• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Analisa Kandungan Oksigen Terlarut (DO)

4.1.1. DO Dengan Perlakuan Aerasi Secara Difusi Dengan Perbedaan Diameter Diffuser

Larutan uji yang digunakan pada penelitian ini merupakan larutan aquades sebanyak 1 liter dengan kandungan DO awal sebesar 5.7 mg/L yang diukur pada suhu ruang (31°C) dan pada tekanan 1 atm. Adanya penambahan bahan kimia Sodium Sulfit (Na2SO3) efektif dalam menurunkan kandungan DO sampai 0 mg/L. Sodium sulfit yang digunakan berbentuk padatan yang kemudian dilarutkan ke dalam larutan uji. Pengujian kandungan DO dilakukan secara in situ dengan menggunakan DO meter Lutron tipe WA-2015. Kadar Sodium Sulfit yang digunakan untuk menurunkan DO dipantau dengan menggunakan DO meter, dimana jika alat DO meter menunjukkan penurunan bilangan DO sampai 0 mg/L, maka penambahan Sodium Sulfit yang sudah dilarutkan dihentikan. Reaksi Sodium Sulfit dengan oksigen membentuk Sodium Sulfat yang berwujud padatan seperti kerak yang berada di dasar reaktor.

Reaksi yang terjadi sebagai berikut :

2 Na2SO3 + O2 → 2 Na2SO4

Setelah DO awal sudah 0 mg/L, maka diberi perlakuan aerasi secara diffuse dengan menggunakan diffuser. Perbedaan diameter diffuser dibuat untuk melihat pengaruh diameter diffuser terhadap efektivitas peningkatan DO. Pompa udara yang dipakai merupakan pompa udara aquarium merk Amara tipe BS-410 dengan kapasitas 3 Liter/menit dengan menggunakan 2 lubang output udara.

Menurut Toenes (1994 terdapat 3 tipe aliran gelembung udara, yaitu: aliran gelembung homogen (gelembung udara kecil dengan diameter seragam tersebar merata pada cairan), aliran gelembung heterogen (gelembung besar dengan bentuk tidak teratur bergerak cepat ke atas), dan aliran slug (gelembung udara terbentuk dengan ukuran sebesar diameter kolom). Berdasarkan pengamatan selama penelitian, maka aliran gelembung udara yang terjadi merupakan aliran gelembung udara tipe homogen.

IV-2 Tabel 4.1. Konsentrasi DO Setelah Perlakuan Aerasi Dengan Variasi Diameter

Diffuser

Gambar 4.1. Grafik DO Dengan Perlakuan Aerasi Secara Difusi Dengan Perbedaan Diameter Diffuser

Grafik DO Dengan Perlakuan Aerasi Secara Difusi Dengan Perbedaan Diameter Diffuser

Oksigen Terlarut/DO Akhir (mg/L) Diameter 0.4 mm Oksigen Terlarut/DO Akhir (mg/L) Diameter 0.6 mm Oksigen Terlarut/DO Akhir (mg/L) Diameter 0.8 mm

IV-3 Dari grafik di atas, dapat disimpulkan bahwa diffuser dengan diameter 0.8 mm mendifusikan oksigen lebih baik dibandingkan dengan diffuser berdiameter 0.4 mm maupun 0.6 mm. dengan kata lain, pada ukuran variabel penelitian ini, semakin besar diameter diffusernya, maka proses difusi oksigen juga semakin efektif. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya yakni penelitian J. Navisa, T. Sravya, dan M. Venkatesan (2014) yang mengatakan bahwa semakin kecil ukuran nozzle akan menghasilkan gelembung yang tinggal lebih lama di dalam air dan meningkatkan laju difusi oksigen dari udara ke air. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa gelembung dengan ukuran yang lebih kecil membantu aerasi jadi lebih baik dan mendorong laju transfer oksigen yang lebih baik.

Konsentrasi oksigen terlarut jenuh berada pada 5.7 mg/l yang diukur pada (31°C) dan 1 atm ( dimana secara teoritis menurut Bennefield, 1980, konsentrasi oksigen terlarut jenuh pada tekanan 1 atm dengan suhu 30°C adalah sebesar 7.63 mg/L). Adanya perbedaan titik jenuh oksigen terlarut ini dipengaruhi oleh derajat salinitas air, suhu, dan tekanan parsial oksigen yang berkontak dengan air. Hanya butuh 6 menit untuk diffuser berdiameter 0.8 mm untuk mencapai konsenstrasi jenuh, lebih cepat dibandingkan dengan diffuser berdiameter 0.6 mm (10 menit), dan diffuser berdiameter 0.4 mm (13 menit).

Hasil observasi selama penelitian menyimpulkan bahwa diffuser berdiameter 0.8 mm menghasilkan pola sirkulasi udara dengan air yang lebih baik dibandingkan yang lainnya. Hampir sama dengan penelitian Edi Haryanto, Irene Arum AS, dan Retno Susetyaningsih (2005), penggunaan diffuser berlengan dua dengan masing-masing lengan terdapat 13 lubang diffuser memberikan efisiensi transfer O2 yang baik. Pola sirkulasi udara dengan air yang terjadi di dalam reaktor digambarkan seperti berikut.

Gambar 4.2 Pola Sirkulasi Air di dalam Reaktor

IV-4 Menurut penelitian Edy Haryanto dkk tersebut, pola sirkulasi seperti di atas memiliki pola sirkulasi yang tidak banyak kehilangan tenaga kinetic. Udara yang dipompakan kompresor dan digelembungkan oleh diffuser memberikan gaya dorong pada air sehingga akan membentuk pola aliran sebagai akibat adanya tenaga kinetic. Pola ini menyebabkan sirkulasi air dengan hambatan terkecil, terjadinya pertukaran air di permukaan dan dalam reaktor secara terus menerus yang menyebabkan terjadinya kontak O2 dengan molekul air secara merata. Persebaran lubang diffuser yang merata terhadap luas permukaan air dan pendeknya kedalaman air (kolom aerator) merupakan faktor yang mendukung proses aerasi berjalan dengan baik.

Seperti yang dilakukan oleh Didiek Hari Nugroho (2017), dengan penelitian tentang pengaruh diameter nozzle terhadap penyisihan kadar ammonia dengan menggunakan udara stripping pada kolom gelembung pancaran, didapat bahwa nilai Kla tidak terlalu berpengaruh terhadap kenaikan diameter nozzle. Penjelasannya yakni bahwa operasi reduksi zat pencemar dalam limbah cair dikendalikan oleh difusi zat pencemar melalui lapisan film gas. Di sisi lain, kekuatan pendorong (driving force) yang disebabkan oleh kecepatan alir udara yang keluar dari nozzle semakin besar. Kecepatan alir cairan yang semakin besar akan meningkatkan arus pusaran (eddy current) dan luas kontak permukaan fasa cair-gas semakin besar sehingga dapat meningkatkan efisiensi diffusi oksigen dari udara ke dalam air.

4.1.2. DO Setelah Penambahan Zat Pencemar (FeSo4)

Proses penurunan nilai DO terjadi pada ketiga proses aerasi, dan proses penurunan bilangan DO terbesar terjadi pada proses aerasi dengan diffuser berdiameter 0.8 mm, dimana setelah penambahan bahan kimia FeSO4, nilai DO menjadi dibawah DO diameter 0.6 mm dan 0.4 mm. Proses oksidasi yang lebih efektif dialami oleh proses aerasi dengan diffuser berdiameter 0.8 mm.

IV-5 Tabel 4.2 Data DO Setelah Penambahan FeSO4

Waktu Aerasi (menit)

DO sebelum penambahan (mg/L) DO setelah penambahan (mg/L) Diameter

Gambar 4.3. Grafik DO Sebelum Penambahan FeSO4

0

Grafik DO Sebelum Penambahan FeSO4

DO sebelum penambahan (mg/L) Diameter 0.4 mm DO sebelum penambahan (mg/L) Diameter 0.6 mm DO sebelum penambahan (mg/L) Diameter 0.8 mm

IV-6 Gambar 4.4. Grafik DO Setelah Penambahan FeSO4

Penambahan bahan kimia FeSO4 menyebabkan proses aerasi tidak dapat lagi mencapai konsentrasi oksigen jenuh bahkan sampai pada batas waktu terlama proses aerasi. Bahan kimia FeSO4 mengoksidasi sejumlah oksigen terlarut selama proses aerasi dan hal ini akan terjadi sampai bahan pengoksidasi oksigen yakni Fe benar benar telah teroksidasi membentuk Fe3+ atau ferrihidroksida (Fe(OH)3) yang berbentuk padat dan mengendap di dasar reaktor.

Gambar 4.5 Pembentukan Kerak/Endapan Berwarna Kuning

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0

3 6 9 12 15 30

Kandungan DO (mg/L)

Waktu Aerasi (menit)

Grafik DO Setelah Penambahan FeSO4

DO setelah penambahan (mg/L) Diameter 0.4 mm DO setelah penambahan (mg/L) Diameter 0.6 mm DO setelah penambahan (mg/L) Diameter 0.8 mm

Sebelum diberi perlakuan aerasi Sesudah diberi perlakuan aerasi

IV-7 4.2. Analisa Konsentrasi Zat Besi

4.2.1. Sebelum Diberi Perlakuan Aerasi

Zat pencemar sebagai sumber besi yang dipakai adalah FeSO4 dalam bentuk Kristal yang kemudian dilarutkan ke dalam larutan uji dengan massa sampel sebanyak 10 mg/L. Dengan uji laboratorium menggunakan SSA, diperoleh bahwa kandungan besi di dalam larutan uji sebelum diberi perlakuan aerasi (larutan kontrol) adalah sebesar 8.53 mg/L. Kandungan besi ini tentu jauh melewati baku mutu besi untuk air minum yang diatur di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002 yang menetapkan baku mutu besi untuk air minum adalah sebesar 0.3 mg/L.

4.2.2. Setelah Diberi Perlakuan Aerasi

Tabel 4.3 Data Kandungan Fe Setelah Diberi Perlakuan Aerasi Kandungan Fe

Sebelum Aerasi

Waktu Aerasi (menit)

Kandungan Fe Setelah Aerasi (mg/L) Diameter 0.4

Gambar 4.6 Grafik Fe Dengan Perlakuan Aerasi Secara Difusi Dengan Perbedaan Diameter Diffuser

Grafik Fe Dengan Perlakuan Aerasi Secara Difusi Dengan Perbedaan Diameter Diffuser

Kandungan Fe Setelah Aerasi (mg/L) Diameter 0.4 mm Kandungan Fe Setelah Aerasi (mg/L) Diameter 0.6 mm Kandungan Fe Setelah Aerasi (mg/L) Diameter 0.8 mm

IV-8 Dari grafik di atas, dapat dianalisa bahwa aerasi secara difusi dengan menggunakan diffuser berdiameter 0.8 mm sangat efektif dan lebih baik dibandingkan dengan diffuser berdiameter 0.6 mm dan 0.4 mm. Tingkat penyisihan besi dalam air mencapai 98.83%

dan memenuhi baku mutu besi untuk air minum. Semakin lama proses aerasi, maka konsentrasi besi dalam air juga semakin kecil.

Kapri Batara, Badrus Zaman, dan Wiharyanto Oktiawan (2017) menyatakan bahwa debit udara dan waktu aerasi sangat berpengaruh secara signifikan dalam menurunkan konsentrasi besi terlarut menggunakan diffuser aerator sehingga Fe2+ terlarut akan berubah menjadi Fe3+ yang tak larut dalam air. Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa dengan debit udara 3 liter/menit , diameter difusser 0.8 mm, dan waktu aerasi selama 30 menit dalam pH normal merupakan variasi yang optimum dalam menurunkan konsentrasi besi terlarut dengan menggunakan diffuser aerator.

Tabel 4.4. Data Perbandingan Efisiensi Penyisihan Fe Kandungan Fe

Sebelum Aerasi

Waktu Aerasi (menit)

Esiensi Penyisihan Fe Setelah Aerasi (%) Diameter 0.4

IV-9 Gambar 4.7. Grafik Efisiensi Penyisihan Fe

4.3. Analisa Pengaruh pH terhadap Penyisihan besi (Fe)

Diffuser yang digunakan untuk mengetahui pengaruh pH terhadap penyisihan besi adalah diffuser yang berdiameter 0.8 mm dengan alasan keefektifan proses aerasi (sirkulasi dan oksigenasi air) yang lebih baik dibandingkan dengan diffuser berdiameter 0.6 mm dan 0.4 mm. Waktu aerasi dibuat selama 30 menit (waktu aerasi terlama) dengan alasan semakin lama proses aerasi, maka proses oksidasi besi juga semakin efektif. Proses penurunan maupun penaikan pH dibuat dengan menambahkan larutan HNO3 (68%) untuk mengubah pH menjadi asam dan larutan NaOH untuk mengubah pH menjadi basa.

Tabel 4.5. Data Pengaruh pH Terhadap Penyisihan Besi Kandungan

Esiensi Penyisihan Fe Setelah Aerasi (%) Diameter 0.6 mm Esiensi Penyisihan Fe Setelah Aerasi (%) Diameter 0.8 mm Esiensi Penyisihan Fe Setelah Aerasi (%) Diameter 0.4 mm

IV-10 Gambar 4.8 Grafik Pengaruh pH Terhadap Penyisihan Fe

Reaksi yang terjadi pada penambahan basa adalah sebagai berikut : FeSO4 + 2NaOH → Fe(OH)2 + Na2SO4

Besi bereaksi dengan NaOH akan menghasilkan endapan putih besi(II) hidroksida, dalam keadaan anaerob. Dengan perlakuan aerasi secara diffuse, maka besi(II) hidroksida akan cepat mengalami oksidasi menjadi besi(III) hidroksida.

Reaksi yang terjadi pada penambahan asam adalah sebagai berikut : 3 FeSO4 + 4 HNO3 = NO + Fe2(SO4)3 + Fe(NO3)3 + 2 H2O

Dari reaksi di atas, dapat disimpulkan bahwa besi yang terbentuk masih merupakan bentuk besi yang tidak dapat langsung dioksidasi oleh udara. Perlu dilakukan proses aerasi secara terus menerus agar terjadi reaksi ion dan besi dapat dioksidasi.

Bandingkan dengan efisiensi penyisihan besi dengan menggunakan diffuser dengan diameter yang sama pada pH normal (6-8), efisiensi penyisihan mencapai 98.83%

sementara pada pH asam efisiensi hanya mencapai 63.07% dan pada pH basa efisiensi hanya mencapai 76.91%. Sementara menurut Hoigne', J., Bader, H., Haag, W.R., dan Staehelin, J.( 1985), semakin tinggi pH larutan, maka proses penyisihan besi juga akan semakin tinggi, begitu juga sebaliknya semakin rendah pH larutan, maka proses penyisihan besi akan berjalan lambat. Terdapat faktor yang menyebabkan kurang maksimalnya proses oksidasi besi.

Grafik Pengaruh pH Terhadap Penyisihan Fe

Kandungan Fe Akhir (mg/L)

IV-11 Pada prakteknya, karena kekurangan alat dan takaran pengukuran, penentuan nilai pH sampai sesuai dengan yang ditentukan harus melalui penambahan maupun pengurangan larutan asam ataupun basa. Akibatnya, sesuai dengan teori, perpaduan asam dan basa ini akan menghasilkan garam dan air yang tentunya akan mempengaruhi hasil dari proses aerasi itu sendiri. Berikut reaksi yang terjadi :

NaOH + HNO3 NaNO3 + H2O

Dari persamaan ini diketahui bahwa beban oksidasi dari proses aerasi menjadi bertambah yakni oksidasi oksigen oleh garam NaNO3. Menariknya, garam NaNO3 yang dihasilkan merupakan garam yang terurai sempurna jika dilarutkan ke dalam air dengan reaksi sebagai berikut :

NaNO3 + H2O Na+ + NO3-

Ion Na+ tidak memberikan atau menerima ion H- dan ion NO3- juga merupakan basa konjugasi dai asam kuat HNO3 . Hal ini berarti kelebihan cairan dari penambahan maupun pengurangan larutan asam dan basa tidak akan menggangu proses pengubahan nilai pH sampai ke nilai yang ditentukan. Permasalahannya, Na+ akan bersifat seperti sabun dan merupakan salah satu oksidator oksigen, begitu juga dengan NO3- yang juga akan menurunkan oksigen terlarut. Proses inilah yang mengakibatkan kurang maksimalnya proses oksidasi besi dalam air oleh diffuser berdiameter 0.8 mm. terlepas dari permasalahan tersebut, secara angka dapat dipastikan bahwa proses penyisihan besi pada kondisi basa (pH tinggi) lebih efektif dibandingkan penyisihan besi pada kondisi asam (pH rendah)

IV-12 4.4. Perhitungan Koefisien Transfer Massa (KLa) Pada Proses Aerasi

Gambar 4.9 Grafik Ln (Cs-C) Diameter 0.4 mm Terhadap Waktu

Dari grafik di atas, terjadi penurunan nilai Ln(Cs-C) terhadap waktu percobaan dari 1.96 mg/L ke 0.73 mg/L. didapat bahwa nilai koefisien transfer gas (KLa) oksigen untuk proses aerasi dengan menggunakan diffuser berdiameter 0.4 mm adalah 0.0917/menit dengan koefisien regresi (R2) sebesar 0.9674.

y = -0,0917x + 2,144 R² = 0,9674

0 0,5 1 1,5 2 2,5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Ln (Cs-C) (mg/L)

Waktu Aerasi (menit)

Grafik Ln (Cs-C) Diameter 0.4 mm Terhadap Waktu

Ln (Cs-C) (mg/L)

IV-13 Gambar 4.10 Grafik Ln (Cs-C) Diameter 0.6 mm Terhadap Waktu

Dari grafik di atas, terjadi penurunan nilai Ln(Cs-C) terhadap waktu percobaan dari 1.95 mg/L ke 0.8 mg/L. didapat bahwa nilai koefisien transfer gas (KLa) oksigen untuk proses aerasi dengan menggunakan diffuser berdiameter 0.6 mm adalah 0.0896/menit dengan koefisien regresi (R2) sebesar 0.9226.

y = -0,0896x + 1,9413 R² = 0,9226

0 0,5 1 1,5 2 2,5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Ln (Cs-C) (mg/L)

Waktu Aerasi (menit)

Grafik Ln (Cs-C) Diameter 0.6 mm Terhadap Waktu

Ln (Cs-C) (mg/L) Linear (Ln (Cs-C) (mg/L))

IV-14 Gambar 4.11. Grafik Ln (Cs-C) Diameter 0.8 mm Terhadap Waktu

Dari grafik di atas, terjadi penurunan nilai Ln(Cs-C) terhadap waktu percobaan dari 1.84 mg/L ke 0.73 mg/L. Didapat bahwa nilai koefisien transfer gas (KLa) oksigen untuk proses aerasi dengan menggunakan diffuser berdiameter 0.8 mm adalah 0.0729/menit dengan koefisien regresi (R2) sebesar 0.6721.

Dari ketiga grafik di atas didapat bahwa nilai KLa semakin menurun seiring dengan semakin besarnya diameter diffuser dan suhu. Berdasarkan penelitian Suarni Saidi Abuzar, Yogi Dwi Putra, dan Reza Eldo Emargi (2012), semakin menurunnya nilai KLa menandakan bahwa konsentrasi DO relatif meningkat terhadap waktu selama proses aerasi. Menurunnya nilai KLa disebabkan oleh peningkatan relative dari nilai konsentrasi jenuh oksigen (Cs).

y = -0,0729x + 1,578 R² = 0,6721

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Ln (Cs-C) (mg/L)

Waktu Aerasi (menit)

Grafik Ln (Cs-C) Diameter 0.8 mm Terhadap Waktu

Ln (Cs-C) (mg/L) Linear (Ln (Cs-C) (mg/L))

IV-15 4.5. Rekomendasi Akhir Penelitian Untuk Pengaplikasian

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisa data penelitian, diperoleh bahwa proses pengolahan air tanah untuk menyisihkan kandungan besi terlarut dengan proses aerasi secara diffusi dengan menggunakan diffuser berdiameter 0.8 mm pada debit udara 3 liter/menit dengan tinggi kolom aerator sebesar 8.5 cm dengan waktu kontak selama 30 menit efektif dalam menysihkan kandungan besi terlarut. Konsep ini dapat diterapkan dengan pertimbangan bahwa volume air yang akan diolah tidak terlalu besar dan tinggi kolom aerasi tidak boleh terlalu besar. Dengan ukuran diameter diffuser yang semakin besar dan debit yang lebih besar, tetapi tinggi kolom reaktor aerasi yang pendek, maka akan terbentuk turbulensi air efektif dalam meningkatkan nilai DO ataupun menyisihkan kandungan besi terlarut. Dengan menggunakan pendekatan model di atas, maka desain ini cocok diterapkan untuk skala rumah karena alat dan desain yang murah dan mudah, tingkat efisiensi yang tinggi dan tidak membutuhkan biaya perawatan.

Sebagai tambahan dalam desain, jika kandungan besi terlarut dalam air tanah cukup tinggi, dan untuk memudahkan pemanfaatan air, maka setelah proses aerasi ditambahkan bak sedimentasi dan juga filtrasi agar kualitas air semakin bagus.

BAB V

Dokumen terkait