perlakuan sebagian besar sampel termasuk keluarga kecil (57.7%) dan keluarga sedang (39.7%), dan hasil uji menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05).
32
Tabel 5 Sosial ekonomi keluarga sampel berdasarkan kelompok perlakuan†
Karakteristik Kelompok P Sampel M (n=63) M+Mens (n=63) M+PG (n=63) Pendapatan keluarga 894.342±731.794 a 757.432±721.493 a 719.532±587.808 a 0.323 Pekerjaan Ayah PNS Peg. swasta Wiraswasta Petani Buruh Tdk bekerja 0 (0%) 1 (1.6%) 13 (20.6%) 6 (9.5%) 36 (57.1%) 7 (20.1%) 0 (0%) 0 (0%) 12 (19.0%) 7 (11.1%) 37 (58.7%) 7 (11.1%) 1 (1.6%) 0 (0%) 15 (23.8%) 10 (15.9%) 34 (54.0%) 3 (4.8%) Pendidikan Ibu SD SMP/MTS SMA/SMK Diploma/S1 35 (55.6%) 22 (34.9%) 6 (9.5%) 0 (0%) 35 (55.6%) 23 (36.5%) 4 (6.3%) 1 (1.6%) 49 (77.8%) 12 (19.0%) 2 (3.2%) 0 (0%) Besar keluarga Kecil Sedang Besar 42 (66.7%) 18 (28.6%) 3 (4.8%) 31 (49.2%) 31 (49.2%) 1 (1.6%) 36 (57.1%) 26 (41.3%) 1 (1.6%) † x ± Sd, ( ) proporsi sampel Kebiasaan Makan
Sebagian besar sampel makan lengkap dalam sehari hanya dua kali (63.0%), dengan kombinasi makan pagi-malam atau siang-malam. Makan lengkap yang dimaksudkan adalah makan dengan komposisi makanan terdiri dari nasi, lauk pauk dan sayur/buah. Distribusi sampel yang makan lengkap sebanyak 2 kali sehari sebelum suplementasi pada masing-masing kelompok adalah 55.6% M, 58.7% M+Mens, dan 74.6% M+PG (Tabel 6).
Tabel 6 Sebaran sampel menurut frekuensi makan lengkap dan kelompok perlakuan sebelum dan selama suplementasi†
Frekuensi Kelompok Total
makan lengkap M M+Mens M+PG
Sebelum 1 kali 13 (20.6%) 9 (14.3%) 2 (3.2%) 24 (12.7%) 2 kali 35 (55.6%) 37 (58.7%) 47 (74.6%) 119 (63.0%) 3 kali 15 (23.8%) 17 (27.0%) 14 (22.2%) 46 (24.3%) Selama 1 kali 9 (15.5%) 5 (8.5%) 4 (6.9%) 18 (10.3%) 2 kali 40 (69.0%) 40 (67.8%) 33 (56.9%) 113 (64.6%) 3 kali 9 (15.5%) 14 (23.7%) 21 (36.2%) 44 (25.1%) † ( ) Proporsi sampel
Sebelum suplementasi tidak terdapat perbedaan pada proporsi frekuensi makan lengkap sampel antar kelompok perlakuan (p>0.05). Selama suplementasi relatif tidak terdapat perubahan frekuensi makan lengkap, yaitu yang makan dua kali sehari adalah 69.0% kelompok M, 67.8% M+Mens, dan 56.9% M+PG (Tabel 6).
33 Selama suplementasi juga diketahui tidak terdapat perbedaan pada proporsi frekuensi makan lengkap sampel antar kelompok perlakuan (p>0.05).
Sebelum suplementasi, masih dijumpai sebanyak 12.5% sampel yang mempunyai kebiasaan makan lengkap hanya satu kali sehari. Selama suplementasi, secara keseluruhan terdapat penurunan jumlah sampel yang makan lengkap hanya satu kali sehari meskipun hanya sedikit, yaitu 10.2%. Terdapat sebanyak 25.0% sampel yang mempunyai kebiasaan makan lengkap tiga kali sehari. Setelah suplementasi tidak terjadi perubahan frekuensi sampel yang makan lengkap sebanyak 3 kali/hari (Tabel 6).
Menurut Brown (2011), makanan keluarga menurun konsumsinya selama usia remaja. Kebiasaan makan remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pengaruh teman sebaya, parental modeling, food avaibility, preferensi makanan, biaya, kenyamanan, kepribadian dan kebudayaan, media massa, dan body image. Remaja umumnya tidak mempunyai waktu untuk duduk dan makan. Snacking dan melewatkan waktu makan merupakan hal yang umum terjadi. Apalagi dengan sampel yang merupakan siswa sekolah yang menghabiskan hampir sebagian besar waktunya untuk belajar di sekolah setiap harinya, membuat mereka sering melewatkan makan lengkap dan menggantinya dengan jajanan.
Kebiasaan Sarapan
Kebiasaan melewatkan waktu makan meningkat pada usia remaja. Waktu makan yang seringkali dilewatkan adalah sarapan (Brown 2011). Kebiasaan makan dalam penelitian didasarkan pada kebiasaan makan yang dilakukan dalam seminggu, dan diklasifikasikan menjadi 1) tidak pernah jika sampel tidak pernah sarapan selama seminggu, jarang 1-2 kali/minggu, kadang-kadang 3-4 kali/minggu, selalu 5-6 kali/minggu dan setiap hari. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa sebelum suplementasi secara keseluruhan terdapat sebanyak 29.1% sampel yang jarang sarapan bahkan tidak pernah sebanyak 11.6%. Namun demikian, masih terdapat cukup banyak sampel yang selalu sarapan sebelum berangkat sekolah (31.7%).
Tabel 7 Sebaran sampel menurut kebiasaan sarapan dan kelompok perlakuan sebelum dan selama suplementasi†
Kebiasaan Kelompok Total
Sarapan M M+Mens M+PG Sebelum Tidak pernah 16 (25.4%) 5 (7.9%) 1 (1.6%) 22 (11.6%) Jarang 27 (42.9%) 16 (25.4%) 12 (19.0%) 56 (29.1%) Kadang-kadang 8 (12.7%) 17 (27.0%) 29 (46.0%) 54 (28.6%) Sering 4 (6.3%) 5 (7.9%) 12 (19.0%) 21 (11.1%) Setiap hari 8 (12.7%) 20 (31.7%) 9 (14.3%) 37 (19.6) Selama Tidak pernah 10 (17.2%) 4 (6.8%) 1 (1.7%) 15 (8.6%) Jarang 19 (32.8%) 14 (23.7%) 17(29.3%) 50 (28.6%) Kadang-kadang 14 (24.1%) 15 (25.4%) 20 (34.5%) 49 (28.0%) Sering 9 (15.5%) 7 (11.9%) 10 (17.2%) 26 (14.9%) Setiap hari 6 (10.3%) 19 (32.2%) 10 (17.2%) 35 (20.0%) † ( ) Proporsi sampel
34
Kebiasaan sarapan sampel relatif tidak berubah selama suplementasi. Ini terlihat dari proporsi sampel yang mempunyai kebiasaan sarapan tidak pernah, jarang, kadang-kadang, dan selalu yang hampir sama dengan saat sebelum suplementasi. Beberapa alasan yang diungkapkan sampel yang meninggalkan sarapan antara lain: 1) kesibukan ketika akan berangkat sekolah, beberapa remaja melaporkan bahwa mereka tidak sempat untuk sarapan karena takut akan hukuman ketika mereka terlambat datang ke sekolah, 2) beberapa sampel tidak mendapatkan waktu tidur yang cukup sesuai kebutuhan mereka ketika malam hari, sebagian mereka tidur sampai saat terakhir sebelum berangkat sekolah, sehingga mereka tidak sempat makan apapun, dan 3) tidak merasa lapar.
Konsumsi Pangan Sumber Zat Besi
Kebiasaan makan dinilai dari rata-rata frekuensi konsumsi berbagai jenis kelompok pangan dalam satuan kali per minggu. Data jenis pangan yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan jenis pangan yang berkontribusi terhadap bioavailabilitas besi. Zat besi makanan terbagi menjadi hem dan non-hem. Makanan yang mengandung besi hem memiliki tingkat absoprsi 15-35%, sedangkan besi non-hem memiliki tingkat absoprsi paling rendah yaitu sebesar 2- 20%. Faktor pendukung penyerapan zat besi antara lain asam askorbat, daging, ikan atau unggas dapat meningkatkan bioavailabilitas besi non-hem hingga empat kali lipat (Monsen 1998). Sedangkan tannin, fitat, posfat, protein kedelai dan serat pangan merupakan faktor penghambat penyerapan besi (Hallberg 1983). Hasil studi Du et al. (2000) menemukan bahwa makanan hewani dan vitamin C dapat mendukung bioavailabilitas besi, juga sayuran dan buah-buahan dapat bertindak sebagai enhancer. Sementara itu, nasi, teh dan kacang-kacangan memiliki efek yang sama sebagai inhibitor terhadap bioavailabilitas besi. Tabel 8 menyajikan distibusi sampel menurut jenis kelompok pangan yang dikonsumsi kurang dari 5-7 kali/minggu, dengan membandingkan antara sebelum dan selama suplementasi.
Pangan hewani dalam penelitian ini terdiri dari daging sapi, ayam, telur, dan ikan segar. Kebiasaan sampel mengonsumsi pangan hewani sangat jarang. Hampir keseluruhan sampel mengonsumsi pangan hewani tersebut kurang dari 5-7 kali/minggu, dan ini terjadi pada semua kelompok perlakuan (Tabel 8). Pangan hewani yang rata-rata tidak pernah dikonsumsi dalam seminggu adalah daging. Sedangkan rata-rata konsumsi ayam dan ikan segar secara berurutan adalah 2 kali/minggu dan 1 kali/minggu. Padahal jenis pangan hewani tersebut merupakan pangan sumber besi hem, dimana diketahui makanan yang mengandung besi hem memiliki tingkat absoprsi yang tinggi (15-35%). Adapun Jenis pangan hewani yang masih sering dikonsumsi oleh sampel remaja adalah telur dengan rata-rata konsumsi 3 kali/minggu. Meskipun dikonsumsi dengan frekuensi sering, tetapi telur ayam termasuk pangan sumber besi non-hem yang memiliki tingkat absorpsi paling rendah yaitu hanya sebesar 2-10%.
Seperti halnya pangan hewani, konsumsi sayur pada sampel remaja juga masih rendah, terdapat sebanyak 94.7% sampel yang mengonsumsinya kurang dari 5-7 kali/minggu. Dibandingkan dengan pangan hewani dan sayur, frekuensi konsumsi buah lebih baik (25.4% sampel mengonsumsi lebih dari 5-7 kali/minggu). Du et al. (2000) dalam studinya menemukan bahwa sayur dan buah dapat bertindak sebagai enhancer zat besi, sehingga konsumsi sayur dan buah dapat membantu
35 penyerapan zat besi. Konsumsi sayur dan buah yang jarang pada sampel remaja menyebabkan rendahnya asupan zat besi.
Tabel 8 Sebaran sampel yang mengonsumsi jenis pangan kurang dari 5-7 kali/minggu sebelum dan selama suplementasi†
Bahan Kelompok Total
Pangan M M+Mens M+PG Sebelum Daging 63 (100%) 63 (100%) 63 (100%) 189 (100%) Ayam 62 (98.4%) 61 (96.8%) 61 (96.8%) 184 (95.4%) Ikan 62 (98.4%) 63 (100%) 62 (98.4%) 187 (97.7%) Telur 49 (84.5%) 53 (89.8%) 55 (94.8%) 157 (89.7%) Tahu dan tempe 44 (69.8%) 44 (68.9%) 37 (58.7%) 125 (67.4%) Sayur 60 (95.2%) 60 (95.2%) 59 (93.7%) 179 (94.7%) Buah 48 (76.2%) 44 (69.8%) 49 (77.8%) 141 (74.6%) Nasi 0 (0%) 0 (%) 1 (1.6%) 1 (0.5%) Teh 23 (36.5%) 39 (61.9%) 25 (39.7%) 87 (46.0%) Selama Daging 58 (100%) 59 (100%) 58 (100%) 175 (100%) Ayam 55 (94.8%) 58 (98.3%) 57 (98.3%) 170 (97.1%) Ikan 56 (96.6%) 59 (100%) 56 (96.6%) 171 (97.7%) Telur 49 (84.5%) 53 (89.8%) 55 (94.8%) 157 (89.7%) Tahu dan tempe 42 (72.4%) 42 (71.2%) 49 (84.5%) 133 (76.0%) Sayur 49 (84.5%) 53 (89.8%) 55(94.8%) 157 (89.7%) Buah 38 (65.5%) 51(86.4%) 49 (84.5%) 138 (78.9%)
Nasi 1 (1.7%) 0 (0%) 1 (1.7%) 2 (1.1%)
Teh 30(51.7%) 36(61.0%) 25(43.5%) 91(52.0%)
† ( ) Proporsi sampel
Kacang-kacangan, nasi, dan teh diketahui memiliki efek yang sama sebagai inhibitor terhadap bioavailabilitas besi (Du et al. 2000). Kacangan-kacangan dalam studi ini terdiri dari tahu, tempe, dan oncom. Kebiasaan konsumsi tahu dan tempe lebih baik dibandingkan dengan pangan lainnya, terdapat sebanyak 32.6% sampel yang mengonsumsinya 5-7 kali/minggu dan rata-rata frekuensi 4 kali/minggu (Tabel 8). Nasi dan teh rata-rata konsumsinya masih sangat tinggi. Untuk nasi, karena merupakan pangan pokok khususnya orang Indonesia, rata-rata konsumsinya adalah 2 kali/hari. Secara keseluruhan semua sampel mengonsumsi nasi setiap hari. Sedangkan rata-rata konsumsi air teh sampel adalah 1 kali/hari. Terdapat sebagian sampel (54%) yang mengonsumsi air teh dengan frekuensi lebih dari 5-7 kali/minggu. Masih tingginya konsumsi sampel terhadap pangan penghambat zat besi dapat menyebabkan rendahnya bioavailabilitas zat besi, sehingga menjadi faktor resiko terjadinya anemia khususnya pada remaja putri.
Selama suplementasi, terlihat rata-rata frekuensi konsumsi dan proporsi sampel yang mengonsumsi pangan kurang dari 5-7 kali/minggu relatif sama dengan sebelum suplementasi. Sebanyak 97.6% sampel masih jarang mengonsumsi pangan sumber zat besi hem pangan hewani. Juga terdapat sebanyak 89.7% dan 78.9% sampel yang jarang mengonsumsi pangan enhancer zat besi sayur dan buah secara berurutan. Sedangkan untuk pangan penghambat penyerapan zat besi (nasi dan teh), konsumsinya masih cukup tinggi yaitu nasi 98.9% dan teh 50.9% (Tabel 8). Artinya
36
kebiasaan makan sampel tidak mengalami perubahan pada saat sebelum dan selama suplementasi.
Rata-rata jumlah konsumsi pangan per hari sampel disajikan pada Tabel 9. Sebelum suplementasi, diketahui bahwa rata-rata konsumsi lauk hewani daging adalah 0.3±1.4 g/hari, ayam 17.4±13.9 g/hari, ikan 12.8±15.3 g/hari, dan telur 35.9±32.2 g/hari. Telur merupakan lauk hewani yang paling sering dikonsumsi oleh sampel remaja, sedangkan daging merupakan lauk hewani yang jarang dikonsumsi. Total konsumsi lauk hewani tersebut adalah 66.4 g/hari. Jika dibandingkan dengan anjuran pedoman gizi seimbang (PGS) mengenai ukuran porsi konsumsi anak remaja perempuan usia 16-18 tahun untuk lauk hewani adalah 3 p (150 g), maka rata-rata konsumsi lauk hewani baru mencapai 44.3% (Kemenkes 2014). Selama suplementasi terjadi rata-rata penurunan konsumsi lauk hewani yaitu daging menjadi 0.6 g, ayam 14.9 g, ikan 9.3 g dan telur 30.8 g, sehingga rata-rata total lauk hewani menurun menjadi 55.6 g/hari atau sebesar 37.1%.
Tabel 9 Rata-rata konsumsi pangan (g/hari) menurut kelompok perlakuan sebelum dan selama suplementasi†
Jenis Kelompok P Makanan M M+Mens M+PG Sebelum Daging 0.6±1.9a 0.3±1.4a 0.1±0.7a 0.145 Ayam 18.0±14.4 a 17.5±13.1 a 16.7±14.6 a 0.684 Hati (sapi/ayam) 3.2±5.4b 0.4±1.6a 0.5±1.7a 0.000 Ikan 14.0±17.5 a 12.8±15.4 a 11.5±13.1 a 0.938 Telur 30.4±2.7 38.1±27.6 39.1±42.6 0.225
Tahu dan tempe 38.8±16.9 a 35.6±21.1a 32.8±22.1 a 0.097 Sayur 53.2±39.9 a 44.7±33.0a 38.5±35.1 a 0.089 Buah 55.6±4.5 a 47.7±36.8 a 47.4±43.1 a 0.311 Nasi 207.9±63.0 a 223.8±58.8 a 233.3±53.9 a 0.088 Teh 3.3±3.7a 1.7±2.5b 3.1±3.4a 0.010 Selama Daging 1.0±3.1a 0.2±0.7a 0.4±1.6a 0.160 Ayam 17.5±17.5 a 13.3±12.5 a 14.0±13.4 a 0.637 Hati (sapi/ayam) 2.4±4.6b 0.7±2.8a 0.7±2.4a 0.009 Ikan 8.6±15.9 a,b 6.7±10.1b 12.6±15.4 a 0.023 Telur 36.1±31.3 30.0±19.8 26.4±16.7 0.391
Tahu dan tempe 43.7±31.9 a 39.4±31.7a 30.5±20.3 a 0.125 Sayur 26.8±30.0 a 21.9±21.3a 32.7±24.5 a 0.026 Buah 47.6±43.9 a 33.5±27.7a 35.1±20.9 a 0.377 Nasi 205.1±54.4 a 218.6±54.1 a 217.2±70.4 a 0.276 Teh 1.9±2.6a 1.9±3.1a 3.5±4.2b 0.014 † x ± Sd a
Pada baris yang sama, angka dengan huruf sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05) (Uji Anova antar kelompok perlakuan).
a,b
Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p<0.05) (Uji Anova antar kelompok perlakuan).
Lauk nabati yang paling popular dikalangan sampel remaja adalah tahu dan tempe. Rata-rata konsumsi tahu tempe adalah 35.7±20.2 g/hari. Jumlah ini tidak besar karena tidak lebih dari satu potong tempe ukuran sedang. Dibandingkan
37 dengan anjuran PGS konsumsi lauk nabati sebesar 3 p (150 g), maka rata-rata konsumsi lauk nabati tersebut baru mencapai 23.8%. Konsumsi lauk nabati selama suplementasi relatif tidak berubah yaitu menjadi 37.9 g (25.3%).
Kelompok sayur merupakan jenis makanan yang jarang dikosumsi sampel remaja dengan rata-rata konsumsi hanya 45.5±36.4 g/hari, sehingga jika dibandingkan dengan anjuran PGS (3 p/300 g) maka rata-rata konsumsi sayur di kalangan sampel remaja masih sangat rendah yaitu hanya sekitar 15.2%. Jenis sayuran yang paling banyak dikonsumsi adalah kangkung dan bayam. Selama suplementasi, konsumsi sayur malah menurun menjadi 27.1 g/hari, sehingga jika dibandingkan dengan anjuran PGS hanya mencapai 9.0%.
Konsumsi buah sebelum suplementasi masih lebih baik dibandingkan sayur dengan rata-rata konsumsi sebesar 50.3±40.9 g/hari. Kemudian jika jumlah ini dibandingkan dengan anjuran PGS buah yaitu 4 p (200 g), maka rata-rata konsumsi buah di kalangan sampel remaja ini sebesar 25.1% (Kemenkes 2014). Buah yang paling banyak dikonsumsi adalah jeruk, jambu biji, pisang dan pepaya. Selama suplementasi terjadi sedikit penurunan konsumsi buah menjadi sebesar 38.7 g. Sehingga rata-rata konsumsi dibandingkan PGS menjadi 19.3%.
Nasi merupakan jenis pangan yang paling banyak dikosumsi oleh sampel remaja sebagai makanan pokok. Namun jumlah rata-rata konsumsi nasi sampel per hari masih rendah yaitu sebesar 221.7±59.3 g/hari. Jika dibandingkan dengan ajuran PGS, konsumsi nasi per hari adalah 5 p (500 g) (Kemenkes 2014), maka rata-rata kosumsi sampel baru mencapai 44.3%. Setelah suplementasi konsumsi nasi relatif tidak berubah yaitu sebesar 213.7 g/hari atau 42.7% jika dibandingkan dengan anjuran PGS. Selain nasi, teh juga merupakan jenis pangan yang sering dikonsumsi oleh sampel remaja dengan rata-rata konsumsi 2.7±3.3 g/hari. Selama suplementasi rata-rata konsumsi teh relatif tidak berubah yaitu sebesar 2.4 g/hari atau setara dengan 1 gelas/hari.
Hasil uji menunjukkan sebelum suplementasi jumlah rata-rata konsumsi hampir semua jenis pangan tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan, kecuali konsumsi hati (sapi/ayam) dan teh. Terdapat perbedaan nyata (p<0.05) pada jumlah rata-rata asupan teh pada ketiga kelompok perlakuan, yaitu antara kelompok M dengan M+Mens dan antara M+Mens dengan M+PG. Dari hasil uji Anova diketahui bahwa selama suplementasi terdapat perbedaan yang signifikan pada rata- rata konsumsi hati (sapi/ayam), ikan, sayur, dan teh diantara ketiga kelompok perlakuan (p<0.05). Meskipun secara angka terlihat adanya penurunan jumlah rata- rata konsumsi pangan sampel selama suplementasi, namun uji paired sampel t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan rata-rata konsumsi pangan sampel antara sebelum dan selama suplementasi. Adapun penurunan angka rata-rata konsumsi pangan sampel selama suplementasi dikarenakan pada saat pengambilan data banyak sampel yang sedang melaksanakan puasa qodlo untuk membayar puasa ramadhan tahun sebelumnya.
Hasil studi menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi pangan sumber zat besi (lauk hewani dan lauk nabati) dan enhancer zat besi (sayur dan buah) di kalangan remaja masih sangat rendah, di sisi lain konsumsi pangan inhibitor zat besi (tahu tempe, nasi dan teh) masih cukup tinggi. Hal ini dapat berpengaruh terhadap rendahnya bioavailabilitas zat besi, sehingga beresiko terhadap terjadinya defisiensi zat besi. Sebagaimana Sediaoetama (2000) menyebutkan bahwa asupan zat besi dipengaruhi oleh kuantitas dan bioavailabilitas zat besi dalam diet serta kapasitas
38
absorpsi besi itu sendiri. Intake zat besi yang kurang dari angka kecukupan yang dianjurkan akan meningkatkan resiko terjadinya defisiensi besi.
Asupan Zat Gizi
Asupan zat gizi yang diamati dalam penelitian ini adalah zat gizi yang berpengaruh terhadap kejadian anemia, antara lain zat besi, protein, vitamin A, asam folat dan vitamin C. Rata-rata asupan zat gizi sampel sebelum dan selama suplementasi dapat dilihat pada tabel 10. Sebelum suplementasi, hasil analisis Anova untuk asupan zat besi, vitamin A, dan asam folat berbeda nyata pada ketiga kelompok perlakuan (p<0.05). Asupan zat gizi besi sebelum suplementasi pada ketiga kelompok perlakuan secara berturut-turut adalah 5.2 mg/hari kelompok M, 4.4 mg/hari kelompok M+Mens dan 4.2 mg/hari kelompok M+PG (Tabe1 l0). Angka ini hampir sama dengan hasil studi Marudut (2012) yang mengamati asupan zat besi pada sampel remaja SMA di Tangerang, diperolah rata-rata asupan zat besi