• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bobot Potong

Bobot potong diperoleh dari hasil penimbangan bobot akhir kelinci setelah dipuasakan selama 7 jam. Data rata-rata bobot potong kelinci Rexjantan hasil penelitian ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Bobot Potong Kelinci Rex jantan (g/ekor)

Perlakuan Ulangan Rataan ± SD

1 2 3 4 5

P0 1800 1674 1762 1786 1776 1759,60b ± 49,83 P1 1858 1724 1855 1848 1930 1843,00ab ± 74,37 P2 1856 1875 1900 1872 1761 1852,80a ± 53,68 P3 1958 1925 1780 1861 1853 1875,40a ± 69,09 Ket : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis keragaman pada Tabel 6 menunjukkan bahwa penggunaan tepung kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium dengan berbagai level dalam ransum memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap bobot potong kelinci rex jantan. Dari uji lanjut (Duncan’s Multiple Range Test) yang dilakukan, menunjukkan bahwa bobot potong kelinci rex yang diberi perlakuan P0 menghasilkan bobot potong kelinci rex jantan yang tidak berbeda nyata dengan P1 dan bobot potong kelinci rex jantan yang mendapat perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan P2 dan P3, namun P2 dan P3 menghasilkan bobot potong yang nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada P0. Hasil penelitian ini menunjukkan bobot potong kelinci rex jantan mengalami peningkatan mulai dari perlakuan P1, P2 dan P3, sehingga terlihat bahwa P3 memiliki bobot potong tertinggi dari perlakuan lainnya.

Tabel 6 menunjukkan bahwa rataan bobot potong kelinci rextertinggi terdapat pada perlakuan P3 (ransum dengan penambahan 30% tepung KBM fermentasi

Phanerochaete chrysosporium) yaitu sebesar 1875,40 g/ekor, sedangkan rataan

bobot potong kelinci rex terendah terdapat pada perlakuan P0 (ransum dengan penambahan 30% tepung KBM tanpa fermentasi) yaitu sebesar 1759,60 g/ekor.

Kulit Buah Markisa (Protein Kasar 8,53%) yang difermentasi dengan

Phanerochaete chrysosporium selama 15 hari dapat meningkatkan kandungan

protein kasar menjadi 18,56% (Lampiran 3). Semakin lama waktu fermentasi, semakin banyak mikroorganisme/kapang yang dapat menguraikan substrat (kulit buah markisa). Miselium/hifa dan enzim yang dihasilkan juga akan semakin banyak sesuai dengan pertumbuhan kapang. Howard et al., (2003) menjelaskan bahwa kapang yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik akan dapat merubah lebih banyak komponen penyusun media menjadi suatu massa sel, sehingga akan terbentuk protein yang berasal dari tubuh kapang itu sendiri dan dapat meningkatkan protein kasar dari bahan. Selama proses fermentasi mikroba akan mengeluarkan enzim dimana enzim tersebut adalah protein dan mikroba itu sendiri juga merupakan sumber protein. Peningkatan jumlah enzim dan populasi mikroba dalam proses fermentasi akan menyediakan protein kasar dalam kulit buah markisa, dimana kandungan ini sangat dibutuhkandalam metabolisme tubuh sehingga akan meningkatkan bobot potong kelinci rex jantan.

Meningkatnya kualitas nutrisi kulit buah markisa akan mempengaruhi kualitas ransum. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan P3 memiliki bobot potong yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0, P1 dan P2, hal ini dipengaruhi oleh faktor kandungan nutrisi dalam ransum, dimana ransum memiliki kandungan protein

24

kasar berkisar 15,93-19,27%. Ransum yang memiliki kandungan tingkat protein yang tepat dan seimbang akan menghasilkan bobot potong yang optimal karena tingkat protein dalam ransum yang tepat akan mudah dicerna dan diserap dengan baik oleh tubuh ternak. Ali et al., (2010) menyatakan bahwa perbedaan jumlah kandungan nutrisi dalam masing-masinng pakan perlakuan mempengaruhi tingkat pertumbuhan. Kandungan nutrisi dalam pakan dinilai memberikan pengaruh yang baik terhadap bobot akhir kelinci. Dalam penelitian ini menggunakan pakan perlakuan dengan komposisi nutrisi yang berbeda-beda. Jadi semakin baik kualitas ransum akan meningkatkan bobot hidup kelinci maka memungkinkan hasil bobot potongnya akan lebih tinggi juga.

Bobot Karkas dan Persentase Karkas

Bobot karkas diperoleh dari hasil penimbangan dari daging bersama tulang hasil pemotongan setelah dipisah dari kepala, kaki, kulit, darah dan pengeluaran isi rongga perut (Rahman, 2014) sedangkan persentase karkas merupakan perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup saat dipotong (dikurangi isi saluran pencernaan dan urin) dikali 100% (Santoso, 2010). Data rataan bobot karkas dan persentase karkas dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7. Rataan Bobot Karkas Kelinci Rex jantan (g/ekor)

Perlakuan Ulangan Rataan ± SD

1 2 3 4 5

P0 924 876 910 918 914 908,40b ± 18,84 P1 965 903 968 942 994 954,40a ± 34,14 P2 966 977 988 966 905 960,40a ± 32,28 P3 1018 1013 937 982 965 983,00a ± 33,79 Ket : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Tabel 8. Rataan Persentase Bobot Karkas Kelinci Rexjantan (%)

Perlakuan Ulangan Rataan± SD

1 2 3 4 5

P0 51,33 52,33 51,65 51,40 51,46 51,63b ± 0,41 26

P1 51,94 52,38 52,18 50,97 51,50 51,79b ± 0,57 P2 52,05 52,11 52,00 51,60 51,39 51,83b ± 0,32 P3 51,98 52,62 52,64 52,77 52,08 52,42a ± 0,36 Ket : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Berdasarkan Tabel 7 dan Tabel 8 dapat dilihat bahwa rataan bobot karkas dan persentase karkas kelinci rextertinggi terdapat pada perlakuan P3 (ransum dengan penambahan 30% tepung KBM fermentasi Phanerochaete chrysosporium) yaitu sebesar 983,00 g/ekor dan 52,42%, sedangkan rataan bobot karkas dan persentase karkas kelinci rex terendah terdapat pada P0 (ransum dengan penambahan 30% tepung KBM tanpa fermentasi) yaitu sebesar 908,40 g/ekor dan 51,63%.

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa penggunaan tepung kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium dengan berbagai level dalam ransum memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap bobot karkas dan persentase karkas kelinci rexjantan. Kelinci Rex penelitian dengan rataan bobot potong sebesar 1832,70 g/ekor dapat menghasilkan rataan karkas sebesar 951,55 g/ekor. Adanya penurunan setelah menjadi karkas disebabkan pengurangan jumlah darah dan bobot non karkas. Dari uji lanjut (Duncan’s Multiple Range Test) yang dilakukan, menunjukkan bahwa bobot karkas kelinci rex jantan yang diberi perlakuan P1, P2 dan P3 menghasilkan bobot karkas yang nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada P0. Namun pada persentase karkas menunjukkan bahwa persentase karkas kelinci rex jantan yang diberi perlakuan P3 menghasilkan persentase karkas yang nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada P0, P1 dan P2. Sehingga dapat dilihat, penambahan tepung kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium pada level 30% dapat meningkatkan bobot karkas dan persentase karkas kelinci rex jantan.

Kulit Buah Markisa yang difermentasi dengan Phanerochaete

chrysosporium selama 15 hari memiliki kandungan protein kasar 18,56% (Lampiran

3). Dalam waktu fermentasi tersebut pertumbuhan miselium Phanerochaete

chrysosporium semakin banyak, dimana kapang akan menguraikan kulit buah

markisa terutama komponen serat kasar. Selama proses fermentasi mikroba akan mengeluarkan enzim dimana enzim tersebut adalah protein dan mikroba itu sendiri juga merupakan sumber protein sel tunggal (Howard et al., 2003). Peningkatan jumlah enzim dan populasi kapang akan meningkatkan kandungan protein kasar kulit buah markisa. Kandungan protein inilah yang dimanfaatkan ternak dalam proses metabolisme tubuh sehingga akan meningkatkan proporsi daging dan selanjutnya akan berpengaruh pada bobot karkas kelinci Rex. Supriyadi (2013) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi bobot karkas adalah umur, jenis dan pakan (lemak dan protein) yang digunakan. Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini berjenis sama yaitu kelinci Rex dengan umur 2 bulan dan bobot potong sekitar 1674-1958 g/ekor. Kandungan lemak dan protein kasar dalam ransum perlakuan yaitu sekitar 4,1-4,3% dan 15,9-19,2%. Hal ini menunjukkan bahwa selisih kandungan protein kasar antara perlakuan P0 dengan P3 sebesar 3,3%, dalam kisaran tersebut maka kandungan nutrisi ransum dapat mempengaruhi produksi bobot karkas. Keseimbangan kandungan protein dalam ransum sangat diperlukan untuk memperoleh produksi karkas yang optimal.

Data rataan persentase karkas (%) terhadap bobot potong yang didapatkan dalam penelitian ini adalah berkisar 51,63%-52,42%. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Masanto dan Agus (2010) yang menyatakan bahwa kelinci pedaging memiliki kriteria persentase karkas 50-60% dengan bobot badan mencapai 2 kg pada 28

umur 8 minggu. Persentase karkas dalam penelitian ini dipengaruhi oleh faktor kualitas nutrisi dalam ransum. Hasil penelitian menunjukkan P3 memiliki persentase karkas yang lebih tinggi dibandingkan P0, P1 dan P2. Hal ini disebabkan kandungan protein kasar dan serat kasar dalam ransum yang berkisar 15,9-19,2 % dan 15,4-14,0%, dimana kandungan protein kasar dan serat kasar dipengaruhi oleh kulit buah markisa yang difermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium selama 15 hari. Selama proses fermentasi, peningkatan jumlah enzim dan populasi kapang akan meningkatkan kandungan protein kasar kulit buah markisa. Howard et al., (2003) menyatakan bahwa selama proses fermentasi, mikroba akan mengeluarkan enzim dimana enzim tersebut adalah protein dan mikroba itu sendiri merupakan sumber protein. Perubahan kadar serat kasar kulit buah markisa dipengaruhi oleh intensitas pertumbuhan miselia kapang, karena kemampuan kapang tersebut memecah serat kasar untuk memenuhi kebutuhan energi. Penurunan serat kasar diduga karena

Phanerochaete chrysosporium mensintesa enzim pengurai (amylase, pektinase,

amiloglukosidase, selulase), yaitu selulose yang akan merombak selulosa dalam produk. Semakin lama waktu fermentasi semakin banyak enzim yang dihasilkan kapang Phanerochaete chrysosporium untuk memecah komponen serat kasar terutama lignin sehingga berpengaruh terhadap menurunnya kadar serat kasar (Fengel dan Wegener, 1995).

Bobot Relatif Organ Dalam (g/kg BB)

Bobot relatif organ dalam diperoleh dari hasil penimbangan bobot paru-paru, jantung, hati, ginjal dan saluran pencernaan dibagi dengan bobot potong (kg). Data rata-rata bobot relatif organ dalam kelinci Rexjantan hasil penelitian ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Data Rataan Bobot Relatif Organ Dalam (g/kg BB) Peubah Perlakuan P0 P1 P2 P3 Jantungtn 3,07 ± 0,27 3,16 ± 0,33 3,25 ± 0,62 3,52 ± 0,62 Paru-parutn 7,37 ± 0,88 7,47 ± 0,69 7,55 ± 0,70 7,78 ± 0,37 Ginjaltn 6,92 ± 0,94 7,36 ± 0,71 7,43 ± 0,77 7,45 ± 0,73 Hatitn 27,16 ± 0,49 27,26 ± 0,75 27,87 ± 1,09 28,14 ± 0,69 Organ Pencernaan(Oesophagu s- Anus) 100,32 ± 2,20a 96,92 ± 1,49b 96,44 ± 4,00b 95,64 ± 0,75b Ket : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

tn : tidak berbeda nyata

Hasil analisis keragaman pada penggunaan tepung kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium dengan berbagai level dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap bobot relatif paru-paru, jantung, hati dan ginjal kelinci rex jantan. Sedangkan pada bobot relatif saluran pencernaan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05). Tabel 9 menunjukkan rataan bobot relatif saluran pencernaan yang tertinggi terdapat pada perlakuan P0 yaitu sebesar 100,32 g/kg BB, sedangkan rataan bobot relatif saluran pencernaan yang terendah terdapat pada perlakuan P3 yaitu sebesar 95,64 g/kg BB.

Hati dan ginjal tidak berbeda nyata karena pakan dalam setiap perlakuan memiliki kandungan energi yang hampir sama yaitu 2845,75 - 2857,75 Kkal/kg dan bobot hati, ginjal, jantung dan paru-paru dipengaruhi oleh perkembangan yang sesuai dengan berat tubuh. Widiarto et al. (2009) menyatakan bahwa persentase bobot jeroan merah terdiri atas jantung, paru-paru, trakea dan paru-paru, ginjal, limpa dan hati yang memiliki perkembangan sesuai dengan berat tubuh dan pada saat dewasa tubuh akan mengalami penurunan.

Berdasarkan hasil uji lanjut (Duncan’s Multiple Range Test) yang dilakukan, menunjukkan bahwa bobot relatif organ pencernaan kelinci rex jantan yang diberi perlakuan P0 menghasilkan bobot relatif organ pencernaan yang nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada perlakuan P1, P2 dan P3. Hasil penelitian menunjukkan bobot relatif organ pencernaan kelinci rex jantan mengalami penurunan mulai dari perlakuan P1, P2 dan P3. Jika diurutkan berdasarkan bobot relatif organ pencernaan tertinggi ke yang terendah, maka didapatkan urutan sebagai berikut, yaitu P0, P1, P2 dan P3. Hal ini karena faktor kandungan nutrisi dalam ransum, dimana ransum P0 dan P3 memiliki kandungan serat kasar 15,42% dan 14,04% yang menyebabkan P0

memiliki bobot saluran pencernaan yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Rahman (2014) menyatakan bahwa organ yang berhubungan dengan digesti danmetabolisme menunjukkan pertambahan berat yang besar sesuai dengan statusnutrisional dan fisiologis ternak. Apabila pemberian serat kasar tinggi akan meningkatkan isi perut dan menurunkan persentase karkas. Tingkat kandungan serat kasar ini dipengaruhi oleh bahan pakan kulit buah markisa (Serat Kasar 39,56%), dimana setelah difermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium menurunkan kandungan serat kasar kulit buah markisa yaitu 34,96% (Lampiran 3). Penurunan serat kasar diduga karena Phanerochaete chrysosporium mensintesa enzim pengurai yang mendegradasi dinding sel, yaitu lignin dan selulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana. Semakin lama waktu fermentasi semakin banyak enzim yang dihasilkan kapang Phanerochaete chrysosporium untuk memecah komponen serat kasar sehingga berpengaruh terhadap menurunnya kadar serat kasar (Fengel dan Wegener, 1995).

Bobot Relatif Organ Luar (g/kg BB)

Bobot relatif organ luar diperoleh dari hasil penimbangan bobot kepala, keempat kaki dan kulit segar dibagi dengan bobot potong (kg).

Tabel 10. Data Rataan Bobot Relatif Organ Luar (g/kg BB)

Peubah Perlakuan

P0 P1 P2 P3

Kepalatn 61,93 ± 0,94 62,01 ± 1,66 62,09 ± 0,90 62,20 ± 0,82 Kakitn 29,10 ± 0,28 29,20 ± 0,23 29,48 ± 0,37 29,65 ± 0,08 Kulit 148,56 ± 0,72b 149,75 ± 3,26b 151,88 ± 3,19ab 153,32 ± 1,72a Ket : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

tn : tidak berbeda nyata

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa penggunaan tepung kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium dengan berbagai level dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05)terhadap bobot relatif kepala dan kaki kelinci rex jantan, sedangkan pada bobot relatif kulit menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Tabel 10 menunjukkan rataan bobot relatif kulit yang tertinggi terdapat pada perlakuan P3 yaitu sebesar 153,32 g/kg BB, sedangkan rataan bobot relatif kulit yang terendah terdapat pada perlakuan P0 yaitu sebesar 148,56 g/kg BB.

Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot relatif kepala dan kaki, hal ini disebabkan pertumbuhan bobot kepala dan kaki tidak dipengaruhi oleh nutrisi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeparno (1994) mengatakan bahwa perlakuan nutrisi tidak mempengaruhi bobot non karkas luar seperti kepala. Janatum (2007) juga menyatakan bahwa pertumbuhan kepala dan kaki sangat bervariasi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan lingkungan.

Berdasarkan hasil uji lanjut (Duncan’s Multiple Range Test) yang dilakukan, menunjukkan bahwa bobot relatif kulit segar kelinci rex yang diberi

perlakuan P0 dan P1 menghasilkan bobot kulit segar kelinci rex jantan yang tidak berbeda nyata dengan P2 dan bobot potong kelinci rex jantan yang mendapat perlakuan P2 tidak berbeda nyata dengan P3, namun P3 menghasilkan bobot potong yang nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada P0 dan P1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa P3 (ransum dengan penambahan 30% KBM fermentasi) memiliki bobot relatif kulit segar tertinggi dari perlakuan lainnya. Jika diurutkan berdasarkan bobot relatif kulit tertinggi ke yang terendah, maka didapatkan urutan sebagai berikut, yaitu P3, P2, P1 dan P0. Hal ini disebabkan perkembangan kulit dipengaruhi oleh perkembangan yang sesuai dengan berat tubuh dan faktor kandungan nutrisi dalam ransum, dimana ransum memiliki kandungan protein kasar berkisar 15,93-19,27%. Supriyadi (2013) menyatakan faktor yang mempengaruhi bobot potong adalah umur, jenis dan pakan yang digunakan, dimana seiring meningkatnya bobot potong selanjutnya akan berpengaruh terhadap bobot kulit. Perbedaan kandungan protein ini dipengaruhi oleh kulit buah markisa yang difermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium sehingga meningkatkan kadar protein kasar dari 8,53% menjadi 18,56%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cheeke

et al. (2000), yang mengatakan bahwa bobot kulit kelinci dipengaruhi oleh

kandungan protein pakan, dimana dengan tercukupinya asupan protein maka akan meningkatkan bobot kulit.

Dokumen terkait