• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate/SR)

Analisis tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR) penting dilakukan karena SR merupakan indikator risiko produksi pada usaha pembenihan ikan lele sangkuriang dan lele dumbo. SR yang diperoleh dapat mempengaruhi pendapatan petani. Pada dasarnya lele sangkuriang memiliki keunggulan dalam jumlah telur yang dihasilkan oleh induk (fekunditas telur) dan jumlah telur yang menetas (Hatching Rate) lebih banyak dibandingkan lele dumbo. Sehingga mampu mempengaruhi tingkat kelangsungan hidupnya. Disamping itu, pertumbuhan lele sangkuriang lebih cepat dibandingkan lele dumbo. Sehingga mempengaruhi waktu pemeliharaan, meskipun ukuran yang dihasilkan sama namun waktu pemeliharaan dapat berbeda. Ukuran benih lele sangkuriang dan benih lele dumbo yang diteliti adalah ukuran 3-5 cm. Satu siklus produksi lele sangkuriang adalah 30 hari, sedangkan lele dumbo 40 hari.

SR Benih Lele Sangkuriang

Input pembenihan lele berdasarkan jumlah induk betina yang digunakan untuk pemijahan. Hal tersebut dikarenakan induk betina menghasilkan telur yang akan menetas menjadi benih. Penentuan jumlah ikan awal lele sangkuriang diperoleh berdasarkan jumlah induk yang digunakan untuk memijah, sehingga diperoleh rata-rata jumlah induk betina yang dipijahkan yaitu 2 ekor (pembulatan dari 2.2) dengan berat induk betina adalah 2 kg/ekor.

Petani tidak melakukan perhitungan jumlah awal benih, tetapi hanya menghitung jumlah akhir ketika panen. Penetapan jumlah awal benih yaitu saat telur menetas menjadi larva. Jumlah larva yang menetas tersebut menjadi jumlah awal benih. Oleh karena itu dalam perhitungan jumlah benih awal didasarkan pada data DKP (2005) jumlah fekunditas telur lele sangkuriang adalah 50 000 butir/kg berat badan

43 induk, asumsi jumlah telur yang dibuahi (fertilization rate/FR) adalah 90 persen dan asumsi jumlah telur yang menetas dari telur yang dibuahi (hatching rate/HR) adalah 90 persen. Perhitungan nilai SR dapat dilihat pada Lampiran 2. Nilai HR digunakan sebagai penentu jumlah ikan awal. Jumlah ikan akhir diperoleh dari output hasil panen petani. SR benih lele sangkuriang dapat dilihat pada Tabel 12.

Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa SR rata-rata benih lele sangkuriang ukuran 3-5 cm dari 10 orang petani di Kecamatan Pagelaran yaitu 56 persen dengan rata-rata jumlah ikan akhir saat panen yaitu 99 450 ekor benih. Nilai SR rata-rata lele sangkuriang yang diperoleh di Kecamatan Pagelaran berbeda dengan SR normal yaitu > 90 persen (DKP, 2005). Disamping itu, SR lele sangkuriang di Kecamatan Pagelaran berbeda dengan hasil penelitian Farman (2013) dengan nilai SR 70.2 persen atau jumlah rata-rata 120 000 ekor benih. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara nilai standar dengan nilai aktual. Sehingga hal tersebut mengindikasikan adanya risiko produksi pada usaha pembenihan lele di Kecamatan Pagelaran. Perbedaan nilai SR dapat dikarenakan perbedaan wilayah, sehingga dapat dipengaruhi oleh perbedaan faktor iklim, cuaca dan kualitas air. Disamping itu, dipengaruhi faktor eksternal dari sumber daya manusia sendiri dalam proses produksi yang meliputi pemberian pakan , pergantian air dan sortasi.

Tabel 12 Tingkat kelangsungan hidup (SR) benih lele sangkuriang di Kecamatan Pagelaran dalam satu siklus produksi pada bulan November-Desember 2013 Petani Jumlah Jumlah larva awal Jumlah benih akhir SR (%)

Induk (ekor) (ekor) (ekor)

1 2 162 000 135 000 83 2 2 162 000 63 000 39 3 2 162 000 150 000 93 4 2 162 000 75 000 46 5 3 243 000 135 000 56 6 2 162 000 93 600 58 7 3 243 000 150 000 62 8 2 162 000 132 900 82 9 2 162 000 15 000 9 10 2 162 000 45 000 28 Rata-rata 2.2 178 200 99 450 56

Petani yang memiliki nilai SR dibawah rata-rata berjumlah 4 orang dengan kisaran SR 9 persen hingga 46 persen, petani yang memiliki nilai SR diatas rata-rata berjumlah 3 orang juga dengan kisaran SR 58 persen hingga 93 persen dan 1 petani memiliki nilai SR sama dengan SR rata-rata. Nilai SR tertinggi yaitu sebesar 93 persen, sedangkan nilai SR terendah yaitu sebesar 9 persen. SR rata-rata lele sangkuriang sebesar 56 persen berbeda dengan SR lele sangkuriang Farman (2013) di usaha pembenihan Saung Lele di Kecamatan Sukaraja, Bogor yaitu sebesar 70 persen. Adanya perbedaan SR lele sangkuriang tersebut dapat dipengaruhi oleh karakteristik dan kondisi wilayah yang berbeda.

44

SR tertinggi sebesar 93 persen menunjukkan bahwa jumlah benih yang hidup lebih banyak dibandingkan jumlah benih petani lainnya dan tingkat kematian benihnya pun lebih sedikit hanya 7 persen. Apabila dilihat dari pengalaman usahanya, petani tersebut telah memiliki pengalaman dalam usaha pembenihan lele sangkuriang selama 17 tahun. Lamanya pengalaman usaha yang dimiliki mempengaruhi pemahaman dan kemampuan petani dalam mengelola usaha dan meminimalisir risiko yang terjadi dalam usaha pembenihan lele. Beberapa cara yang dilakukan dalam meminimalisir risiko kematian benih yaitu dengan rutin melakukan pergantian air agar kualitas air tetap terjaga, sehingga dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat penumpukan sisa pakan dan feses. Kualitas air yang buruk tersebut dapat membuat benih stress, timbulnya penyakit hingga kematian benih.

Petani yang memiliki nilai SR sebesar 9 persen menunjukkan bahwa jumlah benih yang hidup lebih sedikit dan benih yang mati paling besar dibandingkan petani lainnya. Apabila dilihat dari pengalaman usaha, petani yang memiliki nilai SR terendah memiliki pengalaman belum cukup lama. Namun bila dilihat dari pengalaman saja belum cukup. Hal tersebut dikarenakan usaha pembenihan lele sangkuriang di Kecamatan Pagelaran umumnya berlokasi diluar ruangan (outdoor) dengan wadah pemeliharaan berupa bak terpal yang berukuran 3x5 m. Oleh karena itu kelangsungan hidup benih dipengaruhi oleh kondisi alam. Disamping itu adanya penyakit, kualitas air yang buruk dan penanganan (handling) yang kurang tepat merupakan faktor penyebab kematian ikan yang mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup ikan.

SR Benih Lele Dumbo

Penentuan jumlah ikan awal benih lele dumbo sama dengan penentuan jumlah awal benih benih lele sangkuriang. Hal tersebut dikarenakan petani tidak melakukan perhitungan jumlah awal benih, tetapi hanya menghitung jumlah akhir ketika panen. Penetapan jumlah awal benih yaitu saat telur menetas menjadi larva. Jumlah larva yang menetas tersebut menjadi jumlah awal benih. Oleh karena itu dalam perhitungan jumlah benih awal didasarkan pada data DKP (2005) asumsi jumlah fekunditas telur yang dihasilkan, dalam 1 kg induk lele dumbo betina terdapat 30 000 butir telur/kg induk. Jumlah induk rata-rata yang pijahkan adalah 2 ekor (pembulatan dari 2.3), dengan bobot 2 kg/ekor induk. Asumsi FR dan HR adalah 90 persen, Perhitungan nilai SR dapat dilihat pada Lampiran 2. Nilai HR digunakan sebagai penentu jumlah ikan awal. Jumlah ikan akhir diperoleh dari output hasil panen petani. SR benih lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 menunjukkan bahwa SR rata-rata benih lele dumbo sebesar 43 persen. Petani yang memiliki nilai SR dibawah rata-rata berjumlah 6 orang dengan kisaran SR 12 hingga 32 persen, petani yang memiliki nilai SR diatas rata-rata hanya berjumlah 3 orang dan terdapat 1 orang petani yang memiliki nilai SR sama dengan SR rata-rata. SR benih lele dumbo terendah yaitu 12 persen dan SR tertinggi sebesar 93 persen. Nilai SR rata-rata lele dumbo ini lebih rendah dibandingkan SR benih lele sangkuriang dengan ukuran output yang sama 3-5 cm yaitu mencapai 61 persen. Dapat dipahami bila SR rata-rata lele dumbo dumbo lebih rendah dibandingkan lele sangkuriang, karena lele sangkuriang memiliki keunggulan daya tahan tubuh lebih baik dibandingkan lele dumbo. Meskipun kedua jenis lele tersebut mampu mencapai SR lebih dari 90 persen (Mahyuddin, 2012).

45 Tabel 13 Tingkat kelangsungan hidup (SR) benih lele dumbo di Kecamatan Pagelaran

dalam satu siklus produksi pada bulan November-Desember 2013

Petani Jumlah Jumlah larva awal Jumlah benih akhir SR (%)

Induk (ekor) (ekor) (ekor)

1 2 97 200 90 000 93 2 2 97 200 21 000 22 3 2 97 200 27 000 28 4 2 97 200 12 000 12 5 2 97 200 60 000 62 6 2 97 200 37 200 38 7 2 97 200 31 500 32 8 3 145 800 26 100 18 9 3 145 800 30 000 21 10 3 145 800 82 500 57 Rata-rata 2.3 111 780 41 730 38

SR rata-rata benih lele dumbo 38 persen menunjukkan bahwa tingkat kematian benih lebih besar dibandingkan benih yang hidup, dengan tingkat kematian sebesar 62 persen. Diduga bahwa tingkat risiko pembenihan lele dumbo cukup tinggi dibandingkan lele sangkuriang. Di samping itu, SR rata-rata benih lele dumbo di Kecamatan Pagelaran sebesar 38 persen berbeda dengan SR normal yaitu > 90 persen (DKP, 2005). Hal tersebut menunjukkan ketidaksesuaian antara nilai SR normal dengan SR aktualnya, sehingga mengindikasikan adanya risiko produksi pada usaha pembenihan lele dumbo.

Adanya perbedaan nilai SR lele sangkuriang dan lele dumbo dapat dikarenakan daya tahan tubuh benih lele dumbo lebih rentan terserang penyakit dibandingkan lele sangkuriang. Sehingga benih mudah terkena penyakit dan mati. Sedangkan lele sangkuriang memiliki keunggulan tidak mudah terkena penyakit. Bila penanganan benih yang terkena penyakit baik, maka kematian dapat diminimalisir. Disamping itu, bila dilihat dari pengalaman usahanya, pengalaman petani lele dumbo masih belum cukup lama dibandingkan pengalaman petani lele sangkuriang.

Penerimaan Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran

Penerimaan petani pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo dalam penelitian ini diperoleh dari penjualan output benih ukuran 3-5 cm selama satu siklus produksi terakhir. Satu siklus produksi lele sangkuriang adalah 30 hari, sedangkan lele dumbo selama 40 hari. Periode siklus produksi yang digunakan berkisar antara bulan November dan Desember 2013. Input yang digunakan sama pada usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo yaitu 2 ekor induk betina yang dipijahkan dengan berat 2 kg/ekor induk. Wadah pemeliharaan yang digunakan adalah bak terpal yang berukuran 3x5 m per bak.

Benih lele ukuran 3-5 cm dijual tidak dalam satuan ekor tetapi dalam takaran gelas. Ukuran 3-5 cm dipilih berdasarkan hasil panen petani responden. Umumnya petani pembenihan lebih banyak yang menjual benih ukuran 3-5 cm karena lebih

46

menguntungkan. Disamping itu permintaan dari petani pembesaran lele pun sama yaitu benih lele yang berukuran 3-5 cm, dengan pertimbangan bahwa benih ukuran 3-5 cm memiliki daya tahan tubuh yang baik sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungan baru yaitu dalam kolam tanah.

Gelas yang digunakan petani sebagai alat takar yaitu gelas biasa yang digunakan untuk minum, pada bagian bawah gelas berbentuk seperti buah belimbing. Gelas tersebut sudah menjadi alat takar yang baku oleh seluruh petani pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran. Jumlah benih lele ukuran 3-5 cm dalam satu gelas yaitu 300 ekor. Sehingga benih dijual dengan harga per gelas bukan per ekor benih.

Takaran panen yang benih yang dijual di Kecamatan Pagelaran berbeda dengan Zelvina (2009) dengan komoditas benih patin ukuran 2 cm atau berumur 21 hari dijual per ekor dengan harga Rp80; Brajamusti (2008) dengan komoditas benih bawal yang dipanen berumur 7 hari dijual per ekor dengan harga Rp7.5 dan Novandina (2013) benih nila GMT ukuran 2-3 cm dijual dengan hargaRp20/ekor. Berbeda halnya dengan Guntur (2011) lele bapukan konsumsi yang dipanen ukuran 500-700 gram dipanen dengan harga Rp8 000/kg. Harga jual lele konsumsi Guntur (2011) di daerah Losarang, Kabupaten Indramayu lebih rendah dibandingkan dengan harga jual lele konsumsi di Kecamatan Pagelaran yaitu Rp15 000/kg. Harga jual lele konsumsi dan benih lele di Kecamatan Pagelaran umumnya sama yaitu Rp15 000/kg untuk lele konsumsi dan Rp15 000/gelas untuk benih lele ukuran 3-5 cm. Penerimaan benih lele sangkuriang dan lele dumbo ukuran 3-5 cm dalam satu siklus produksi ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 14 Penerimaan usaha benih lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan

Pagelaran (luas kolam 90 m2) dalam satu siklus produksi bulan November- Desember 2013

Komponen

Lele Sangkuriang Lele Dumbo

Kondisi Risiko Kondisi Normala Gap (%) Kondisi Risiko Kondisi Normala Gap (%)

Jumlah Induk (ekor) 2 2 - - 2 2 - -

Berat Induk (kg/ekor) 2 2 - - 2 2 - -

SR (%) 56 90 34 38 38 90 52 58

Produksi (ekor) 99 450 169 290 69 840 41 41 730 106 191 64 461 61

Takaran panen (gelas) 337 535 198 37 139 335 196 59

Harga/gelas (Rp) 15 200 15 200 - - 15 000 15 000 - -

Penerimaan (Rp) 5 202 500 8 577 360 3 374 860 39 2 065 400 5 309 550 3 244 150 61 Penerimaan rata-rata

(Rp/ekor) 52 51 1 2 49 50 1 2

a

Kondisi normal dengan SR 90 persen berdasarkan DKP (2005) sehingga komponen lain disesuaikan dengan SR 90 persen.

Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa dengan input induk yang sama namun penerimaan yang diterima petani berbeda. Penerimaan petani benih lele sangkuriang yang dipanen pada kondisi risiko lebih besar dibandingkan penerimaan petani benih lele lele dumbo. Faktor yang menyebkan perbedaan penerimaan tersebut yaitu jumlah produksi benih lele yang dipanen dan harga jual pergelasnya. Jumlah benih lele sangkuriang yang dipanen lebih besar dibandingkan benih lele dumbo yaitu sebanyak 99 450 ekor atau 337 gelas dengan harga Rp15 200/gelas sehingga penerimaan yang

47 diperoleh adalah Rp5 202 500, sedangkan benih lele dumbo yang dipanen sebanyak 139 gelas atau 41 730 ekor, dengan harga Rp15 000/gelas sehingga penerimaan yang diperoleh sebesar Rp2 065 400. Penerimaan per output lele sangkuriang lebih besar pula dibandingkan lele dumbo.

Bila dikonversikan dalam harga jual per ekor benih maka diperoleh harga jual benih lele sangkuriang yaitu Rp51/ekor. Penerimaan lele sangkuriang yang diperoleh tersebut dengan nilai SR 56 persen jauh berbeda dengan penerimaan yang diperoleh bila SR berada pada kondisi normal dengan SR 90 persen yaitu Rp8 132 000. Hal tersebut masuk dalam kondisi risiko, karena terdapat ketidaksesuain antara standar dan aktualnya. Ketidaksesuaian SR tersebut menimbulkan gap (perbedaan) hasil produksi sebesar 41 persen dan penerimaan petani lele sangkuriang sebesar 39 persen dibandingkan pada kondisi normal. Begitu pula dengan penerimaan petani lele dumbo pada kondisi risiko dibandingkan dengan kondisi normal terdapat perbedaan hasil produksi dan penerimaan sebesar 61 persen. Petani lele dumbo memiliki perbedaan terbesar antara kondisi risiko dengan kondisi normal.

Harga jual per gelas benih lele lele dumbo dan lele sangkuriang tidak jauh berbeda, hanya selisih Rp200. Harga jual benih lele per gelas bila dikonversikan dalam harga jual per ekor benih maka diperoleh harga benih lele sangkuriang adalah Rp51/ekor sedangkan lele dumbo Rp50/ekor jadi hanya berbeda Rp1. Pada dasarnya harga benih lele sangkuriang dan lele dumbo hampir sama. Harga benih lele per gelas dipengaruhi oleh harga lele konsumsi per kg. Sehingga dapat dikatakan bahwa harga benih lele mengikuti harga ikan konsumsi. Meskipun harga benih cenderung sama, akan tetapi penerimaan yang diperoleh petani lele sangkuriang lebih besar dibandingkan petani lele dumbo. Hal utama yang membedakan jumlah penerimaan adalah banyaknya jumlah ikan yang di panen. Semakin banyak benih yang dipanen maka penerimaan semakin meningkat.

Biaya Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran

Biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani (Soekartawi, 2006). Analisis biaya yang dilakukan pada penelitian ini dibedakan menjadi biaya tunai dan tidak tunai (biaya diperhitungkan). Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar secara tunai. Komponen biaya tunai usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo adalah sama. Hal yang membedakan adalah jumlah, harga per satuan dan total biaya. Adapun komponen biaya tunai adalah pakan induk, pakan larva yaitu cacing sutera, pakan benih yaitu pelet merk CP dan pelet merk Fengli, pembayaran listrik dan upah tenaga kerja luar keluarga.

Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah pengeluaran yang secara tidak tunai dikeluarkan petani yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Meskipun secara fisik petani tidak mengeluarkan biaya dalam penggunaannya, namun secara peluang ada biaya yang dikorbankan dari penggunaannya. Komponen yang termasuk dalam biaya tetap diperhitungkan adalah, penyusutan dan sewa lahan milik sendiri, sedangkan yang termasuk biaya variabel yang diperhitungkan adalah tenaga kerja dalam keluarga.

Komponen biaya tunai dan biaya diperhitungkan tersebut umumnya sama dengan komponen biaya tunai pada Zelvina (2009), Brajamusti (2008) dan Novandina (2013), karena usaha yang dilakukan sama yaitu pada segmen pembenihan ikan meskipun komoditas berbeda. Akan tetapi komponen biaya tunai berbeda dengan Guntur (2011) meskipun komoditas yang diusahakan sama yaitu ikan lele namun

48

berbeda dalam segmen usahanya yaitu pembesaran ikan dengan output ikan lele ukuran konsumsi 500-700 gram. Hal yang membedakan yaitu input utama pembesara lele adalah benih lele, sedangkan input utama usaha pembenihan adalah indukan.

Usaha pembenihan memiliki modal utama adalah induk. Pengadaan induk dimasukkan ke dalam biaya penyusutan. Hal ini dikarenakan induk lele memiliki nilai ekonomis sampai dengan umur 3 tahun. Setelah lebih dari 3 tahun induk mengalami penurunan produksi yaitu menurunnya kualitas dan jumlah telur yang dihasilkan, sehingga mempengaruhi jumlah benih yang dihasilkan.

Biaya rata-rata usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo dalam penelitian adalah untuk satu siklus produksi terakhir. Satu siklus produksi lele sangkuriang adalah 30 hari. Periode siklus produksi yang digunakan berkisar antara bulan November dan Desember 2013. Input yang digunakan sama pada usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo yaitu 2 ekor induk betina yang dipijahkan dengan berat 2 kg/ekor induk. Wadah pemeliharaan yang digunakan adalah bak terpal yang berukuran 3x5 m/bak, luas total 90 m2. Rincian biaya rata-rata usaha pembenihan lele sangkuriang dalam satu siklus produksi dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Rincian biaya rata-rata usaha pembenihan lele sangkuriang di Kecamatan

Pagelaran (luas kolam 90 m2 ) dalam satu siklus produksi bulan November- Desember 2013

Komponen

Lele Sangkuriang

Kondisi Risiko Kondisi Normala Gap/perbedaan

Jumlah Biaya (Rp) (%) Jumlah Biaya

(Rp) Jumlah

Biaya (Rp) (%)

b

SR (%) 56 90 34

Produksi (output) ekor 99 450 169 290 69 840

Biaya Tunai a. Pakan Induk (kg) 15.8 134 300 10 25.39 215 839 9.59 81 539 38 b. Cacing Sutera (kg) 51 346 800 25 82 557 357 31 210 557 38 c. Pelet CP (kg) 17 272 000 20 27.32 437 143 10.32 165 143 38 d. Pelet Fengli (kg) 15.3 230 265 17 24.59 370 069 9.29 139 804 38 d. Listrik 15 100 1 15 100 e. Upah TKLK (HOK) 3.46 103 800 7 5.56 166 821 2.1 63 021 38

Total Biaya Tunai 1 102 265 1 771 497 669 232 38

Biaya tunai rata-rata

(Rp/ekor) 11 10 1 10

Biaya Diperhitungkan

a. TKDK (HOK) 3.87 116100 8 6.22 186 589 2.35 70 489 38

b. Penyusutan 140348 10 140 348

c. Sewa lahan milik sendiri 32300 2 32 300

Total Biaya Diperhitungkan 288748 463 818 175 070 38

Biaya Diperhitungkan rata-rata

(Rp/ekor) 3 3

Total Biaya (TC) 1 391 013 100 2 226 148 835 135 38

Total biaya rata-rata

(Rp/ekor) 14 13 1 8

a

Kondisi normal dengan SR 90 persen berdasarkan DKP (2005) sehingga komponen lain disesuaikan dengan SR 90 persen.

b

49 Perhitungan biaya berdasarkan perolehan SR benih secara aktual yaitu dengan SR 56 persen untuk lele sangkuriang dan 38 persen untuk lele dumbo. SR tersebut tidak sama dengan SR pada kondisi normal yaitu lebih dari 90 persen, dengan penetapan berdasarkan DKP (2005) SR normal yang digunakan adalah 90 persen. Oleh karena itu, SR aktual tidak sama dengan SR normal, maka SR aktual berada pada kondisi risiko. Komponen biaya dalam kondisi normal dikondisikan pada SR 90 persen, sehingga terdapat gap/perbedaan biaya antara kondisi normal dan risiko. Kondisi normal dengan SR 90 persen berpengaruh pada biaya variabel tunai dan diperhitungkan, sedangkan biaya tetap tidak terpengaruh. Siklus produksi lele dumbo adalah 40 hari. Periode siklus produksi yang digunakan berkisar antara bulan November dan Desember 2013. Rincian biaya rata-rata usaha pembenihan lele dumbo dalam satu siklus produksi dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Rincian biaya rata-rata usaha pembenihan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran (luas kolam 90 m2) dalam satu siklus produksi bulan November- Desember 2013

Komponen

Lele Dumbo

Kondisi Risiko Kondisi Normala Gap/perbedaan

Jumlah Biaya (Rp) (%) Jumlah Biaya (Rp) Jumlah Biaya (Rp) (%) b SR (%) 38 90 52

Produksi (output) ekor 41 730 106191 64461

Biaya Tunai a. Pakan Induk (kg) 16.8 142 800 12 39.79 338 211 22.99 195 411 58 b. Cacing Sutera (kg) 46 317 400 27 109 751 737 63 434 337 58 c. Pelet CP (kg) 12.5 199 500 17 29.61 461 546 17.11 262 046 57 d. Pelet Fengli (kg) 12.1 186 094 16 28.75 440 749 16.65 254 655 58 d. Listrik 13 150 1 13 150 e. Upah TKLK (HOK) 1.4 42 000 4 3.32 99 474 1.92 57 474 58

Total Biaya Tunai 900 944 2 104 866 1 221 917 58

Biaya tunai rata-rata

(Rp/ekor) 22 20 2 10

Biaya Diperhitungkan

a. TKDK (HOK) 7.03 210 900 18 16.65 499 500 9.62 288 600 58

b. Penyusutan 55 152 5 55 152

c. Sewa lahan milik

sendiri 27 306 2 27 306

Total Biaya

Diperhitungkan 293 358 581 958 288 600 50

Biaya diperhitungkan rata-

rata (Rp/ekor) 7 5 2 36

Total Biaya 1 194 302 100 2 686 824 1 492 522 56

Total biaya rata-rata

(Rp/ekor) 29 25 4 16

a

Kondisi normal dengan SR 90 persen berdasarkan DKP (2005) sehingga komponen lain disesuaikan dengan SR 90 persen.

b

50

Berdasarkan Tabel 15 dan Tabel 16 maka komponen biaya tunai dari usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo dijelaskan sebagai berikut :

a. Pakan Induk

Komponen biaya tunai yang pertama adalah pakan induk. Umumnya induk lele sangkuriang dan lele dumbo diberi pakan buatan yaitu pelet. Harga pakan indukan sama yaitu Rp8 500/kg. Jumlah pelet yang dihabiskan induk lele dumbo lebih banyak dibandingkan lele sangkuriang. Lele sangkuriang menghabiskan 15.8 kg pelet dalam satu siklus dengan biaya Rp134 300, sedangkan lele dumbo menghabiskan 16.8 kg dengan biaya Rp140 700. Dengan demikian pengeluaran pakan induk lele dumbo lebih besar daripada lele sangkuriang.

Hal tersebut dikarenakan jumlah induk lele dumbo lebih banyak dibanding lele sangkuriang. Biaya pakan yang semakin tinggi, menjadikan petani mencari alternatif pakan untuk induk. Pakan alternatif yang biasa diberikan adalah keong mas yang diperoleh dengan mencari sendiri ke kolam. Biaya pakan induk lele sangkuriang akan berbeda saat SR berada pada kondisi normal dengan perbedaan sebesar 38 persen, sama halnya dengan pakan induk lele dumbo secara aktual pada kondisi risiko terdapat perbedaan biaya sebesar 58 persen dibandingkan biaya saat kondisi normal.

Hal utama yang perlu diperhatikan bagi pelaku usaha adalah biaya tunai karena biaya ini merupakan modal operasional yang harus dimiliki oleh pelaku usaha untuk menjalankan aktivitas usahanya. Proporsi penggunaan biaya tunai ini apabila dilihat dari persentase penggunaan terhadap biaya totalnya ternyata lebih besar dari biaya diperhitungkan. Persentase penggunaan biaya tunai adalah 75 persen dari biaya totalnya, sedangkan persentase untuk penggunaan biaya diperhitungkan adalah 25 persen dari biaya totalnya. Komponen terbesar dari total biaya tunai yang dikeluarkan adalah biaya pakan pakan benih dan pakan induk.

Komponen kedua dari biaya tunai adalah pakan benih. Terdapat tiga macam pakan untuk benih sesuai dengan tahapan pertumbuhan ikan. Pakan tersebut yaitu cacing sutera, pakan buatan merk CP (Charon Phokpand) dan Fengli.

b. Cacing Sutera

Cacing sutera merupakan pakan alami yang mulai diberikan ketika larva berumur 3 hari setelah menetas hingga larva berumur 13 hari. Pembelian cacing sutera yaitu dalam takaran gelas dengan harga Rp7 000/gelas. Cacing sutera yang dihabiskan untuk lele sangkuriang adalah 51 gelas dengan biaya Rp346 800. Lele dumbo menghabiskan 46 gelas cacing sutera dengan biaya Rp317 400. Terdapat perbedaan biaya cacing sutera saat kondisi risiko dan kondisi normal, perbedaan biaya lele

Dokumen terkait