• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percobaan III : Pengaruh Sitokinin BA terhadap Berbagai Ukuran Mata Tunas Asal Stek Basal Daun Mahkota

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Penelitian berlangsung mulai Bulan Juli 2011 hingga Februari 2012 di Rumah Plastik Kebun Percobaan Tajur, Bogor. Kondisi suhu dan kelembaban selama penelitian menunjukkan bahwa suhu rata-rata bulanan pada bulan Juli 2011 hingga Februari 2012 adalah 27-32 0C dan kelembaban rata-rata mingguan (RH) sekitar 76-90 %. Selama penelitian berlangsung, jumlah hari hujan per bulan cukup tinggi (20-24 hari) dengan curah hujan rata-rata per bulan 170-442 mm/bulan. Data curah hujan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Kondisi lingkungan yang sangat lembab dan ekstrim serta media yang terlalu basah menyebabkan bahan setek yang ditanam banyak mengalami pembusukan terutama pada bagian pangkal stek (basal stek). Kondisi lingkungan yang lembab tersebut mempengaruhi proses fisiologi serta perkembangan stek basal daun terutama ketika perakaran belum terbentuk. Menurut Rochimin dan Harjadi (1973) berakarnya stek tergantung pada iklim mikro tempat penyetekan, medium harus lembab tetapi tidak terlalu basah dan kelembaban nisbinya mendekati 100 %. Media tanam yang terlalu basah dan kelembaban nisbih lebih dari 100 % diduga menyebabkan pangkal setk mudah membusuk dan menggangu pembentukan perakaran dan pembelahan sel serta menyebabkan cendawan mudah menyebar.

Frekwensi hari hujan dan kelembaban yang tinggi mendorong munculnya cendawan dan mudah menyebar. Setelah berumur 2 MST, stek basal daun mulai terlihat membusuk. Stek basal daun yang membusuk umumnya terserang cendawan Phytopthora sp. Hal ini pernah terjadi pada penelitian Solihati (2010) pada jenis nenas Queen, dimana akibat cuaca ekstrim pada saat itu (kelembaban dan curah hujan tinggi) eksplan yang ditanam pada media arang sekam mengalami busuk pangkal hingga mencapai 80 %. Oleh karena itu, selama penelitian berlangsung dilakukan pengendalian melalui penyemprotan fungisida Antracol 70 WP. Fungisida Antracol ini mengandung bahan aktif Propineb 70 %. Konsentrasi yang diberikan adalah 2 gr/ L air.

Selama penelitian berlangsung beberapa gejala serangan hama juga ditemukan seperti gejala serangan kutu Red spider Dolichote-tranychus (penggerek

21  

daun muda), kutu sisik Diaspis bromeliad (pengisap cairan daun) dan Dysmicoccos brevipes (kutu putih) pada pangkal stek. Gejala serangan ini mulai terlihat setelah stek basal daun berumur 12 MST. Pengendalian yang dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida Marshal 25 ST berbahan aktif Karbosulfan 25.53 %. Konsentrasi yang digunakan adalah 2 cc/L air. Kondisi tanaman terserang hama dapat dilihat pada Gambar 2.

Selama penelitian berlangsung, pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman dan pengendalian hama dan penyakit. Stek basal daun yang sudah membusuk (100 % basal membusuk) dibuang segera mungkin, sedangkan yang busuknya belum parah atau organ meristem basalnya sebagian masih ada yang utuh dapat dipertahankan. Pembuangan stek basal daun yang sudah busuk ini bertujuan agar penyakit tidak menyebar ke sampel yang lainnya. Disamping itu, jumlah frekwensi penyiraman dikurangi dari seminggu sekali menjadi dua minggu sekali agar mengurangi tingkat kebasahan media dan menekan penyebaran cendawan.

Gambar 2. Kondisi stek basal daun yang mengalami gejala pembusukan akibat Cendawan Phytopthora sp(A), gejala serangan Red spider (Dolichote tranychus) (B), Kutu sisik (Diaspis bromeliad) (C), serta serangan Dysmicoccos brevipes (kutu putih) pada pangkal batang bibit (D).

A

22  

Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Batang Nenas Smooth Cayenne

Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa interaksi antara perlakuan auksin dan sitokinin terhadap stek basal daun asal batang tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati. Peubah yang diamati antara lain adalah tinggi tunas, tinggi bibit, jumlah daun, lebar daun, panjang akar, bobot kering akar, bobot bibit, persentase berakar, persentase tumbuh, persentase stek menghasilkan 2-3 tunas/eksplan, waktu bertunas serta jumlah tunas per stek. Hingga diakhir pengamatan, pengaruh faktor tunggal auksin dan sitokinin hanya nyata terhadap tinggi tunas Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh pemberian berbagai taraf auksin dan sitokinin terhadap peubah yang diamati pada stek basal daun asal batang tercantum pada Tabel 1.

Tabel.1 Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Batang Nenas Smooth Cayenne Klon GP-1.

Peubah Umur Auksin Sitokinin Int KK

(MST) (I) (B) I*B (%) 1. Tinggi tunas a) 4 tn * tn 19.07 6 tn * tn 19.37 8-10 * * tn 16.53-13.10 2. Tinggi bibit 12 tn * tn 26.11 14-20 tn tn tn 22.54-23.80 3. Jumlah daun a) 10-20 tn tn tn 16.89-22.54 4. Lebar daun a) 10-20 tn tn tn 12.09-25.22 5. Panjang akar 20 tn tn tn 28.77

6. Bobot kering akar 20 tn tn tn 2.63

7. Bobot bibit a) 20 tn tn tn 18.47

8. Persen berakar b) 20 tn tn tn 29.74

9. Persen tumbuh b) 20 tn tn tn 15.86

10. Persen bertunas 2-3 tunas per eksplan b)

20 tn tn tn 16.49

11. Waktu bertunas (MST) 20 tn tn tn 14.54 12. Jumlah tunas per stek 20 tn tn tn 17.77 Keterangan :

MST : Minggu Setelah Tanam tn : Tidak Nyata

I : Auksin * : Berpengaruh nyata pada pada uji F 5% B : Sitokinin a): Data ditransformasi dengan √ x + 0.5 I*B : Interaksi b): Data ditransformasi dengan Arcsin √ x

23  

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemberian berbagai taraf auksin umumnya tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah kecuali tinggi tunas. Halnya yang sama diperlihatkan juga oleh perlakuan sitokinin yang juga hanya berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tunas. Perlakuan auksin dan sitokinin terlihat berbeda nyata terhadap tinggi tunas pada 8-10 MST. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian auksin hanya berpengaruh diawal fase pertumbuhan stek saja.

Secara umum, pemberian ZPT auksin dan sitokinin dengan berbagai konsentrasi tidak mempengaruhi perkembangan stek basal daun asal batang. Kurang efektifnya pengaruh perlakuan kedua ZPT tersebut diduga akibat konsentrasi yang diberikan serta secara teknis belum tepat. Hal ini sesuai dengan pendapat (Kusumo 1990) yang menyatakan bahwa auksin dan sitokinin aktif pada berbagai konsentrasi dan jika tepat konsentrasi dan waktu pemberiannya maka akan bermanfaat dan dapat berperan dalam merangsang pertumbuhan stek sejak awal terbentuknya tunas.

Hal lain yang mungkin menyebabkan pemberian ZPT umumnya tidak berpengaruh terhadap peubah yang diamati adalah akibat adanya kemungkinan terjadinya interaksi antagonis antara ZPT yang diberikan dengan hormon yang terdapat di dalam stek basal daun. Kejadian seperti ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lee (2002) dan Jones (2010) bahwa auksin dan sitokinin dapat mengalami beberapa jenis interaksi yaitu interaksi yang bersifat antagonis maupun sinergis. Disamping itu juga hormon endogen (hormone endogen) yang ada dalam stek basal daun diduga sangat rendah sehingga hormon yang diberikan (hormon eksogen) belum maksimal bekerja efektif dalam jaringan target.

Protein dapat berupa enzim–enzim yang berperan dalam pembelahan sel. Ketersediannya di dalam sel akan menyebabkan proses pembelahan sel lebih efektif (Catala et al. 2000). Rendahnya kandungan protein dalam stek basal daun asal batang juga diduga mempengaruhi tingkat keberhasilan dan perkembangan tunas. Kandungan protein rata- rata bahan stek asal batang cukup rendah yaitu sekitar 0.61 % (w/w). Hartman et al. (1990) menyatakan bahwa dalam perbanyakan dan pertumbuhan tanaman terdapat lima faktor penting yang mempengaruhi yaitu cahaya, air, suhu, gas, dan nutrisi. Lebih lanjut Ni’em (2000) yang menyatakan bahwa keberhasilan stek tergantung beberapa faktor dalam dan faktor luar. Faktor

24  

dalam diantaranya adalah kondisi fisiologi stek, sterilisasi stek dan tehnik perlakuan stek. Faktor luar antara lain adalah media perakaran, suhu, kelembaban, intensitas cahaya, hormon pengatur tumbuh.

Berdasarkan pendapat Ni’em (2000), dapat diduga bahwa keberhasilan stek basal daun asal batang sangat dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalamnya adalah keberadaan dan keseimbangan hormon yang terdapat dalam stek (fitohormon) sedangkan faktor luarnya adalah, teknik perlakuan terutama proses sterilisasi bahan dan media serta kelembaban media (kebasahan media).

Kondisi lingkungan dan keberadaan sumber penyakit yang terbawa sejak dari lapang juga patut diduga mempengaruhi keberhasilan stek basal daun tersebut. Berdasarkan pengamatan selama di lapang, tingginya curah hujan dan kelembaban serta kondisi media yang masih jenuh air diawal penanaman menyebabkan banyaknya stek yang busuk. Pembusukan ini disebabkan oleh cendawan dan bakteri yang terbawa sejak dari lapang yang bersifat soil born.

Kontaminasi yang berasal dari lapangan (soil born) proses sterilisasinya sangat sulit terutama yang berada pada ruang antar sel. Biasanya bahan dari lapang terutama yang dekat dengan permukaan tanah atau dalam tanah perlu sterilisasi khusus. Tahap sterilisasi penting karena merupakan tahap mengeliminasi mikroorganisme yang ada di luar jaringan tanaman maupun di dalam ruang antar sel (Daisy et al. 1994). Jika menggunakan konsentrasi tinggi tidak hanya mikroorganime yang mati tetapi justru dapat mematikan sel tanaman itu sendiri.

Stek basal daun asal batang yang mati atau busuk ditandai dengan kondisi basal stek menjadi lunak dan menghitam serta tidak ada tanda-tanda tunas tumbuh dan berkembang. Warna potongan daun stek berubah coklat setelah 2 MST. Pada awalnya kondisi seperti ini diduga merupakan gejala awal stek akan mati namun setelah 6 MST tunas mulai muncul kepermukaan dan ternyata stek masih dapat tumbuh dan bertunas meskipun umumnya tanpa akar. Hal ini diduga karena aktivitas fisiologis tunas dorman yang ada pada ketiak basal daun masih aktif dan mengandung cukup cadangan makanan.

Tinggi Tunas

Pengamatan tinggi tunas dilakukan sejak 4 MST hingga 10 MST karena stek berada pada fase perkembangan tunas. Pada pengamatan 4 MST, persentase

25  

stek yang bertunas tergolong sangat rendah yaitu sekitar 20 % dari total stek yang ditanam (tumbuh). Pertumbuhan dan munculnya tunas tidak serentak meskipun dalam perlakuan yang sama. Waktu bertunas masing – masing stek basal daun sangat beragam. Pengaruh tunggal perlakuan auksin dan sitokinin terhadap peubah tinggi tunas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Konsentrasi Auksin dan Sitokinin terhadap Tinggi Tunas pada Stek Basal Daun Asal Batang.

Perlakuan Tinggi tunas (cm)

Konsentrasi Auksin 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 0 ppm 0.50 1.10 2.20a 3.61a 25 ppm 0.43 1.08 2.20a 3.55a 50 ppm 0.25 0.72 1.50b 2.72b Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 0.12b 0.54b 1.38c 2.61c 25 ppm 0.32ab 0.84ab 1.64bc 2.83bc

50 ppm 0.42ab 1.04ab 2.28ab 3.57a

75 ppm 0.73a 1.44a 2.57a 4.16a

Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam

Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa perlakuan auksin pada 4 dan 6 MST tidak memberikan respon yang nyata terhadap tinggi tunas namun nyata setelah stek berumur 8-10 MST. Taraf perlakuan 0 ppm (kontrol) dan 25 ppm tidak berbeda nyata namun keduanya berbeda nyata dengan taraf perlakuan 50 ppm. Semakin tinggi konsentrasi auksin yang diberikan maka semakin rendah tinggi tunas yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian auksin tidak efektif meningkatkan tinggi tunas.

Pemberian auksin seharusnya menyebabkan stek basal daun lebih cepat bertunas, namun tidak demikian yang terjadi pada stek basal daun asal batang. Peningkatan konsentrasi auksin cenderung menyebabkan pertumbuhan tunas melambat atau kurang berkembang. Fenomena tersebut diduga terkait dengan kandungan zat atau hormon yang terdapat di dalam potongan stek basal daun. Hartmann et al.(1990) menyatakan bahwa pertumbuhan tunas sangat dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh yang ada dalam tanaman. Jika bersinergi dengan zat pengatur tumbuh dan senyawa lainnya maka respon yang ditimbulkan berdampak positif terhadap perkembangan tanaman. Sejalan dengan hal itu, Akasaka et al.

26  

(2000) menyatakan bahwa penggunaan auksin dengan konsentrasi yang tinggi secara in vitro dapat menghambat pemanjangan tunas, pembentukan akar serta menginduksi tunas tanpa meristem apikal pada peanut sehingga tunas yang terbentuk menyatu dengan saluran vaskuler yang tidak terorganisir dan akibatnya pertumbuhan tunas melambat.

Berbeda halnya dengan pengaruh tunggal sitokinin, dimana semakin tinggi taraf konsentrasi yang diberikan, semakin tinggi tunas yang dihasilkan. Tingginya konsentrasi sitokinin menyebabkan proses biosintesis auksin pada mata tunas dapat terpacu (Arteca, 2006). Pada 10 MST, terlihat bahwa pemberian sitokinin berbeda nyata antara perlakuan kontrol (0 ppm) dengan 50 dan 75 ppm, sedangkan perlakuan 25 ppm tidak nyata terhadap kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sitokinin cukup efektif pada taraf konsentrasi 50 ppm meskipun pemberian hingga 75 ppm masih menunjukkan trand yang terus meningkat. Hal ini mungkin terkait dengan pernyataan Jenick (1972) : Harman dan Kaster (1978), yang mengatakan bahwa salah satu sifat sitokinin BA dalam aplikasinya adalah memiliki kisaran konsentrasi yang lebar dibanding sitokinin lainnya sehingga lebih aman dari kelebihan konsentrasi.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa sitokinin berperan sebagai pengatur positif bagi biosintesis auksin karena adanya kecenderungan bahwa sitokinin lebih berpengaruh dibandingkan auksin (Jones et al. 2010). Lebih lanjut Dwidjoseputro (1990); Widianto (1988); Kusumo (1990), pendapat bahwa manfaat dari hormon sangat tergantung dari dosis yang diberikan, jika dosisnya tepat akan membantu dan menyebabkan sistem penunasan, pertumbuhan dan perakaran yang baik.

Tinggi Bibit

Pengamatan tinggi bibit dilakukan pada 12 hingga 20 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa pemberian auksin tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit pada 12 hingga 20 MST, namun perlakuan sitokinin hanya nyata pada 14 MST. Pengaruh perlakuan taraf sitokinin terhadap tinggi bibit semakin tidak nyata seiring dengan bertambahnya umur bibit. Nilai rataan tinggi bibit dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

27  

Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi Auksin dan Sitokinin terhadap Tinggi Bibit pada Stek Basal Daun Asal Batang.

Perlakuan Tinggi bibit (cm)

Konsentrasi Auksin 12 MST 14 MST 16 MST 18 MST 20 MST 0 ppm 5.52 6.11 7.02 7.91 9.01 25 ppm 5.22 6.17 7.30 8.27 9.53 50 ppm 4.70 5.47 6.86 7.60 8.68 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 4.39 5.34b 6.34 7.16 8.19 25 ppm 4.89 5.36b 6.36 7.14 8.43 50 ppm 5.43 6.31ab 7.79 8.89 10.09 75 ppm 5.88 6.65a 7.76 8.52 9.60

Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam

Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %

Perlakuan taraf sitokinin hanya berpengaruh nyata pada 14 MST, selanjutnya tidak nyata pada 16 MST hingga 20 MST. Pada 14 MST, perlakuan sitokinin 75 ppm berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan 25 ppm tetapi tidak nyata dengan perlakuan 50 ppm. Meskipun secara statistik perlakuan sitokinin tidak nyata namun peningkatan konsentrasi sitokinin relatif meningkatkan tinggi bibit dan hanya terlihat responnya diawal pertumbuhan bibit saja, termasuk pertumbuhan tunas sebelumnya.

Dalam kaitannya dengan efisiensi waktu produksi, maka tinggi bibit menjadi salah satu indikator penting karena berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan bibit siap tanam. Tinggi bibit siap tanam adalah bibit yang memiliki tinggi sekitar 15 cm. Sampai akhir pengamatan tinggi bibit yang dihasilkan dari seluruh perlakuan belum menghasilkan atau bibit belum mencapai tinggi 15 cm. Oleh karena itu, untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ukuran tersebut, maka dilakukan ekstrapolasi data tinggi bibit sejak 10 MST. Data tinggi bibit hasil ekstrapolasi masing- masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.

Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk mendapatkan kriteria tinggi bibit 15 cm berbeda setiap perlakuan. Waktu tercepat adalah 28 MST dari perlakuan sitokinin BA 50 ppm dan terlama adalah 33 MST diperoleh dari perlakuan 0 ppm (kontrol) dan taraf sitokinin BA 25 ppm. Hasil data

28  

ekstrapolasi ini menunjukkan bahwa pemberian sitokinin 50 ppm dibandingkan kontrol dapat menghemat waktu produksi hingga enam minggu.

Tabel 4. Ekstrapolasi Tinggi Bibit Nenas Hasil Stek Basal Daun Asal Batang

MST Kontrol IBA 25 ppm IBA 50 ppm BA 25 ppm BA 50 ppm BA 75 ppm 10 3.08 3.55 2.72 2.83 3.57 4.16 12 4.95 5.22 4.95 4.89 5.43 5.88 14 5.72 6.17 5.72 5.36 6.31 6.65 16 6.68 7.30 6.68 6.36 7.79 7.76 18 7.53 8.27 7.53 7.14 8.89 8.52 20 8.60 9.53 8.60 8.43 10.09 9.60 22 9.72 10.69 9.84 9.41 11.46 10.72 24 10.76 11.84 10.93 10.43 12.73 11.75 26 11.80 12.99 12.02 11.45 14.00 12.79 28 12.83 14.14 13.11 12.47 15.27 13.82 30 13.87 15.28 14.20 13.50 14.86 32 14.91 15.29 14.52 15.89 33 15.43 15.03 Jumlah daun

Waktu terbentuknya daun sempurna antar stek berbeda-beda meskipun dalam perlakuan yang sama. Tingkat keragaman cukup tinggi sehingga pengamatan dilakukan pada umur stek 10-20 MST karena pada umur stek 4-8 MST, sebagian kuncup tunas belum membuka sempurna.

Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan auksin tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun sejak 10 MST hingga 20 MST. Hal ini menunjukkan bahwa auksin pada taraf tersebut tidak berperan dalam meningkatkan jumlah daun bibit. Hingga akhir pengamatan, jumlah daun yang dihasilkan oleh bibit stek basal daun asal batang hanya sekitar lima daun per tanaman sedangkan jumlah daun minimal yang dibutuhkan untuk bibit yang siap tanam adalah delapan helai daun per tanaman (PKBT, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah daun yang dihasilkan masih jauh dari yang diharapkan (standart mutu bibit siap tanam). Nilai rataan jumlah daun dapat dilihat pada Tabel 5.

29  

Tabel 5. Pengaruh Konsentrasi Auksin terhadap Jumlah Daun pada Stek Basal Daun Asal Batang.

Perlakuan Jumlah daun

Konsentrasi Auksin 10 MST 12 MST 14 MST 16 MST 18 MST 20 MST 0 ppm 2.63 3.26 3.69 4.19 4.90 5.38 25 ppm 2.81 3.32 3.70 4.04 4.73 5.24 50 ppm 2.14 3.00 3.41 3.73 4.55 5.00 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 2.13 2.73 3.18 3.66 4.42 4.99 25 ppm 2.46 3.31 3.60 3.92 4.64 5.21 50 ppm 2.66 3.47 4.09 4.39 5.23 5.67 75 ppm 2.85 3.28 3.53 3.96 4.64 4.95

Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam

Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %

Perlakuan sitokinin antar konsentrasi yang diberikan tidak berbeda nyata. Pemberian sitokinin tidak mampu meningkatkan jumlah daun pada bibit yang dihasilkan stek basal daun asal batang. Sama halnya dengan penelitian Solihati (2010) yang menunjukkan bahwa perlakuan sitokinin terhadap jumlah daun pada stek basal daun pada nenas tipe Queen juga tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan bibit asal stek basal daun asal batang sangat lambat. Pertumbuhannya dapat dikatakan lambat karena menurut Wee dan Thongtham (1997) selama periode pertumbuhannya yang cepat tanaman nenas mampu bertambah daunnya dengan kecepatan satu lembar daun per minggu atau 5-6 daun per bulan (Nakasone dan Paull, 1998).

Lebar Daun

Waktu pengamatan lebar daun dilakukan pada 10-20 MST. Berdasarkan pengaruh faktor tunggal, pemberian auksin pada berbagai taraf konsentrasi tidak bereda nyata terhadap lebar daun. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian auksin tidak mampu meningkatkan lebar daun atau pertambahan lebar daun antar perlakuan sama. Rata-rata pertambahan lebar daun tiap pengamatan berkisar 0.02- 0.015 cm. Pengaruh tunggal perlakuan auksin dan sitokinin pada stek basal batang nenas terhadap peubah lebar daun dapat dilihat pada Tabel 6.

30  

Tabel 6. Pengaruh Konsentrasi Auksin terhadap Lebar Daun pada Stek Basal Daun asal Batang.

Perlakuan Lebar daun (cm)

Konsentrasi Auksin 10 MST 12 MST 14 MST 16 MST 18 MST 20 MST 0 ppm 0.55 0.75 0.85 0.93 1.04 1.14 25 ppm 0.54 0.72 0.83 0.93 1.05 1.16 50 ppm 0.46 0.69 0.80 0.89 1.04 1.14 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 0.38 0.56 0.67 0.80 0.94 1.04 25 ppm 0.49 0.75 0.83 0.89 1.01 1.13 50 ppm 0.56 0.76 0.91 1.03 1.15 1.26 75 ppm 0.64 0.81 0.90 0.95 1.05 1.16

Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam

Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %

Hal yang sama terjadi pada perlakuan sitokinin, dimana pemberian berbagai taraf konsentrasi juga tidak berbeda nyata pada 10-20 MST. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian hormon sitokinin tidak mempengaruhi dan tidak dapat meningkatkan diameter daun pada bibit yang dihasilkan oleh stek basal daun asal batang. Sama halnya dengan penelitian Solihati (2010) yang menunjukkan bahwa perlakuan sitokinin tidak mampu meningkatkan lebar daun bibit hasil stek basal daun nenas tipe Queen.

Rendahnya ukuran labar daun yang dihasilkan mengindikasikan bahwa bibit yang berasal dari stek basal daun asal batang tidak vigor atau lambat berkembang. Nilai rata-rata lebar daun yang dihasilkan masih jauh dari standart kualitas bibit siap tanam. Lebar daun bibit yang siap tanam adalah 2.0-3.3 cm (LMAA IPB, 2001).

Panjang Akar, Persentase Berakar, Bobot Kering Akar dan Bobot Bibit

Pengukuran panjang akar, persentase stek berakar, bobot kering akar dan bobot bibit dilakukan pada 20 MST. Perlakuan taraf konsentrasi auksin dan sitokinin tidak berpengaruh nyata terhadap persentase panjang akar, persentase stek berakar, bobot kering akar dan bobot bibit (bobot basah). Nilai rataan panjang akar, bobot kering akar dan bobot bibit dapat dilihat pada Tabel 7.

31  

Tabel 7. Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Panjang Akar, Persentase Berakar, Bobot Kering Akar dan Bobot Bibit pada Stek Basal Daun Asal Batang. Perlakuan Panjang akar Persentase berakar Bobot kering akar Bobot bibit Konsentrasi Auksin (cm) (%) (g) (g) 0 ppm 4.39 31.60 0.03 2.89 25 ppm 4.23 35.05 0.03 2.87 50 ppm 4.36 31.44 0.03 2.77 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 3.44 32.71 0.02 2.24 25 ppm 5.00 33.38 0.03 3.13 50 ppm 4.48 33.04 0.03 3.19 75 ppm 4.38 31.66 0.04 2.80

Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam

Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %

Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa perlakuan auksin hingga 50 ppm tidak mempengaruhi perkembangan panjang akar, padahal salah satu fungsi auksin adalah berperan dalam pembentukan akar (inisiasi akar). Hal ini dapat diduga bahwa konsentrasi yang diberikan belum tepat, sebagaimana yang disampaikan oleh Kusumo (1990), bahwa manfaat dari hormon sangat tergantung dari konsentrasi yang diberikan, jika konsentrasinya tepat akan sangat membantu dan diperoleh perakaran yang baik. Hal lain yang menyebabkan tidak adanya efek pemberian auksin adalah akibat faktor endogen terutama keberadaan auksin yang terkandung dalam stek daun asal batang. auksin berperan dalam inisiasi perakaran stek sehingga apabila kandungan auksinnya rendah maka inisiasi perakaran akan terganggu (Hartmann dan Kester 1983).

Fenomena tersebut diatas juga dapat diduga sesuai pendapat Lee et al. (2002) menyatakan bahwa keberadaan sitokinin dapat menghambat kerja auksin dalam pemanjangan sel karena dapat memicu reaksi auksin oksidatif sebagaimana yang disampaikan oleh Rampant et al. (2000) mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu aktivitas auksin oksidasi bersifat menghambat induksi perakaran. Sifat menghambat ini oleh Jones (2010), berasal dari sifat antagonis yang ditimbulkan akibat respon auksin endogen yang terdapat dalam tanaman atau potongan stek terhadap asupan hormon yang diberikan.

32  

Tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan taraf sitokinin 25 ppm cenderung meningkatkan panjang akar meskipun secara statistik tidak nyata. Peningkatan panjang akar ini, diduga akibat adanya kelaborasi biosintesa yang melibatkan karbohidrat yang terkandung dalam potongan stek basal daun asal batang. Translokasi karbohidrat dapat menyokong perkembangan akar (Hartman dan Kester, 1983) sedangkan hormon endogen hanya berperan memacu pembelahan

dalam jaringan meristematik pada akar (Catala et al., 2000).

Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa kedua jenis ZPT yang digunakan tidak mampu meningkatkan vigoritas bibit. Hal ini terlihat dari ukuran bobot bibit yang dihasilkan masih jauh dari standart. Bobot atau ukuran bibit yang dihasilkan dari seluruh perlakuan sekitar 2.24 hingga 3.19 g per bibit. Ukuran bobot bibit siap

Dokumen terkait