• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Risiko Produksi Terhadap Keuntungan Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Risiko Produksi Terhadap Keuntungan Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH RISIKO PRODUKSI TERHADAP KEUNTUNGAN

USAHA PEMBENIHAN IKAN LELE DI KECAMATAN

PAGELARAN KABUPATEN PRINGSEWU

PROVINSI LAMPUNG

DISKA HAERANI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Risiko Produksi Terhadap Keuntungan Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Diska Haerani

(3)

ABSTRAK

DISKA HAERANI. Pengaruh Risiko Produksi Terhadap Keuntungan Usaha Pembenihan Ikan Lele Di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI.

Survival rate (SR) merupakan indikator dari risiko produksi pembenihan lele. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh risiko produksi terhadap keuntungan petani di Kecamatan Pagelaran dan mengetahui sikap yang dilakukan oleh petani dalam menghadapi risiko produksi. Berdasarkan hasil penelitian, SR mempengaruhi penerimaan hingga akhirnya mempengaruhi keuntungan usaha. Semakin rendah SR maka keuntungan usaha yang diterima rendah, begitu pula sebaliknya semakin tinggi nilai SR maka keuntungan yang diterima pun tinggi. Pada kondisi risiko SR lele sangkuriang sebesar 56 persen sedangkan SR lele dumbo yaitu sebesar 38 persen, SR normal yaitu 90 persen. Sehingga keuntungan usaha pembenihan lele sangkuriang lebih besar dibandingkan lele dumbo dengan nilai keuntungan bersih sebesar Rp3 811 487. Terdapat tiga sikap yang dilakukan petani ketika menghadapi penurunan produksi secara drastis atau nilai SR hampir mendekati 0 persen akibat kematian massal yaitu tetap melanjutkan usaha dengan langsung melakukan pemijahan untuk siklus berikutnya, memilih untuk menghentikan sementara usaha dan beralih pada komoditas lain.

Kata kunci : lele, risiko produksi, SR, keuntungan usaha, sikap petani

ABSTRACT

DISKA HAERANI. The Influence of Production Risk to Farmer Catfish Hatchery Sales Revenue at Pagelaran Subdistrict, Pringsewu District, Lampung Province. Supervised by ANNA FARIYANTI.

Survival Rate (SR) is an indicator of the risk of catfish hatchery production. The research aims to analyze the influence of production risk to farmer sales revenue at Pagelaran Subdistrict and also to knowing farmer preference to production risk which is decreased production drastically. Based on the research, SR can influence sales revenue because the number of fish that are harvested determine the magnitudes of the sales revenue. If the SR is low, the the income also low. However, if the SR is high, the the income getting high. The SR value at risk condition is 56 percent of Sangkuriang Catfish is higher compared with Dumbo Catfish SR that amounted to 38 percent.SR normal is 90 percent. So the Sangkuriang sales revenue is bigger than the Dumbo which has Rp3 811 487 net income value. There are three preference do farmer when facing the drastically decreased production or SR close to zero persen because of the mass death, the first is continued efforts by directly doing the spawning cycle for the next, the second is choose to temporarily stop the production and the third is swith on other commodities.

(4)

DISKA HAERANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

PENGARUH RISIKO PRODUKSI TERHADAP KEUNTUNGAN USAHA

PEMBENIHAN IKAN LELE DI KECAMATAN PAGELARAN

KABUPATEN PRINGSEWU

PROVINSI LAMPUNG

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Pengaruh Risiko Produksi Terhadap Keuntungan Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung

Nama : Diska Haerani NIM : H34114058

Disetujui oleh

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember ini ialah analisis keuntungan usaha yang di akomodasi risiko produksi, dengan judul Pengaruh Risiko Produksi terhadap Keuntungan Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku dosen pembimbing, kepada Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen evaluator, kepada Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji utama dan Dra. Yusalina, MS selaku dosen penguji komdik yang telah banyak memberikan saran dan masukan terhadap skripsi penulis. Penghargaan penulis sampaikan kepada petani pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung yang telah mengijinkan untuk melaksanakan penelitian dan telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 9

TINJAUAN PUSTAKA 9

Teknik Pembenihan Ikan Lele 9

Kajian Penelitian Risiko Produksi Ikan Lele 11

Kajian Penelitian Pendapatan Usaha Perikanan 12

KERANGKA PEMIKIRAN 13

Kerangka Pemikiran Teoritis 13

Kerangka Pemikiran Operasional 22

METODE PENELITIAN 23

Lokasi dan Waktu Penelitian 23

Jenis dan Sumber Data 24

Metode Penentuan Responden 24

Metode Pengolahan dan Analisis Data 24

Definisi Operasional 28

KARAKTERISTIK RESPONDEN 29

Karakteristik Wilayah 29

Gambaran Umum Demografis 29

Kegiatan Produksi Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran 29

Karakteristik Petani 33

Sumber Risiko Produksi Pembenihan Lele di Kecamatan Pagelaran 37

HASIL DAN PEMBAHASAN 42

Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate/SR) 42 Penerimaan Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran 45 Biaya Usaha Pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran 47 Pengaruh SR terhadap Keuntungan Usaha Pembenihan Ikan Lele 54

Sikap Petani Terhadap Risiko Produksi 58

SIMPULAN DAN SARAN 61

Simpulan 61

Saran 62

DAFTAR PUSTAKA 62

LAMPIRAN

(8)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan Produksi Perikanan Budidaya Tahun 2007 – 2011(Ton) 2 2 Sembilan daerah penghasil perikanan budidaya terbesar di Indonesia

tahun 2008-2011 (Ton) 2

3 Jumlah benih ikan yang ditebar di kolam pada provinsi di Pulau

Sumatera tahun 2008-2010 (ekor) 3

4 Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Pringsewu Tahun 2009-2012

(Ton) 4

5 Produksi Lele pada Kecamatan di Kabupaten Pringsewu Tahun

2009-2012 (Ton) 5

6 Beberapa Keunggulan Lele Sangkuriang dibandingkan Lele Dumbo 6 7 Karakteristik petani berdasarkan usia di Kecamatan Pagelaran Tahun

2013 33

8 Karakteristik petani berdasarkan tingkat pendidikan di Kecamatan

Pagelaran Tahun 2013 34

9 Karakteristik petani berdasarkan pengalaman usaha di Kecamatan

Pagelaran Tahun 2013 35

10 Karakteristik petani berdasarkan status usaha di Kecamatan Pagelaran

Tahun 2013 36

11 Karakteristik petani berdasarkan asal induk lele di Kecamatan

Pagelaran Tahun 2013 37

12 Tingkat kelangsungan hidup (SR) benih lele sangkuriang di Kecamatan Pagelaran dalam satu siklus produksi pada bulan November-Desember

2013 43

13 Tingkat kelangsungan hidup (SR) benih lele dumbo di Kecamatan Pagelaran dalam satu siklus produksi pada bulan November-Desember

2013 45

14 Penerimaan usaha benih lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran (luas kolam 90 m2) dalam satu siklus produksi bulan

November-Desember 2013 46

15 Rincian biaya usaha pembenihan lele sangkuriang di Kecamatan Pagelaran (luas kolam 90 m2 ) dalam satu siklus produksi bulan

November-Desember 2013 48

16 Rincian biaya usaha pembenihan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran (luas kolam 90 m2) dalam satu siklus produksi bulan

November-Desember 2013 49

17 Keuntungan usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran (luas kolam 90 m2) dalam satu siklus produksi

bulan November-Desember 2013 55

(9)

DAFTAR GAMBAR

1 SR benih lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran

periode produksi bulan Oktober-November 2013 7

2 Perilaku Individu Risk Averse dalamMenghadapi Risiko 17 3 Perilaku Individu Risk Neutral dalam Menghadapi Risiko 17 4 Perilaku Individu Risk Prefferer dalam Menghadapi Risiko 18 5 Hubungan Biaya Tetap Rata-rata-Biaya Variabel Rata-rata dan Biaya

Total Rata-rata 20

6 Hubungan Kurva Biaya Tetap, Biaya Variabel dan Biaya Total dengan

Kurva Penerimaan 21

7 Kerangka Pemikiran Operasional Pengaruh Risiko Produksi terhadap Pendapatan Usaha pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran

Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung 23

8 Induk lele jantan dan betina matang gonad 31

9 Bak terpal pemeliharaan benih lele 32

10 Baskom, saringan sortir dan gelas takar 33

11 Benih lele mati akibat penyakit bintik putih 38 12 Benih lele mati akibat penyakit bercak merah 39 13 Benih lele mati akibat kualitas air yang buruk 41

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rincian biaya penyusutan rata-rata usaha pembenihan lele sangkuriang

dan Lele dumbo 64

2 Perhitungan nilai Survival Rate (SR) benih lele sangkuriang dan lele dumbo (Luas Kolam 90m2) dalam Satu Siklus Produksi di Kecamatan

Pagelaran 65

3 Penerimaan usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo (Luas Kolam 90m2) dalam Satu Siklus Produksi di Kecamatan Pagelaran 66 4 Pendapatan Usaha Pembenihan Lele Sangkuriang dan Lele Dumbo

(Luas Kolam 90m2) dalam Satu Siklus Produksi di Kecamatan

(10)
(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi perikanan yang cukup besar, baik sumber daya perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Pemanfaatan potensi perikanan tangkap sudah mencapai titik yang tidak dapat diekspansi lagi karena mendekati optimal. Potensi perikanan budidaya masih sangat besar dan pemanfaatannya belum mencapai 50 persen. Potensi perikanan budidaya yang sangat besar tersebut merupakan peluang untuk menghasilkan komoditas berkualitas dan bersaing di pasar internasional dan menjadikan Indonesia sebagai ladang investasi bagi para investor maupun calon investor untuk mengembangkan usahanya. Terlebih lagi, saat ini usaha perikanan budidaya mampu memberikan keuntungan yang cukup besar dan waktu pengembalian investasi yang relatif cepat. Investasi di bidang perikanan budidaya terus didorong untuk membangun dan mengembangkan industri perikanan budidaya secara terpadu di Indonesia1.1

Pada tahun 2012 produksi perikanan budidaya dunia telah mencapai 66 juta ton, melebihi produksi daging sapi yang hanya 63 juta ton. Pencapaian tersebut berdampak positif bagi sub sektor perikanan budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menempatkan sub sektor perikanan budidaya sebagai primadona pembangunan perikanan nasional. Hal ini tidak terlepas dari besarnya potensi perikanan budidaya yang belum digali dan dimanfaatkan secara optimal. Disisi lain akuakultur indonesia saat ini juga membutuhkan sentuhan industrialisasi dalam berbagai aspek. Industrialisasi yang dimaksud meliputi dukungan kebijakan, infrastruktur, permodalan, teknologi dari hulu sampai hilir.

Kebijakan strategis KKP yang memfokuskan pada percepatan industrialisasi perikanan telah dicanangkan dengan tujuan meningkatkan produksi beberapa komoditas unggulan perikanan budidaya (akuakultur) dan sekaligus meningkatkan nilai tambah produk-produk tersebut. Program kebijakan KKP ini juga sejalan dengan permintaan pasar internasional yang mulai melakukan pengetatan kualitas produk akuakultur. Tantangan ini kemudian diterjemahkan oleh KKP dalam bentuk konsep

Blue Economy yang mengusung keseimbangan antara produksi dan keberlangsungan sistem produksi akuakultur itu sendiri.

Blue Economy merupakan suatu alternatif solusi untuk mengatasi masalah kelautan, ekonomi dan lingkungan. Blue Economy lebih menekankan pada zero waste

dan pengurangan emisi karbon pada pengolahan hasil laut. Program industrialisasi perikanan budidaya berbasis Blue Economy akan lebih mengoptimalkan sistem produksi yang terintegrasi dari hulu ke hilir, sehingga usaha perikanan budidaya akan semakin menarik dan menguntungkan. Persepsi bahwa usaha perikanan budidaya dianggap usaha yang high risk sudah dapat dideteksi dan diantisipasi dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan, peningkatan teknologi dan upaya mitigasi dini, sehingga menjadikan usaha perikanan budidaya sebagai usaha yang dapat diperhitungkan2.2

1

http://www.djpb.kkp.go.id/berita.Indonesia Surga Investasi Perikanan Budidaya [Diakses 29

Agustus 2013] 2

http://www.kkp.go.id.Inovasi teknologi Akuakultur Berbasis Ekonomi Biru [Diakses 29

(12)

2

Sub sektor perikanan budidaya terdiri dari budidaya air tawar, air laut dan air payau. Budidaya air tawar mengalami perkembangan produksi yang cenderung meningkat dibandingkan budidaya air laut maupun air payau. Hal ini disebabkan kemudahan dalam melakukan usaha dalam budidaya ikan air tawar. Dalam perkembangannya budidaya air tawar terdiri dari budidaya kolam, karamba, jaring apung dan sawah. Budidaya air tawar yang memiliki perkembangan paling pesat berasal dari budidaya kolam. Perkembangan budidaya kolam sangat pesat karena budidaya kolam adalah model budidaya air tawar pertama sebelum munculnya budidaya di perairan umum seperti karamba dan jaring apung. Pesatnya perkembangan budidaya kolam juga dapat dilihat dari Rumah Tangga Perikanan Budidaya (RTP) baru. Setiap tahunnya selalu ada RTP baru yang mengusahakan budidaya air tawar. Perkembangan produksi perikanan budidaya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan Produksi Perikanan Budidaya Tahun 2007 – 2011(Ton)

Jenis Budidaya 2007 2008 2 009 2 010 2 011 Kenaikan

(%) Budidaya Laut 1 509 528 1 966 002 2 820 083 3 514 702 4 605 827 32.34 Budidaya Air Payau 933 832 959 509 907 123 1 416 038 1 602 748 16.64 Budidaya Air Tawar 750 203 929 688 981 358 1 347 183 1 720 387 23.62

- Kolam 410 373 479 167 554 067 819 809 1 127 127 29.46

- Karamba 63 929 75 769 101 771 121 271 131 383 20.08

- JaringApung 190 893 263 169 238 606 309 499 375 430 19.89

- Sawah 85 009 111 584 86 913 96 605 86 448 2.45

Jumlah 3 193 563 3 855 200 4 708 565 6 277 923 7 928 962 25.62 Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), 2012

Banyak jenis ikan air tawar yang telah dapat dibudidayakan, baik pembenihan maupun pembesarannya. Ikan budidaya air tawar memiliki banyak jenis, namun ada lima jenis ikan air tawar yang cukup berkembang. Kelima jenis ikan tersebut adalah ikan mas, nila, lele, patin dan gurame yang budidayanya berkembang sangat pesat setiap tahunnya. Permintaan akan ikan konsumsi tersebut terus meningkat sehingga produksi budidayanya juga berkembang dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Perkembangan produksi perikanan budidaya menyebar ke seluruh pulau di Indonesia. Daerah penghasil budidaya perikanan budidaya terbesar di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

(13)

3 Berdasarkan Tabel 2, daerah penghasil perikanan budidaya terbesar adalah provinsi Jawa Barat. Sentra perikanan di Jawa Barat berada di daerah Sukabumi yang merupakan pusat Broodstock Centre Induk Ikan Air Tawar milik pemerintah. Sentra perikanan selain pulau Jawa yaitu Pulau Sumatera. Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau yang memiliki produksi perikanan air tawar yang tinggi. Salah satu provinsi di Pulau Sumatera yang memiliki produksi perikanan yang cukup tinggi dan potensial adalah Provinsi Lampung dengan produksi pada tahun 2011 sebesar 50 453 ton. Produksi perikanan air tawar yang tinggi di dukung oleh ketersediaan benih sebagai input utamanya. Adapun jumlah benih ikan yang ditebar di kolam pada provinsi di Pulau Sumatera tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah benih ikan yang ditebar di kolam pada provinsi di Pulau Sumatera tahun 2008-2010 (ekor)

Provinsi 2008 2009 2010

Nanggroe Aceh Darussalam 78 690 92 618

-Sumatera Utara 321 927 323 027 152 556

Sumatera Barat 608 697 4 031 758 4 041 822

Riau - 1 730 091 853

Kepulauan Riau 499 733 1 145

-Jambi 44 809 53 879 83 951

Sumatera Selatan - -

-Bangka Belitung 7 836 18 948 10 719

Bengkulu 84 105 85 325 334

Lampung 286 373 264 526 362 074

Jumlah 8 336 383 184 277 358 63 981 359

Sumber : KKP, 2011

Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah benih Provinsi Lampung mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya dibandingkan provinsi lainnya, tetapi secara kuantitas jumlah benih yang ditebar di Sumatera Barat lebih besar. Peningkatan jumlah benih secara signifikan menandakan bahwa permintaan terhadap benih mengalami peningkatan juga. Benih sebagai input bagi usaha pendederan maupun pembesaran.

(14)

4

Tabel 4 Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Pringsewu Tahun 2009-2012 (Ton)

Jenis Ikan 2009 2010 2011 2012

Lele 1 879.61 2 038.44 2 150.40 2 894.33

Mas 1 683.36 1 683.36 1 756.66 1 706.50

Patin 217.60 49.15 80.3 228.77

Gurame 299.90 416.40 434.50 471.13

Nila 114.35 172.35 193.35 211.35

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu, 2013

Kelima jenis ikan air tawar tersebut yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Pringsewu adalah ikan lele. Setiap tahunnya ikan lele cenderung mengalami kenaikan produksi yang signifikan melebihi ikan konsumsi lainnya. Tingginya produksi ikan lele di Kabupaten Pringsewu menandakan bahwa konsumsi ikan lele yang tinggi berbanding lurus dengan kebutuhan benihnya, karena ikan lele ukuran konsumsi berasal dari usaha pembesaran lele. Input pembesaran lele adalah dari pembenihan lele. Semakin tinggi produksi ikan lele maka kebutuhan benih lele semakin meningkat pula. Disamping itu, semakin berkembangnya bisnis warung tenda pecel lele menjadikan permintaan terhadap ikan lele konsumsi semakin meningkat. Dengan demikian pembenihan lele memiliki prospektif usaha yang tinggi.

Peluang usaha yang baik dalam usaha pembenihan lele didukung oleh kelebihan ikan lele dari nilai gizinya. Ikan lele memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yaitu 17 persen dan memiliki berbagai macam asam lemak esensial hingga 9 persen. Manfaat yg terkandung dalam 100 gram daging lele cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi tubuh anak dalam masa perkembangan. Oleh karena itu lele kian digemari dan permintaannya terus meningkat dari tahun ke tahun (Mahyuddin, 2012).

Ikan lele merupakan ikan konsumsi air tawar yang paling populer dan memiliki prospektif usaha yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan kemudahan dalam membudidayakannya, permintaan yang selalu meningkat dapat dilihat pada hasil produksinya yang mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahun. Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan yang laju pertumbuhannya relatif cepat dan mudah dalam pemeliharaannya, karena teknologi budidayanya cenderung mudah untuk dikuasai, serta dapat dibudidayakan pada lahan dan sumber air yang terbatas dengan kepadatan yang tinggi. Meskipun demikian, dalam pemeliharaannya kan lele termasuk ikan yang rakus, sehingga dalam pemberian pakan harus diperhatikan porsi pakannya agar tidak berlebihan ataupun kekurangan.

Kemudahan dalam membudidayakan ikan lele menjadikan banyak petani yang mengusahakan pembenihan ikan lele di Kabupaten Pringsewu. Oleh karena itu banyak petani dari masing-masing kecamatan di Kabupaten Pringsewu yang menjadi pembenih lele, sehingga produksinya pun meningkat. Produksi ikan lele pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Pringsewu pada tahun 2009 hingga 2012 dapat dilihat pada Tabel 5.

(15)

5 dijadikan makanan ringan khas daerah Kecamatan Pagelaran seperti tusuk gigi, kerupuk dan klanting.

Berdasarkan data produksi lele di Kecamatan Pagelaran pada tahun 2012 sebanyak 1 717.44 ton atau 1 717 440 kg, bila dikonversikan size panen lele konsumsi yaitu size 8 – 10 (dalam 1 kg lele konsumsi terdiri dari 8–10 ekor), maka jumlah benih yang dibutuhkan yaitu 13 739 520 hingga 17 174 400 ekor benih. Tingginya kebutuhan benih tersebut menjadikan banyak petani di Kecamatan Pagelaran mengusahakan pembenihan lele, sehingga Kecamatan Pagelaran menjadi sentra pembenihan lele di Kabupaten Pringsewu.

Tabel 5 Produksi Lele pada Kecamatan di Kabupaten Pringsewu Tahun 2009-2012 (Ton)

Kecamatan 2009 2010 2011 2012

Pagelaran 1 267.20 1 294.04 1 332.40 1 717.44

Pringsewu 122.40 122.40 122.40 194.18

Sukoharjo 63.00 63.00 63.00 144.00

Pardasuka 83.60 83.60 83.60 93.14

Gadingrejo 118.80 118.80 118.80 253.00

Adiluwih 11.90 11.90 11.90 48.00

Ambarawa 116.80 189.60 240.70 261.00

Banyumas 95.91 155.12 177.60 183.57

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu, 2013

Kecamatan Pagelaran merupakan sentra pembenihan lele, meskipun demikian usaha pembenihan lele memiliki risiko tertinggi pada proses produksinya. Hal tersebut dikarenakan usaha pembenihan lele memiliki sifat yang sangat tergantung pada kondisi alam yang tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, terdapat risiko produksi pada usaha pembenihan lele. Risiko produksi dapat dilihat dari tingkat kelangsungan hidupnya / survival rate (SR).

Ukuran panen benih lele yang diteliti yaitu 3-5 cm, ukuran tersebut dipilih karena benih berada pada fase fase kritis yaitu daya tahan tubuh lele masih lemah, sehingga rentan terkena penyakit dan risiko kematiannya menjadi lebih tinggi dibandingkan usaha pembesaran. Oleh karena itu, usaha pembenihan lele memiliki risiko yang lebih besar daripada usaha pembesarannya. Terjadinya fluktuasi hasil produksi yang dilihat dari tingkat kelangsungan hidup benih, tentuakan mempengaruhi output produksi yang dihasilkan karena output dari usaha pembenihan lele adalah benih lele yang dihitung dalam satuan ekor yang dikalikan dengan harga satuannya. Oleh karena itu, diperlukan analisis mengenai pengaruh risiko produksi yang dilihat dari SR terhadap keuntungan usaha pembenihan lele.

Perumusan Masalah

(16)

6

sendiri. Sebagai daerah sentra produksi lele, para petani di Kecamatan Pagelaran mengupayakan penggunaan benih lele yang berkualitas baik dan mempertahankan ketersediaan benih yang berkesinambungan. Tentunya hal tersebut di dukung oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu, Lampung yaitu dalam hal pengadaan benih yang berasal dari induk yang berkualitas dan dilakukan pelatihan terhadap petani pembenihan lele. Terdapat dua jenis ikan lele di Kecamatan Pagelaran yaitu lele dumbo dan lele sangkuriang.

Ikan lele dumbo mulai dikenal masyarakat setelah lele dumbo masuk ke Indonesia pada tahun 1985 yang memiliki kelebihan dapat dibudidayakan pada lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar yang tinggi, modal usaha yang relatif rendah karena dapat menggunakan sumber daya yang relatif mudah didapatkan dan teknologi yang mudah dikuasai masyarakat, sehingga menjadikan budidaya lele dumbo berkembang pesat (DKP, 2005).

Namun demikian perkembangan budidaya ikan lele yang pesat tanpa didukung pengelolaan induk yang baik menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lele. Pengelolaan induk ikan merupakan salah satu faktor penentu yang penting dalam usaha budidaya ikan. Induk yang baik akan menghasilkan benih yang berkualitas baik pula. Penurunan kualitas induk dapat disebabkan adanya perkawinan sekerabat (inbreeding) dan seleksi induk yang salah atas penggunaan induk yang berkualitas rendah. Penurunan kualitas ini dapat diamati dari karakter umum matang gonad, derajat penetasan telur, pertumbuhan harian, daya tahan terhadap penyakit dan nilai FCR

(Feeding Conversation Rate). Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi telah berhasil melakukan rekayasa genetik untuk menghasilkan lele strain baru yang diberi nama lele Sangkuriang. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya perbaikan mutu ikan lele. BBPBAT Sukabumi merupakan Broodstock Centre

atau penghasil induk yang telah terakreditasi sebagai Broodstock Centre Induk Ikan Air Tawar milik pemerintah dengan tugas dan fungsinya sebagai penghasil induk berkualitas (DKP, 2005).

Tabel 6 Beberapa Keunggulan Lele Sangkuriang dibandingkan Lele Dumbo

Karakteristik Lele Sangkuriang Lele Dumbo

Kematangan gonad pertama (bulan) 8 – 9 4 – 5

Fekunditas telur (butir/kg induk betina) 40 000 – 60 000 20 000 – 30 000

Derajat penetasan telur (%) > 90 > 80

Kelangsungan hidup / SR larva (%) 90 – 95 90 – 95

Pertumbuhan harian bobot benih umur 26-40 hari (%) Panjang standar rata-rata benih umur 26 hari (cm) Panjang standar rata-rata benih umur 40 hari (cm) Kelangsungan hidup/ SR benih umur 26 -40 hari (%)

13.96 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, 2005

(17)

7 dibandingkan lele dumbo (DKP, 2005). Keunggulan lele sangkuriang dibandingkan lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 menunjukkan bahwa lele sangkuriang lebih unggul dibandingkan lele dumbo dalam hal jumlah telur yang dihasilkan (fekunditas) dan derajat penetasan telur atau daya tetas telur yaitu 90 persen, melebihi daya tetas lele dumbo yang hanya mencapai 80 persen. Tingginya jumlah telur yang dihasilkan dan daya tetas telur lele sangkuriang dibandingkan lele dumbo, akan mempengaruhi jumlah benih yang dihasilkan pada usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo. Meskipun SR normal benih dapat mencapai > 90 persen.

Selain keunggulan pada jumlah telur dan daya tetas telur, lele sangkuriang memiliki keunggulan lain yang lebih baik dibandingkan lele dumbo diantaranya memiliki toleransi yang baik terhadap penyakit dan pertumbuhan yang merata, sehingga berpengaruh terhadap jumlah benih yang dihasilkan. SR yang dihasilkan pada usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo akan mempengaruhi keuntungan usaha, karena SR merupakan output benih yang jumlah akhirnya akan dikalikan dengan harga benih per satuan. Nilai SR benih lele sangkuriang dan lele dumbo dari masing-masing 10 petani pada satu periode produksi bulan Oktober-November 2013 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 SR benih lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran periode produksi bulan Oktober-November 2013

Gambar 1 menunjukkan nilai SR benih lele sangkuriang dan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran dari 20 petani pada tahun 2013. Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat adanya risiko produksi yang ditunjukkan dengan fluktuasi nilai SR dari beberapa petani dalam satu siklus. Disamping itu SR aktual tersebut berbeda dengan SR benih lele pada kondisi normal yaitu pada SR 90 persen (DKP, 2005). Nilai SR tertinggi sebesar 91 persen sedangkan terendah sebesar 17 persen. Adanya risiko produksi pada kegiatan usaha pembenihan lele didukung oleh hasil penelitian Farman (2013) bahwa risiko produksi diindikasikan dengan ketidaksesuaian SR pada kondisi

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Per

sen

tase

SR Lele Sangkuriang

SR Lele Dumbo

(18)

8

standar dengan kondisi aktual, serta fluktuasi nilai SR setiap bulan akibat terjadinya tingkat kematian ikan.

Terjadinya fluktuasi hasil produksi yang dilihat dari tingkat kelangsungan hidup akibat adanya kematian ikan merupakan indikasi risiko produksi. Perbedaan tingkat kelangsungan hidup tentuakan mempengaruhi output produksi yang dihasilkan. Output dari usaha pembenihan ikan lele di Kecamatan Pagelaran adalah benih lele ukuran 2-3 cm, 3-5 cm dan 4-6 cm. Output panen benih lele yang diteliti yaitu ukuran 3-5 cm dengan harga jual yang digunakan yaitu ukuran gelas dan harga jual benih lele sangkuriang yaitu Rp15 200/gelas, sedangkan untuk harga jual benih lele dumbo yaitu Rp15 000/gelas. Satu gelas berisi 300 ekor benih. harga jual per gelas bila dikonversi dalam satuan ekor maka harga benih lele sangkuriang yaitu Rp51/ekor dan harga benih lele dumbo yaitu Rp50/ekor.

Ukuran benih 3-5 cm dipilih dengan pertimbangan bahwa benih masih dalam fase kritis karena daya tahan tubuh lele masih lemah. Sehingga rentan terkena penyakit dan risiko kematiannya menjadi lebih tinggi dibandingkan usaha pembesaran. Sehingga usaha pembenihan lele memiliki risiko yang lebih besar daripada usaha pembesarannya. Output dari usaha pembenihan lele adalah benih lele yang dihitung dalam satuan ekor yang dikalikan dengan harga satuannya dan menetukan jumlah penerimaan. Oleh karena itu, diperlukan analisis mengenai pengaruh risiko produksi yang dilihat dari SR terhadap penerimaan usaha. Selain itu perlu diketahui sikap yang dilakukan petani pembenihan lele dalam menghadapi risiko produksi yang dilihat dari nilai SR atau jumlah ikan yang hidup. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang dapat dirumuskan penulis adalah :

1. Bagaimana pengaruh risiko produksi dilihat dari SR benih lele terhadap keuntungan usaha pembenihan ikan lele sangkuriang dan ikan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran ?

2. Bagaimana sikap petani dalam menghadapi risiko produksi benih lele?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pengaruh risiko produksi dilihat dari SR benih lele terhadap keuntungan usaha pembenihan ikan lele sangkuriang dan ikan lele dumbo di Kecamatan Pagelaran.

2. Mengidentifikasi sikap yang dilakukan petani pembenihan lele dalam menghadapi risiko produksi benih lele.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yaitu: 1. Bagi petani sebagai tambahan informasi dan masukan pengambilan keputusan

dalam mengelola usaha pembenihan ikan lele.

2. Bagi penulis sebagai sarana untuk mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh selama perkuliahan.

(19)

9

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu :

1. Kajian masalah yang diteliti adalah menganalisis pengaruh risiko produksi dilihat dari SR benih lele terhadap keuntungan usaha pembenihan lele di Kecamatan Pagelaran dan mengidentifikasi sikap petani dalam menghadapi risiko produksi terhadap keberlanjutan usahanya.

2. Indikasi risiko produksi hanya dilihat dari nilai SR benih lele.

3. Fluktuasi produksi didasarkan pada data cross section (antarpetani) bukan time series (antarwaktu).

4. Jumlah kematian benih akibat masing-masing sumber risiko produksi dianalis secara keseluruhan.

5. Penelitian ini menggunakan data produksi periode terakhir yaitu bulan November dan Desember 2013. Jumlah responden sebanyak 20 orang terdiri dari 10 petani lele sangkuriang dan 10 petani lele dumbo yang merupakan rekomendasi dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.

6. Kegiatan pembenihan lele terdiri dari pemeliharaan induk, pemijahan induk, penetasan telur, pemeliharaan larva dan pemeliharaan benih. Dalam setiap tahapan pembenihan tersebut tidak terlepas dari risiko. Risiko produksi yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu pada proses pemeliharaan benih lele ukuran 3-5 cm dalam satu siklus produksi. Satu siklus produksi lele sangkuriang 30 hari dan lele dumbo 40 hari.

7. Analisis sikap petani dalam menghadapi risiko produksi berdasarkan persepsi dari sudut petani melalui wawancara.

TINJAUAN PUSTAKA

Teknik Pembenihan Ikan Lele

Dalam budidaya ikan lele terdapat tiga kegiatan yaitu pembenihan, pendederan dan pembesaran. Kegiatan pembenihan lele terdiri dari pemeliharaan induk, pemijahan induk, penetasan telur, pemeliharaan larva dan pemeliharaan benih. Adapun kegiatan pembenihan lele sebagai berikut (DKP, 2005) :

a.Pemeliharaan Induk

(20)

10

Induk lele yang siap memijah memiliki ciri yaitu umur induk betina minimal satu tahun, berat 0.70–1.0 kg, panjang standar 25–30 cm dan sudah matang gonad yang ditandai dengan perut yang membesar dan terasa lembek bila ditekan. Sedangkan induk jantan yang siap memijah memiliki ciri umur minimal satu tahun, berat 0.5–0.75 kg, panjang standar 30-35 cm dan sudah matang gonad yang ditandai dengan warna alat kelamin yang berwarna kemerahan.

b. Pemijahan Induk

Pemijahan lele dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu pemijahan alami (natural spawning), pemijahan semi alami (induced spawning) dan pemijahan buatan.

1. Pemijahan alami

Pemijahan alami dilakukan dengan cara memasukkan induk jantan dan betina dalam satu bak/wadah agar memijah secara alami, dan diberikan kakaban/ijuk untuk tempat menempel telur hasil pemijahan. Perbandingan jumlah atau berat induk jantan dan betina yaitu 1 : 1. Bila induk betina atau induk jantan lebih berat dibandingkan pasangannya, dapat digunakan perbandingan jumlah 1 : 2.

2. Pemijahan semi alami

Pemijahan semi alami dilakukan dengan cara merangsang induk betina dengan penyuntikan hormon perangsang (misalnya ovaprim, ovatide, LHRH) dengan dosis 0.2 ml/kg induk atau menggunakan ekstrak hipofisa. Kemudian induk dipijahkan secara alami yaitu dimasukkan kembali induk betina dan induk jantan dalam satu wadah/bak. Perbandingan jumlah atau berat induk jantan dan betina yaitu 1 : 1. Bila induk betina atau induk jantan lebih berat dibandingkan pasangannya, dapat digunakan perbandingan jumlah 1 : 2.

3. Pemijahan buatan

Pemijahan buatan menggunakan induk betina dan induk jantan dengan perbandingan 3 : 0.7 yaitu telur dari 3 kg induk betina dapat dibuahi dengan sperma dari induk jantan dengan berat 0.7 kg. Induk betina dirangsang terlebih dahulu dengan penyuntikan hormon perangsang (misalnya ovaprim, ovatide, LHRH) dengan dosis 0.2 ml/kg induk atau menggunakan ekstrak hipofisa. c. Penetasan Telur

Umumnya pemijahan dilakukan pada malam hari, sehingga pada pagi hari akan terlihat telur yang menempel pada kakaban/ijuk yang telah disediakan di dalam wadah pemijahan dan sebagian akan terlihat berserakan di dasar wadah pemijahan. Telur akan menetas 1-2 hari kemudian. Telur yang baik berwarna kuning cerah (Susanto, 2011). d. Pemeliharaan Larva dan Benih

(21)

11

Kajian Penelitian Risiko Produksi Ikan Lele

Penelitian terdahulu yang menganalisis risiko produksi pada usaha pembenihan lele yaitu Dewiaji (2011), Farman (2013) dan Fektoria (2013). Pada penelitian Dewiaji (2011) mengenai risiko produksi pembesaran ikan lele dumbo masalah penelitian yang dikaji adalah adalah jumlah produksi yang dihasilkan belum mampu memenuhi jumlah permintaan yang ada. Hal ini dikarenakan adanya kejadian-kejadian merugikan yang merupakan sumber risiko dalam proses budidayanya. Risiko yang muncul dalam budidaya pembesaran ikan lele yaitu fluktuasi jumlah produksi yang dihasilkan, perubahan cuaca, dan serangan hama, penyakit yang mengakibatkan ikan lele mengalami kematian ataupun terjangkiti penyakit sehingga dapat menurunkan kualitas dan jumlah yang diproduksi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Farman (2013) sumber risiko produksi yang terdapat pada pembenihan ikan lele sangkuriang pada saung lele di kampung jumbo Sukaraja Kabupaten Bogor adalah hama, penyakit, kualitas air dan kanibalisme. Hama yang menyerang adalah ucrit dan kini-kini. Penyakit yang menyerang benih ikan lele di Saung Lele cenderung diakibatkan oleh bakteri dan jamur. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri adalah Motile Aeromonas Septicemea (MAS) atau yang lebih dikenal dengan nama penyakit bercak merah. Sedangkan kualitas air karena pH air yang asam dan perubahan suhu air lebih dari 50C secara drastis. Selain itu kanibalisme terjadi karena keragaman ukuran dan kualitas benih yang buruk. Sehingga keempat sumber risiko tersebut berdampak pada kematian benih lele.

Pada penelitian Fektoria (2013) terdapat empat sumber risiko produksi yang terjadi pada pembenihan ikan lele sangkuriang pada UPR Bina Tular desa gadog kabupaten Bogor. Sumber risiko produksi tersebut adalah tingginya tingkat kanibalisme, serangan hama, penyakit dan pengaruh musim kawin liar atau pemijahan sendiri. Hal yang membedakan penelitian Fektoria (2013) dengan penelitian lainnya yaitu terletak pada sumber risiko dan pengaruh musim kawin liar atau pemijahan sendiri. Terjadinya kawin liar atau pemijahan sendiri yaitu telur yang ada dalam tubuh induk betina menetas sendiri tanpa adanya penyemprotan sperma dari induk jantan. Sehingga telur yang dihasilkan menjadi gagal menetas. Alat analisis yang digunakan oleh Dewiaji (2011), Farman (2013) dan Fektoria (2013) dalam mengukur risiko memiliki kesamaan yaitu untuk pemetaan risiko menggunakan metode nilai standar ( z-score) dan metode pengukuran dampak risiko menggunakan pendekatan Value at Risk

(VaR).

(22)

12

Kajian Penelitian Pendapatan Usaha Perikanan

Penelitian terdahulu yang menganalisis pendapatan usahatani adalah Brajamusti (2008) yaitu mengenai Analisis Pendapatan Usaha Pembenihan Larva Ikan Bawal Air Tawar (Studi Kasus pada Ben’s Fish Farm, Desa Cigola, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat); Zelvina (2009) mengenai Analisis Pendapatan Usaha Pembenihan dan Pemasaran Benih Ikan Patin di Desa Tegal Waru Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor; Guntur (2011) mengenai Analisis Usahatani Ikan Lele Bapukan (Clarias gariepinus) di Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat dan Novandina (2013) mengenai Analisis Pendapatan Usaha Pembenihan dan Pendederan Ikan Nila GMT. Kajian terhadap penelitian terdahulu yang sesuai dengan topik yang dipih diperlukan oleh penulis sebagai gambaran dalam melakukan penelitian.

Brajamusti (2008) bertujuan untuk menganalisis keragaaan usaha pembenihan larva ikan bawal air tawar, menghitung tingkat pendapatan usaha pembenihan larva ikan bawal air tawar dengan menggunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio) dan menganalisis efisiensi dari usaha dan sensitivitas pembenihan larva ikan bawal air tawar jika terjadi perubahan-perubahan dalam produksi, seperti kenaikan harga-harga input produksi dan penurunan harga jual. Analisa yang dilakukan selama 2 tahun yaitu tahun 2006 dan tahun 2007 dengan menggunakan alat analisis sensitivitas dengan tujuan untuk membandingkan antara hasil analisa tersebut. Hasil yang diperoleh bahwa perubahan harga output pada harga jual larva ikan bawal yang turun menjadi Rp5 mengakibatkan nilai pendapatan turun dari Rp431 097 400. menjadi Rp146 775 000 dimana terjadi penurunan pendapatan sebesar Rp284 342 400. Untuk nilai R/C ratio terjadi penurunan juga dari nilai awal 2.28 menjadi 1.43. Meskipun terjadi penurunan nilai R/C namun kondisi tersebut masih menguntungkan karena nilai R/C >1. Sedangkan ketika harga jual naik menjadi Rp 12 nilai pendapatan dan R/C rasio nya pun meningkat menjadi Rp825 340 600 dan 3.44.

Penelitian Zelvina (2009) menggunakan alat analisis yang sama dengan Brajamusti (2008) yaitu menggunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio). Akan tetapi berbeda dalam jumlah responden yang digunakan yaitu sebanyak 25 orang petani, sedangkan Brajamusti melakukan studi kasus pada satu petani saja. Hasil penelitian Zelvina (2009) bahwa kegiatan usaha pembenihan ikan patin efisien untuk dilakukan. Hal tersebut dilihat dari nilai R/C rasio yang diperoleh yaitu atas biaya tunai sebesar 1.62 per siklus, yang artinya bahwa setiap Rp 1 biaya tunai yang dikeluarkan untuk usaha maka akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.62. Sedangkan nilai R/C rasio atas biaya total sebesar 1.26 per siklus, yang artinya setiap Rp1 biaya tunai yang dikeluarkan untuk usaha maka akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.26. Nilai R/C rasio 1.62 dan 1.26 menunjukkan bahwa kegiatan usaha pembenihan ikan patin selain efisien juga menguntungkan, karena nilai R/C >1.

(23)

13 ikan lele Bapukan tidak menguntungkan petani sebelum program Filleting dan menguntungkan setelah melakukan program Filleting.

Analisis pendapatan usaha pembenihan dan pendederan ikan nila GMT Novandina (2013) memiliki segmentasi usaha yang berbeda yaitu ada 5 jenis. Meskipun segmentasi usaha berbeda namun perhitungan dilakukan dalam satu siklus produksi yaitu 90 hari. Hal yang membedakan setiap segmen usaha adalah output panen mulai dari ukuran larva, ukuran 2-3 cm, ukuran 3-5 cm dan ukuran 5-8 cm. Alat analisis yang digunakan yaitu R/C rasio. Hasil penelitian menunjukkan penerimaan usaha terbesar adalah kelompok E yaitu usaha pendederan dengan output benih ukuran 2-3 cm. Besarnya penerimaan kelompok E dikarenakan usaha pendederan benih nila memiliki waktu pemeliharaan yang pendek dan tidak menggunakan induk, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih rendah. R/C atas biaya total tertinggi adalah kelompok C yaitu pada segmen pembenihan dengan output benih ukuran 2-3 cm.

Penelitian yang dilakukan memiliki kesamaan dengan Brajamusti (2008), Zelvina (2009), Guntur (2011) dan Novandina (2013) dalam hal ini analisis yang digunakan untuk menghitung pendapatan petani. Akan tetapi berbeda dalam hal komoditas yaitu ikan lele dumbo dan ikan lele sangkuriang dan lokasi penelitian yaitu di Lampung. disamping itu, terdapat kebaruan penelitian yaitu untuk mengetahui pengaruh risiko produksi dilihat dari SR benih lele terhadap pendapatan petani lele dumbo dan lele sangkuriang. Dan untuk mengetahui sikap yang dilakukan petani pembenihan lele dalam menghadapi risiko produksi yang dilihat dari nilai SR atau jumlah ikan yang hidup.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep yang berkaitan dengan penelitian yaitu teori produksi, konsep risiko, hubungan risiko dan return, perilaku individu dalam menghadapi risiko, konsep penerimaan, konsep biaya dan konsep keuntungan usaha.

Teori Produksi

Putong (2010) menyatakan bahwa produksi atau memproduksi adalah suatu usaha atau kegiatan untuk menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari bentuk semula. Untuk memproduksi dibutuhkan faktor-faktor produksi yaitu alat atau sarana untuk melakukan proses produksi. Faktor produksi yang dimaksud dalam ilmu ekonomi adalah manusia (tenaga kerja = TK), modal (uang atau alat seperti mesin = M), sumber daya alam (tanah = T) dan skill (teknologi = T). Fungsi produksi adalah hubungan teknis antara faktor produksi (input) dengan hasil produksi (output). Secara matematis hubungan teknis itu dapat ditulis sebagai berikut :

Output = f ( TK, M, T, S)

(24)

14

jumlah maksimum output yang bisa dicapai dengan mengkombinasikan berbagai jumlah input. Menurut Daniel (2002) fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input). Dalam usaha pertanian, produksi diperoleh melalui suatu proses yang cukup panjang dan penuh risiko. Panjangnya waktu yang dibutuhkan tidak sama tergantung pada jenis komoditas yang diusahakan.

Konsep Risiko

Risiko berhubungan dengan suatu kejadian yang memiliki kemungkinan untuk terjadi dan tidak terjadi. Adanya perbedaan atau ketidaksesuaian antara hasil yang diharapkan dengan kejadian aktual merupakan suatu risiko. Dalam Robison dan Barry (1987) Frank Knight menyatakan bahwa ketidakpastian menunjukkan peluang suatu kejadian yang tidak dapat diketahui oleh pelaku bisnis sebagai pembuat keputusan. Peluang kejadian yang tidak diketahui secara kuantitatif atau sulit diukur oleh pelaku bisnis dapat dikarenakan beberapa hal, diantaranya tidak ada informasi atau data pendukung baik berdasarkan data historis atau pengalaman pelaku bisnis selama mengelola kegiatan usaha dalam menghadapi suatu kejadian. Selama peluang suatu kejadian tidak dapat diukur oleh pelaku bisnis maka kejadian tersebut termasuk dalam kategori ketidakpastian.

Elton dan Gruber (1995) menyatakan bahwa risiko merupakan sebuah kejadian atau peristiwa yang dapat merugikan perusahaan, hasil yang diperkirakan oleh perusahaan tidak sesuai dengan pencapaian perusahaan. Risiko ditentukan oleh besar atau kecilnya penyimpangan antara hasil yang diperkirakan dengan hasil yang dicapai oleh perusahaan. Semakin besar penyimpangan antara hasil yang diperkirakan dengan hasil yang dicapai oleh perusahaan, maka risiko yang dihadapi perusahaan semakin besar. Sebaliknya jika penyimpangan antara hasil yang diperkirakan dengan hasil yang dicapai oleh perusahaan semakin kecil, maka risiko yang dihadapi oleh perusahaan tersebut semakin kecil. Penyimpangan yang dimaksud adalah penyimpangan yang bernilai negatif.

Debertin (1986) membedakan antara konsep risiko dan ketidakpastian. Dalam konsep ketidakpastian, faktor lingkungan, kemungkinan hasil dan kemungkinan kejadian tersebut tidak dapat diketahui. Sedangkan dalam konsep risiko, antara hasil dan kemungkinan dari suatu kejadian dapat diketahui.

Moschini dan Hennesy (1999) berpendapat bahwa untuk menguraikan sumber utama ketidakpastian dan risiko yang relevan dapat dilihat dari sudut pandang produsen pertanian. Dalam agriculture jumlah dan kualitas output yang akan dihasilkan oleh input biasanya tidak diketahui dengan pasti. Ketidakpastian ini disebabkan oleh kenyataan bahwa unsur-unsur yang tidak dapat dikendalikan seperti cuaca memiliki peranan penting dalam produksi pertanian. Efek dari faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan cukup tinggi, karena terdapat fakta bahwa waktu memiliki peran sangat penting dalam produksi pertanian, karena keterlambatan produksi yang lama ditentukan oleh proses biologis yang mendasari produksi tanaman dan pertumbuhan hewan. Meskipun ada kesamaan dalam kegiatan produksi lainnya, itu adalah adil untuk mengatakan bahwa ketidakpastian produksi adalah pilihan klasik produksi pertanian.

(25)

15 kegiatan usahatani adalah risiko selama proses produksi berlangsung dan risiko terhadap harga jual. Risiko produksi antara lain disebabkan serangan hama dan penyakit, curah hujan, musim, kelembaban, teknologi, input, dan bencana alam. Akibat risiko produksi tersebut berpengaruh terhadap penurunan kualitas serta kuantitas hasil panen. Sedangkan risiko harga disebabkan oleh fluktuasi harga jual produk di pasar yang dipengaruhi tingkat inflasi serta kondisi permintaan dan penawaran produk.

Beberapa contoh indikasi adanya risiko dalam dalam suatu bisnis diantaranya adanya fluktuasi produksi, fluktuasi harga output atau fluktuasi pendapatan untuk setiap satuan yang sama. Pada risiko produksi, indikator utama yang dapat diketahui yaitu adanya fluktuasi hasil produksi pada satuan yang sama. Harwood et al (1999) menyatakan terdapat beberapa sumber risiko yaitu :

1. Risiko Produksi

Faktor risiko produksi dalam kegiatan agribisnis disebabkan adanya beberapa hal yang tidak dapat dikontrol terkait dengan iklim dan cuaca, seperti curah hujan, temperatur udara, hama dan penyakit. Selain itu, teknologi juga berperan dalam menimbulkan risiko pada kegiatan agribisnis. Penggunaan teknologi baru secara cepat tanpa adanya penyesuaian sebelumnya justru dapat menyebabkan penurunan produktivitas alih-alih efisiensi yang diharapkan.

Sumber risiko produksi yang dapat dihadapi oleh petani yaitu risiko produksi,

sumber risiko yaitu berasal dari kegiatan produksi diantaranya adalah gagal panen, rendahnya produktivitas, kerusakan barang yang ditimbulkan oleh serangan hama dan penyakit, perbedaan iklim dan cuaca, kesalahan sumber daya manusia dan masih banyak lagi.

2. Risiko Pasar

Risiko pasar dalam hal ini meliputi risiko harga output dan harga input. Pada umumnya kegiatan produksi merupakan proses yang lama. Sementara itu, pasar cenderung bersifat kompleks dan dinamis. Oleh karena itu, petani belum tentu mendapatkan harga yang sesuai dengan yang diharapkan pada saat panen. Begitu pula harga input yang dapat berfluktuasi sehingga mempengaruhi komponen biaya pada kegiatan produksi. Pada akhirnya risiko harga tersebut akan berpengaruh pada return

yang diperoleh petani. 3.Risiko Institusional

Risiko institusional berhubungan dengan kebijakan dan program dari pemerintah yang mempengaruhi sektor agribisnis. Misalnya, adanya kebijakan dari pemerintah untuk memberikan atau mengurangi subsidi dari harga input. Secara umum, risiko institusionalini cenderung tidak dapat diantisipasi sebelumnya.

4. Risiko Finansial

Risiko finansial atau risiko keuangan terjadi karena adanya kejadian yang berhubungan dengan financial dimana kejadiannya tidak sesuai dengan yang direncanakan. Risiko finansial dihadapi oleh pelaku bisnis pada saat meminjam modal dari institusi seperti bank. Risiko ini berkaitan dengan fluktuasi dari tingkat suku bunga pinjaman (interest rate).

5.Risiko Sumber Daya Manusia

(26)

16

Hubungan Risiko dan Return

Adanya risiko pada kegiatan bisnis menyebabkan terdapat berbagai kemungkinan suatu kejadian yaitu kemungkinan untuk menghasilkan produksi atau pendapatan diatas atau dibawah rata-rata. Kemungkinan kejadian tersebut terjadi atau tidak terjadi, erat kaitannya dengan peluang kejadian. Peluang menunjukkan frekuensi terhadap suatu kejadian, besar kecilnya peluang suatu kejadian dipengaruhi oleh kondisi lingkungan internal dan eksternal. Dalam menganalisis risiko, selain konsep peluang penting diketahui konsep ekspektasi (harapan) karena pelaku bisnis dalam mengelola kegiatan usahanya mempunyai harapan terhadap produksi, harga atau pendapatan yang akan diperoleh pada masa datang.

Menurut Robison dan Barry (1987) alat analisis yang digunakan dalam menganalisis mengenai pengambilan keputusan yang berhubungan dengan risiko yaitu

expected utility model. Model ini digunakan karena adanya kelemahan yang terdapat pada expected return model yaitu sesuatu yang ingin dicapai oleh seseorang bukan nilai (return) tetapi kesejahteraan (utility). Berdasarkan kenyataan, nilai utilitas sangat sulit diukur, sehingga dalam melakukan analisis digunakan pendekatan dengan mengukur nilai return. Pengukuran nilai ekspektasi return secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

n

E(R) = ∑ Pi. Ri i=1 Keterangan :

E(R) = besarnya return yang diharapkan Pi = peluang dari suatu kejadian Ri = besarnya return

Risiko dalam kegiatan bisnis dikaitkan dengan besarnya return yang akan diterima oleh pengambil risiko. Semakin besar risiko yang dihadapi biasanya return

yang diterima juga akan lebih besar. Pola pengambilan risiko menunjukkan sikap yang berbeda terhadap pengambilan risiko.Risiko terjadi akibat adanya unsur ketidakpastian, sedangkan return adalah tingkat keuntungan yang diharapkan dari suatu investasi selama periode waktu tertentu yang akan diperoleh di masa mendatang. Hubungan

return dan risiko searah yaitu semakin besar return yang diharapkan maka semakin besar pula risiko yang harus ditanggung. Pentingnya pengelolaan risiko menggambarkan bahwa ada hubungan positif antara risiko dengan tingkat keuntungan, semakin tinggi risiko maka akan semakin tinggi pula tingkat keuntungan yang diharapkan. Oleh sebab itu, bila suatu usaha ingin meningkatkan keuntungan maka usaha tersebut harus menaikkan juga tingkat risikonya.

Perilaku Pelaku Bisnis dalam Menghadapi Risiko

(27)

17 utilitas, maka petani akan tertarik untuk memaksimalkan utilitas dengan memilih strategi yang dapat menghasilkan laba tertinggi. Hubungan antara expected income

dan incomevariance membagi perilaku pelaku bisnis menjadi risk averse, risk neutral

dan risk prefferer/risk lover/risk taker. Perilaku pelaku bisnis tersebut dapat dilihat pada Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 2 Perilaku Individu Risk Averse dalamMenghadapi Risiko Sumber : Debertin, 1986

Gambar 2 menunjukkan hubungan antara income variance, yang merupakan ukuran tingkat risiko dengan income yang diharapkan (expected income) yaitu tingkat kepuasaan pembuat keputusan. Sikap pembuat keputusan dalam menghadapi risiko tersebut dikategorikan sebagai risk averse. Pembuat keputusan yang takut terhadap risiko (risk averse) menunjukkan adanya kenaikan income variance yang merupakan ukuran tingkat risiko akan diimbangi dengan menaikkan income yang diharapkan, atau dengan kata lain pelaku bisnis akan mengambil risiko besar asalkan income

(pendapatan) yang diperoleh besar.

Gambar 3 Perilaku Individu Risk Neutral dalam Menghadapi Risiko Sumber : Debertin, 1986

Expected Income

Income Variance Expected Income

(28)

18

Gambar 3 menunjukkan sikap pengambil keputusan dalam menghadapi risiko dikategorikan sebagai risk neutral. Pembuat keputusan yang netral terhadap risiko (risk neutral) menunjukkan adanya kenaikan income variance yang merupakan ukuran tingkat risiko tidak diimbangi dengan menaikkan income yang diharapkan. Dengan kata lain, perilaku individu ini dalam menghadapi risiko akan bersikap acuh tak acuh. Adanya risiko tinggi atau rendah tidak menjadi perhatian bagi individu yang mempunyai perilaku risk neutral.

Gambar 4 Perilaku Individu Risk Prefferer dalam Menghadapi Risiko Sumber : Debertin, 1986

Gambar 4 menunjukkan hubungan antara income variance, yang merupakan ukuran tingkat risiko dengan income yang diharapkan yaitu tingkat kepuasaan pembuat keputusan. Sikap pembuat keputusan dalam menghadapi risiko tersebut yaitu risk prefferer/risk lover/risk taker yaitu pembuat keputusan yang berani terhadap risiko. Dengan adanya kenaikan incomevariance yang merupakan ukuran tingkat risiko tidak diimbangi dengan kesediannya menerima income yang diharapkan lebih rendah. Atau dengan kata lain, individu ini dalam menghadapi risiko akan menurunkan utilitas dengan semakin tingginya pendapatan yang diperoleh akibat risiko.

Menurut (Robison dan Barry,1987) dalam menganalisis risiko didasarkan pada teori pengambilan keputusan dengan berdasarkan konsep expected utility. Expected utility erat kaitannya dengan probability. Probability dapat dipandang sebagai frekuensi relatif dan digunakan dalam pengambilan keputusan. Utility sangat sulit diukur sehingga umumnya didekati dengan pengukuran return. Ukuran tingkat risiko dapat dilihat dari varian return. Indikator adanya risiko ditunjukkan oleh adanya variasi atau fluktuasi dari return dengan asumsi faktor-faktor tertentu bersifat tetap. Pelaku bisnis yang menghadapi risiko, memiliki kemungkinan akan kehilangan uang atas suatu investasi. Oleh karena itu, setiap pelaku bisnis memiliki perilaku yang berbeda dalam menghadapi bisnis. Jika dilihat dari pembuat keputusan dalam menghadapi risiko, secara umum dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu sebagai berikut :

1. Pembuat keputusan yang takut terhadap risiko (risk averse). Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam dari keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menaikkan keuntungan yang diharapkan yang merupakan tingkat kepuasan.

Expected Income

(29)

19 2. Pembuat keputusan yang berani terhadap risiko (risk taker). Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam dari keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menurunkan keuntungan yang diharapkannya.

3. Pembuat keputusan yang netral terhadap risiko (risk neutral). Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam dari keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menurunkan atau menaikkan keuntungan yang diharapkan.

Konsep Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani yaitu perkalian antara hasil produksi dengan harga jual. Dalam menghitung penerimaan usahatani, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (a) Dalam menghitung produksi pertanian diperlukan ketelitian dalam menghitung penerimaan usahatani, karena tidak semua produk pertanian dapat dipanen pada waktu yang bersamaan (b) Hasil produksi kemungkinan dijual beberapa kali dengan harga yang berbeda-beda, sehingga selain diperlukan data frekuensi penjualan, perlu diketahui juga harga jual pada masing-masing penjualan (c) bila penelitian usahatani menggunakan responden petani maka diperlukan teknik wawancara yang baik untuk membantu petani dalam mengingat kembali produksi dan hasil penjualan yang diperolehnya selama setahun terakhir (Soekartawi, 2006).

Konsep Biaya Usahatani

Biaya produksi adalah sebagai kompensasi yang diterima olah para pemilik faktor-faktor produksi atau biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam proses produksi baik secara tunai maupun tidak tunai (Daniel, 2002). Biaya usahatani dapat dibedakan berdasarkan struktur biaya dan berdasarkan perhitungan pengeluarannya. Struktur biaya usahatani dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alat-alat bangunan pertanian dan bunga pinjaman.

b. Biaya tidak tetap (variabel) adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalkan pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan dan biaya tenaga kerja.

Berdasarkan perhitungan pengeluarannya, biaya dibagi menjadi dua yaitu:

a. Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap misalnya pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga luar keluarga. Biaya tunai ini berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani.

(30)

20

berdasarkan semua faktor input dan jumlah input yang digunakan. Besar kecilnya biaya variabel dipengaruhi oleh jumlah output yang akan diproduksi. Secara sederhana, biaya tetap berhubungan dengan waktu dan tidak berhubungan dengan tingkat ataupun volume produksi, atau nilai dari biaya tetap adalah sama. Biaya variabel berhubungan dengan tingkat dan volume produksi. Besarnya biaya variabel ditentukan oleh besarnya jumlah output yang diinginkan

Salvatore (2006) menyatakan bahwa biaya tetap rata-rata (AFC) sama dengan biaya tetap total (TFC) dibagi jumlah output (Q). Biaya variabel rata-rata (AVC) sama dengan biaya variabel total (TVC) dibagi jumlah output (Q). Biaya rata-rata (AC) sama dengan biaya total (TC) dibagi jumlah output (Q); AC juga sama dengan AFC ditambah AVC. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

AFC = TFC AVC = TVC AC = TC AC = AFC+AVC Q Q Q

Dalam penelitian ini, perhitungan biaya yang digunakan adalah biaya tunai dan biaya diperhitungkan, pada masing-masing biaya terdapat komponen biaya tetap dan biaya variabel. Perbedaannya adalah pada biaya tunai, komponen biaya tetap dan biaya variabel adalah biaya yang dibayar secara tunai, sedangkan pada biaya diperhitungkan komponen biaya tetap dan biaya variabel adalah biaya yang tidak dibayar secara tunai (diperhitungkan). Hubungan biaya total, biaya tetap dan biaya variabel dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Hubungan Biaya Tetap Rata-rata-Biaya Variabel Rata-rata dan Biaya Total Rata-rata

Sumber: Rahardja, Manurung, 2006

Konsep Keuntungan Usaha

Banyak cara untuk mengukur pendapatan diantaranya adalah pendapatan bersih usahatani dan pendapatan tunai usahatani. Pendapatan bersih atau lebih dikenal dengan keuntungan bersih suatu usaha diperoleh dari selisih antara penerimaan usahatani dengan pengeluaran total atau biaya total usahatani (Soekartawi, 2006). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

Q (Jumlah Output) Biaya (Rp)

AC

AVC

(31)

21 = TR - TC

Keterangan: π = Keuntungan usaha yang diperoleh (Rupiah) TR = Penerimaan total (Rupiah)

TC = Biaya Total (Rupiah)

Penerimaan usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun yang tidak dijual, sedangkan pengeluaran total usahatani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi.

Dalam penelitian ini, perhitungan biaya yang digunakan adalah biaya tunai dan biaya diperhitungkan, pada masing-masing biaya terdapat komponen biaya tetap (TFC) dan biaya variabel (TVC). Perbedaannya adalah pada biaya tunai, komponen biaya tetap (TFC) dan biaya variabel(TVC) adalah biaya yang dibayar secara tunai, sedangkan pada biaya diperhitungkan komponen biaya tetap dan biaya variabel adalah biaya yang tidak dibayar secara tunai (diperhitungkan). Keuntungan yang diperoleh merupakan selisih dari total biaya dengan total penerimaan.

Perubahan nilai TFC, TVC akan mempengaruhi nilai TFC/output, TVC/output dan juga nilai TR/output produksi. Apabila jumlah produk yang dihasilkan semakin bertambah maka nilai TFC/output dan TVC/ output semakin kecil. Dalam hal ini biaya total yang harus dikeluarkan suatu usaha semakin murah. Selain itu dengan biaya variabel yang semakin murah diharapkan dapat meningkatkan volume penjualan dan pada akhirnya akan meningkatkan jumlah penerimaan (TR). Semakin besar jumlah penerimaan usaha maka nilai TR/output semakin besar. Kondisi tersebut pada akhirnya akan meningkatkan nilai keuntungan dari setiap output (π /output) yang diterima suatu usaha. Hubungan antara kurva biaya tetap, biaya variabel, biaya total dengan kurva penerimaan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Hubungan Kurva Biaya Tetap, Biaya Variabel dan Biaya Total dengan Kurva Penerimaan

Sumber: Salvatore, 2006

0 1 2 3 4 5 6

Q (Jumlah Output) TR,TC,

TVC,TFC TC

TVC

TFC TR

(32)

22

Kerangka Pemikiran Operasional

Kecamatan Pagelaran merupakan daerah produksi ikan lele terbesar di Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. Terdapat dua jenis lele yang dibudidayakan oleh petani di Kecamatan Pagelaran yaitu lele dumbo dan lele sangkuriang. Lele sangkuriang memiliki banyak keunggulan dibandingkan lele dumbo. Hal tersebut dikarenakan lele sangkuriang merupakan hasil rekayasa genetika yang dilakukan oleh Balai Besar Pengembangan Benih Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi sebagai upaya perbaikan mutu ikan lele dumbo yang menurun. Beberapa keunggulan lele sangkuriang yaitu karakteristik reproduksi dan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan lele dumbo

Tingkat kelangsungan hidup benih lele akan berbeda karena adanya risiko yaitu adanya kematian benih dalam proses pemeliharaannya. Hal tersebut dikarenakan fase pemeliharaan benih merupakan fase kritis yaitu daya tahan tubuh lele masih lemah. Sehingga rentan terkena penyakit dan risiko kematiannya menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu jumlah benih akhir ketika panen tidak sama dengan jumlah benih awal pemeliharaan.

Terjadinya fluktuasi hasil produksi yang dilihat dari tingkat kelangsungan hidup akibat adanya kematian ikan merupakan indikasi risiko produksi. Perbedaan tingkat kelangsungan hidup tentu akan mempengaruhi output produksi yang dihasilkan. Output panen benih lele yang diteliti adalah ukuran 3-5 cm saja dengan harga jual Rp 15 000 per gelas, dalam satu gelas berisi 300 ekor benih. Bila dikonversi dalam satuan ekor maka harga benih lele Rp50/ekor. Output benih lele yang dijual tergantung dari banyaknya ikan yang hidup saat panen, sehingga akan memberikan pengaruh terhadap keuntungan usaha pembenihan lele.

(33)

23

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Pagelaran merupakan sentra pembenihan ikan lele di Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 – Januari 2014.

Penerimaan

Usaha Pembenihan Lele Dumbo dan Lele Sangkuriang

Risiko Produksi Usaha Pembenihan Lele

Biaya Input Produksi

Gambar 7 Kerangka Pemikiran Operasional Pengaruh Risiko Produksi terhadap

Pendapatan Usaha pembenihan Ikan Lele di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu ProvinsiLampung

Fluktuasi SR benih lele

Keuntungan Usaha

Sikap petani dalam menghadapi risiko produksi Harga Input Output Produksi

(SR/jumlah benih yang hidup)

(34)

24

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan 20 petani pembenihan ikan lele di Kecamatan Pagelaran berdasarkan kuisioner dan pengamatan langsung (observasi). Data sekunder yang digunakan berasal dari dokumen yang sudah ada di petani, website Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu, buku, artikel, skripsi serta data-data terkait yang mendukung penelitian ini seperti internet dan literatur yang relevan.

Data kualitatif yaitu data non numerik atau penjelasan mengenai karakteristik responden, identifikasi sumber risiko produksi usaha pembenihan ikan lele dan data lain yang mendukung penelitian. Sedangkan data kuantitatif yaitu data numerik berupa penerimaan dan pengeluaran petani terkait usaha pembenihan ikan lele, data produksi benih lele, data kelangsungan hidup benih lele dan data lain yang berhubungan dengan penelitian.

Metode Penentuan Responden

Pemilihan responden dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive). Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 20 orang petani yang terdiri dari 10 orang petani pembenih lele sangkuriang dan 10 orang petani pembenih lele dumbo di Kecamatan Pagelaran, sehingga ada dua kelompok petani sesuai dengan jenis lele yang diusahakan yaitu petani lele sangkuriang dan petani lele dumbo.

Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung pada tahun 2012, jumlah petani pembenihan lele di Kecamatan Pagelaran yaitu 226 orang. Namun tidak semua petani aktif menjalankan usaha. Petani yang dipilih dalam penelitian ini merupakan rekomendasi dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung dengan kriteria responden adalah petani yang aktif dalam usaha pembenihan lele ukuran 3-5 cm dengan siklus produksi 30 hingga 40 hari. Data produksi yang digunakan adalah data siklus produksi terakhir saat penelitian dilakukan yaitu bulan November - Desember 2013.

Wadah pemeliharaan benih lele menggunakan bak terpal ukuran 3x5 m, yang membedakan adalah jumlah bak terpal yang dimiliki petani, sehingga waktu panen dan jumlah bak berbeda. Input usaha pembenihan lele yaitu jumlah induk lele yang dipijahkan khususnya induk betina, karena induk betina menghasilkan telur yang mempengaruhi jumlah benih yang dihasilkan. Oleh karena itu, skala usaha yang digunakan dalam usaha pembenihan lele sangkuriang dan lele dumbo yaitu mengunakan input induk betina yang sama yaitu berjumlah 2 ekor dengan berat 2 kg/ekor induk.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Gambar

Tabel 2. Tabel 2 Sembilan daerah penghasil perikanan budidaya terbesar di Indonesia tahun
Tabel 3 Jumlah benih ikan yang ditebar di kolam pada provinsi di Pulau Sumatera tahun 2008-2010 (ekor)
Tabel 6 menunjukkan bahwa lele sangkuriang lebih unggul dibandingkan lele
Gambar 2 menunjukkan hubungan antara incomerisiko (ukuran tingkat risiko dengan kepuasaan pembuat keputusan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan yang banyak atau bahkan disiplin yang ketat sering kali membuat para santri merasa takut, mereka takut berprilaku tidak sesuai dengan peraturan yang

Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa : “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nusantari, dkk (2008) model pembelajaran kooperatif tipe Pair Checks dapat meningkatkan kerja sama siswa dalam memecahkan masalah

Menurut Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007) dalam budidaya tanaman padi dengan program PTT ini menggunakan paket-paket teknologi secara terintegrasi

Mencari nilai eigen vector 1 (Kriteria), untuk mendapatkan nilai eigen vector ini, hasil jumlah dari normalisasi kriteria tiap elemen dibagi dengan jumlah kriteria yang

Dari gambar 4.13 dapat pula disimpulkan bahwa sistem perhitungan persamaan linear dan fuzzy inference system mampu membuat sistem perhitungan damage menjadi dinamis namun

Hal ini tidak selalu sama dengan percepatan koordinat (perubahan kecepatan dari perangkat dalam ruang), tetapi agak jenis percepatan terkait dengan fenomena berat badan yang

Telah memilihnya (Thalut) menjadi rajamu dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa….” (Q.S. Al-Baqarah : 247) 2.1.7 Harus seorang warga Negara islam