• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 ( 12 i + − ∑ + n n R R i n n i i H’ = Pembagi H Pembagi = ) 1 ( ) 1 ( 1 + − ∑ − n n n T T = (t-1) t (t+1) Keterangan :

Ni = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan Ri = Jumlah ranking dalam perlakuan ke-i

T = Banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H’ = H terkoreksi

Hasil yang berbeda nyata diuji dengan uji lanjut Multiple Comparisson : [Ri – Rj] >< Z/p 6 ) 1 (N+ k Keterangan :

Ri = Rata-rata ranking dalam perlakuan ke-i Rj = Rata-rata ranking dalam perlakuan ke-j N = Banyaknya data

K = Banyaknya perlakuan 3.6 Perlakuan pada Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pandahuluan bertujuan untuk mencari frekuensi pencucian terbaik dari surimi ikan mata goyang dengan perlakuan banyaknya pencucian, yaitu pencucian 1, 2 atau 3 kali, setelah diketahui frekuensi pencucian terbaik maka dilakukan penelitian utama. Penelitian utama bertujuan untuk mencari jenis bakso kering terbaik dengan perlakuan Na-sitrat (perendaman dan penambahan) pada 2 (dua) jenis tepung yaitu tepung tapioka dan tepung sagu sebanyak 12,5 % dengan label KTT (Kontrol Tepung Tapioka), TTT (Tambah Na-sitrat Tepung Tapioka), RTT (Rendam Na-sitrat Tepung Tapioka), KTS (Kontrol Tepung Sagu), TTS (Tambah Na-sitrat Tepung Sagu) dan RTS (Rendam Na-sitrat Tepung Sagu).

4.1 Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan diperoleh hasil rendemen surimi dari ikan mata goyang sebesar 51,15 % selanjutnya surimi yang dihasilkan diberi perlakuan frekuensi pencucian 1, 2 atau 3 kali kemudian dilakukan beberapa analisis yaitu kekuatan gel (gel strenght), derajat putih (whiteness), protein larut garam (PLG) dan uji lipat serta uji gigit dengan tujuan mencari frekuensi pencucian terbaik. 4.1.1 Uji kekuatan gel (gel strengtht)

Gel adalah suatu sistem koloid antara fase cair yang terdispersi dalam medium padat sebagai fase kontinyu. Gel ikan merupakan air yang terdispersi dalam fungsi kontinyu protein aktomiosin. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekstur gel adalah kandungan air surimi, jumlah garam yang ditambahkan, pH, waktu dan derajat pemanasan (Lee 1984).

Hasil pengukuran terhadap nilai rata-rata kekuatan gel kamaboko berkisar antara 1232,08 g.cm pada frekuensi pencucian tiga kali sampai 1470,95 g.cm pada frekuensi pencucian satu kali. Berdasarkan nilai rata-rata kekuatan gel kamaboko yang diperoleh, secara umum perlakuan frekuensi pencucian dapat menyebabkan terjadinya perubahan nilai kekuatan gel kamaboko. Nilai kekuatan gel kamaboko mengalami penurunan seiring dengan penambahan frekuensi pencucian. Pencucian daging ikan dengan frekuensi pencucian satu kali memberikan nilai kekuatan gel terbesar, yaitu 1470,95 g.cm. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Berdasarkan hasil analisis statistik rancangan acak lengkap sederhana pada (Lampiran 3.3) menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekuatan gel kamaboko yang terbentuk, pada taraf α=0,05. Selanjutnya dari uji lanjut BNJ dapat diketahui bahwa kekuatan gel kamaboko pada frekuensi pencucian satu kali hanya berbeda nyata dengan frekuensi pencucian tiga kali dan tidak berbeda nyata pada frekuensi pencucian dua kali. Frekuensi pencucian satu kali merupakan frekuensi pencucian terbaik karena memberikan nilai kekuatan gel kamaboko tertinggi dibandingkan frekuensi pencucian yang lain.

1232.08 ± 184.07b 1350.39 ± 204.20a 1470.95 ± 272.75a 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1 2 3 Frekuensi Pencucian K e ku at a n G e l ( g .c m )

Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript beda (a, b) menunjukkan berbeda nyata.

Gambar 5. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap kekuatan gel kamaboko

Adanya penurunan kekuatan gel kamaboko dari frekuensi pencucian satu kali sampai tiga kali disebabkan oleh adanya penurunan aktivitas protein miofibril yang berperan dalam pembentukan gel yang akan terus menurun seiring banyaknya frekuensi pencucian sehingga kekuatan gel dari kamaboko juga semakin menurun. Terjadinya penurunan kekuatan gel ikan dari frekuensi satu kali ke frekuensi tiga kali diduga akibat bertambahnya kadar air, juga terjadinya penurunan mutu akibat degradasi protein miofibril yang berperan dalam pembentukan gel yang mengakibatkan teksturnya menjadi lembek sehingga kekuatan gelnya menurun (Hendriawan 2002). Pencegahan yang harus dilakukan adalah dipress sampai kadar air sama dengan yang lainnya, juga harus dijaga agar selalu dalam keadaan dingin sehingga tidak terjadi penurunan mutu yang mengakibatkan tekstur menjadi lembek. Masih adanya kandungan protein sarkoplasma pada surimi diduga mempengaruhi pembentukan gel pada kamaboko menyebabkan struktur menjadi lembek. Sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan dapat menghambat terbentuknya suatu gel (Haard et al. 1994).

Penurunan tingkat kekuatan gel sebanding dengan penurunan PLG dari surimi. Reynold et al. (2002) menyatakan bahwa menurunnya konsentrasi protein larut garam, ketegangan akan menurun dan kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut menurun pula.

Kekuatan gel juga dipengaruhi oleh pH dari surimi. Kualitas surimi yang baik secara umum dipengaruhi oleh kemampuan daging dalam membentuk gel dengan campuran antara lain surimi dengan garam, pencetakan dalam casing yang sesuai dengan perebusan (Suzuki 1981). Nilai pH mempengaruhi kelarutan dari protein larut garam, yang nantinya akan mempengaruhi kemampuan pembentukan gel.

Nilai pH antara 6-7 memberikan kekuatan gel yang optimum. Nilai pH lebih dari 7 dapat melemahkan gel karena terjadi hidrasi protein, sedangkan pH kurang dari 6 menyebabkan ketidak stabilan protein larut garam atau protein miofibril dalam daging dan mengindikasikan penurunan kemampuan pembentukan gel (Suzuki 1981).

4.1.2. Derajat putih (whiteness)

Pengujian warna produk (derajat putih) dilakukan dengan menggunakan alat yang bernama whitenessmeter. Alat ini merupakan alat analisis warna secara obyektif untuk mengukur refleksi warna permukaan produk dengan menggunakan Natrium Karbonat (Na2CO3) sebagai standar yang bernilai 100. Skala yang digunakan berkisar antara 0 sampai 100. Semakin besar skala yang diperoleh, maka warna yang dihasilkan semakin mendekati standar.

Nilai rata-rata derajat putih gel kamaboko berkisar antara 22,23 % pada frekuensi pencucian satu kali sampai 24,32 % pada frekuensi pencucian tiga kali. Berdasarkan nilai rata-rata derajat putih surimi, diperoleh bahwa perlakuan frekuensi pencucian dapat menyebabkan terjadinya perubahan nilai derajat putih pada surimi. Nilai derajat putih surimi mengalami peningkatan seiring dengan penambahan frekuensi pencucian. Nilai rata-rata derajat putih dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.

Berdasarkan analisis statistik pada (Lampiran 3.2), frekuensi pencucian surimi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap derajat putih, pada taraf α=0,05. Adanya pengaruh yang berbeda nyata terhadap derajat putih, sehingga diperlukan adanya uji lanjut. Pada uji lanjut BNJ terlihat bahwa derajat putih pada pencucian ke tiga berbeda nyata terhadap semua frekuensi pencucian. Frekuensi pencucian tiga kali merupakan frekuensi pencucian terbaik karena memberikan nilai derajat putih tertinggi dibandingkan yang lain.

24.32 ± 0.06c 22.96 ± 0.06b 22.23 ± 0.06a 21 21.5 22 22.5 23 23.5 24 24.5 1 2 3 Frekuensi Pencucian D e ra ja t P u ti h (% )

Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript yang berbeda (a, b, dan c) menunjukkan berbeda nyata.

Gambar 6. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap derajat putih surimi

Pencucian bertujuan selain untuk meningkatkan kekuatan gel juga meningkatkan derajat putih. Menurut Irianto (1990), warna yang harus dimiliki oleh surimi yang baik adalah putih bersih dan merata. Dari data derajat putih yang diperoleh, nilainya semakin meningkat dengan bertambahnya frekuensi pencucian. Hal ini disebabkan karena pada saat proses pencucian dan pemerasan berlangsung semua kotoran, lemak, haemoglobin dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel ikut terlarut bersama air pencuci, sehingga semakin banyak pencucian, zat-zat yang terlarut tersebut semakin banyak, yang mengakibatkan warna gel semakin bersih dan putih.

Reynolds et al. (2002) menyatakan bahwa pencucian pada surimi akan menghilangkan darah, mikroorganisme, dan lemak yang menghalangi pembentukan gel. Namun tetap ada beberapa senyawa seperti membran lipid yang tidak ikut tercuci dan masih mengandung senyawa yang dapat mengalami oksidasi dan menurunkan derajat putih.

Kerusakan lemak yang utama adalah proses ketengikan. Hal ini disebabkan karena proses autooksidasi radikal asam lemak tak jenuh dalam lemak (Winarno 1997). Selain itu juga terjadi reaksi pencoklatan non-enzimatis lainnya yaitu reaksi maillard. Pada reaksi ini, gugus amina (RNH2) dari protein berikatan dengan gugus OH- dari gula pereduksi. Akibat ikatan ini, hasil yang paling nyata dapat dilihat pada produk adalah perubahan aroma menjadi tidak enak dan warna menjadi coklat yang sering dijadikan pertanda kemunduran mutu (Winarno 1997).

4.1.3 Protein larut garam (PLG)

Protein larut garam (PLG) yaitu protein miofibril (kontraktil) yang terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin yang sangat berperan dalam pembentukan gel. Pengukuran kadar PLG penting dilakukan untuk mengetahui kandungan protein miofibril dalam surimi yang berperan dalam pembentukan gel. PLG sangat berperan dalam proses pembentukan gel diakibatkan terjadinya agregasi antara aktin dan miosin pada saat diekstrak (Suzuki 1981).

Nilai rata-rata PLG surimi berkisar antara 2,40 % pada frekuensi pencucian tiga kali sampai 2,70 % pada frekuensi pencucian satu kali. Berdasarkan nilai rata-rata PLG surimi diperoleh bahwa perlakuan frekuensi pencucian dapat menyebabkan terjadinya perubahan nilai PLG. Nilai PLG surimi mengalami penurunan seiring penambahan frekuensi pencucian, dengan nilai PLG tertinggi pada frekuensi pencucian satu kali yaitu 2,70 %. Nilai rata-rata PLG dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7.

2.40 ± 0.20a 2.42 ± 0.20a 2.70 ± 0.20a 2.2000 2.3000 2.4000 2.5000 2.6000 2.7000 2.8000 1 2 3 Frekuensi Pencucian PL G ( % )

Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata.

Gambar 7. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap PLG surimi

Berdasarkan analisis statistik pada (Lampiran 3.4), frekuensi pencucian surimi memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai PLG, pada taraf α=0,05.

Tidak berbeda nyata-nya nilai PLG surimi disebabkan karena penurunan nilai PLG yang tidak terlalu signifikan karena kandungan protein miofibril pada setiap frekuensi pencucian relatif sama, kemungkinan hal tersebut dapat

menyebabkan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai PLG. Penurunan PLG disebabkan karena protein miofibril yang terlarut dalam garam pada frekuensi pencucian satu kali belum banyak hilang, sehingga kandungannya lebih tinggi dibandingkan yang lain.

Selain itu juga, penurunan prosentase nilai PLG diduga karena ada sebagian protein miofibril yang ikut larut dalam air pencuci akibat pencucian yang berulang-ulang, maupun menempel pada kain saring pada saat pemerasan. Menurut Lin dan Park (1996), protein miofibril dapat ikut terlarut dalam air pencuci seiring dengan frekuensi pencucian yang berulang-ulang disebabkan karena terjadinya degradasi rantai miosin.

4.1.4 Uji lipat (folding test)

Uji pelipatan (folding test) dilakukan terhadap produk untuk mengetahui

kualitas kekuatan gel. Menurut Lanier (1992), metode uji pelipatan cocok untuk memisahkan gel yang bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi metode tersebut tidak sensitif untuk membedakan antara gel yang bermutu baik (good) dan yang bermutu sangat baik (excellent). Uji pelipatan ditentukan dengan penilaian panelis melalui uji sensori.

Nilai rata-rata uji lipat kamaboko berkisar antara 4,67 pada frekuensi pencucian dua kali sampai 4,93 pada frekuensi pencucian satu kali, yang termasuk dalam kriteria tidak retak setelah pelipatan pertama sampai pelipatan ke dua. Nilai uji lipat mengalami fluktuasi pada frekuensi pencucian ke satu sampai frekuensi pencucian ke tiga, dengan nilai tertinggi pada frekuensi pencucian satu kali sebesar 4,93. Nilai rata-rata uji lipat dari masing-masing frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 8.

Berdasarkan analisis statistik non-parametrik dengan menggunakan metode Kruskal-Wallis seperti pada (Lampiran 3.1), frekuensi pencucian surimi memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap uji lipat kamaboko, pada taraf α=0,05.

4.87 ± 0.30a 4.67 ± 0.70a 4.93 ± 0.18a 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 5 1 2 3 Frekuensi Pencucian Ni la i M ut u

Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata.

Gambar 8. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap uji lipat kamaboko

Nilai mutu yang hampir relatif sama pada semua frekuensi pencucian dari uji lipat kamaboko, yaitu dengan ketagori kamaboko yang sedikit retak jika dilipat empat kemungkinan menyebabkan hasil dari analisis statistika pada uji lipat tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada semua frekuensi pencucian, dan juga kemungkinan disebabkan karena pengaruh faktor psikologis dari panelis yang sangat menentukan hasil dari uji lipat.

Berdasarkan Gambar 8, dapat diketahui bahwa semakin banyak frekuensi pencucian maka akan semakin menurun nilai pelipatannya. Hal ini diduga karena banyaknya kadar air pada produk gel tersebut, sehingga teksturnya cenderung lembek atau lunak.

Hasil uji lipat ini berkaitan langsung dengan tekstur gel, terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil uji lipat, mutu gel surimi yang dihasilkan semakin baik (Shaban et al. 1985 diacu dalam Santoso et al. 1997). Sehingga frekuensi pencucian pertama memiliki uji lipat terbaik.

4.1.5 Uji gigit (teeth cutting test)

Uji gigit (teeth cutting test) juga merupakan cara pengujian mutu gel ikan

secara sensori selain uji lipat. Pengujian ini dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah.

Nilai rata-rata uji gigit kamaboko berkisar antara 6,63 pada frekuensi pencucian dua kali sampai 8,53 pada frekuensi pencucian satu kali yang termasuk dalam kriteria dapat diterima, cukup kuat sampai kuat. Nilai uji gigit mengalami

fluktuasi dari frekuensi pencucian ke satu sampai ke frekuensi pencucian ke tiga, dengan nilai tertinggi pada frekuensi pencucian ke satu. Nilai rata-rata uji gigit dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9.

Berdasarkan analisis statistik non-parametrik dengan menggunakan metode Kruskal-Wallis pada (Lampiran 3.1), frekuensi pencucian surimi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai mutu uji gigit, pada taraf α=0.05. Sehingga diperlukan adanya uji lanjut Multipple comparison. Pada uji lanjut Multipple comparison terlihat bahwa pencucian satu kali hanya berbeda nyata terhadap frekuensi pencucian dua kali sedangkan frekuensi pencucian ke tiga kali tidak memberikan perbedaan yang nyata. Frekuensi pencucian satu kali merupakan frekuensi pencucian terbaik karena memberikan nilai uji gigit kamaboko tertinggi dibandingkan yang lain.

7.30 ± 1.59a 6.63 ± 1.96b 8.53 ± 1.09a 0 2 4 6 8 10 1 2 3 Frekuensi Pencucian Ni la i M u tu

Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript beda (a, b) menunjukkan berbeda nyata.

Gambar 9. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap uji gigit kamaboko Berdasarkan Gambar 9, dapat diketahui bahwa semakin banyak pencucian semakin menurun nilai uji gigitnya. Hal ini diduga karena bertambahnya kadar air pada produk gel tersebut pada setiap penambahan frekuensi pencucian surimi, sehingga teksturnya lembek atau lunak. Kisaran uji gigit yang didapat tersebut termasuk produk yang masih diterima konsumen sebagai produk komersial. Menurut Tan (1988) dalam Istihastuti et al. (1997), produk komersial yang masih diterima mempunyai nilai uji gigit antara 5 sampai 6.

4.2 Penelitian Utama

Frekuensi pencucian pertama merupakan frekuensi pencucian terbaik pada penelitian pendahuluan, sehingga pembuatan bakso kering menggunakan frekuensi pencucian satu kali. Ada 6 (enam) jenis produk bakso yang yaitu KTT (Kontrol Tepung Tapioka), RTT (Rendam Tepung Tapioka), TTT (Tambah Tepung Tapioka), KTS (Kontrol Tepung Sagu), RTS (Rendam Tepung Sagu) dan TTS (Tambah Tepung Sagu). Setelah terbentuk ke-6 (enam) jenis bakso, kemudian bakso tersebut dimasukan kedalam freeze drier selama ± 110 jam sampai menjadi bakso kering yang kemudian diuji melalui dua tahap yaitu penelitian utama tahap satu dan penelitian utama tahap dua.

4.2.1 Penelitian utama tahap satu

Penelitian utama tahap satu bertujuan untuk mencari jenis bakso terbaik dari perlakuan Na-sitrat pada dua jenis tepung yang berbeda dengan uji yang dilakukan diantaranya : rasio susut masak, rasio rehidrasi, dan uji organoleptik. (1) Rasio susut masak

Suhu sublimasi yang tinggi umumnya menyebabkan penurunan massa yang lebih cepat, karena beda suhu dan tekanan antara permukaan atas dengan lapisan beku dibawahnya semakin besar (Lisnawati 1997 diacu dalam Pauziah 2002).

Pengukuran susut masak dilakukan dengan menimbang berat bakso segar (sebelum pengeringan) dan berat bakso setelah pengeringan beku. Pengukuran susut masak bertujuan untuk mengetahui daya susut suatu produk setelah dilakukan proses pengeringan beku.

Pada produk bakso ikan, susut pemasakan lebih banyak disebabkan oleh susut cairan, buka penyusutan lemak. Nilai rata-rata rasio susut masak berkisar antara 73,35 % sampai 81,92 % pada tepung tapioka dan 69,85 % sampai 76,12 % pada tepung sagu. Rasio susut masak dari kedua jenis tepung tersebut mengalami peningkatan pada setiap perlakuan dengan nilai tertinggi sebesar 81,92 % pada tepung tapioka yang ditambahkan Na-sitrat dan 76,12 % pada tepung sagu yang ditambahkan Na-sitrat. Rasio susut masak dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 10.

Berdasarkan analisis statistika pada (Lampiran 3.6), Na-sitrat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasio susut masak, pada taraf α=0,05. Karena memberikan pengaruh yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut. Pada uji lanjut BNJ terlihat bahwa perlakuan Na-sitrat yang ditambahkan pada tepung berbeda nyata terhadap perlakuan Na-sitrat lainnya.

Berdasarkan Gambar 10, dapat diketahui bahwa Na-sitrat yang ditambahkan ke dalam adonan memberikan efek terbesar dibandingkan yang lain. Hal ini disebabkan karena, penambahan Na-sitrat lebih efektif dalam memodifikasi struktur protein dari kedua jenis tepung tersebut mengakibatkan secara fisik bakso yang dihasilkan lebih parous sehingga proses pengeluaran air akan lebih cepat pada pembekuan kering. Penambahan Na-sitrat kedalam adonan menyebar rata pada semua bagian dibandingkan jenis bakso yang direndam Na-sitrat hanya terserap pada bagian permukaan saja, sehingga pengaruh yang diberikan Na-sitrat terhadap protein lebih efektif. Perendaman beras dalam larutan natrium sitrat akan mengganggu dan menguraikan struktur protein beras, sehingga butiran menjadi porous (Mulyana 1988).

81. 92 ± 0 .57 c 74. 72 ± 0 .11 b 73. 35 ± 0. 21 a 76. 12 ± 0 .41 c 71. 60 ± 1. 44 b 69. 85 ± 0. 32 a 60 65 70 75 80 85

Kontrol Rendam Tambah

Perlakuan Na-sitrat R asi o S u su t M as ak ( % ) Tepung Tapioka Tepung Sagu

Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript yang berbeda (a, b, dan c) menunjukkan berbeda nyata.

Gambar 10. Diagram analisis rasio susut masak bakso kering beku dari jenis tepung yang berbeda

Semakin rendah laju pembekuan maka akan menghasilkan ukuran pori yang semakin besar. Semakin besar ukuran pori dan banyaknya pori pada suatu produk akan mengakibatkan proses pengeluaran air dari bakso dalam proses

pembekuan kering semakin cepat dan lebih efektif sehingga rasio susut masak yang dihasilkan tinggi (Heldman dan Sing 1981).

Rasio susut masak juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin dari tiap jenis tepung. Tapioka mengandung amilosa sebesar 17 % dan amilopektin sebesar 83 %. Amilosa (larut dalam air panas) memiliki struktur lurus dengan ikatan α(1,4) D-glukosa, sedangkan amilopektin (tidak larut dalam air panas) memiliki struktur bercabang dengan ikatan α(1,6) D-glukosa. Fraksi amilosa bertanggung jawab atas keteguhan gel. Sedangkan perbandingan antara kandungan amilosa dan amilopektin dan semakin kecil kandungan amilosa bahan yang digunakan, maka semakin lekat produk olahannya (Winarno 1997).

Pati sagu mengandung 27 % amilosa dan 73 % amilopektin (Flach 1983). Pati sagu mengandung 27,4 % amilosa dan 72,6 % amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lekat dan mudah menyerap air (higroskopis) (Wirakartakusumah et al. 1984). Karena komposisi amilosa dan amilopektin antara tepung tapioka dan tepung sagu berbeda, sehingga mengakibatkan rasio susut masak yang berbeda pula dengan jenis bakso TTT memiliki nilai rasio susut masak tertinggi.

Lama proses pembekuan juga akan mempengaruhi rasio susut masak. Menurut Muchtadi dan Andarwulan (1988), diketahui bahwa semakin lama produk kamaboko dibekukan maka semakin tinggi rasio susut masak yang terjadi. Rasio susut masak dipengaruhi oleh lama pembekuan, suhu pembekuan dan suhu pencairan (Stansby 1963 diacu dalam Muchtadi dan Andarwulan 1988). Semakin lama proses pembekuan bakso, semakin banyak dan semakin besar kristal-kristal es yant terbentuk didalam bakso. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya rasio susut masak diantaranya adalah luas permukaan produk, teknik pembekuan, teknik pencairan, dan jenis produk (Ockerman 1983 diacu dalam Muchtadi dan Andarwulan 1988). Menurut Hodge dan Osman diacu dalam Muchtadi dan Andarwulan 1988, menyatakan keluarnya air dari jaringan gel terutama pada saat

pembekuan disebut sinerisis yang disebabkan melemahnya ikatan hidrogen air-polimer dan ikatan antar air-polimer.

(2) Rasio rehidrasi

Rasio rehidrasi merupakan perbandingan dari berat air yang hilang selama proses pengeringan beku dan berat air yang dapat diserap kembali. Rasio rehidrasi dapat dipakai sebagai uji kerusakan fisik yang terjadi selama pengeringan beku. Kerusakan fisik yang dimaksudkan adalah terjadinya pengkerutan dan kerusakan jaringan oleh kristal es (King 1971).

Nilai rata-rata rasio rehidrasi berkisar antara 20,53 % sampai 35,98 % pada tepung tapioka dan 18,835 % sampai 25,76 % pada tepung sagu. Rasio rehidrasi dari kedua jenis tepung tersebut mengalami peningkatan pada setiap perlakuan dimana nilai tertinggi sebesar 35,98 % pada tepung tapioka yang ditambahkan Na-sitrat dan 25,76 % pada tepung sagu yang ditambahkan Na-Na-sitrat. Rasio rehidrasi dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11.

Berdasarkan analisis statistika pada (Lampiran 3.5), perlakuan Na-sitrat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasio rehidrasi pada taraf α=0,05. Adanya pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasio rehidrasi maka dilakukan uji lanjut. Pada uji lanjut BNJ terlihat bahwa perlakuan Na-sitrat yang ditambahkan pada tepung berbeda nyata terhadap perlakuan Na-sitrat lainnya.

Berdasarkan Gambar 11, dapat diketahui bahwa Na-sitrat yang ditambahkan ke dalam adonan memberikan efek terbesar terhadap bakso kering beku dibandingkan yang lain. Hal ini disebabkan karena penambahan Na-sitrat lebih efektif dalam memodifikasi struktur protein dari kedua jenis tepung tersebut, mengakibatkan secara fisik bakso yang dihasilkan lebih porous sehingga proses penyerapan air akan lebih cepat pada waktu pemasakan dan pada waktu rehidrasi. Menurut Gregory (1976), zat kimia yang dapat digunakan untuk memodifikasi struktur protein beras adalah garam sitrat, antara lain magnesium sitrat, sodium sitrat dan kalsium sitrat. Garam ini tidak banyak berpengaruh bila digunakan tersendiri, oleh karena itu untuk menghasilkan beras instan yang dinginkan, penggunaan garam sitrat dilakukan bersamaan dengan perlakuan pemanasan.

35. 98 ± 3. 75 c 30. 55 ± 1. 99 b 20 .5 3 ± 0. 32 a 25. 76 ± 5. 33 c 14. 51 ± 3. 03 b 13 .8 4 ± 3. 71 a 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Kontrol Rendam Tambah

Perlakuan Na-sitrat R a s io R e hi d ra s i ( % ) Tepung Tapioka Tepung Sagu

Ket: Angka-angka dalam Gambar yang sama diikuti huruf superscript yang berbeda (a, b, dan c) menunjukkan berbeda nyata.

Gambar 11. Diagram analisis rasio rehidrasi bakso kering beku dari jenis

Dokumen terkait