Karasteristik dan Potensi Ternak Kelinci
Bangsa kelinci mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Kingdom : Animalia, Filum : Chordata, Subfilum : Vertebrata, Kelas : Mamalia, Ordo :
Lagomorpha, Famili : Leporidae, Subfamili : Leporine, Genus : Lepus, Orictolagus,
Spesies : Lepus sp, Orictolagus sp (Susilorini, 2008).
Kelinci merupakan ternak pseudo-ruminant yaitu herbivora yang tidak dapat mencerna serat kasar dengan baik. Menurut Tillman et al., (1991), kelinci mampu mencerna serat kasar dari 10-12% dari berat kering pakan. Kemampuan kelinci mencerna serat kasar dan lemak bertambah setelah kelinci berumur 5-12 minggu. Kelinci memfermentasikan pakan di usus belakangnya. Fermentasi hanya terjadi di
caecum (bagian pertama usus besar), yang kurang lebih merupakan 50% dari seluruh
kapasitas saluran pencernaannya (Sarwono, 2001).
Kelinci merupakan ternak yang cocok dipelihara di negara berkembang dan mulai memanfaatkan kelinci sebagai sumber daging. Selain itu, kelinci juga memiliki potensi: 1)ukuran tubuh yang kecil, sehingga tidak memerlukan banyak ruang, 2) tidak memerlukan biaya yang besar dalam investasi ternak dan kandang, 3) umur dewasa yang singkat (4-5 bulan), 4) kemampuan berkembang biak yang tinggi, 5) masa penggemukan yang singkat (kurang dari 2 bulan sejak sapih) (El-Raffa, 2004).
Kelinci memiliki tabiat menarik sekali dan juga sangat penting yaitu makan tinjanya (proses ini disebut Coprophagy). Kelinci mengeluarkan 2 macam tinja. Pada siang hari, butir tinja keras dan kering. Akan tetapi pada malam hari dan pagi hari, tinja lembek dan berlendir. Komposisi kotoran lunak yang dikeluarkan sangat berbeda dari kotoran keras. Kotoran lunak diselaputi mukosa, mengandung sedikit
bahan kering (31%) tetapi tinggi dalam protein (28,5%) kalau dibandingkan dengan kotoran keras yang mengandung 53% bahan kering dan 9,2% protein. Kotoran lunak juga mengandung banyak vitamin B (Smith dan Mangoewidjojo, 1988).
Daging kelinci memiliki kadar gizi yang tinggi yaitu protein sebesar 20,8% dan lemak yang rendah sebesar 10,2%, dibandingkan ternak lain seperti sapi memiliki protein lebih rendah sebesar 16,3% dan lemak tinggi sebesar 22% seperti yang tertera dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kadar gizi daging kelinci dibandingkan ternak lainnya
Jenis Ternak Protein (%) Lemak (%) Kadar Air (%) Kalori (%)
Kelinci 20,8 10,2 67,9 7,3 Ayam 20,0 11,0 76,6 7,5 Anak sapi 18,8 14,0 66,0 8,4 Kalkun 20,1 28,0 58,3 10,9 Sapi 16,3 22,0 55,0 13,3 Domba 15,7 27,7 55,8 13,1 Babi 11,9 40,0 42,0 18,9 Sumber : Sarwono (2001)
Kelinci mempunyai konversi daging yang cukup tinggi dibandingkan ternak lain yaitu 29%.
Tabel 2. Perbandingan Hasil Daging Beberapa Hewan Ternak Jenis Ternak Bobot Induk Dewasa
(Kg)
Total bobot karkas/tahun (Kg) Sapi 500 173 Domba 60 38 Kambing 45 24 Kelinci antensif 4 117 Kelinci hybrid 4 144 Sumber: Manshur (2009)
Konsumsi daging sangat ditentukan oleh kandungan nutrisinya. Saat ini kalangan tertentu menghendaki daging dengan kandungan kolesterol rendah. Selera konsumen sudah mengarah pada memilih daging yang kurang beresiko terhadap kesehatan konsumen. Kadar kolesterol daging kelinci lebih rendah (39%)
dibandingkan daging ternak lain seperti sapi (50%) dan kambing (61%) (Masanto dan Agus, 2010).
Kelinci Rex
Berdasarkan sejarahnya, kelinci Rex pertama kali dikembangkan di Perancis. Pada tahun 1929, Amerika Serikat turut mengembangkan kelinci ini. Pada awalnya, kelinci Rex dikembangkan sebagai kelinci hias. Namun, lama kelamaan dimanfaatkan sebagai kelinci penghasil kulit bulu (fur). Kelinci Rex memiliki bulu pendek yang halus dan tebal sehingga industri kulit Hongkong dan Kanada mulai melirik potensi ini. Bentuk badan Rex bulat memanjang seperti kapsul, terlihat gempal dan memiliki tulang yang kuat. Telinganya yang panjang memiliki ciri tegak ke atas. Umumnya, bobot tubuh Rex dewasa berkisar antara 2,7-3,6 kg. Rex memiliki warna dan corak yang beragam (Masanto dan Agus, 2010).
Gambar 1. Kelinci Rex
Sifat kuantitatif kelinci Rex sebagai berikut : umur dewasa kelamin 4-6 bulan, bobot badan dewasa kelamin 2,3-3,5 kg, litter size sapih hidup minimal 4 ekor, frekuensi beranak minimal 4 kali pertahun (Sarwono, 2001).
Kelinci Rex juga baik dan proporsional untuk produksi daging. Jenis ini mempunyai panjang tubuh medium dan dalam, hips yang bulat dan loin yang berisi, sehingga cocok pula untuk dijadikan sebagai kelinci pedaging. Bobot badan ideal untuk kelinci Rex jantan adalah 3,6 kg, sedangkan untuk betina adalah 4,08 kg.
Kelinci Rex sangat bervariasi dengan produksi daging berkualitas sangat baik
(exellent), tetapi produktivitas daging pada kelinci Rex lebih rendah dibandingkan
dengan kelinci pedaging jenis New Zealand (Raharjo, 1994).
Kebutuhan Ternak Kelinci
Untuk memaksimalkan pertumbuhan dan kerja sistem tubuh kelinci, pakan yang diberikan harus memiliki kandungan gizi yang baik dan seimbang. Hal tersebut dapat dicapai salah satunya dengan cara pemberian pakan yang bervariasi. Pakan yang diberikan untuk kelinci sedikitnya mengandung unsur gizi seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, serat kasar, kadar garam, mineral dan air. Pemberian air yang cukup juga dapat membantu memperbaiki sistem metabolisme tubuh kelinci. Karena itu sebaiknya pemberian air minum bagi kelinci jangan sampai telat atau kehabisan (Masanto dan Agus, 2010).
Pakan bagi ternak sangat besar peranannya. Pemberian pakan yang seimbang diharapkan dapat memberikan produksi yang tinggi. Pakan yang diberikan hendaknya memiliki persyaratan kandungan gizi yang lengkap seperti protein, karbohidrat, mineral, vitamin, digemari ternak dan mudah dicerna (Anggorodi, 1990).
Tabel 3. Kebutuhan Nutrisi Kelinci
Nutrient Pertumbuhan Hidup Pokok Bunting Laktasi
Digestible Energy (Kcal/kg) 2500 2100 2500 2500 TDN (%) 65 55 58 70 Serat Kasar (%) 10-12 14 10-12 10-12 Protein Kasar (%) 16 12 15 17 Lemak (%) 2 2 2 2 Ca (%) 0,45 - 0,40 0,75 P (%) 0,55 0,5 Metionin + Cystine 0,6 0,6 Lysin 0,65 0,75 Sumber: NRC(1977)
Di peternakan kelinci intensif, pakan hijauan diberikan berkisar 60-80%, sisanya konsentrat. Ada juga yang memberikan 60% konsentrat kemudian sisanya hijauan. Pemberian hijauan sekitar 650-750 gram hijauan/ekor/hari. Bila hijauan dipakai, hendaknya hanya diberikan kepada anak-anak kelinci yang telah berumur >
3 bulan serta kelinci dewasa, pada tingkat 1,5% dari bobot badannya (Sarwono, 2009).
Teknologi Pengolahan Pakan Berbentuk Pelet
Peletmerupakan jenis pakan berbentuk padat yang terdiri atas campuran dari berbagai jenis bahan pakan. Beberapa komponen penyusun pelet khusus kelinci ini diantaranya ampas tahu, bekatul, jagung, biji-bijian atau kacang-kacangan dan pakan hijauan. Karena kandungan gizinya yang cukup lengkap, peletdapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan gizi kelinci. Penggunaan pakan pelet juga lebih praktis dan dapat membuat kandang tetap terjaga kebersihannya (Priyatna, 2011).
Pelet adalah ransum yang dibuat dengan menggiling bahan baku yang kemudian dipadatkan menggunakan die dengan bentuk, diameter, panjang dan derajat kekerasan yang berbeda. (Pond et al., 1995). McEllhiney (1994), menyatakan bahwa pelet merupakan hasil proses pengolahan bahan baku ransum secara mekanik yang didukung oleh faktor kadar air, panas dan tekanan.
Kualitas pelet dapat diukur dengan mengetahui kekerasan pelet (hardness) dan daya tahan pelet dipengaruhi oleh penambahan panas yang mempengaruhi sifat fisik dan kimia bahan pakan (Thomas dan Van der Poel, 1997).
Fermentasi
Fermentasi merupakan aktivitas mikroorganisme baik aerob maupun
anaerob yang mampu mengubah senyawa kompleks menjadi
senyawa-senyawa sederhana sehingga keberhasilan fermentasi tergantung pada aktivitas mikroorganisme, sementara setiap mikroorganisme masing-masing memiliki syarat hidup seperti pH tertentu, suhu tertentu dan sebagainya. Produk fermentasi selain menghasilkan bio-massa dapat meningkatkan atau menurunkan komponen kimia tertentu, tergantung kemampuan biokatalisnya (Rosningsih, 2000).
Proses fermentasi mikroorganisme memperoleh sejumlah energi untuk pertumbuhannya dengan jalan merombak bahan yang memberikan zat-zat hara atau mineral bagi mikroorganisme seperti hidrat arang, protein, vitamin dan lain-lain. Proses fermentasi makanan dapat dilakukan melalui kultur media padat atau semi padat dan media cair, sedangkan kultur terendam dilakukan dengan menggunakan media cair dalam bioeraktor atau fermentor (Adams and Moss, 1995).
Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim-enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga dihasilkan ekstraseluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein (Winarno, 1983).
Phanerochaete chrysosporium
Jamur P. chrysosporium Burdsall, termasuk dalam kelompok jamur pelapuk putih dan merupakan jamur kelas Basidiomycetes yang juga menyerang holoselulosa, namun pilihan utamanya adalah lignin. Klasifikasi jamur ini sebagai berikut, kelas
Certiciaceae, genus Phanerochaete dan spesies P. chrysosporium Burdsall
(Irawati, 2006).
Phanerochaete chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan senyawa
turunanya secara efektif dengan cara menghasilkan enzim peroksidasi ekstraseluler yang berupa Lignin Peroksidase (LiP) dan Mangan Peroksidase (MnP).
Phanerochaete chrysosporium adalah jamur pelapuk putih yang dikenal
kemampuannya mendegradasi lignin (Sembiring, 2006).
Laconi (1998), menyebutkan bahwa fermentasi kulit buah kakao dengan
Phanerochaete chrysosporium mampu menurunkan kandungan lignin sebesar
18,36%. Melihat kemampuan Phanerochaete chrysosporium dalam menghasilkan enzim lignolitik dan selulotik, kapang ini mampu menurunkan kandungan lignin dengan meningkatkan pertumbuhan kapang dan aktivitas enzim lignolitik.
Kulit Buah Markisa
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman markisa diklasifikasikan sebagai berikut. Kingdom: Plantae (tumbuh-tumbuhan), Divisi:
Spermatophyta (tumbuhan berbiji), Subdivisi: agiospermae (berbiji tertutup), Kelas: Dicotyledonae (biji berkeping dua), Ordo: Passiflorae, Famili: Passiforaceae, Genus: Passiflora, Spesies: Passifloraquadrangularis L., P. Edulis (Rukmana, 2003).
Markisa ungu juga disebut siuh atau “markisa asam”. Nama internasional untuk markisa ungu adalah purple passion fruit. Markisa jenis ini banyak diusahakan di Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Karo (Sumatera Utara). Jenis Markisa ungu mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: batang tanaman halus terkulai, agak berkayu, berumur panjang dan bersifat merambat atau menjalar, tanaman mampu berbuah lebat; pembuahan berlangsung dua kali setahun, buah muda
berwarna hijau sedangkan buah tua atau masak berwarna ungu gelap sampai cokelat tua, kulit buah agak tipis, namun cukup kuat sehingga tahan terhadap kerusakan selama pengangkutan, buah berbentuk bulat agak lonjong atau oval, berdiameter antara 5,0 cm – 5,5 cm dan berasa asam dengan aroma wangi yang kuat sehingga cocok dibuat sirup atau jus (Rukmana, 2003).
Gambar 2. Bagian-bagian di dalam Markisa
Dewasa ini pemanfaatan buah markisa masih terbatas pada daging buahnya. Kalau biji masih dapat digunakan sebagai benih, maka kulit buah sama sekali belum dimanfaatkan, bahkan membutuhkan biaya untuk penangananya. Dari buah markisa sari buah sebanyak 40,69% berat buah selebihnya adalah kulit buah sebanyak 44,53% dan biji sebanyak 14,78% (Palupi dan Tungadi, 1988).
Kulit buah markisa ini mempunyai kandungan Protein kasar 7,32% yang hampir sebanding dengan rumput lapangan sehingga cukup potensial untuk dijadikan sebagai pakan ternak substitusi rumput lapangan sumber hijauan, namun terkendala dengan adanya kandungan anti nutrisi tannin (1,85%) dan tingginya kandungan lignin 31,79% (Astuti, 2008).
Biji Markisa
Kulit Luar Markisa Daging buah Markisa
Tabel 4. Kandungan Kimiawi Kulit Buah Markisa tanpa dan fermentasiPhanerochaete chrysosporium selama 15 hari.
Kandungan Kimiawi Kulit Buah Markisa Kulit Buah Markisa Fermentasi
ME (Kkal/kg) 3575 3615
BK (%) 87,23 80,06
PK (%) 8,53 18,56
SK (%) 39,56 34,96
LK (%) 0,6 1,39
Sumber : Laboratorium Pengujian Mutu Pakan Loka Penelitian Kambing Potong (2015)
Tidak ada gangguan penggunaan kulit buah markisa terhadap nafsu makan ternak menunjukkan bahwa bahan makanan ini cukup palatabel. Hal ini mungkin disebabkan aroma kulit buah markisa disukai oleh ternak, sehingga pakan yang diberikan dapat dikonsumsi dalam jumlah besar. Sedangkan pakan yang mempunyai palatabilitas rendah akan dikonsumsi hanya sebatas pemenuhan hidup pokok ternak tersebut. Faktor penting berasal dari pakan yang mempengaruhi konsumsi adalah aroma dari bahan pakan itu, ternak dapat saja menolak bahan pakan yang diberikan tanpa merasakan terlebih dahulu, karena tidak menyukai aromanya (Preston dan Leng, 1987).
Kandungan tannin yang terdapat pada kulit buah markisa diduga berperan menurunkan retensi nitrogen, karena tannin dapat mengikat protein dan membentuk senyawa tannin-protein yang tidak terdegradasi (Herrick, 1980).
Bobot Potong
Bobot potong merupakan bobot hidup akhir seekor ternak sebelum dipotong/disembelih. Semakin tinggi bobot sapih pada seekor ternak maka semakin tinggi pula bobot potong. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan bobot karkas yang tinggi pula. Semakin tinggi bobot potong maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Hal ini disebabkan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan
daging akan bertambah selaras dengan ukuran bobot tubuh (Muryanto dan Prawirodigdo, 1993).
Ternak yang diberi pakan dengan kualitas yang baik akan menghasilkan bobot badan yang tinggi, sehingga bobot potong yang diperoleh ikut tinggi. Bobot potong yang tinggi akan mempengaruhi bobot karkas dan non karkas. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produksi karkas seekor ternak adalahbangsa, umur, jenis kelamin, laju pertumbuhan, bobot potong dan nutrisi (Berg dan Butterfield, 1976).
Karkas dan Persentase Bobot Karkas
Bobot karkas diperoleh dari hasil penimbangan dari daging bersama tulang kelincihasil pemotongan setelah dipisah dari kepala, kaki, kulit, darah danpengeluaran isi rongga perut (Rahman, 2014).
Gambar 3. Bagian-bagian karkas kelinci
Menurut pembagiannya, karkas ternak kelinci dapat dipotong sesuai dengan porsinya masing-masing menjadi delapan potongan daging, yaitu : dua potong kaki depan (dengan melepaskan pergelangan kaki dan pangkal paha depan pada skapula), dua potong kaki belakang (dipotong pada sendi antara tulang lumbal terakhir dengan tulang sakral pertama), dua potong bagian dada sampai leher (dipotong pada pangkal leher dan dipisahkan dari pinggang dengan membuat pototngan antara tulang rusuk
terakhir), dan dua potong bagian pinggang (dipotong dari tulang rusuk terakhir hingga pada potongan pangkal paha belakang) (Kartadisastra, 1997).
Faktor yang mempengaruhi berat karkas yaitu besar tubuh kelinci, jenis kelinci, sistem pemeliharaan, kualitas bibit, macam dan kualitas pakan, kesehatan ternak, perlakuan sebelum pemotongan (Kartadisastra, 1997).
Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dan bobot hidup yang mempunyai faktor penting dalam produksi ternak potong sebenarnya, karena dalam bobot hidup masih terdapat saluran pencernaan dan organ dalam yang beratnya berbeda untuk masing-masing ternak. Berat persentase bobot karkas sangat bergantung pada besar tubuh kelinci, sistem pemeliharaan, kualitas bibit, macam dan kualitas pakan, kesehatan ternak dan perlakuan sebelum dipotong. Persentase karkas yang dihasilkan sangat tergantung pada besar tubuh kelinci dan sebagai patokan, besar karkas kelinci yang baik seharusnya berkisar antara 40%-52% dari berat potongnya. Selain itu persentase karkas juga dipengaruhi oleh umur potong dan jenis kelamin (Soeparno, 1994).
Non Karkas
Non karkas merupakan hasil pemotongan ternak selain karkas dan lazim disebut offal. Non karkas terdiri dari bagian yang layak (offal edible) dan tidak layak dimakan (offal non edible). Hasil pemotongan ternak selain karkas adalah bagian non karkas. Non Karkas terdiri dari bagian yang layak dimakan yaitu lidah, jantung, hati, paru-paru, otak, kulit, ekor, saluran pencernaan, ginjal dan limpa, sedangkan tanduk, kuku, darah, tulang atau kepala termasuk bagian yang tidak layak dimakan (Soeparno,1994).
Komponen sisa karkas terdiri dari organ internal dan organ eksternal. Organ internal terdiri atas hati, jantung, paru-paru, sedangkan yang termasuk organ eksternal adalah kepala, kulit dan kaki (Whytes dan Ramsay, 1979).
Bobot non karkas diperoleh dengan menimbang bagian non karkas.Persentase karkas diperoleh dengan membandingkan bobot karkas dengan bobotpotong, sedangkan persentase non karkas diperoleh dengan membandingkanbobot non karkas dengan bobot potong. Penimbangan non karkas dilakukan untukmasing-masing komponen yaitu kepala, darah, organ-organ dalam kecuali ginjal, keempat kaki bagian bawah, ekor, kulit dan bulu (Purbowati et al., 2005).
Persentase non karkas merupakan angka banding antara berat non karkas (darah, kepala, keempat kaki, ekor,dan jeroan) dengan berat potong kelinci yang bersangkutan kemudian dikalikan 100 persen. Persentase non karkas berbanding terbalik dengan persentase karkas. Semakin tinggi persentase non karkas semakin rendah persentase karkas (Soeparno, 1994).
Berat karkas juga dipengaruhi oleh umur ternak, jenis kelamin, kecepatan pertumbuhan, metode pemotongan, lingkungan serta berat bagian tubuh/organ non karkas. Ternak yang diberi pakan berenergi tinggi memberikan berat hati, ginjal, kulit dan bulu yang lebih berat dibanding ternak yang diberi pakan berenergi rendah, sedangkan kepala, kaki dan ekor ternak yang laju pertumbuhannya lambat memberikan berat yang lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhannya yang cepat (Murray dan Slezacek, 1978).
Konsumsi nutrisi tinggi meningkatkan berat hati, rumen, omasum, usus besar, usus kecil dan total alat pencernaan, tetapi sebaliknya bagi berat kepala dan
kaki tidak mempengaruhi berat kepala, kaki dan kulit pada berat tubuh yang sama (Soeparno, 1994).
Komponen sisa karkas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, bangsa ternak adalah pengaruh bangsa yang berhubungan dengan perbedaan genetik tiap bangsa dalam mencapai ukuran dewasa, tiap bangsa terdapat perbedaan kecepatan pertumbuhan dari komponen tubuh. Akibat perbedaan tersebut akan meningkatkan keragaman proporsi tubuh pada berat yang sama. Ransum atau pakan : peningkatan kandungan konsentrat pada ransum akan menurunkan isi perut dan meningkatkan persentasekarkas. Apabila pemberian serat kasar tinggi akan
meningkatkan isi perut dan menurunkan persentase karkas (Whytes and Ramsay, 1979).
PENDAHULUAN
Latar belakang
Daging sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein hewani, namun penyediaan daging belum mencukupi kebutuhan konsumsi yang terus meningkat. Salah satu penyebabnya adalah laju pertumbuhan populasi manusia yang tinggi tidak diikuti dengan laju pertumbuhan populasi ternak potong secara memadai. Karena itu usaha penyediaan daging yang cukup memadai dan terjangkau oleh seluruh masyarakat sangat penting. Untuk menunjang usaha perbaikan gizi rakyat, perlu kiranya lebih dianekaragamkan penyediaan jenis-jenis ternak potong. Dan salah satu ternak yang patut dipertimbangkan adalah kelinci. Ternak kelinci adalah komoditas peternakan yang dapat menghasilkan daging berkualitas tinggi dengan kandungan protein yang tinggi. Seekor kelinci dapat menghasilkan daging 50-55% setiap kilogram bobot badan.
Dibutuhkan suatu pemecahan masalah pakan kelinci saat ini. Jenis pakan yang dipakai tidak bersaing dengan manusia. Pendayagunaan pakan yang tidak berasal dari bahan makanan manusia diutamakan dalam peternakan kelinci. Untuk itu dilakukan alternatif pemanfaatan limbah pengolahan hasil pertanian diantaranya adalah kulit buah markisa.
Sumatera Utara merupakan salah satu daerah sentral produksi markisa (Passiflora edulis) di Indonesia (Verheij and Caronel, 1997). Menurut Tangdilintin (1994), produksi limbah kulit buah markisa sebanyak 2,5-4 ton per hari. Limbah industri perkebunan dan pengolahan buah markisa berupa kulit buah markisa masih mengandung nutrisi yang sangat potensial untuk digunakan sebagai pakan ternak kelinci pada daerah industri pengolahan buah markisa seperti di Berastagi,
Kabanjahe dan daerah sekitarnya.Umumnya kulit buah markisa belum dimanfaatkan secara optimal tetapi kebanyakan dibuang sebagai sampah, padahal kulit buah markisa dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak karena kandungan gizinya cukup baik.
Kandungan nutrisi kulit buah markisa adalah protein kasar (PK) 12,37%,
lemak kasar (LK) 5,28%, serat kasar (SK) 30,16% dan abu 9,26% (Laboratorium Pengujian Mutu Pakan Loka Penelitian Kambing Potong, 2009). Kulit
buah markisa kurang baik dijadikan bahan baku untuk pakan ternak karena kandungan serat kasarterutama lignin yang tinggi dan zat anti nutrisi berupa tannin. Untuk itu perlu dilakukan fermentasi dengan menggunakan jamur Phanerochaete
chrysosporiumuntuk mengurangi kandungan serat kasar. Untuk mengatasi zat anti
nutrisi tannin maka kulit buah markisa dikeringkan dibawah sinar matahari.
Phanerochaete chrysosporium merupakan jenis jamur pelapuk putih yang
dapat mendegradasi kandungan serat kasar terutama lignin dan selulosa. Laconi (1998), menyebutkan Phanerochaete chrysosporium mampu menurunkan kandungan lignin sebesar 18,36%. Melihat kemampuan Phanerochaete chrysosporium dalam menghasilkan enzim lignolitik dan selulotik, kapang ini mampu menurunkan kandungan lignin dengan meningkatkan pertumbuhan kapang dan aktivitas enzim lignolitik.
Ternak kelinci tidak dapat mencerna serat kasar dengan baik, fermentasi terhadap kulit buah markisa tersebut dengan menggunakan Phanerochaete
chrysospriumdiharapkan dapat meningkatkan nilai nutrisi kulit buah markisa dan
mengurangi kandungan serat kasar, sehingga lebih mudah dicerna kelinci untuk proses pertumbuhan dan perkembangbiakan tubuhnya.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pemanfaatan tepung kulit buah markisa dengan fermentasi Phanerochaete
chrysosporium terhadap karkas dan komponen non karkas kelinci Rex jantan lepas
sapih.
Tujuan Penelitian
Melihat pengaruh pemberian tepung kulit buah markisa fermentasi
Phanerochaetechrysosporiumterhadap bobot potong, bobot karkas, persentase bobot
karkas dan bobot relatif komponen non karkas (organ dalam dan luar)kelinci Rex jantan lepas sapih.
Hipotesis Penelitian
Pemberian tepung kulit buah markisa dengan fermentasi Phanerochaete
chrysosporium sebagai pakan ternak dapat meningkatkan produksi karkas kelinci Rex
jantan lepas sapih.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi kalangan akademis, peneliti dan masyarakat tentang pemanfaatan kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium.
ABSTRAK
FRINANDO S PAKPAHAN, 2015. “Pengunaan Tepung Kulit Buah Markisa
(Passiflora edulis var. edulis) yang difermentasi dengan Phanerochaete
chrysosporium Terhadap Karkas Kelinci Rex Jantan Lepas Sapih”. Dibimbing oleh
MA’RUF TAFSIN dan NEVY DIANA HANAFI.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian tepung kulit buah markisa yang difermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium terhadap karkas kelinci rex jantan lepas sapih. Penelitian dilaksanakan di Rukun Farm Berastagi, pada bulan Agustus-Oktober 2015. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 20 ekor kelinci rex jantan lepas sapih dengan rataan bobot badan awal 918±75,18 g. Perlakuan dengan berbagai level kulit buah markisa fermentasi
Phanerochaete chrysosporium dalam ransum terdiri dari P0 (0%); P1 (10%); P2 (20%) dan P3 (30%). Parameter yang diteliti adalah bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, bobot relatif organ dalam dan bobot relatif organ luar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, bobot relatif saluran pencernaan dan bobot relatif kulit. Sebaliknya, tidak berbeda nyata (P>0,05) pada bobot relatif jantung, paru-paru, hati, ginjal, kepala dan kaki. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan tepung kulit buah markisa fermentasi
Phanerochaete chrysosporium pada level 30% dalam ransum dapat meningkatkan
bobot potong, bobot karkas dan persentase karkas kelinci rex jantan.
Kata kunci : Kulit Buah Markisa, Fermentasi, Phanerochaete chrysosporium,
ABSTRACT
FRINANDO S PAKPAHAN, 2015. “The Utilization of Fermented Passiflora edulis by Phanerochaete chrysosporium on Carcass of Weaning Male Rex Rabbit. Under supervised by MA’RUF TAFSIN and NEVY DIANA HANAFI.
The study aims to determine the effect flour of passion fruit pell fermentation with Phanerochaete chrysosporium againts carcass of weaning male rex rabbit. This research was conducted at Rukun Farm Berastagi, from August to October 2015. This research used Completely Randomize Design (CDR) with 4 treatments and 5 replications. Each replications consists of 20 rex rabbit male