J. PENGGUNAAN SEL ERITROSIT UNTUK UJI IN VITRO
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Ekstraksi
Tahap ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua pelarut, yaitu akuades dan etanol 96 %. Ekstraksi dilakukan pada daun ceremai, delima putih, jati belanda, dan kemuning, sedangkan pada kecombrang, ekstraksi dilakukan pada bunganya. Bagian tanaman tersebut merupakan bagian tanaman yang umum untuk dikonsumsi oleh masyarakat secara tradisional.
Proses ekstraksi harus dilakukan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Pelarut polar digunakan untuk mengekstrak komponen polar pula, dan sebaliknya. Selain itu, rasio pelarut dan sampel yang hendak diekstrak, suhu yang digunakan selama proses ekstraksi, serta lamanya proses ekstraksi juga turut menentukan hasil yang didapatkan selama proses ekstraksi.
Akuades digunakan sebagai pelarut karena umum digunakan dalam proses ekstraksi pada kehidupan sehari-hari. Sedangkan pelarut etanol digunakan karena memiliki polaritas lebih tinggi daripada aquades sehingga diharapkan lebih banyak melarutkan komponen polar. Umumnya, komponen terlarut yang dapat diperoleh dengan menggunakan pelarut akuades atau etanol adalah komponen fenolik (Shahidi et.al., 1995).
Menurut Shahidi (1995), pelarut yang sering digunakan untuk proses ekstraksi polifenol meliputi metanol, etanol, aseton, air, etil asetat, propanol, dimetilformamide, dan kombinasi antara pelarut-pelarut tersebut. Kelarutan polifenol diatur oleh tipe pelarut yang digunakan, derajat polimerisasi fenolik, interaksi komponen fenolik dengan komponen lainnya dalam sampel yang memungkinkan terjadinya kompleks yang tidak larut. Etanol dan air digunakan untuk mengekstrak suatu bahan yang belum diketahui kandungan kimianya secara jelas untuk alasan keamanan (Depkes, 2000). Walaupun begitu, belum ada pelarut yang cocok digunakan untuk isolasi seluruh kelas atau kelas yang spesifik saja dari komponen fenolik (Shahidi et.al., 1995).
Proses ekstraksi sampel dilakukan dalam keadaan basah, artinya sampel tidak mengalami proses pengeringan terlebih dahulu, mengikuti proses ekstraksi yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisional. Perbandingan
sampel dan pelarut yang digunakan mengikuti perbandingan yang dilakukan pada konsumsi masyarakat tradisional.
Menurut Harbone (1973), ragam ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang akan diekstraksi dan pada jenis senyawa yang akan diisolasi. Umumnya, kita perlu ”membunuh” jaringan tumbuhan untuk mencegah terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis. Memasukkan jaringan daun segar atau bunga, dipotong-potong, ke dalam etanol mendidih adalah suatu cara yang baik untuk mencapai tujuan itu. Alkohol merupakan pelarut yang baik untuk mencapai tujuan tersebut.
Perhitungan jumlah ekstrak yang terdapat pada larutan hasil ekstraksi dilakukan dengan menghitung bobot dari 10 ml ekstrak. Perhitungan bobot ini dapat dilakukan sebagai salah satu perbandingan terhadap jumlah komponen terekstrak yang berhasil diperoleh. Meskipun demikian, jenis komponen yang terekstrak tersebut tidak diketahui secara jelas dan spesifik karena tidak dilakukan proses identifikasi. Kemungkinan adanya komponen antioksidan dalam ekstrak dan perbandingan aktivitasnya dapat diketahui dengan dilakukannya metode fenol dan DPPH serta pengaruhnya pada sel eritrosit kemudian, kemudian membandingkan hasil yang diperoleh dari masing-masing metode.
Tabel 3. Bobot hasil ekstraksi sampel tanaman pada volume 10 ml
Sampel
Bobot Hasil Ekstraksi (gr) Aquades Etanol Ceremai Kemuning Kecombrang Delima Putih Jati Belanda 10.50 11.70 10.90 11.43 8.89 9.42 9.36 9.31 8.94 8.80
Bobot hasil ekstraksi yang dinyatakan di Tabel 3 merupakan bobot keseluruhan dari ekstrak murni dan sisa pelarut yang digunakan untuk mengekstrak. Penggunaan gas nitrogen (N2) dapat dilakukan untuk memekatkan sisa ekstrak. Akan tetapi, pada penelitian ini hal tersebut tidak dapat dilakukan. Oleh sebab itu, pada uji aktivitas penghambatan hemolisis sel eritrosit, terdapat kemungkinan pengaruh pelarut tersebut.
Menurut Trandum (1999), etanol yang tidak termetabolisme memiliki efek langsung terhadap sel, dan dapat ditunjukkan memiliki kemampuan untuk menembus membran dan menyebabkan gangguan struktur dan metabolisme sel normal. Pemaparan in vivo dan in vitro oleh etanol telah ditunjukkan memiliki pengaruh terhadap sifat-sifat eritrosit, termasuk morfologi sel, umur in vivo, dan ketahanan terhadap hemolisis (Prokopieva et.al., 2000).
Menurut Tyulina (2001), terdapat kecenderungan terhadap konsentrasi etanol terpapar pada sel eritrosit. Konsentrasi etanol diatas 0.3 % menunjukkan kecenderungan sel eritrosit mengalami hemolisis. Kecenderungan untuk mengalami hemolisis tanpa kehadiran etanol adalah sebesar 0.66 %, sedangkan penambahan 0.5 % etanol menyebabkan hemolisis sebesar 1.11 %. Menurut Reed dan Yalkowsky (1985), penggunaan pelarut seperti dimetil isobirde, dimetilasetamida, polietilene, glikol, dan etanol berpotensial sangat kecil untuk mengakibatkan hemolisis secara in vitro.
2. Analisis Kimia Kadar Air
Penentuan kadar air pada penelitian ini dilakukan dengan metode oven kering. Metode ini menggunakan konsep gravimetri, dengan menghitung selisih berat sampel sebelum dan setelah dikeringkan. Pemilihan metode tersebut disesuaikan dengan sampel yang akan diukur. Suhu oven yang digunakan untuk mengeringkan memiliki kisaran antara 105-110oC. Pengeringan yang dilakukan berkisar 6 jam, atau hingga berat sampel yang dihitung tidak mengalami perubahan. Sedangkan perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan berat basah dan berat kering.
Air merupakan komponen terbesar penyusun mahluk hidup. Fungsi air dalam bahan pangan terkait dengan mutu bahan pangan tersebut. Menurut Winarno (1997), air dalam bahan makanan menentukan
acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut. Menurut Karrel
(1979), air dapat berfungsi sebagai antioksidan pada level yang sangat rendah dengan menurunkan aktivitas katalis dari logam dengan
mendukung rekombinasi radikal bebas serta menginduksi reaksi pencoklatan non enzimatis yang dapat menghasilkan antioksidan aktif Tabel 4. Kadar air sampel bahan segar
Sampel Kadar Air
(% b.b) Ceremai 65.20 Kemuning 67.96 Kecombrang 92.30 Jati Belanda 63.02 Delima Putih 58.26
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bunga kecombrang memiliki kadar air tertinggi bila dibandingkan dengan kedua sampel lain, yaitu 92.30 % (b.b), sedangkan kadar air terendah terdapat pada daun jati belanda yaitu 58.26 % (b.b).
Menurut Karrel (1979), air memiliki kemungkinan berperan dalam mempengaruhi interaksi radikal bebas antara lipid teroksidasi dan komponen pangan lainnya. Air mempengaruhi konsentrasi dari radikal inisiasi, tingkat hubungan dan mobilitas reaktan, serta fungsi relatifnya dalam transfer radikal yang berlawanan dengan proses rekombinasi.
Kadar Protein
Perhitungan kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Metode ini akan menghasilkan kadar protein kasar yang terkandung dalam sampel karena yang dihitung adalah kadar nitrogen. Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang, dan unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1997). Kekurangan analisis metode Kjeldhal adalah kemungkinan ikut terhitungnya kadar nitrogen yang tidak berasal dari protein seperti purin, pirimidin, vitamin, dan lainnya (Winarno, 1997).
Di bawah ini terdapat tabel berisi kadar protein sampel yang dianalisa dengan metode Kjeldhal, ;
Tabel 5. Kadar protein sampel bahan segar
Sampel Kadar Protein
(%) Ceremai 6.40 Kemuning 4.65 Kecombrang 1.38 Jati Belanda 6.05 Delima Putih 5.88
Menurut Sikorsi (2001), tingkat kelarutan protein sangat tergantung pada struktur molekulnya sendiri, terutama pada muatan relatif dari ikatan hidrofobik dan hidrofilik asam amino penyusunnya. Selain itu, kelarutan protein juga dipengaruhi oleh karakteristik pelarutnya, suhu, pH, dan kekuatan ionik.
Membran protein umumnya lebih larut dalam beberapa pelarut organik atau kombinasi pelarut organik dan air (Sikorsi et.al., 2001). Proses ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan akuades maupun etanol juga dilakukan pemanasan pada suhu tertentu.
Pentingnya perhitungan kadar protein dalam sampel adalah hubungannya dengan komponen aktif yang terdapat dalam sampel tersebut. Fenol bebas dan produk oksidasinya diketahui berinteraksi dengan protein bahan pangan dan menghambat aktivitas enzim-enzim seperti oksidase, tripsin, arginase, dan lipase (Haslam et.al., 1992).
Kebanyakan dari komponen fenol pada tanaman terdapat pada vakuola sel tanaman tersebut. Kebanyakan dari komponen fenolik tersebut memiliki potensi untuk bereaksi dengan protein dan komponen sitoplasma lainnya. Proses terjadinya kompleks protein dan komponen fenolik ini dapat terjadi secara reversibel atau irreversibel dan dapat melibatkan komponen-komponen seperti protein, polisakarida, alkaloid, dan lainnya (Haslam et.al., 1992). Menurut Hagerman (1992), terdapat empat tipe
interaksi potensial antara komponen fenolik dan protein, yaitu ; ikatan hidrogen, hidrofobik, ionik, dan kovalen. Interaksi komponen fenol dan protein ini dapat mempengaruhi metabolisme komponen fenolik atau protein itu sendiri di dalam tubuh atau secara invitro.
Total Kandungan Fenol
Penentuan total kandungan fenol dilakukan dengan metode Folin-Ciocalteau. Standar yang digunakan adalah asam tanat yang nantinya digunakan untuk membentuk suatu kurva standar.
Tabel 6. Absorbansi kurva standar asam tanat
Standar [ ] ppm Absorbansi Asam Tanat 0 5 10 15 20 25 0.000 0.095 0.160 0.240 0.298 0.386
Perhitungan kadar fenol dilakukan dengan pengenceran ekstrak terlebih dahulu. Pengenceran dilakukan akibat tingginya kandungan fenol pada ekstrak sehingga spektrofometer tidak dapat membaca nilai absorbansi dari ekstrak dalam larutan. Umumnya, ekstrak diencerkan dengan perbandingan antara 1 : 500 sampai 1 : 1000 (Singh et.al, 2002). Faktor pengenceran yang digunakan pada penelitian ini adalah 1 : 100.
Gambar 10. Total kandungan fenol hasil ekstraksi
41.57 81.37 25.84 77.84 15.51 4.44 44.11 16.57 62.31 32.24 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Ceremai Delima Putih Kecombrang Kemuning Jati Belanda
T o ta l f e n o l .1 0 2 (p p m )
Analisa komponen fenolik sangat dipengaruhi oleh keadaan alaminya, metode ekstraksi yang dilakukan, ukuran partikel sampel, waktu dan kondisi penyimpanan, pemilihan standar, keberadaan senyawa pengganggu lain seperti lemak dan klorofil, serta metode analisa itu sendiri (Shahidi, 1995). Menurut Harbone (1973), penggunaan pelarut etanol saat ekstraksi dengan rotary evaporator, hampir semua klorofil dan lipid melekat pada dinding labu. Pemekatan dapat dilakukan dengan tepat hingga suatu saat tertentu larutan ekstrak yang pekat dapat diperoleh tanpa mengandung cemaran lemak.
Berdasarkan data yang diperoleh, ekstrak dengan pelarut etanol cenderung memiliki kadar fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut akuades. Hal ini disebabkan karena komponen fenolik mudah larut pada pelarut organik yang bersifat polar seperti etanol (Hounghton dan Raman, 1998). Selain itu, pelarut organik (etanol, aseton) mempengaruhi struktur parsial dari molekul protein, melemahkan ikatan hidrofobiknya, dan secara langsung berinteraksi dengan gugus bermuatan dari permukaan molekul protein. Hal ini merusak lapisan air dari molekul dan mengakibatkan denaturasi protein (Sikorsi et.al., 2001).
Denaturasi sempurna terjadi pada konsentrasi pelarut tinggi (65-80%), suhu yang meningkat (20-30°C), dan waktu pemaparan yang lama (24 jam) (Sikorsi et.al., 2001). Hal ini juga dilakukan selama proses ekstraksi dengan pelarut etanol, yaitu konsentrasi 96%, suhu 55°C, dan maserasi selama 24 jam. Oleh sebab itu, komponen fenolik yang diperoleh melalui ekstraksi etanol tidak terkompleks dengan protein sehingga memberikan nilai total fenol yang lebih tinggi.
Berdasarkan percobaan, nilai total kandungan fenol tertinggi diperoleh oleh ekstrak sampel delima putih dengan pelarut etanol yaitu sebesar 81.37 x 102 ppm. Sedangkan nilai total kandungan fenol terendah diperoleh pada ekstrak Jati Belanda akuades yaitu sebesar 4.44 x 102 ppm.
Kapasitas Antioksidan
Perhitungan kapasitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH
(2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). DPPH
merupakan senyawa radikal stabil dalam metanol dan berwarna ungu tua saat belum bereaksi dengan senyawa pereduksi. Proses reduksi dari senyawa antioksidan akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sebagai hasil pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Asam askorbat konsentrasi 1000 ppm sebagai kontrol positif.
Gambar 11. Kapasitas antioksidan ekstrak dengan metode DPPH
Reaksi yang cepat dari radikal DPPH terjadi dengan beberapa polifenol, termasuk tokoferol, tetapi reaksi sekunder yang lambat dapat menyebabkan penurunan yang progresif pada nilai absorbansi, oleh sebab itu keadaan tetap (steady state) mungkin tidak tercapai pada beberapa saat lamanya. Beberapa laporan mengatakan bahwa aktivitas pencegahan terjadi setelah 15 hingga 30 menit.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, ekstrak kecombrang etanol memiliki kapasitas antioksidan tertinggi yaitu sebesar 93.42%. Demikian juga pada ekstrak dengan menggunakan akuades, kecombrang memiliki aktivitas pereduksi DPPH terbesar yaitu 92.76 %. Sedangkan aktivitas pereduksi DPPH terkecil pada ekstrak dengan menggunakan pelarut etanol diketahui terdapat pada kemuning sebesar 70.86 %. Aktivitas pereduksi DPPH terkecil pada ekstrak dengan menggunakan pelarut akuades terdapat pada kemuning sebesar 80.45 %.
86.31 80.45 92.51 83.83 92.76 87.47 79.04 70.86 93.42 86.4 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Ceremai Delima putih Kecombrang Kemuning Jati belanda
K a pa s it a s a nt iok s ida n ( % )
Seperti telah diungkapkan di atas, umumnya senyawa fenolik larut di dalam air dan pelarut organik seperti metanol atau etanol. Pelarut etanol lebih polar daripada pelarut akuades, sehingga kemungkinan besar lebih banyak senyawa fenolik yang terekstrak dengan menggunakan pelarut tersebut. Hal ini dapat terlihat pada ekstrak daun ceremai dimana penggunaan pelarut etanol memberikan nilai aktivitas pereduksi DPPH yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut akuades. Akan tetapi, beberapa ekstrak menunjukkan hasil sebaliknya, seperti yang terlihat pada ekstrak jati belanda dan delima putih.
Komponen antioksidan yang ada di alam mempunyai struktur kimia yang berbeda-beda. Pada umumnya senyawa tersebut adalah asam-asam amino, asam-asam askorbat, karotenoid, asam-asam sinamat, flavonoid, melanoidin, asam-asam organik tertentu, zat pereduksi, peptida, fosfatida, polifenol, tanin, dan tokoferol (Dugan, 1985). Sedangkan menurut Shahidi (1995), tidak ada sistem ekstraksi yang sangat cocok untuk isolasi semua jenis senyawa fenolik dan bahkan jenis spesifik tertentu dari senyawa fenolik tersebut.
Hasil yang menunjukkan bahwa ekstrak daun menggunakan pelarut akuades lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut etanol dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain jenis senyawa yang terdapat pada daun tersebut, pelarut yang tidak dapat secara maksimal mengekstrak semua jenis senyawa antioksidan, senyawa penghambat yang ikut terekstraksi dan membentuk kompleks dengan senyawa bersifat antioksidan, dan kekuatan dari beberapa komponen fenolik tertentu yang lebih kuat dibandingkan komponen fenolik lainnya.
Perbandingan juga dilakukan antara kontrol asam askorbat dan masing-masing ekstrak. Berdasarkan hasil yang didapatkan, ternyata asam askorbat pada konsentrasi 1000 ppm (10-3 g/ml) dengan aktivitas antioksidan 80.82 % memiliki kapasitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak yang rata-rata konsentrasinya sebesar 0.5 g / ml. Hal ini dapat terjadi karena senyawa antioksidan yang diperoleh dari sampel sulit untuk ditentukan sebagai senyawa murni sebab ada
kemungkinan terikat atau dihambat oleh senyawa lain. Tetapi, asam askorbat serta senyawa antioksidan tersebut umumnya larut dalam air, sehingga diharapkan memiliki kemampuan antioksidan yang sama baiknya di dalam tubuh. Selain itu, apabila jumlah bahan yang dikonsumsi sama dengan uji, maka diharapkan kapasitas antioksidannya dalam tubuh memiliki nilai yang relatif sama dengan hasil pengujian dan asam askorbat.
3. Pengujian respons perlindungan eritrosit terhadap hemolisis
Pengujian respons perlindungan eritrosit terhadap hemolisis dilakukan secara in vitro, yaitu dengan menggunakan sel eritrosit yang telah diisolasi dan diujikan dengan penambahan larutan pengoksidasi beserta ekstrak. Pengujian hemolisis eritrosit pertama sekali dilakukan oleh Husa (1944), dan telah dimodifikasi untuk meminimalkan efek dari komponen-komponen yang bersifat mobil terhadap pembacaan absorbansi atau solubilitas dari hemoglobin pada larutan akhir. Prinsip dari metode ini adalah mencampurkan sel darah merah dan larutan dari komponen yang diuji pada berbagai konsentrasi dengan perbandingan 1 : 1 (Luke, 1987).
Pengambilan darah dilakukan secara aseptis di klinik Farfa Darmaga. Darah ini dimasukkan ke dalam tabung vacuntee steril mengandung zat antikoagulan yaitu EDTA 0.1%. Sel eritrosit kemudian dipisahkan dengan komponen darah lainnya secara aseptis. Setelah dilakukan pemisahan, selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas komponen bioaktif dari masing-masing ekstrak terhadap suspensi eritrosit dalam menghambat proses hemolisis. Konsentrasi masing-masing hasil ekstrak C1 dapat dilihat pada Tabel 7.
Media yang digunakan pada proses isolasi dan pengujian adalah balanced
salt solution, yaitu larutan kombinasi dari garam-garam inorganik yang dapat
mempertahankan pH fisiologis dan tekanan osmotik. Media ini digunakan untuk proses pemeliharaan kultur sel yang tidak memerlukan jangka waktu lama. Terdapat berbagai macam media balanced salt solution, diantaranya adalah
Earle’s balanced salt solution, Dulbeccos’s balanced salt solution, Hanks’
media yang digunakan pada kultur sel ini termasuk jenis Dulbecco’s balanced salt
solution (Giesse, 1979).
Penggunaan senyawa aldehid (asetaldehid, formaldehid, dan glutaraldehid) digunakan untuk mempelajari interaksi fisikokimianya terhadap sel darah merah. Parameter-parameter yang biasa digunakan untuk menguji antara lain ; gaya elektrokinetik, kebocoran potasium, pelepasan hemoglobin, konsumsi aldehid, deformabilitas, dan perubahan volume (Vassar et.al., 1972).
Formaldehid (CH2O) merupakan senyawa yang larut air tetapi tidak larut pada etanol. Formaldehid merupakan senyawa yang sangat reaktif. Formaldehid secara cepat dioksidasi menjadi format, yang tergabung dalam molekul-molekul makro biologis (Andel, 2002). Formaldehid dapat bereaksi dengan protein membran sel atau DNA mengakibatkan kerusakan dan pada sel eritrosit dapat mengakibatkan terjadinya proses hemolisis. Pada kondisi netral atau asam, formaldehid dapat membentuk jembatan metilene antara gugus amino dari protein dan grup OH reaktif dari fenol (Conrat et.al., 1948).
Polifenol merupakan komponen yang dapat bereaksi dengan membran bilayer sel. Interaksi tersebut dapat terjadi melalui : a) interaksi komponen nonpolar dan gugus hidrofobik pada interior membran, b) pembentukan ikatan hidrogen antara bagian polar dari lipid dan bagian hidrofilik dari komponen polifenol pada permukaan membran (Oteiza et.al., 2005)
Protein merupakan target kritikal oleh radikal bebas dikarenakan konsentrasinya yang sangat tinggi baik di dalam atau luar sel. Banyak dari protein tersebut memiliki sifat katalis, sehingga modifikasinya oleh radikal bebas dapat memberikan efek berkelanjutan. Beberapa asam amino yang penting bagi protein dan fungsi membran sangat rentan terhadap radikal bebas. Protein rentan terhadap serangan OH° yang dihasilkan dari H2O2 atau alkoksi lipid dan radikal peroksi sebagai konsekuensi pembentukan radikal intermediet peroksidasi lipid. Salah satu contohnya adalah lisin, yang dapat dimodifikasi oleh produk stabil dari hasil peroksidasi lipid seperti malonaldehid atau 4-hidroksinonenal (Evans, 1990).
Perhitungan persentase penghambatan hemolisis dilakukan dengan membandingkan absorbansi yang terdapat pada kontrol negatif dan suspensi eritrosit yang diuji dengan penambahan ekstrak dan oksidator. Jumlah sel eritrosit
pada awal pengamatan (menit ke-0) diasumsikan tidak ada yang mengalami kematian. Nilai grafik awal yang rendah berasal dari perbedaan nilai absorbansi suspensi eritrosit yang diberikan hasil ekstrak dan oksidator yang cukup besar dibandingkan dengan hasil ekstrak saja. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan bias yang dapat terjadi pada penambahan hasil ekstrak terhadap suspensi eritrosit.
Penurunan grafik persentase penghambatan hemolisis mengasumsikan bahwa terjadi kematian sel pada suspensi eritrosit yang ditambahkan dengan hasil ekstraksi dan oksidator. Grafik persentase pencegahan hemolisis yang cenderung bernilai sama per satuan waktu mengasumsikan bahwa tidak ada kematian sel yang terjadi pada suspensi eritrosit yang ditambahkan dengan hasil ekstraksi dan oksidator.
Grafik persentase penghambatan hemolisis yang mengalami kenaikan mengasumsikan bahwa terjadi pengurangan jumlah sel eritrosit yang mengalami hemolisis pada suspensi eritrosit yang ditambahkan hasil ekstraksi dan oksidator. Kenaikan ini terjadi karena jumlah sel yang mati pada suspensi eritrosit yang ditambahkan hasil ekstraksi dan oksidator pada 20 menit sesudah pengamatan lebih sedikit dibandingkan 20 menit sebelumnya. Hal ini mengakibatkan nilai penurunan absorbansi pada suspensi eritrosit yang ditambahkan hasil ekstraksi dan oksidator pada 20 sesudah pengamatan lebih kecil dibandingkan 20 menit sebelumnya.
3.1. Uji respons penghambatan hemolisis oleh H2O2
a) Ekstrak ceremai
Nilai absorbansi yang menurun menandakan adanya kematian sel eritrosit pada suspensi yang ditambahkan hasil ekstrak dan oksidator. Sedangkan grafik absorbansi yang menaik menunjukkan adanya pengurangan jumlah sel yang mati pada rentang waktu pengamatan. Perhitungan yang dilakukan ialah membandingkan penurunan absorbansi yang terdapat pada sel eritrosit yang diberi ekstrak dan sel eritrosit yang tidak diberi ekstrak. Kedua jenis suspensi eritrosit tersebut kemudian diinduksi agar mengalami proses hemolisis dengan H2O2.
Berdasarkan pengamatan, umumnya pencegahan hemolisis terendah terdapat pada ekstrak C1 baik pada larutan akuades ataupun etanol. Sedangkan pencegahan hemolisis terbaik dapat terbaca pada ekstrak C2 dan C3. Hasil ekstraksi C1 sangat tinggi sehingga justru merusak membran sel eritrosit tersebut. Sedangkan ekstrak C2 menunjukkan kecenderungan lebih baik dalam menghambat hemolisis. Hal ini juga dapat terlihat dari ekstrak C3, yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai absorbansi dari masing-masing grafik ekstrak tersebut.
Gambar 12. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan ekstrak ceremai akuades.
Gambar 13. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan ekstrak ceremai etanol.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 20 40 60 80 100 120 140 Waktu (menit) % P e n ceg ah an h emo li si s Ceremai etanol C1 Ceremai etanol C2 Ceremai etanol C3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 20 40 60 80 100 120 140 Waktu (menit) % P en c eg a h an h em o li si s Ceremai air C1 Ceremai air C2 Ceremai air C3
Persentase pencegahan yang cenderung turun mulai awal pengamatan menunjukkan proses hemolisis telah terjadi pada sel eritrosit. Komponen fenol yang terdapat pada ekstrak kemungkinan tidak mampu mengimbangi kecepatan proses pembentukan radikal bebas serta kerusakan membran yang mengakibatkan terjadinya proses hemolisis pada sel eritrosit. Hal ini mungkin terjadi, karena selama proses tersebut tidak dilakukan pengamatan secara visual atau perhitungan jumlah sel yang mati dengan menggunakan trifan biru.
Kemudian persentase pencegahan hemolisis tersebut naik kembali dan turun pada akhir pengamatan. Kenaikan tersebut dapat diakibatkan pencegahan radikal bebas oleh fenol sehingga jumlah sel yang mengalami hemolisis pada kontrol negatif lebih tinggi dibandingkan suspensi yang ditambahkan ekstrak. Sedangkan pada akhir pengamatan, kemungkinan jumlah fenol yang terdapat tidak mencukupi untuk menghambat proses hemolisis oleh pembentukan radikal bebas.
Persentase penghambatan hemolisis oleh ekstrak akuades umumnya menaik dan lebih stabil dibandingkan dengan ekstrak etanol. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan etanol yang masih terdapat pada hasil ekstrak yang mengakibatkan kerusakan membran dan memicu terjadinya hemolisis.
b) Ekstrak delima putih
Berdasarkan pengamatan, ekstrak delima putih menunjukkan hasil yang sangat variatif. Ekstrak dengan menggunakan akuades menunjukkan persentase pencegahan hemolisis yang cukup rendah pada ekstrak C1. Sedangkan persentase pencegahan hemolisis yang terjadi pada ekstrak C2 dan C3 umumnya mengalami kenaikan pada tahap pertengahan waktu pengamatan. Meskipun demikian, ekstrak C2 mengalami penurunan pada