• Tidak ada hasil yang ditemukan

Morfologi Tanaman Nenas

Nenas memiliki daun berbentuk pedang dengan panjang mencapai 1 m atau lebih, lebar 5 - 8 cm, pinggir daun berduri atau hampir rata, berujung lancip, bagian atas daun berdaging, berserat, beralur, tersusun dalam spiral yang tertutup, bagian pangkalnya memeluk poros utama (Verheij & Coronel, 1992). Jumlah daun yang terbentuk dapat mencapai 70 sampai 80 helai. Permukaan daun atas, licin seperti lapisan lilin, berwarna hijau terang atau coklat kemerahan, permukaan bawahnya terdapat garis-garis linier berwarna putih keperakan, mudah lepas dari epidermis yang berwarna hijau terang. Stomata tersusun dalam garis putus-putus. Stomata berada di bagian sisi dan bawah permukaan daun diantara garis-garis linier (Collins, 1960).

Batang nenas selalu tertutup daun, jika daun dilepas terlihat ruas-ruas pendek dengan panjang bervariasi antara 1-10 cm dengan ruas yang paling panjang terdapat di bagian tengah batang, panjang batang berkisar 20-25 cm dengan diameter bagian bawahnya 2-3.5 cm dan semakin ke atas diameter batang semakin besar yaitu 5.5 - 6.5 cm serta bagian puncaknya mengecil (Collins, 1960).

Nenas memiliki akar serabut dengan sebaran ke arah vertikal dan horizontal. Perakaran dangkal dan terbatas walaupun ditanam pada media yang paling baik. Kedalaman akar nenas tidak akan lebih dari 50 cm (Samson, 1980). Akar tunggang hanya terbentuk jika bibit berasal dari biji.

Rangkaian bunga dan buah tanaman nenas terdapat pada meristem apikal, batang berwarna lembayung kemerah-merahan, masing-masing bunga diiringi oleh satu braktea yang lancip. Nenas memiliki banyak bunga yang tak bertangkai (100-200), memiliki daun kelopak tiga helai, pendek dan berdaging, daun mahkota tiga helai, membentuk tabung yang mengelilingi enam lembar benang sari dan satu lembar tangkai putik yang bercabang tiga (Coronel & Verheij, 1997), bersifat hermaprodit dan self incompatible (Collins 1960). Sifat self-incompatible pada nenas (A. comosus) karena adanya lokus tunggal S dengan multiple alel, tetapi pada spesies A. ananassoides, A. bracteatus, dan A. saginarius adalah self-

7

 

fertile (Brewbaker & Gorrez 1967 dalam Hadiati, 2002), sehingga biji akan terbentuk jika terjadi penyerbukan silang. A. comosus mempunyai fertilitas yang rendah. Hal ini terlihat dari persentase ovule yang menghasilkan biji setelah penyerbukan, yaitu kurang dari 5 %. Pada kultivar Cayenne, Red Spanish, Singapore Spanish, Perola, dan Queen dihasilkan kurang dari dua biji/bunga, sedangkan pada genotipe yang mempunyai daun ‘piping’ dihasilkan 2-5 biji/bunga (Leal dan Coppens, 1996).

Buah nenas merupakan buah majemuk yang terbentuk dari gabungan 100 sampai 200 bunga, berbentuk silinder, dengan panjang buah sekitar 20.5 cm dengan diameter 14.5 cm dan beratnya sekitar 2.2 kg (Collins, 1960). Kulit buah keras dan kasar, saat menjelang panen, warna hijau buah mulai memudar. Soedibyo (1992) menyatakan bahwa diameter dan berat buah nenas semakin bertambah sejalan dengan pertambahan umurnya, sebaliknya untuk tekstur buah nenas, semakin tua umur buah maka teksturnya akan semakin lunak (Coronel dan Verheij, 1997).

Klasifikasi Nenas Klon GP-1

Nenas (Ananas comosus L. Merr) merupakan tanaman tahunan monokotil memiliki banyak macam dan jenis, namun yang bersifat komersil hanya Ananas comosus. Secara taksonomi Ananas comosus termasuk dalam Devisi Spermatophyta, Ordo Farinosae, Famili Bromeliaceae, Genus Ananas dan Spesies Ananas comosus.

Berdasarkan karakteristik tanaman dan buahnya, nenas dapat dikelompokkan dalam lima kelompok yaitu Cayenne, Queen, Spanish, Abacaxi dan Maipure (Nakasone & Paull, 1999). Pengelompokan tersebut berdasarkan pada ukuran tanaman, ukuran buah, warna dan rasa daging buah, serta pinggiran daun yang rata dan berduri (Nakasone & Paull 1999).

Kultivar Cayenne klon GP-1 merupakan golongan yang heterozigot. Menurut sejarah, Cayenne adalah hibrida yang berasal dari tipe tetua yang tidak diketahui. Perubahan genotipe nenas Cayenne terjadi akibat mutasi gen dan kromosom somatik. Pada saat terjadi mutasi somatik, Cayenne mampu bertahan hidup, sehingga populasi nenas Cayenne yang ada sekarang, merupakan klon yang sudah bermutasi dan penampilannya mirip dengan tetua (Collins, 1968).

8

 

Nenas Smooth Cayenne klon GP-1 merupakan jenis yang sedang dikembangkan di Pusat Kajian Hortikultura Tropika. Klon GP-1 merupakan jenis nenas introduksi yang berpotensi untuk dikembangkan untuk tujuan konsumsi segar. Nenas klon GP-1 berasal dari negara Fhilipina (PKBT, 2009).

Sebagai genotipe unggul, varietas GP-1 mengakumulasi karakter unggul dari dua tipe nenas yaitu Smooth Cayenne dan Queen yang meliputi bobot buah 1.0-1.3 kg; PTT > 16%; mahkota buah tegak dan proporsional; warna daging buah kuning sampai jingga; daging buah renyah; hati kecil; umur simpan panjang; bentuk buah silindris; tidak berduri; dan responsif terhadap induksi pembungaan. Dalam rangka mempromosikan keunggulan tersebut maka perlu dilakukan kegiatan komersialisasi, perbanyakan bibit, uji lapang, pelepasan varietas, dan pengenalan pasar. Hal yang paling penting untuk mendukung itu semua adalah penyediaan bibit bemutu.

Nenas GP-1 memiliki deskripsi sebagai berikut : tinggi tanaman 80-100 cm, diameter tajuk 155 cm, jumlah daun 80, lebar daun 6-8 cm, panjang daun 95 cm, umur berbunga 15.0 BST (Bulan Sesudah Tanam), umur panen 18. BST (Bulan Sesudah Tanam), panjang tangkai buah 17 cm, diameter tangkai buah 3,50 cm, bobot buah 1386 gram, jumlah daun mahkota 95-98, lingkar tangkai buah 7.21, diamater buah tengah 11-13 cm, diamater hati 2-3 cm, kedalaman mata 0.8-0.9 cm, tingkat kemanisan14-19 brix, pH 3.5-4, total asam terlarut 1.3-1.5, tepi daun tidak berduri, warna buah matang kuning bercorak hijau dan warna daging buah kuning. (PKBT, 2009). Gambar nenas Smooth Cayenne Klon GP-1 dapat dilihat pada Gambar 1.

9

 

Syarat Tumbuh

Nenas secara alami merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan karena nenas termasuk jenis tanaman CAM, yaitu tanaman yang membuka stomata pada malam hari untuk menyerap CO2 dan menutup stomata pada siang

hari. Hal ini akan mengurangi lajunya transpirasi. Nenas memerlukan sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhan. Kondisi berawan pada musim hujan menyebabkan pertumbuhannya terhambat, buah menjadi kecil, kualitas buah menurun dan kadar gula menjadi berkurang. Sebaliknya bila sinar matahari terlalu banyak maka tanaman akan terbakar dan buah cepat masak. Intensitas rata-rata cahaya matahari pertahunnya yang baik untuk pertumbuhan nenas berkisar 33-71 % (Coronel dan Verheij, 1997).

Nenas dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Nenas sering ditemukan di daerah tropis, terutama di tanah latosol coklat kemerahan atau merah. Tanaman ini memiliki sistem perakaran yang dangkal, sehingga memerlukan tanah yang memiliki sistem drainase dan aerase yang baik, seperti tanah berpasir dan banyak mengandung bahan organik. pH yang optimum untuk pertumbuhan nenas adalah 4.5-6.5. Sebaiknya nenas ditanam didaerah dengan pH di bawah 5.5 serta kandungan garamnya rendah (Pracaya, 1982).

Temperatur optimum untuk pertumbuhan nenas adalah 23oC sampai 32oC. Temperatur maksimum dan minimum adalah 30oC-20oC. Menurut Coronel & Verheij (1997) pada suhu dan kelembaban yang tinggi menyebabkan daun-daun tanaman menjadi lunak, buah menjadi besar dengan kandungan asam rendah dan pertumbuhan menjadi sangat rendah.

Ketinggian tempat untuk tanaman nenas berkisar 100-800 m dpl. Untuk varietas Cayenne, bila ditanam di dataran rendah akan menghasilkan kualitas yang lebih rendah dengan ciri buah nenas dan daunnya lebih kecil. Jika daerahnya lebih tinggi dari 760 m di atas permukaan laut, tanaman nenas menjadi lebih pendek, daun lebih pendek dan menyebar, nenas lebih ringan dan fruitlet menonjol keluar, sehingga permukaan lebih kasar. Nenas Cayenne yang ditanam di Kenya pada ketinggian 1.400 sampai 1.800 mdpl memiliki perbandingan gula- asam 16:1. Pada ketinggian 1.150 mdpl perbandingan gula-asam menjadi 38:1. Sementara di Guatemala, Amerika Tengah ada nenas yang daunnya berduri, hidup

10

 

pada ketinggian 1.555 mdpl. Di Srilangka terdapat tanaman nenas yang ditanam pada daerah dengan ketinggian 1.221 mdpl. (Nakasone dan Paull, 1999)

Tanaman nenas dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 635 mm sampai dengan 2500 mm per tahun, namun curah hujan optimum untuk pertumbuhan dan perkembangannya adalah antara 1.000-1.500 mm per tahun. Daerah yang memiliki kelembaban tinggi baik untuk mencegah transpirasi yang terlalu besar, sehingga lahan di dekat pantai akan sangat mendukung pertumbuhan dan produksi nenas (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 1994).

Bahan Perbanyakan Nenas.

Tanaman nenas dapat diperbanyak dengan cara generatif maupun vegetatif. Teknik generatif jarang dilakukan dalam perbanyakan nenas dan biasanya dipergunakan di balai penelitian untuk memperoleh varietas baru melalui perkawinan silang. Hal ini dikarenakan perbanyakan dari biji membutuhkan waktu yang lama dan mempunyai keragaman yang tinggi (Tohir, 1981).

Stek adalah salah satu teknik pembiakan vegetatif yang dilakukan dengan cara melakukan pemisahan atau pemotongan bagian batang, akar atau daun dari pohon induknya. Perbanyakan yang dilakukan dengan cara stek akan terbentuk individu baru dengan genotipe sama dengan induknya (Hartmann et al. 1990). Dengan demikian di samping bertujuan untuk perbanyakan, teknik ini juga sangat membantu program pemuliaan tanaman yang bertujuan untuk mempertahankan sifat induknya.

Menurut Hartmann et al. (1990) perbanyakan dengan menggunakan stek mempunyai beberapa kelebihan antara lain : (1) bibit dapat diperoleh dalam jumlah besar dan waktu yang relatif singkat, (2) tanaman cukup homogen dan dapat dipilih dari bahan tanaman yang mempunyai kualitas tinggi yang diturunkan dari induknya, (3) membutuhkan bahan stek yang sedikit, (4) populasi tanaman yang dihasilkan relatif seragam, dan (5) mudah dan tidak memerlukan teknik yang rumit.

Menurut Collins (1960), bahan tanaman yang dapat digunakan sebagai bibit nenas antara lain : (1) sucker yaitu tunas yang tumbuh dari batang yang terletak di bawah permukaan tanah, (2) shoot yaitu tunas yang tumbuh dari mata tunas aksilar pada batang, (3) hapas yaitu tunas yang tumbuh dari pangkal

11

 

tangkai buah, (4) slips yaitu tunas yang tumbuh di dasar buah, perkembangan dari mata tunas pada tangkai buah, dan (5) mahkota yaitu tunas yang tumbuh di pucuk buah.

Metode perbanyakan in vivo, akhir-akhir ini banyak menggunakan stek batang (stem splitting) dan tunas basal daun mahkota (mahkota leaf budding). Menurut Hepton (2003) nenas memiliki banyak tunas vegetatif yang dapat dibagi untuk bahan perbanyakan stek batang dengan dua atau lebih mata tunas pada setiap bagiannya, termasuk batang mahkotanya. Potongan batang nenas dan basal daun mahkotanya berpotensi menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dan menghasilkan bibit lebih banyak dalam setahun (Naibaho et al. 2008).

Metode perbanyakan stek basal daun (mahkota leaf budding) memiliki potensi menghasilkan bibit lebih banyak dan seragam. Teknik ini telah diperkenalkan dan banyak mengalami perubahan (Seow et al. 1970; Lee et al. 1978; Dass et al. 1984.). Setiap daun nenas memiliki tunas aksilar dorman yang melekat pada batang tanaman dan mahkota nenas. Tunas dorman yang ada disetiap basal daun tersebut berpotensi untuk mengasilkan mata tunas (bud) dan menjadi calon bibit (Py et al. 1984).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (< 1 µM) mendorong, menghambat atau secara kuantitatif dan kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wattimena, 1988). Zat pengatur tumbuh terdiri dari golongan auksin, sitokinin, giberellin, ABA, polyamin dan oligosakarida. Pada umumnya zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah dari golongan auksin dan sitokinin. Kedua zat ini berpengaruh dalam pembentukan akar, tunas dan kalus (Hartmann dan Kester, 1984).

Interaksi antara auksin dan sitokinin selama proses organogenesis (difrensiasi sel) pada tanaman merupakan fenomena yang sudah lama dikenal. Pada awalnya, Skoog dan Miller (1957) telah mengidentifikasi mekanisme kerja dan rasio auksin dan sitokinin serta konsentrasinya sebagai faktor penting yang mengatur perkembangan eksplan jaringan tanaman. Sejak itu, peranan kedua ZPT

12

 

tersebut dipelajari secara ekstensif karena merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dalam pengembangan tanaman.

Auksin digunakan secara luas dalam untuk merangsang pertumbuhan kalus, pemanjangan tunas dan pembentukan akar. Dalam konsentrasi rendah akan memacu akar adventif sedangkan konsentrasi tinggi mendorong terbentuknya kalus (Pierik, 1987). Auksin yang secara alami terdapat dalam tumbuhan adalah Indole-3-Acetic Acid (IAA). Selain itu auksin yang dibuat secara sintetik dan sering digunakan adalah Naphtalene Acetic Acid (NAA), Indole-4 Butiric Acid (IBA) dan 2,4 Dichlorophenoxy Acetic Acid (2,4-D). Pemilihan jenis auksin dan konsentrasinya ditentukan oleh tipe pertumbuhan, level auksin endogen, kemampuan jaringan dalam sintesis auksin dan zat pengatur tumbuh lain yang ditambahkan. Auksin NAA selang konsentrasi optimalnya sangat sempit untuk pertumbuhan yaitu aktif pada konsentrasi 0,001 – 10 mg/l, tetapi NAA memiliki sifat yang lebih tahan, tidak mudah terdegredasi dan lebih murah.

Sitokinin berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Aktivitas utama sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, menginduksi pertumbuhan tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi akar (Pierik, 1987). Sitokinin juga dapat menghambat perombakan protein dan klorofil serta menghambat penuaan (senescence). Sitokinin yang biasa dipakai dalam kultur jaringan adalah 6-Benzilamino Purine (BAP), Benzil Adenin (BA), Kinetin, Zeatin dan 2 iP ( Wattimena dan Gunawan, 1988).

Efesiensi Ekonomis dan Teknis

Menurut Rogers (1987), ada lima ciri inovasi yang dapat digunakan sebagai indikator dalam mengukur presepsi antara lain: (1). Keuntungan relative (relative adventages), adalah merupakan tingkatan dimana suatu ide baru dianggap suatu yang lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya dan secara ekonomis menguntungkan. (2) Kesesuaian (compatibility), adalah sejauh mana inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan adaptor. (3) Kerumitan (complexit), adalah suatu tingkat di mana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan akan merupakan hambatan bagi proses kecepatan adopsi inovasi. (4) Kemungkinan untuk dicoba (trability), adalah suatu tingkat di mana suatu inovasi dapat dicoba dalam skala

13

 

kecil. Ide baru yang dapat dicoba dalam skala yang lebih kecil biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dulu. (5) Mudah diamati ( observability), adalah status atau tingkat dimana inovasi dapat dengan mudah dilihat orang lain, sehingga akan mempercepat proses adopsinya. Jadi calon-calon pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani tahap-tahap percobaan, melainkan dapat terus ke tahap adopsi.

Analisis ekonomis dan efesiensi suatu kegiatan penelitian tidak terlepas dari lima ciri inovasi yang diungkapkan oleh teori Rogers (1970). Analisis ekonomi dapat juga dikatakan analisis efesiensi yang banyak digunakan untuk menilai suatu usaha layak atau tidak layak dilakukan. Salah satu metode analisis sederhana yang biasa dilakukan adalah analisis menggunakan B/C rasio. B/C ratio merupakan suatu rasio antara manfaat atau keuntungan terhadap biaya yang dikeluarkan.

Menurut Choiurul et al. (1988) efesiensi suatu usaha secara umum dirumuskan sebagai perbandingan antara output dan input. Out put adalah penerimaan (return) dalam ukuran fisik atau rupiah sedangkan in put adalah biaya (cost) yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut. Hasil nisbah penerimaan dan biaya inilah yang disebut sebagai indeks efesiensi usaha. Suatu usaha dikatakan telah efesien bila nilai B/C nya lebih besar atau sama dengan satu yang artinya bahwa penerimaan yang diperoleh telah mampu menutupi biaya yang dikeluarkan. Secara umum efesiensi usaha atau efesiensi ekonomis dapat dirumuskan sebagai berikut :

=

Dimana : Pj dan Pb : Harga jual dan Harga beli komoditi Qj dan Qb : Jumlah penjualan dan pembelian. Bu dan BO : Biaya umum dan Biaya operasional.

Disamping analisis ekonomis, juga dilakukan analisis Linear programming untuk mendapatkan optimasi dari perlakuan ZPT yang digunakan untuk mendapatkan nilai efesiensi teknis masing-masing perlakuan. Linear programming merupakan salah satu alat uji riset untuk tujuan optimasi suatu Efesiensi =

Penerimaan (B)

Biaya (C)

Pj . Qj

14

 

kasus tertentu (Reveliotis, 1997). Linear programing mempunyai karakterististik sebagai fungsi tujuan (objective function) dan kendala (constraint) yang berbentuk persamaan linear. Fungsi tujuan dapat berbentuk memaksimumkan atau meminimumkan tergantung tujuannya. Bila tujuannya adalah presepsi biaya maka optimasinya adalah meminimumkan sebaliknya jika keuntungan atau manfaat, maka optimasinya adalah memaksimumkan. (Miswanto & Winarno, 1993).

Analisis ini dapat digunakan untuk melihat kemampuan ekonomis-teknis tehnik perbanyakan stek basal daun dalam memproduksi sejumlah bibit. Berdasarkan hasil penelitian uji efesiensi produksi bibit nenas hasil kultur jaringan yang pernah dilakukan oleh Elfiani ( 2011), menunjukkan bahwa metode atau alat analisis ini dapat digunakan untuk kajian efesiensi (ekonomis) dan efesiensi teknis produksi bibit.

Dokumen terkait