• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan Kondisi umum penelitian

Penanaman dilakukan awal bulan Maret 2014 pada saat intensitas curah hujan tinggi sebesar 442 mm bulan-1 (Lampiran 2). Curah hujan yang tinggi menyebabkan kelembaban udara juga tinggi, sehingga dapat memicu serangan penyakit moler yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. dengan ciri-ciri daun layu dan menguning serta umbi busuk (Gambar 1a), sehingga perlu dilakukan penyulaman. Penyakit lain yang menyerang adalah bercak ungu pada tangkai bunga yang disebabkan oleh Alternaria porri. Serangan tersebut disebabkan oleh adanya embun yang menempel di ujung daun. Pengendalian terhadap penyakit tersebut dilakukan dengan penyemprotan air ke ujung daun setiap pagi hari, sehingga penyebaran dapat terkendali. Selain penyakit, serangan hama berupa ulat bawang (Spodoptera exigua) (Gambar 1b) dan thrips. Pengendalian terhadap hama tersebut yaitu dengan memotong bagian daun yang terserang dan menyemprotkan insektisida.

Proses awal pembungaan, ditandai dengan munculnya tunas umbel (antara 20−28 HST) yang terbungkus oleh selaput umbel yang berwarna hijau muda. Selaput umbel tersebut kemudian pecah, sehingga akan terlihat kuntum-kuntum bunga yang kemudian akan mekar. Selama periode pembungaan terdapat beberapa serangga yaitu lalat kecil, lebah hitam besar, dan lebah kecil yang diduga membantu dalam proses penyerbukan (Gambar 2). Serangga penyerbuk berupa lalat hijau juga sengaja diupayakan mengunjungi bawang merah dengan bantuan atraktan berupa udang busuk yang digantungkan diantara tanaman bawang.

a b

Gambar 1 Penyakit dan hama yang menyerang bawang merah: busuk umbi (a); hama ulat Spodoptera exigua (b)

10

Pertumbuhan tanaman

Pemberian benzil amino purin (BAP) dan ZnSO4 tidak menunjukkan interaksi yang berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman bawang merah yang diamati pada umur 10, 17, 24, dan 31 hari setelah tanam (HST). Aplikasi BAP tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman bawang. Rata−rata tinggi tanaman mengalami peningkatan dari umur 10 HST sekitar 21.6 cm dan mencapai 36.8 cm pada umur 31 HST (Tabel 1). Rachmawati (2008) melaporkan pemberian beberapa konsentrasi BAP (50, 100, dan 150 ppm) pada tanaman cabai juga tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman cabai. Tidak berperannya BAP dalam peningkatan tinggi tanaman bawang merah diduga karena zat pengatur tumbuh golongan sitokinin tersebut lebih berperan dalam pembelahan sel.

Sebaliknya, aplikasi ZnSO4 berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman Tabel 1 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap tinggi tanaman bawang

merah pada 10, 17, 24, dan 31 hari setelah tanam (HST) di Subang*

Perlakuan Tinggi tanaman (cm)

10 HST 17 HST 24 HST 31 HST Konsentrasi BAP (ppm) 0 21.1 27.6 31.3 35.8 50 21.9 28.9 32.8 37.4 100 21.7 29.3 32.7 37.3 Rata-rata 21.6 28.6 32.2 36.8 Dosis ZnSO4 (kg ha-1) 0 19.8 b 27.4 b 31.0 b 33.8 c 1 21.3 ab 28.4 ab 31.4 b 36.8 bc 2 22.1 a 28.9 ab 32.7 ab 37.3 b 3 22.8 a 29.7 a 34.0 a 39.4 a BAP x ZnSO4 tn tn tn tn KK (%) 8.72 6.91 7.52 7.68 *

Angka-angka pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata

a b

Gambar 2 Serangga pada tanaman bawang merah: lebah hitam besar (a); lalat (b)

11 bawang merah. Tinggi tanaman bawang merah meningkat seiring dengan peningkatan dosis ZnSO4 yang diberikan (Tabel 1). Aplikasi 3 kg Zn ha1 menghasilkan tanaman tertinggi sebesar 39.4 cm pada umur 31 HST. Peningkatan pertumbuhan tanaman tersebut diduga karena Zn yang diberikan mendorong pembentukan triptopan yang akan disintesis menjadi auksin (Salisbury & Ross 1995) yang dapat mendorong pemanjangan sel. Peningkatan tinggi tanaman akibat pemberian Zn juga terjadi pada penelitian Janmohammadi et al. (2012) yang melaporkan bahwa unsur hara Zn mampu meningkatkan tinggi tanaman kacang−kacangan.

Jumlah daun tanaman bawang merah tidak dipengaruhi oleh aplikasi BAP, karena fungsi dari BAP bukan untuk pembentukan daun melainkan mendorong pembentukan tunas (Rohmah 2012). Rata-rata jumlah daun pada umur 10 HST adalah 9.6 helai dan mencapai 16.4 helai pada 24 HST (Tabel 2). Penambahan jumlah daun sudah berakhir pada 24 HST, walaupun tinggi tanaman (Tabel 1) masih terus bertambah.

Aplikasi berbagai dosis ZnSO4 meningkatkan jumlah daun bawang merah. Jumlah daun pada tanaman kontrol (0 kg Zn ha-1) lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman yang diberi ZnSO4.Jumlah daun terus bertambah seiring dengan peningkatan dosis ZnSO4 yang diberikan (Tabel 2). Pada umur 10 HST jumlah daun berkisar 9.0−10.0 helai. Pengaruh aplikasi ZnSO4 mulai terlihat pada 17 HST sampai 31 HST yang menunjukkan jumlah daun bawang merah terus meningkat dengan pemberian berbagai dosis ZnSO4. Peningkatan jumlah daun tersebut diduga disebabkan oleh kemampuan Zn dalam mensintesis auksin di tunas ujung. Auksin yang terbentuk mendorong pemanjangan batang dan daun. Data ini memberikan indikasi bahwa fase vegetatif mulai berakhir (31 HST) dan menuju fase generatif.

Tabel 2 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap jumlah daun bawang merah pada 10, 17, 24, dan 31 hari setelah tanam (HST)*

Perlakuan Jumlah daun (helai) per tanaman

10 HST 17 HST 24 HST 31 HST Konsentrasi BAP (ppm) 0 9.7 14.9 16.0 15.7 50 9.7 15.2 16.9 16.9 100 9.4 15.1 16.2 16.6 Rata-rata 9.6 15.1 16.4 16.4 Dosis ZnSO4 (kg ha-1) 0 9.0 14.4 b 14.4 b 13.3 c 1 9.5 13.7 b 15.8 ab 16.1 b 2 9.8 15.6 ab 17.1 a 17.3 ab 3 10.0 16.5 a 18.2 a 18.8 a BAP x ZnSO4 tn tn tn tn KK (%) 16.72 17.24 17.25 16.77 *

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata

12

Aplikasi BAP tidak memengaruhi jumlah anakan (Tabel 3), namun rata-rata jumlah anakan meningkat dari 4.2 anakan pada umur 10 HST menjadi 4.9 anakan pada 17 HST. Anakan tidak mengalami penambahan jumlah selama 24−31 HST, tetapi peningkatan jumlah terlihat pada 72 HST (panen) yaitu menjadi 5.5 anakan. Kecenderungan pengaruh yang sama terlihat pada pemberian berbagai dosis ZnSO4 yang tidak memengaruhi jumlah anakan bawang merah. Rata-rata jumlah anakan terus mengalami peningkatan berkisar 4.3−5.6 anakan pada saat panen.

Sebaliknya, aplikasi secara tunggal BAP dan ZnSO4 memengaruhi bobot basah umbi per tanaman. Bobot basah umbi per tanaman terus meningkat dengan peningkatan konsentrasi BAP. Aplikasi 100 ppm BAP pada tanaman bawang merah menunjukkan bobot basah umbi tertinggi yaitu 30.07 g atau meningkat sebesar 30.9% dari tanaman kontrol. Aplikasi ZnSO4 sebesar 3 kg ha-1 menghasilkan bobot basah umbi per tanaman terbesar yaitu 28.39 g atau meningkat sebesar 27.51% dari tanaman kontrol. Abedin et al. (2012) melaporkan bobot basah umbi tanaman bawang merah meningkat dengan pemberian 3 kg Zn ha-1 sebesar 26.52 g. Seperti halnya aplikasi 3 kg Zn ha-1 pada tanaman bawang merah oleh Alam et al. (2010) yang meningkatkan bobot umbi menjadi 26.52 g atau meningkat 22.32% lebih besar dari tanaman kontrol.

Penambahan BAP tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman bawang merah dan jumlah anakan, namun memengaruhi bobot Tabel 3 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap jumlah anakan bawang

merah pada 10, 17, 24, 31, 72 hari setelah tanam (HST) dan bobot basah umbi (g) di Subang*

Perlakuan

Jumlah umbi anakan per tanaman Bobot basah umbi (g) per tanaman 10 HST 17 HST 24 HST 31 HST 72 HSTb Konsentrasi BAP (ppm) 0 4.3 5.0 5.1 5.4 5.3 20.77 b 50 4.2 5.0 5.1 5.4 5.5 23.72 b 100 4.2 4.8 5.1 5.6 5.7 30.07 a Rata-rata 4.2 4.9 5.1 5.5 5.5 Dosis ZnSO4 (kg ha-1) 0 4.5 4.4 5.2 5.7 5.8 20.58 b 1 4.3 4.3 5.2 5.5 5.5 25.32 ab 2 4.1 4.7 5.1 5.5 5.2 25.13 ab 3 4.1 5.0 4.8 5.2 5.7 28.39 a Rata-rata 4.3 4.6 5.1 5.5 5.6 BAP x ZnSO4 tn tn tn tn tn tn KK (%) 12.13 14.46 13.46 12.86 12.28 12.8tr *

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata; tr:hasil transformasi;

b

13 basah umbi per tanaman (Tabel 3). Sebaliknya, aplikasi ZnSO4 3 kg Zn ha-1 mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan bobot basah umbi per tanaman, namun tidak memengaruhi jumlah anakan.

Pembungaan

Aplikasi BAP dan ZnSO4 tidak menunjukkan adanya interaksi yang berpengaruh terhadap pembungaan dan pembentukan kapsul. Aplikasi BAP memberikan pengaruh terhadap semua parameter komponen pembungaan, bertolak belakang dengan aplikasi ZnSO4 yang tidak memengaruhi pembungaan.

Aplikasi BAP memperlambat munculnya bunga pertama sekitar 2−3 hari lebih lambat dari tanaman kontrol. Vernalisasi umbi telah menginduksi inisiasi bunga, sehingga tanaman dapat berbunga pada 22.5 HST (Tabel 4).

Tanaman yang tidak diberi BAP hanya sedikit yang berbunga (5.73%) dibandingkan dengan yang diberi BAP (25.52−32.81%). Peran suhu rendah (vernalisasi) terlihat pada persentase berbunga tanaman kontrol sebesar 5.73% (Tabel 4). Kemampuan berbunga tersebut diduga akibat vernalisasi (10 0C selama 4 minggu) pada umbi. Rosliani et al. (2013) melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi BAP dari 50−200 ppm mampu meningkatkan persentase tanaman bawang merah untuk berbunga berkisar 28.9−39.4%. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah bunga per umbel dan jumlah umbel per tanaman juga dipengaruhi oleh aplikasi BAP. Jumlah bunga yang dihasilkan tanaman kontrol sebanyak 25.1 bunga per umbel dan meningkat menjadi 28.3−34.7% pada tanaman yang diberi BAP 50 dan 100 ppm. Sharma et al. (2009) melaporkan Tabel 4 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap umur berbunga pertama,

presentase tanaman berbunga (%), jumlah umbel per tanaman, dan jumlah bunga per umbel bawang merah di Subang*

Perlakuan Umur berbunga pertama (HST) Persentase tanaman berbunga (%) Jumlah bunga per umbel Jumlah umbel per tanaman Konsentrasi BAP (ppm) 0 22.5 b 5.73 b 25.1 b 0.1 b 50 24.9 ab 25.52 a 33.8 a 0.6 a 100 26.1 a 32.81 a 32.3 a 0.8 a Dosis ZnSO4 (kg ha-1) 0 24.6 15.97 26.5 0.4 1 25.4 26.39 36.6 0.6 2 24.8 25.69 31.6 0.6 3 25.0 17.35 26.7 0.5 Rata-rata 25.0 21.35 30.4 0.5 BAP x ZnSO4 tn tn tn tn KK (%) 13.40 30.79 30.70 17.66tr *

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata; tr:hasil

14

penambahan BAP pada konsentrasi 50 ppm tanaman Lilium menghasilkan jumlah bunga per tanaman lebih tinggi dibandingkan kontrol. Bertambahnya jumlah bunga tersebut disebabkan terjadinya peningkatan aktivitas meristem oleh sitokinin, sehingga meningkatkan pembelahan sel. Pengaruh sitokinin terhadap pembungaan juga dilaporkan oleh Werner et al. (2001) yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah bunga pada tanaman tembakau oleh sitokinin.

Aplikasi BAP meningkatkan jumlah umbel per tanaman bawang merah. Rata-rata jumlah umbel pada tanaman kontrol adalah 0.1 umbel per tanaman, sementara tanaman yang diberi perlakuan BAP 50 dan 100 ppm, menghasilkan umbel per tanaman 6−8 kali lipat lebih banyak dari pada tanaman kontrol (Tabel 4). Semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan, maka semakin meningkat jumlah umbel per tanaman. Hasil penelitian ini memperkuat penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rosliani et al. (2013) yang menunjukkan bahwa pemberian BAP 50−200 ppm dapat meningkatkan persentase tanaman berbunga di dataran rendah Subang hingga >150%. Namun demikian jumlah umbel per tanaman yang dihasilkan pada penelitian ini masih tergolong rendah, karena rendahnya persentase tanaman yang berbunga.

Kedua penelitian yang dilakukan di tempat yang sama dengan curah hujan yang berbeda menghasilkan jumlah umbel per tanaman yang relatif sama. Berdasarkan hasil tersebut diduga kemampuan BAP dalam peningkatan jumlah umbel per tanaman di dataran rendah tergolong rendah. Rosliani et al. (2012) melaporkan rata−rata jumlah umbel per tanaman di dataran tinggi Lembang mencapai 3.4 umbel per tanaman. Perbedaan jumlah umbel yang terbentuk antara dataran rendah dan tinggi tersebut diduga lebih dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang diperlukan tanaman bawang untuk membantu pembungaan berkisar 10−17 0C. Menurut Khokhar (2009) suhu di dataran tinggi relatif rendah sehingga menyebabkan terjadinya inisiasi pembungaan, sedangkan di dataran rendah dengan suhu relatif tinggi menyebabkan terjadi devernalisasi. Namun demikian pemberian BAP dapat menginduksi terjadinya inisiasi pembungaan sehingga tanaman tetap dapat berbunga.

Viabilitas dan jumlah serbuk sari per antera

Pemberian berbagai konsentrasi BAP dan ZnSO4 tidak menunjukkan adanya interaksi yang berpengaruh terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari per antera bawang merah. Viabilitas serbuk sari ditunjukkan oleh kemampuan serbuk sari untuk berkecambah, yaitu dengan membentuk tabung sari. Aplikasi BAP dapat meningkatkan viabilitas serbuk sari, tetapi tidak memengaruhi jumlah serbuk sari per antera. Aplikasi BAP meningkatkan viabilitas serbuk sari sekitar 43.3−51.7% (Tabel 5). Peningkatan viabilitas serbuk sari diharapkan dapat meningkatkan produksi benih.

Aplikasi ZnSO4 juga memengaruhi viabilitas serbuk sari. Aplikasi ZnSO4 sebanyak 1 kg ha-1 dapat meningkatkan viabilitas serbuk sari hampir 2 kali lipat. Namun demikian, peningkatan dosis ZnSO4 cenderung menurunkan viabilitas serbuk sari (Tabel 5). Tuna et al. (2001) melaporkan bahwa tingkat perkecambahan serbuk sari tanaman tembakau menurun dengan aplikasi ZnSO4. Viabilitas serbuk sari tanaman kontrol sebesar 90.6%, sedangkan pada tanaman dengan aplikasi ZnSO4 240 µM menurun menjadi 14.43%. Winarto dan Rachmawati (2007) menjelaskan bahwa, penurunan viabilitas serbuk sari pada

15

perlakuan Zn dosis tinggi diduga karena penurunan aktivitas enzim esterase dan respirasi. Selain itu, diduga akibat menurunnya proses metabolisme sehingga menyebabkan tidak semua mikrospora mampu tumbuh dengan baik.

Jumlah serbuk sari per antera tidak dipengaruhi oleh BAP maupun ZnSO4, dengan rata-rata antara 861.1 sampai 876.6 butir per antera. Sharma et al. (1990) menyebutkan bahwa pemberian Zn sebelum perkembangan antera atau sebelum mikrospora terbentuk dapat meningkatkan viabilitas serbuk sari, yang dipengaruhi oleh kemampuan tanaman untuk menyerap Zn. Aplikasi Zn melalui daun pada jagung mampu meningkatkan ukuran antera dan perkecambahan serbuk sari, tetapi tidak meningkatkan jumlah serbuk sari per antera.

Produksi TSS

Aplikasi BAP meningkatkan persentase pembentukan kapsul per umbel (Gambar 3). Tanpa aplikasi BAP, tanaman menghasilkan 9.6 kapsul per umbel, sementara dengan aplikasi BAP meningkatkan jumlah kapsul menjadi 20.2−22.2 kapsul per umbel (Tabel 6), meningkat sebesar 56.76% dari tanaman kontrol. Peningkatan jumlah kapsul tersebut disebabkan oleh peningkatan jumlah bunga per umbel dan peningkatan viabilitas serbuk sari (Tabel 4). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada persentase pembentukan kapsul. Tanaman yang tidak diberi perlakuan BAP hanya mampu menghasilkan kapsul sebesar 26.99%. Persentase pembentukan kapsul tertinggi diperoleh dari perlakuan BAP 100 ppm yaitu Tabel 5 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap viabilitas serbuk sari dan

jumlah serbuk sari per antera bawang merah di Subang* Perlakuan Viabilitas serbuk sari

(%)

Jumlah serbuk sari per antera (butir) Konsentrasi BAP (ppm) 0 1.14 b 800.0 50 2.01 a 1032.0 100 2.36 a 797.8 Rata-rata 1.84 876.6 Dosis ZnSO4 (kg ha-1) 0 1.25 b 688.8 1 2.39 a 908.6 2 1.98 ab 1084.0 3 1.74 b 762.9 Rata-rata 1.84 861.1 BAP x ZnSO4 tn tn KK (%) 21.16tr 12.56 *

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata; tr:hasil transformasi

16

sebesar 78.76%, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan BAP 50 ppm, sebesar 69.86%. Peningkatan pembentukan kapsul dengan perlakuan BAP mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah TSS per umbel. Tanpa aplikasi BAP, tanaman hanya menghasilkan TSS 23.9 butir per umbel, dengan aplikasi BAP meningkat sebesar 54.0−64.5% menjadi 52−67.4 butir per umbel.

Pemberian berbagai dosis ZnSO4 tidak meningkatkan produksi TSS. Rata−rata jumlah kapsul per umbel sebanyak 17.13 kapsul. Pemberian ZnSO4 juga tidak memengaruhi jumlah TSS per umbel, rata-rata sebanyak 47.78 butir per umbel. Rendahnya pembentukan TSS per umbel disebabkan oleh rendahnya persentase pembentukan kapsul per umbel dengan rata−rata 58.5% (Tabel 6). Salama et al. (2012) melaporkan pemberian 2−3 kg Zn ha-1 pada tanaman tomat meningkatkan pembentukan buah sekitar 59.1−67.6%. Pemberian ZnSO4 diduga mampu meningkatkan metabolisme dan biosintesis auksin. Oleh karena itu, peningkatan produksi TSS melalui peningkatan persentase pembentukan kapsul perlu diupayakan.

Tabel 6 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap jumlah kapsul per umbel, pembentukan kapsul (%), dan jumlah TSS per umbel di Subang*

Perlakuan Jumlah kapsul

per umbel Pembentukan kapsul (%) Jumlah TSS per umbel (butir) Konsentrasi BAP (ppm) 0 9.6 b 26.99 b 23.9 b 50 22.2 a 69.86 a 67.4 a 100 20.2 a 78.76 a 52.0 a Dosis ZnSO4 (kg ha-1) 0 15.3 52.13 45.03 1 16.8 72.37 50.35 2 20.0 60.13 48.72 3 16.4 49.52 47.03 Rata-rata 17.13 58.54 47.78 BAP x ZnSO4 tn tn tn KK (%) 33.83 28.69 29.83tr *

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata; tr:hasil transformasi

Gambar 3 Pembentukan kapsul: tanpa BAP (a); BAP 50 ppm (b); BAP 100 ppm (c)

b

17 Hasil analisis ragam menunjukkan tidak ada interaksi antara BAP dan ZnSO4 namun analisis statistik secara tunggal menunjukkan BAP memengaruhi bobot TSS per umbel, per tanaman, dan per plot (Tabel 7). Aplikasi 50−100 ppm BAP mampu meningkatkan bobot TSS. Peningkatan bobot TSS per umbel sebesar 0.184−0.186 butir atau meningkat sebesar 60.87−61.29% dibandingkan tanaman kontrol. Sementara peningkatan bobot TSS per tanaman mencapai 1.9−2.4 kali lipat dibandingkan tanaman kontrol (0.093 g). Sama halnya dengan bobot TSS per plot yang meningkat sebesar 50.88−62.43% atau sebesar 2.04−5.43 kali lipat dibandingkan tanaman kontrol (0.115 g). Walaupun perlakuan BAP meningkatkan produksi TSS, namun peningkatan bobot TSS tersebut masih cukup rendah yang disebabkan oleh rendahnya jumlah umbel per tanaman (0.1−0.8 umbel per tanaman) (Tabel 4). Rata−rata jumlah umbel per plot yang dipanen juga rendah yaitu 2.8 umbel, sehingga menyebabkan rendahnya rata−rata bobot TSS per plot yaitu 0.420 g. Hasil bobot TSS per plot yang diperoleh Rosliani et al. (2013) di tempat yang sama dengan pemberian berbagai konsentrasi BAP sebesar 1.138 g.

Aplikasi berbagai dosis ZnSO4 tidak meningkatkan produksi TSS (Tabel 7). Rata-rata bobot TSS per umbel sebesar 0.147 g, sedangkan rata-rata bobot TSS per tanaman sekitar 0.161 g.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi TSS sangat berfluktuasi dan dipengaruhi oleh kondisi iklim. Kelembapan udara yang tinggi (87%) (Lampiran 2) juga menyebabkan perkembangan umbel terganggu, disebabkan adanya cendawan Alternatia porri atau bercak ungu.

Tabel 7 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap bobot TSS per umbel (g), bobot TSS per tanaman (g), dan bobot TSS per plot (g) di Subang*

Perlakuan Bobot TSS per

umbel (g) Bobot TSS per tanaman (g) Bobot TSS per plot (g) Konsentrasi BAP (ppm) 0 0.072 b 0.093 b 0.115 b 50 0.186 a 0.176 a 0.527 a 100 0.184 a 0.225 a 0.624 a Dosis ZnSO4 (kg ha-1) 0 0.134 0.120 0.310 1 0.138 0.162 0.433 2 0.174 0.203 0.464 3 0.144 0.159 0.471 Rata-rata 0.147 0.161 0.420 BAP x ZnSO4 tn tn tn KK (%) 8.69 10.81 20.67 *

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata

18

Mutu TSS

Aplikasi BAP dan ZnSO4 tidak menunjukkan interaksi yang memengaruhi mutu TSS, begitu pula dengan aplikasi secara tunggal (Tabel 8), kecuali pada persentase potensi tumbuh maksimum TSS (Tabel 9). Aplikasi BAP tidak berpengaruh terhadap rata−rata bobot 100 butir, yaitu sebesar 0.358 g, sedangkan penelitian Rosliani et al. (2013) menghasilkan rata−rata bobot 100 butir TSS lebih besar, yaitu 0.395 g. Bobot TSS yang lebih rendah ini (9.37%) diduga dipengaruhi oleh suhu udara di Subang bulan Mei−Juni 2014 lebih rendah (berkisar 26.6−27 0

C) (Lampiran 2) dibandingkan ketika penelitian dibulan yang sama tahun 2012 (berkisar 28.28−28.81 0C). Hasil penelitian ini memperkuat penelitian Hilman et al. (2014) yang menjelaskan bahwa suhu yang lebih tinggi dapat memperbaiki mutu TSS. Rata−rata daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh juga tidak dipengaruhi oleh aplikasi BAP, berturut-turut sebesar 70.51%, 39.83%, dan 9.85 % hari-1.

Kecambah normal Allium cepa dicirikan dengan adanya akar primer yang tidak kerdil, memiliki kotiledon yang panjang, tidak tebal serta membentuk lekukan yang jelas (Gambar 4). Kecambah bawang merah yang tidak memiliki akar primer meskipun terdapat banyak akar sekunder tergolong abnormal (Ditjen Tanaman Pangan 2005). Daya berkecambah TSS tanpa aplikasi ZnSO4 tidak berbeda nyata pengaruhnya dengan aplikasi ZnSO4 dosis 1−3 kg ha-1, berkisar 61.33−75.33%. Rata−rata daya berkecambah TSS sebesar 70.17% lebih rendah dibandingkan daya berkecambah TSS yang dihasilkan oleh Rosliani et al. (2013) Tabel 8 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap bobot 100 butir (g), daya

berkecambah (%), indeks vigor (%), dan KCT (% hari-1) di Subang* Perlakuan Bobot 100 butir (g) Daya berkecambah (%) Indeks vigor (%) KCT (% hari-1) Konsentrasi BAP (ppm) 0 0.325 69.78 40.00 9.73 50 0.365 71.25 40.25 9.97 100 0.359 70.50 39.25 9.85 Rata-rata 0.358 70.51 39.83 9.85 Dosis ZnSO4 (kg ha-1) 0 0.352 72.00 41.00 10.10 1 0.350 75.33 44.00 10.65 2 0.369 72.00 39.00 9.45 3 0.360 61.33 34.22 9.41 Rata-rata 0.358 70.17 39.56 9.90 BAP x ZnSO4 tn tn tn tn KK (%) 5.12 26.26 19.41tr 29.36 *

Angka-angka pada kolom yang sama di setiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata; tr:hasil transformasi

19

yaitu 75.44%. Berdasarkan standar sertifikasi mutu benih dari Direktorat Bina Perbenihan (2007), daya berkecambah minimum benih bawang merah adalah 75%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daya berkecambah benih yang memenuhi standar persyaratan mutu hanya diperoleh dari aplikasi 1 kg Zn ha-1. Rendahnya daya berkecambah TSS yang diperoleh diduga karena benih tidak diberi pra perlakuan (suhu rendah).

Kekuatan tumbuh TSS untuk membentuk kecambah normal ditunjukkan oleh peubah indeks vigor yang tidak dipengaruhi oleh aplikasi berbagai dosis ZnSO4 (Tabel 8). Rata−rata indeks vigor sebesar 39.56%, yang memberi indikasi kecambah normal kuat yang mampu tumbuh pada 6 HST sebesar 39.56 %.

Kecepatan tumbuh maksimum (KCT) TSS tanpa aplikasi ZnSO4 tidak berbeda nyata dengan aplikasi 1−3 kg Zn ha-1. Kecepatan tumbuh maksimum berkisar 9.41−10.65% hari-1, dengan rata-rata sebesar 9.90% hari-1.

Potensi tumbuh maksimum (PTM) TSS dipengaruhi oleh interaksi antara aplikasi BAP dengan ZnSO4 (Tabel 9). Pada tanaman tanpa aplikasi BAP, perlakuan ZnSO4 1−2 kg ha-1 meningkatkan PTM sekitar 29.4−33.3% dari kontrol. Akan tetapi, peningkatan dosis ZnSO4 3 kg ha1 menyebabkan penurunan PTM menjadi setara dengan 0 kg Zn ha-1. Selanjutnya, pada tanaman dengan aplikasi 50 ppm BAP, pemberian ZnSO4 sebesar 0−2 kg ha1 meningkatkan PTM, sedangkan 3 kg Zn ha1 menurunkan PTM. Pada tanaman yang diberi perlakuan BAP 100 ppm, pemberian ZnSO4 tidak memengaruhi PTM benih bawang merah. Hasil tersebut menjelaskan bahwa peningkatan PTM menggunakan 50 ppm setara dengan pemberian 1−2 kg Zn ha-1.

Tabel 9 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap potensi tumbuh maksimum (%) TSS di dataran rendah Subang*

BAP (ppm) ZnSO4 (kg ha -1 ) 0 1 2 3 0 60 c 90 a 85 ab 60 c 50 89 a 91 a 87 ab 64 bc 100 85 ab 79 abc 78 abc 87 ab *

Angka-angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Gambar 4 Kecambah normal benih bawang merah: akar primer tidak kerdil (anakpanah); kotiledon panjang, tidak tebal, serta lekukan jelas (kepala anak panah)

20

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aplikasi BAP dan ZnSO4 tidak memengaruhi mutu fisik benih yang ditunjukkan oleh bobot 100 butir dan mutu fisiologi benih sebagaimana ditunjukkan oleh daya berkecambah, indeks vigor, serta kecepatan tumbuh benih.

Dokumen terkait