• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju Respirasi

Perubahan laju respirasi buah duku utuh dan terolah minimal pada suhu 15 0C, 20 0C serta suhu ruang ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 3-8 serta tabel pada Lampiran 3. Perhitungan laju respirasi dimulai dari jam ke-0 yang merupakan jam ke-48 setelah panen. Waktu selama 48 jam tersebut digunakan untuk mentransportasikan buah duku dari lokasi panen, serta pengolahan buah sampai siap dikemas dalam stoples yang tertutup rapat untuk pengukuran laju respirasi pada masing-masing suhu perlakuan.

Perkembangan laju respirasi yaitu produksi gas CO2 buah duku utuh dan

terolah minimal memiliki pola yang unik (Gambar 3-8). Pola produksi gas CO2

seperti ini juga ditemui pada buah duku yang belum maupun sudah matang serta disimpan pada suhu 10, 20 0C dan 27.5 0C (Pedro, 1936); buah duku pada fase immature yang disimpan pada suhu 21 0C (Pantastico et al., 1968); serta buah duku matang baik berukuran besar maupun sedang yang disimpan pada suhu 23 0C, 36 jam setelah panen (Sabari, 1985). Pola laju produksi CO2 buah duku ini

juga serupa dengan pola laju produksi CO2 buah alpukat, mangga, cherimoya serta

sukun (Tucker, 1993; Haard, 1998). Tucker (1993) mengidentifikasikan pola respirasi seperti ini sebagai buah klimakterik. Jadi berdasarkan pola respirasi tersebut tampaknya buah duku termasuk kelompok buah klimakterik.

Pada saat awal penyimpanan, produksi gas CO2 buah duku utuh dan terolah

minimal cenderung berfluktuasi. Fluktuasi ini juga terdapat pada penelitian Pedro (1936) mengenai respirasi buah duku utuh selama 24 jam pertama penyimpanan. Pedro (1936) menjabarkan terdapat kecenderungan laju CO2 untuk meningkat

pada beberapa jam pertama, kemudian menurun, selanjutnya cenderung mendatar pada tingkat tertentu. Selanjutnya Pedro (1936) mengintrepetasikan pola seperti ini karena beberapa aktivitas fisiologi yang merugikan seperti aktivitas enzim katalase dan akibat pencoklatan kulit.

Pola konsumsi O2 pada suhu 15 0C, 20 0C dan suhu ruang relatif memiliki

bentuk yang sama tetapi memiliki laju respirasi yang berbeda. Laju respirasi pada suhu 15 0C lebih rendah daripada suhu 20 0C dan suhu ruang. Pola respirasi O2

yang sedikit berbeda dari pola respirasi CO2 tersebut mempengaruhi nilai RQ

(Respiratory Quotient) buah.

Gambar 3. Laju produksi CO2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 15 0C.

Gambar 4. Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 15 0C. 0 20 40 60 80 100 120 0 9 18 27 36 45 54 63 72 81 90 99 108

Waktu Pengamatan (Jam) Laju Respirasi (ml O2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang

Setengah kupas membujur Kupas penuh

0 20 40 60 80 100 120 0 9 18 27 36 45 54 63 72 81 90 99 108

Waktu Pengamatan (Jam) Laju Respirasi (ml CO2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang Setengah kupas membujur Kupas penuh

Puncak klimakterik

29

Gambar 5. Laju produksi CO2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 20 0C.

Gambar 6. Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 20 0C. 0 20 40 60 80 100 120 140 0 9 18 27 36 45 54 63 72 81

Waktu Pengamatan (Jam) Laju Respirasi (ml O2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang

Setengah kupas membujur Kupas penuh

0 20 40 60 80 100 0 9 18 27 36 45 54 63 72 81

Waktu Pengamatan (Jam) Laju Respirasi (ml CO2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang Setengah kupas membujur Kupas penuh

Puncak klimakterik

Gambar 7. Laju produksi CO2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu ruang.

Gambar 8. Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu ruang.

0 20 40 60 80 100 120 140 0 9 18 27 36 45 54 63 72 81

Waktu Pengamatan (Jam)

Laju Respirasi (ml O2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang

Setengah kupas membujur Kupas penuh

0 20 40 60 80 100 120 0 9 18 27 36 45 54 63 72 81

Waktu Pengamatan (Jam) Laju Respirasi (ml CO2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang Setengah kupas membujur Kupas penuh

Puncak klimakterik

31

Laju respirasi rata-rata dan nilai RQ buah duku utuh dan terolah minimal disajikan pada Tabel 7. Data laju respirasi pada Tabel 7 tersebut digunakan selanjutnya pada penentuan bobot buah yang dapat dikemas pada kemasan plastik terpilih. Nilai RQ merupakan perbandingan antara gas CO2 yang diproduksi

dengan gas O2 yang dikonsumsi. Nilai ini dapat digunakan untuk menentukan

substrat yang digunakan dalam proses respirasi, kesempurnaan proses respirasi dan derajat proses aerob atau anaerob (Muchtadi, 1992).

Tabel 7 Laju respirasi rata-rata (ml/kg.jam) dan RQ duku utuh dan terolah minimal

Suhu Bentuk Olahan Produksi CO2 Konsumsi O2 RQ

15 0C Buah Utuh 49.56 32.43 1.53 15 0C Setengah kupas melintang 58.39 53.07 1.10 15 0C Setengah kupas membujur 50.51 47.41 1.07 15 0C Kupas penuh 53.56 49.37 1.08 20 0C Buah Utuh 49.68 42.27 1.18 20 0C Setengah kupas melintang 58.16 68.85 0.84 20 0C Setengah kupas membujur 55.53 57.97 0.96 20 0C Kupas penuh 57.83 63.13 0.92 Ruang Buah Utuh 50.80 51.09 0.99 Ruang Setengah kupas melintang 74.11 83.51 0.89 Ruang Setengah kupas membujur 69.36 80.96 0.86 Ruang Kupas penuh 69.33 71.03 0.98

Nilai RQ buah utuh dan terolah minimal pada suhu 15 0C serta bentuk buah utuh pada suhu 20 0C memiliki nilai lebih besar dari 1 (Tabel 7). Nilai RQ yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa substrat yang dioksidasi adalah asam-asam organik. Sedangkan nilai RQ buah terolah minimal pada suhu penyimpanan 20 0C serta buah utuh dan terolah minimal pada suhu ruang mempunyai nilai lebih kecil dari 1.

Nilai RQ yang lebih kecil dari 1 mempunyai beberapa intepretasi (Muchtadi, 1992). Berdasarkan fakta bahwa pada suhu yang lebih tinggi laju respirasi lebih tinggi serta bentuk buah terolah minimal juga memiliki laju respirasi lebih tinggi dibandingkan buah utuh, tampaknya intepretasi yang lebih besar kemungkinannya adalah pada nilai RQ lebih kecil dari 1 terjadi oksidasi tidak sempurna atau terhenti. Intepretasi nilai RQ lain seperti substrat yang digunakan mempunyai perbandingan antara oksigen terhadap karbon yang lebih kecil daripada heksosa contohnya lemak, kecil kemungkinannya karena buah

duku memiliki lemak yang sedikit (Tabel 5). Sedangkan kemungkinan berikutnya bahwa gas CO2 yang diproduksi digunakan dalam proses sintesa juga kecil

karena laju respirasi buah duku yang cukup tinggi dan fakta bahwa buah cepat rusak, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah reaksi perombakan bukan sintesa.

Buah duku relatif cepat mengalami kerusakan. Buah utuh dan setengah kupas melintang yang disimpan pada suhu 15 0C mempunyai umur simpan 87 jam. Laju produksi CO2 pada buah utuh menurun drastis setelah jam ke-87 yang

menandakan bahwa buah utuh telah mengalami pelayuan karena telah melewati puncak klimakteriknya. Laju produksi CO2 pada buah setengah kupas melintang

meningkat secara drastis setelah jam ke-87 sehingga tidak terukur lagi oleh alat. Peningkatan laju respirasi tersebut diduga karena buah telah terserang oleh mikroorganisme. Umur simpan buah duku utuh dan terolah minimal pada suhu 20

0

C dan suhu ruang lebih singkat dibandingkan suhu 15 0C (Gambar 3-8). Puncak klimakterik juga berhasil diamati pada laju respirasi CO2 buah duku setengah

kupas membujur suhu 15 0C, buah duku utuh suhu 20 0C serta buah duku utuh, setengah kupas membujur dan kupas penuh pada suhu ruang.

Kerusakan buah duku yang cepat tersebut, selain diduga karena laju respirasi yang cukup tinggi juga karena serangan cendawan perusak pasca panen. Pedro (1936) mengungkapkan bahwa Rhizopus nigricans menyerang buah duku selama penyimpanan. Serangan cendawan tersebut dapat diperparah jika buah tidak disimpan pada suhu rendah segera setelah dipanen. Buah duku yang disimpan 2 hari setelah panen dapat mengalami kerusakan hingga 79.89%.

Prabawati et al. (1991) juga mendapatkan sejumlah cendawan perusak pasca panen duku seperti Fusaruim sp, Culvularia sp, Cephalosporium sp, Mucor sp, Rhizopus sp dan Mycelia sterilia. Gejala penyakit yang diungkapkan oleh Prabawati et al. (1991) yaitu terjadi pencoklatan kulit buah, busuk ditumbuhi jamur dan busuk berair juga ditemui pada penelitian ini. Umur simpan buah duku pada penelitian Prabawati et al. (1991) dapat bertahan selama 3 hari, pada hari ke-5 buah rusak total dengan tanda kulit buah telah menjadi coklat kehitaman.

Dari penjelasan tersebut, tampaknya cendawan perusak pasca panen berperan besar terhadap umur simpan buah duku. Buah duku idealnya memang

33

langsung disimpan pada suhu rendah setelah panen. Tetapi pada penelitian ini hal tersebut tidak dapat dilaksanakan karena lokasi panen yang relatif jauh dari laboratorium penelitian serta waktu yang diperlukan untuk pengolahan buah sehingga duku baru dapat disimpan 48 jam setelah panen. Kondisi ini diduga yang menyebabkan paparan cendawan perusak pasca panen sehingga memperpendek umur simpan buah duku.

Untuk menentukan suhu yang digunakan pada penelitian tahap selanjutnya, diputuskan untuk menggunakan grafik perubahan konsentrasi CO2 dan O2 buah

duku pada perlakuan setengah kupas melintang suhu 15 0C, 20 0C dan suhu ruang sebagai acuan (Gambar 9-11). Penentuan ini didasarkan pada kecenderungan grafik laju respirasi CO2 dan O2 buah duku pada perlakuan setengah kupas

melintang lebih rendah jika dibandingkan bentuk olahan minimal lainnya (Gambar 3-8). Perlakuan buah duku setengah kupas melintang ini juga dijadikan sebagai acuan untuk penelitian pada tahap berikutnya.

Umur simpan buah duku setengah kupas melintang pada suhu 15 0C adalah 87 jam, sedangkan suhu 20 0C adalah 75 jam serta suhu ruang adalah 63 jam. Berdasarkan hal tersebut, suhu penyimpanan yang digunakan untuk menentukan komposisi atmosfer penyimpanan adalah suhu 15 0C.

Hasil ini diperkuat dengan uji statistik pada Lampiran 4 dan 5 yang menyatakan bahwa laju respirasi produksi gas CO2 dan konsumsi gas O2 pada

suhu 15 0C lebih rendah daripada laju respirasi pada suhu 20 0C dan suhu ruang. Berdasarkan sidik ragam laju konsumsi O2 rata-rata, terdapat perbedaan nyata

pada suhu penyimpanan tetapi perbedaan tersebut tidak terlihat pada laju produksi CO2. Laju konsumsi O2 rata-rata berdasarkan uji lanjut Duncan, penyimpanan

duku utuh dan terolah minimal pada suhu 15 0C disimpulkan mempunyai laju respirasi rata-rata terendah dan berbeda nyata dengan suhu 20 0C dan suhu ruang. Laju produksi CO2 rata-rata walaupun tidak berbeda nyata, tetapi laju respirasi

pada suhu 15 0C lebih rendah jika dibandingkan pada suhu 20 0C dan suhu ruang. Laju respirasi rendah dapat menyebabkan umur simpan produk menjadi lebih lama sedangkan sebaliknya umur simpan produk semakin singkat jika laju respirasi lebih tinggi.

Gambar 9 Laju respirasi CO2 dan O2 buah duku setengah kupas melintang

selama penyimpanan pada suhu 15 0C.

Gambar 10 Laju respirasi CO2 dan O2 buah duku setengah kupas melintang

selama penyimpanan pada suhu 20 0C. 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 0 9 18 27 36 45 54 63 72 81 90

Waktu Pengamatan (Jam)

Laju R

e

spirasi

CO2 dan O2 (%/jam)

CO2 O2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 0 9 18 27 36 45 54 63 72 81

Waktu Pengamatan (Jam)

Laju Respirasi

CO2 dan O2 (%/jam)

35

Gambar 11 Laju respirasi CO2 dan O2 buah duku setengah kupas melintang

selama penyimpanan pada suhu ruang.

Penentuan Komposisi Atmosfer Penyimpanan

Suhu penyimpanan yang digunakan pada penentuan komposisi atmosfer penyimpanan adalah suhu 15 0C. Kemudian bentuk buah yang terpilih adalah buah duku setengah kupas melintang yang memiliki laju respirasi terendah pada bentuk buah duku terolah minimal serta buah duku kupas penuh sebagai kontrol.

Komposisi atmosfer ditentukan didasarkan pada uji kekerasan, total padatan terlarut serta kecerahan kulit dan daging buah duku setengah kupas melintang. Komposisi atmosfer penyimpanan yang terpilih didasarkan pada nilai rata-rata tertinggi pengujian selama penyimpanan.

Kekerasan Buah

Hasil pengamatan uji kekerasan disajikan pada Tabel 8 serta secara rinci pada Lampiran 6. Setelah hari ke-4 penyimpanan, komposisi atmosfer 9-11% O2

dan 4-6% CO2 buah duku setengah kupas melintang mempunyai nilai kekerasan

rata-rata tertinggi yaitu 0.071 kgf kemudian komposisi atmosfer 9-11% O2 dan 9-

11% CO2 dengan nilai kekerasan rata-rata tertinggi 0.065 kgf.

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 0 9 18 27 36 45 54 63 72

Waktu Pengamatan (Jam)

Laju Respirasi

CO2 dan O2 (%/jam)

Menurut Muchtadi (1992), kekerasan buah menurun karena hemiselulosa dan protopektin terdegradasi. Protopektin menurun jumlahnya karena berubah menjadi pektin yang bersifat larut dalam air. Sedangkan Szczesniak (1998) berpendapat perubahan tekstur buah selama penyimpanan terutama disebabkan perubahan lamela tengah dan dinding sel primer yang disebabkan enzim pendegradasi serta pelarutan materi pektin. Kondisi ini mendorong pemisahan sel dan berkurangnya ketahanan terhadap tekanan dari luar.

Tabel 8 Perubahan kekerasan duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan

Bentuk Olahan Waktu Penyimpanan

(Hari) Komposisi Atmosfer

Kekerasan Rata-rata (kgf) Setengah kupas melintang 4 9-11% O2dan 9-11% CO2 0.065

9-11% O2 dan 4-6% CO2 0.071

4-6% O2dan 4-6% CO2 0.063

4-6% O2dan 9-11% CO2 0.061

21% O2 dan 0.03% CO2 0.057

Kupas penuh 2 9-11% O2dan 9-11% CO2 0.079

9-11% O2 dan 4-6% CO2 0.066

4-6% O2dan 4-6% CO2 0.073

4-6% O2dan 9-11% CO2 0.084

21% O2 dan 0.03% CO2 0.084

Total Padatan Terlarut

Total padatan terlarut rata-rata buah duku setengah kupas melintang ditampilkan pada Tabel 9 serta secara rinci pada Lampiran 7. Nilai total padatan terlarut buah duku terolah minimal baik pada perlakuan setengah kupas melintang dan kupas penuh mengalami peningkatan selama penyimpanan pada komposisi udara normal yaitu 21% O2 dan 0.03% CO2. Kondisi ini diduga karena daging

buah kehilangan kadar airnya. Dugaan tersebut muncul karena daging buah pada perlakuan komposisi udara normal tersebut terlihat menyusut sehingga tidak direkomendasikan sebagai komposisi atmosfer penyimpanan.

Pada hari ke-4 penyimpanan, buah duku setengah kupas melintang dengan komposisi atmosfer 4-6% O2 dan 4-6% CO2 mempunyai nilai total padatan

terlarut tertinggi yaitu 15.86% Brix dan tertinggi kedua adalah komposisi atmosfer 9-11% O2 dan 4-6% CO2 dengan nilai total padatan terlarut yaitu

37

15.63% Brix. Pedro (1936) mendapatkan duku yang disimpan pada suhu 13-15.5

0

C mempunyai total gula 13.386% pada hari ke 10 penyimpanan serta 13.916% pada hari ke 19 penyimpanan. Kemudian Pantastico et al. (1968) memperoleh nilai total padatan terlarut duku yang disimpan pada suhu 14.4 0C selama 10 hari adalah 13.2%.

Tabel 9 Perubahan total padatan terlarut duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan

Bentuk Olahan Waktu Penyimpanan

(Hari) Komposisi Atmosfer

Total Padatan Terlarut Rata-rata

(% Brix) Setengah kupas melintang 4 9-11% O2 dan 9-11% CO2 15.43

9-11% O2 dan 4-6% CO2 15.63

4-6% O2dan 4-6% CO2 15.86

4-6% O2 dan 9-11% CO2 15.56

21% O2 dan 0.03% CO2 19.76

Kupas penuh 2 9-11% O2 dan 9-11% CO2 16.16

9-11% O2 dan 4-6% CO2 16.94

4-6% O2dan 4-6% CO2 15.74

4-6% O2 dan 9-11% CO2 16.03

21% O2 dan 0.03% CO2 18.83

Perubahan Kecerahan Kulit Buah

Tingkat kecerahan yang diwakili oleh nilai intensitas dijadikan sebagai salah satu dasar untuk menentukan komposisi atmosfer penyimpanan terbaik. Intensitas merupakan model warna yang dianggap paling sesuai dengan persepsi manusia dalam memandang suatu warna selain hue dan saturasi (Ahmad, 2005). Nilai intensitas merupakan ukuran tingkat kecerahan objek berkisar antara 0-255. Makin tinggi nilai intensitas suatu objek berarti makin tinggi tingkat kecerahan atau mendekati putih. Sebaliknya makin rendah nilai intensitas suatu objek, objek tersebut cenderung makin gelap atau mendekati hitam. Penurunan nilai intensitas pada kulit buah duku berarti terjadi perubahan warna kuning menjadi berwarna coklat dan hitam. Nilai intensitas rata-rata kulit buah duku setengah kupas melintang pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan suhu 15 0C ditampilkan pada Tabel 10.

Komposisi atmosfer 9-11% O2 dan 4-6% CO2 pada hari ke-4 penyimpanan

komposisi atmosfer 4-6% O2 dan 9-11% CO2 mempunyai nilai intensitas rata-rata

78.3. Komposisi udara normal mempunyai intensitas rata-rata kulit terendah yang berarti kulit buah lebih gelap dibandingkan pada komposisi atmosfer lainnya. Kondisi ini dapat dipahami karena pada komposisi udara normal terdapat lebih banyak kandungan oksigen sehingga lebih cepat terjadi pencoklatan kulit buah.

Proses pencoklatan yang terjadi pada kulit buah duku diduga merupakan proses enzimatik. Winarno (1983) menyatakan pencoklatan dapat terjadi karena proses enzimatik dan non enzimatik. Selanjutnya Winarno (1983) menjelaskan proses pencoklatan enzimatik memerlukan keberadaan enzim fenol oksidase dan oksigen yang harus berhubungan dengan substrat tersebut. Saputra (1999) mengungkapkan perubahan warna kulit buah duku selain karena adanya perubahan pigmen juga disebabkan oleh adanya enzim phenolase yang teroksidasi dan mengakibatkan warna kulit buah menjadi coklat kehitaman. Haard (1998) memberikan beberapa metode alternatif untuk mencegah pencoklatan enzimatik yaitu perlakuan panas, aplikasi sulfit, penambahan keasaman serta pengeluaran oksigen.

Tabel 10 Perubahan kecerahan kulit buah duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan

Bentuk Olahan Waktu Penyimpanan

(Hari) Komposisi Atmosfer

Intensitas Rata-rata Setengah kupas melintang 4 9-11% O2 dan 9-11% CO2 76.3

9-11% O2 dan 4-6% CO2 81.3

4-6% O2dan 4-6% CO2 77.3

4-6% O2 dan 9-11% CO2 78.3

21% O2dan 0.03% CO2 68.0 Pantastico et al. (1968) menyatakan bahwa komposisi atmosfer 5% O2 dan

0% CO2 dapat menekan pencoklatan kulit buah duku utuh sampai 10.7% dari total

buah setelah 9 hari penyimpanan. Makin tinggi konsentrasi O2 dan CO2

menyebabkan pencoklatan kulit buah makin tinggi juga. Aplikasi pelilinan kulit buah duku tidak dianjurkan karena menyebabkan pencoklatan makin parah. Penggunaan fungisida benlate 0.076% dapat menekan pencoklatan kulit buah duku sampai 4%. Tetapi penggunaan pestisida pada buah telah mendapat pelarangan pada saat ini dengan makin ketatnya peraturan kesehatan dan

39

keamanan pangan, sehingga pemakaian pestisida tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama.

Saputra (1999) tidak berhasil mengamati perubahan warna pada perlakuan atmosfer termodifikasi karena terjadi perubahan warna kulit buah duku yang drastis ketika buah dikeluarkan dari stoples. Tetapi perubahan warna yang terjadi tidak menyebabkan perubahan rasa dan aroma yang tidak enak. Saputra menggunakan nilai value yang merupakan derajat kecerahan untuk mengamati perubahan kecerahan kulit buah duku selama penyimpanan. Nilai value kulit buah duku selama penyimpanan menunjukkan penurunan nilai dari 8 ke 4 yang berarti kulit buah semakin gelap.

Perubahan Kecerahan Daging Buah

Penentuan komposisi atmosfer penyimpanan yang terbaik untuk kecerahan daging buah serupa dengan penentuan pada kulit buah yaitu nilai intensitas ditentukan sebagai dasar. Perubahan kecerahan daging buah duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan suhu 15 0C dijabarkan pada Tabel 11 serta Lampiran 9.

Tabel 11 Perubahan kecerahan daging buah duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan

Bentuk Olahan Waktu Penyimpanan

(Hari) Komposisi Atmosfer

Intensitas Rata-rata Setengah kupas melintang 4 9-11% O2 dan 9-11% CO2 129.7

9-11% O2 dan 4-6% CO2 130.7

4-6% O2dan 4-6% CO2 127.0

4-6% O2 dan 9-11% CO2 132.3

21% O2 dan 0.03% CO2 136.0

Kupas penuh 2 9-11% O2dan 9-11% CO2 118.0

9-11% O2 dan 4-6% CO2 122.7

4-6% O2dan 4-6% CO2 126.0

4-6% O2 dan 9-11% CO2 127.3

21% O2 dan 0.03% CO2 127.3

Penentuan komposisi penyimpanan terbaik untuk intensitas daging buah dilakukan tanpa memperhitungkan perlakuan komposisi udara normal. Seperti penjelasan yang telah diberikan di bagian total padatan terlarut, pada perlakuan komposisi udara normal terjadi penyusutan ukuran buah yang menyebabkan

cairan sel keluar dari buah. Kondisi ini membuat permukaan daging buah menjadi mengkilap sehingga hasil yang diperoleh kemungkinan bias.

Jadi pada hari ke-4 penyimpanan, daging buah setengah kupas melintang pada komposisi atmosfer 4-6% O2 dan 9-11% CO2 mempunyai nilai intensitas

rata-rata tertinggi yaitu 132.3. Selanjutnya nilai intensitas rata-rata tertinggi kedua adalah komposisi atmosfer 9-11% O2 dan 4-6% CO2 dengan nilai 130.7.

Berdasarkan uraian mengenai komposisi atmosfer penyimpanan terbaik untuk kekerasan, total padatan terlarut serta kecerahan kulit dan daging buah duku setengah kupas melintang, terlihat komposisi atmosfer yang paling dominan untuk mempertahankan mutu adalah komposisi atmosfer penyimpanan 9-11% O2 dan

4-6% CO2. Maka komposisi atmosfer yang terbaik untuk penyimpanan ditentukan

pada komposisi atmosfer 9-11% O2 dan 4-6% CO2. Komposisi atmosfer

penyimpanan terbaik tersebut digunakan untuk menentukan jenis film kemasan yang akan digunakan serta penentuan bobot buah yang dapat dikemas pada kemasan terpilih.

Pantastico et al. (1968) mengungkapkan bahwa komposisi atmosfer penyimpanan terbaik untuk buah duku utuh adalah 5% O2 dan 0% CO2 yang

dapat bertahan selama 9 hari dengan 10.7% mengalami pencoklatan kulit buah. Sedangkan Saputra (1999) menyatakan bahwa komposisi atmosfer penyimpanan buah duku utuh pada komposisi 5% O2 dan 10% CO2 serta komposisi 10% O2

dan 5% CO2 memberikan efek memperlambat kelunakan buah, tetapi tidak dapat

mempertahankan warna kulit buah duku.

Penentuan Jenis Film Kemasan

Metode kemasan yang paling sering dipelajari untuk menyiapkan buah terolah minimal adalah kemasan menggunakan atmosfer terkendali (Laurila dan Ahvenainen, 2002). Penentuan film kemasan terpilih dilakukan berdasarkan kurva beberapa film kemasan dan udara hasil penelitian Gunadnya (1993). Komposisi atmosfer penyimpanan terbaik pada tahap penelitian sebelumnya yaitu 9-11% O2 dan 4-6% CO2 diplot dalam kurva film kemasan dan udara pada

41

yang dilalui oleh garis film kemasan, menunjukkan bahwa film kemasan tersebut sesuai untuk dipilih sebagai pengemas.

Berdasarkan metode tersebut, stretch film dan polipropilen terpilih sebagai film kemasan. Kedua jenis film kemasan tersebut selanjutnya dijadikan acuan untuk menentukan bobot buah yang dapat dikemas, dengan data ketebalan dan permeabilitas plastik kemasan didasarkan pada Gunadnya (1993).

Gambar 12 Kurva beberapa film kemasan dan udara dengan daerah modifikasi atmosfer duku utuh dan terolah minimal.

Perancangan Kemasan Atmosfer Termodifikasi Duku Terolah Minimal Perancangan bentuk kemasan atmosfer termodifikasi ditentukan berdasarkan data laju respirasi pada suhu 15 0C, komposisi gas atmosfer termodifikasi terbaik

0 3 6 9 12 15 18 21 0 3 6 9 12 15 18 21 Konsentrasi oksigen (%) Konsentrasi Karbondioksida (%) Udara Polietilen densitas rendah Polipropilen Stretch film White stretch film

Daerah MAP duku terolah

yaitu 9-11% O2 dan 4-6% CO2 serta jenis film kemasan yang sesuai adalah stretch film dan polipropilen. Luas kemasan ditentukan berukuran 11 cm x 18 cm (0.0198 m2). Berat buah yang dapat dikemas dihitung secara teoritis berdasarkan Mannaperuma et al. (1989) (persamaan 8 dan 9).

Tabel 12 Berat duku utuh dan terolah minimal yang dapat dikemas dalam kemasan stretch film

Bentuk Olahan Gas Laju Respirasi (ml/kg.jam) Koefisien Permeabilitas (ml.mil/m2.jam.atm) Atmosfer Termodifikasi (%) Berat (kg) Buah Utuh CO2 49.56 6226 4 0.173 49.56 6226 6 0.261 Buah Utuh O2 32.43 4143 9 0.532 32.43 4143 11 0.444 Setengah kupas melintang CO2 58.39 6226 4 0.147 58.39 6226 6 0.221 Setengah kupas melintang O2 53.07 4143 9 0.325 53.07 4143 11 0.271 Kupas penuh CO2 53.56 6226 4 0.160 53.56 6226 6 0.241 Kupas penuh O2 49.37 4143 9 0.350 49.37 4143 11 0.292

Tabel 13 Berat duku utuh dan terolah minimal yang dapat dikemas dalam kemasan polipropilen

Bentuk Olahan Gas Laju Respirasi (ml/kg.jam) Koefisien Permeabilitas (ml.mil/m2.jam.atm) Atmosfer Termodifikasi (%) Berat (kg) Utuh CO2 49.56 656 4 0.017 49.56 656 6 0.026 Utuh O2 32.43 229 9 0.028 32.43 229 11 0.023 Kupas melintang CO2 58.39 656 4 0.014 58.39 656 6 0.022 Kupas melintang O2 53.07 229 9 0.017 53.07 229 11 0.014 Tanpa Kulit CO2 53.56 656 4 0.016 53.56 656 6 0.024 Tanpa Kulit O2 49.37 229 9 0.018 49.37 229 11 0.015

Selain itu, data ketebalan dan permeabilitas kemasan diperoleh dari penelitian Gunadnya (1993). Ketebalan film polipropilen dan stretch film berturut- turut adalah 0.61, 0.57 mil. Sedangkan hasil penetapan permeabilitas O2 dan CO2

43

untuk polipropilen berturut-turut adalah 229 dan 656 ml.mil/m2.jam.atm serta permeabilitas O2 dan CO2 untuk stretch film yaitu 4143 dan 6226

ml.mil/m2.jam.atm. Hasil perhitungan berat buah yang dapat dikemas ditampilkan pada Tabel 12 dan 13.

Berat buah yang dapat dikemas dalam kemasan stretch film secara teoritis untuk buah utuh berkisar 0.173-0.532 kg, setengah kupas melintang berkisar 0.147-0.325 kg serta kupas penuh berkisar 0.160-0.350 kg. Sedangkan berat buah yang dapat dikemas dalam kemasan polipropilen secara teoritis untuk buah utuh berkisar 0.017-0.028 kg, setengah kupas melintang berkisar 0.014-0.022 kg serta kupas penuh berkisar 0.016-0.024 kg.

Dokumen terkait