• Tidak ada hasil yang ditemukan

Duku Manfaat dan Kandungan Kimia

Kajian yang dilakukan oleh Yacoob dan Bamroongrugsa (1992) menjabarkan kegunaan tanaman duku. Bagian tanaman yang paling banyak dimanfaatkan adalah buahnya, terutama dikonsumsi sebagai buah segar. Buah duku yang tidak mengandung biji dapat dikalengkan dalam larutan sirup. Bagian lain yang bermanfaat adalah kayunya yang berwarna coklat muda, keras dan tahan lama yang dapat digunakan untuk tiang rumah, perabotan dan sebagainya. Kulit buah yang dikeringkan di Philiphina digunakan untuk mengusir nyamuk. Kulit buah duku juga bermanfaat untuk mengobati diare karena mengandung oleoresin. Biji duku digunakan masyarakat malaysia untuk mengobati demam. Kulit kayu duku dimanfaatkan untuk mengobati disentri dan malaria, sedangkan tepung kulit kayunya digunakan untuk menyembuhkan bekas gigitan kalajengking.

Bagian buah duku yang dapat dimakan adalah sekitar 69% dari berat buah. Karbohidrat dalam buah sebagian besar dalam bentuk gula tereduksi, terutama dalam bentuk glukosa. Vitamin yang terdapat dalam buah adalah vitamin B1 dan B2 serta sedikit vitamin C. Nilai energi buah duku adalah 238 kJ/100 g. Kandungan kimia per 100 g buah lainnya ditampilkan pada Tabel 5 (Yacoob dan Bamroongrugsa, 1992).

Tabel 5 Kandungan kimia per 100 g buah duku

Kandungan Jumlah Air 84 g Protein * Lemak * Karbohidrat 14.2 g Serat 0.8 g Kadar abu 0.6 g Ca 19 mg K 275 mg

Keterangan : * ada dalam jumlah yang kecil Sumber: Yacoob dan Bamroongrugsa (1992)

Panen

Buah duku dipanen dengan cara pohon dipanjat kemudian tandan buah yang telah matang dipotong menggunakan pisau atau gunting pangkas. Pemotongan tandan buah dilakukan secara hati-hati agar tidak melukai tempat menempelnya tandan dengan pohon, karena kemungkinan pembungaan berikutnya keluar dari tempat tersebut. Penggunaan tangga dalam praktek pemanenan lebih baik daripada dengan cara pemanjatan pohon karena kerusakan tunas bunga yang masih dorman dapat ditekan serendah mungkin. Buah yang dipanen adalah buah yang telah matang penuh (Yacoob dan Bamroongrugsa, 1992).

Kematangan buah dapat dinilai dari perubahan warna kulit. Pemanenan buah yang telah matang dapat meningkatkan kualitas buah setelah panen secara signifikan. Pada umumnya kematangan buah dalam satu tandan hampir bersamaan. Jika kematangan buah dalam satu tandan tidak bersamaan akan menyebabkan kesulitan pada saat panen. Buah sebaiknya dipanen pada kondisi kering, jika dipanen dalam keadaan basah akan menyebabkannya mudah terserang jamur saat dikemas (Yacoob dan Bamroongrugsa, 1992).

Waktu panen buah singkat, yaitu sekitar 4 bulan di Philiphina dan Thailand pada bulan Juli-Oktober sampai sekitar 8 bulan di Semenanjung Malaysia pada bulan Juni-Februari. Tanaman duku dilaporkan cenderung bersifat biennial di Philiphina. Potensial hasil panen bervariasi. Pohon duku yang berumur 10 tahun dapat menghasilkan buah sebanyak 40-50 kg dan dapat meningkat menjadi 80–150 kg pada umur pohon 30 tahun. Hasil panen maksimum menurut laporan yang ada mencapai 300 kg/pohon. Rata-rata hasil panen per satuan luas lahan di Philiphina adalah 2.5 ton/ha. Sedangkan rata-rata hasil panen di Thailand untuk jenis langsat adalah 3.6 ton/ha dan jenis duku adalah 5.6 ton/ha (Yacoob dan Bamroongrugsa, 1992).

Penelitian yang dilakukan oleh Sabari (1985) mendapatkan hasil bahwa kulit buah duku akan berubah warna secara perlahan dari hijau pada saat muda menjadi berwarna kuning pada saat matang. Buah duku matang berwarna kuning keabu-abuan atau kuning kecoklatan. Tanda warna ini digunakan secara umum sebagai tingkat kematangan komersial. Pemanenan biasanya dilakukan pada pagi hari setelah embun pagi hilang. Jika panen dilakukan terlalu pagi maka akan

8

banyak butir buah yang pecah. Selain itu kulit buah yang basah lebih cepat menjadi coklat dan busuk. Sedangkan jika buah dipanen terlalu siang, maka buah akan cepat kehilangan berat karena penguapan.

Menurut Yacoob dan Bamroongrugsa (1992), duku merupakan buah yang sangat mudah rusak karena kulit buahnya akan berubah menjadi coklat dalam waktu 4 atau 5 hari setelah dipanen. Buah dapat dibiarkan dipohonnya selama beberapa hari menunggu sampai tandan-tandan lainnya juga matang, tetapi walau masih berada dipohonnya buah-buah itu tetap berubah menjadi coklat dan dalam waktu yang singkat tidak akan laku dijual di pasar.

Pascapanen

Sabari (1985) menyarankan sebaiknya buah duku yang telah dipetik ditaruh di dalam ember plastik atau wadah dari anyaman bambu atau rotan. Wadah yang telah berisi penuh buah dikerek ke bawah pohon dengan menggunakan seutas tali. Kemudian buah dikumpulkan dan disortasi di tempat yang tidak terkena sinar matahari dan diberi alas. Sortasi dilakukan terhadap duku yang telah busuk dan pecah. Setelah itu buah duku dikemas menggunakan peti kayu atau karton yang telah diberi alas koran dengan kapasitas 20 kg. Kemasan tersebut disusun di dalam truk yang biasanya berkapasitas 5 ton untuk diangkut ke daerah pemasaran.

Salah satu simpulan dari penelitian Pedro (1936) adalah penyimpanan buah duku secepatnya setelah panen dapat meminimalkan kerusakan buah sebanyak 33-66%. Kerusakan buah akan lebih besar jika dilakukan penundaan penyimpanan selama 2 hari pada suhu kamar. Penelitian yang dilaksanakan oleh Pedro (1936) tentang suhu penyimpanan buah duku, memberikan hasil kisaran suhu penyimpanan terbaik adalah 13-15.5 0C. Buah yang matang pada suhu tersebut dapat bertahan selama 13 hari dengan hanya 9.48% buah yang tidak sesuai kriteria pasar. Pada suhu di atas atau di bawah kisaran suhu tersebut, buah cepat mengalami penurunan mutu.

Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh Sabari (1985) yang menyatakan bahwa penyimpanan duku yang baik adalah pada suhu 15 0C serta dalam kantung plastik yang tertutup. Penyimpanan pada suhu di bawah atau di atas suhu tersebut

serta pada kantung plastik yang terbuka menyebabkan terjadinya pencoklatan kulit dan susut bobot yang lebih banyak.

Hasil kajian Yacoob dan Bamroongrugsa (1992) menyebutkan bahwa penyimpanan buah duku pada suhu 15 °C dan kelembaban nisbi 85-90% serta direndam dalam larutan benomil dengan konsentrasi 4g/l memungkinkan buah bertahan sampai dengan 2 minggu. Simpulan yang didapat dari penelitian Saputra (1999) adalah penyimpanan duku pada suhu 10-15 0C serta dengan perlakuan kemasan plastik berlubang-lubang, kejutan panas pada suhu 50 0C selama 10 detik yang diikuti dengan pencelupan di air dingin pada suhu 10 0C selama 60 detik serta pelapisan lilin dengan konsentrasi 8% dapat memperpanjang umur simpan buah antara 14-20 hari.

McGregor (1987) menggolongkan duku dalam kelompok buah yang sensitif terhadap chilling injury. Kelompok buah tersebut mengalami chilling injury saat ditransportasikan atau disimpan pada suhu di bawah temperatur yang direkomendasikan. Kerusakan seringkali baru terlihat pada saat suhu produk dinaikkan. Duku disarankan untuk disimpan pada suhu 11-14 0C serta pada kelembaban relatif (RH) 85-90% yang diperkirakan dapat bertahan selama 2 minggu.

Penggunaan batu apung sebagai bahan penjerap KMnO4 atau asam askorbat

serta spon dan batu apung sebagai bahan penjerap KMnO4 dan asam L-askorbat

dapat memperpanjang umur simpan duku. Umur simpan duku dapat diperpanjang menjadi 8-11 hari lebih lama dengan menggunakan bahan penjerap terebut jika dibandingkan penyimpanan tanpa kemasan. Penggunaan bahan penjerap tersebut sama baiknya dengan silica gel dan vermi kulit (Widodo, 2005).

Pola respirasi buah duku matang dengan kulit memperlihatkan buah tergolong non-klimakterik. Tetapi pola respirasi buah duku yang belum matang memperlihatkan pola klimakterik. Rata-rata karbondioksida yang dikeluarkan oleh buah duku akan makin menurun sebanding dengan makin matangnya buah. Tingkat respirasi juga makin tinggi dengan makin tingginya suhu penyimpanan (Pedro, 1936).

Sabari (1985) menyatakan bahwa buah duku yang berukuran besar mencapai puncak respirasi 48 jam setelah panen. Sedangkan duku berukuran

10

sedang mencapai puncak respirasi 54 jam setelah panen. Hal tersebut menunjukkan bahwa buah duku kecil lebih tahan simpan dibandingkan dengan buah duku berukuran besar.

Saputra (1999) menggunakan kombinasi gas N2 85%, CO2 5% dan O2 10%

serta kombinasi N2 85%, CO2 10% dan O2 5% untuk memodifikasi atmosfer

penyimpanan buah duku yang disimpan pada suhu 8 dan 12 0C. Pada kondisi tersebut tidak terjadi perubahan rasa dan aroma yang tidak enak pada daging buah walaupun terjadi perubahan kulit buah dari warna kuning ke warna coklat. Teknologi atmosfer termodifikasi disimpulkan tidak dapat mencegah pencoklatan warna kulit buah duku.

Pantastico et al. (1968) mempelajari perubahan kimia dan fisik buah duku selama penyimpanan dengan suhu rendah dan controlled atmosphere storage (CAS). Pada umur panen yang sama, buah duku yang lebih kecil mempunyai kadar jus yang lebih rendah tetapi memiliki lebih banyak kadar padatan dan asam jika dibandingkan dengan buah yang lebih besar. Pada kedua kondisi buah panen yaitu buah matang dan belum matang, rata-rata respirasi buah berukuran kecil lebih tinggi jika dibandingkan dengan buah yang berukuran besar. Buah yang diberi perlakuan dengan 0.76% benlate dan disimpan pada kondisi atmosfer 5% O2 dan 0% CO2 serta disimpan pada suhu 14.4 0C tetap dalam kondisi yang baik

setelah lebih dari 2 minggu. Konsentrasi CO2 yang tinggi meningkatkan warna

coklat kulit serta kadar asam buah duku. Pelilinan juga meningkatkan warna coklat pada kulit buah duku sehingga tidak direkomendasikan penggunaannya.

Carangal et al. (1956) menemukan bahwa lebih banyak gula pereduksi daripada gula non-pereduksi pada buah duku. Glukosa, fruktosa, sukrosa dan oligosakarida yang tidak teridentifikasi terdapat dalam buah duku setelah dianalisis menggunakan kertas kromatografi. Glukosa merupakan gula yang dominan dibanding dengan jenis lainnya.

Pengolahan Minimal

Definisi pengolahan minimal menurut Fellow (2000) dalam Ohlsson (2002) adalah tidak hanya mencakup pengawetan makanan tetapi juga mempertahankan secara luas kualitas nutrisi dan karakter cita rasa dengan mengurangi

ketergantungan kepada panas sebagai perlakuan pengawetan utama. Menurut Bruhn (2000) dalam Ohlsson (2002), konsumen makin kritis dengan penambahan bahan tambahan sintetik untuk memperlama umur simpan makanan atau meningkatkan karakteristik seperti warna dan rasa. Ohlson (2002) menambahkan bahwa teknik pengolahan minimal dibuat untuk menghadapi tantangan dalam menggantikan metode pengawetan secara tradisional tetapi juga sekaligus dapat mempertahankan kualitas nutrisi dan cita rasa. Sedangkan menurut Gregory (2005), metode baru untuk pengawetan makanan yang dapat menggantikan metode secara tradisional terus berkembang karena sebagian besar konsumen terutama di Amerika Serikat dan Eropa mulai berusaha untuk hidup sehat, alami dan serba organik.

Huxsoll dan Bolin (1989) dalam Laurila dan Ahvenainen (2002) menyatakan bahwa pengolahan minimal buah dan sayur mentah mempunyai dua tujuan yaitu:

1 Mempertahankan produk tetap segar tanpa kehilangan kualitas nutrisi.

2 Memastikan bahwa umur simpan produk cukup untuk membuat distribusi layak dilakukan dalam wilayah konsumsi.

Laurila dan Ahvenainen (2002) selanjutnya menjelaskan bahwa ciri karakteristik pengolahan minimal adalah kebutuhan untuk pendekatan yang terintegrasi, dimana bahan mentah, cara penanganan, pengolahan, pengemasan dan distribusi harus diatur dengan baik untuk membuat umur simpan bertambah selama mungkin. Unit operasi seperti pengupasan dan pengirisan membutuhkan pengembangan lebih lanjut agar dapat bekerja secara lebih halus. Perlakuan kasar selama pengolahan sehingga menyebabkan kualitas produk terganggu tidak dapat ditolelir. Kerusakan dapat dibatasi dengan penggunaan sistem pengemasan aktif dan edibel film dengan permeabilitas yang sesuai dengan laju respirasi buah dan sayur yang merupakan fokus utama arah pengembangan.

Penyiapan Buah Terolah Minimal

Menurut Laurila dan Ahvenainen (2002), metode yang sangat mudah dan tidak mahal dapat digunakan jika buah disiapkan pada hari ini dan dikonsumsi untuk besok. Tetapi jika buah dibutuhkan untuk masa simpan beberapa hari

12

bahkan untuk lebih dari satu minggu maka diperlukan metode pengolahan dan perlakuan yang lebih baik. Langkah-langkah penyiapan buah terolah minimal dirangkum sebagai berikut:

1 Kondisi bahan baku yang baik termasuk varietas, penanaman cara panen dan penyimpanan yang tepat.

2 Penerapan kebersihan, good manufacturing practices (GMP) dan hazards analitic critical control point (HACCP) yang ketat.

3 Temperatur yang rendah selama melakukan pekerjaan.

4 Pencucian dan atau pembersihan yang hati-hati sebelum dan sesudah pengupasan.

5 Penggunaan air yang baik dalam melakukan pencucian.

6 Penggunaan bahan aditif yang ringan selama pencucian untuk disinfektan atau pencegahan warna coklat.

7 Pengeringan yang hati-hati selama pengeringan setelah pencucian. 8 Pemotongan, pengirisan atau pemarutan yang hati-hati.

9 Bahan kemasan dan metode pengemasan yang tepat.

10 Temperatur dan RH yang tepat selama pendistribusian dan penjualan.

Kemasan Atmosfer Termodifikasi

Salah satu kunci keberhasilan dalam pengolahan minimal buah adalah kemasan. Metode kemasan yang paling sering dipelajari untuk menyiapkan buah terolah minimal adalah kemasan menggunakan atmosfer terkendali atau modified atmosphere packaging (MAP). Prinsip dasar dalam penerapan MAP adalah modifikasi atmosfer dapat diciptakan secara pasif dengan menggunakan bahan kemasan yang baik permeabelnya, atau secara aktif dengan menggunakan perpaduan gas tertentu dengan bahan kemasan yang permeabel. Tujuan keduanya adalah untuk menciptakan kesetimbangan gas yang optimal dalam kemasan, dimana aktifitas respirasi produk serendah mungkin tetapi tingkat konsentrasi oksigen dan karbondioksida tidak sampai merugikan bagi produk (Laurila et al., 2002).

Simpulan yang dibuat oleh Al-Ati dan Hotchkiss (2003) yaitu pengemasan atmosfer termodifikasi buah dan sayuran terolah minimal menghadapi hambatan

teknis. Hambatan tersebut terjadi karena kegagalan kemasan film yang biasa digunakan secara umum untuk menyediakan laju pertukaran O2 dan CO2 yang

optimum. Dimensi kemasan, berat produk dan volume bebas bisa dimanipulasi untuk mencapai salah satu dari tingkat konsentrasi O2 atau CO2 yang diinginkan.

Selain itu dimensi kemasan, berat produk dan volume bebas juga bisa dimanipulasi untuk mengatur waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi atmosfer yang mantap.

Hasbullah (1996) merancang sistem pengaturan komposisi gas untuk penyimpanan buah atau sayuran secara atmosfer terkendali serta sistem pengukuran laju respirasi buah atau sayuran. Rancangan ini berguna untuk penentuan kondisi atmosfer terkendali optimum untuk komoditas hortikultura yaitu untuk menentukan laju respirasi pada kondisi atmosfer terkendali dan untuk penentuan permeabilitas film plastik. Penentuan laju respirasi dan permeabilitas film plastik penting dalam sistem penyimpanan komoditas hortikultura baik secara MAP maupun CAS. Hasil pengujian menunjukkan bahwa untuk gas O2

konsentrasi hasil penetapan mendekati konsentrasi hasil analisis gas kromatografi. Sedangkan hasil penetapan gas CO2 masih berbeda jauh dari hasil analisis gas

kromatografi.

Buah Terolah Minimal dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi

Penelitian buah terolah minimal yang menggunakan kemasan atmosfer termodifikasi sudah banyak dilakukan, diantaranya adalah: Hidayat (2005) yang menyimpulkan bahwa mutu rambutan terolah minimal tanpa kulit dengan biji dikemas menggunakan stretch film serta disimpan pada suhu 10 0C dapat bertahan sampai hari ke-8. Martini (2005) menyatakan bahwa jambu biji terolah minimal tanpa biji lebih disukai daripada dengan biji, dikemas menggunakan wadah styrofoam dan stretch film dengan suhu penyimpanan sebesar 10 0C. Kondisi kemasaan tersebut dapat mempertahankan mutu jambu biji terolah minimal sampai 8 hari.

Hasil penelitian Muliansyah (2004) pada buah manggis menunjukkan bahwa buah manggis dengan kulit dibuka separuh dan ditutup kembali ada sepal kemudian dikemas dalam film propilen serta disimpan pada suhu 5 0C dapat

14

dipertahankan mutunya sampai 6 hari. Sunanto (2004) menyarankan potongan buah pepaya untuk disimpan pada suhu 5 0C dengan pengemas stretch film. Pada kondisi tersebut potongan buah pepaya masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-10. Sedangkan buah melon terolah minimal pada penelitian Yanti (2002) dapat diperpanjang umur simpannya sampai hari ke-16 dengan menggunakan strecth film yang dikombinasikan dengan suhu penyimpanan 3 0C.

Penggunaan kantung plastik dengan permeabilitas 15 cm3 O2 m-2 bar-1

24 hr-1 dan tekanan atmosfer awal 0 kPa O2 dapat memperlama umur simpan

mikrobiologi buah per yang dipotong kubus menjadi 3 minggu selama penyimpanan (Soliva-Fortuny dan Martin-Belloso, 2003). Simpulan yang dibuat oleh Andrianis (2001) tentang penyimpanan buah durian terolah minimal yaitu suhu terbaik untuk penyimpanan adalah 5 0C dengan laju respirasi paling rendah pada suhu tersebut. Konsentrasi gas O2 dan CO2 yang terbaik untuk penyimpanan

durian terolah minimal adalah 3-5% O2 dan 5-8% CO2.

Habibunnisa et al. (2001) menjelaskan bahwa pada suhu 5±2 0C, labu kuning yang dipotong berbentuk kubus kemudian diberi perlakuan larutan antimikroba yang mengandung 0.2% asam sitrat dan 0.1% potasium serta disimpan dalam kondisi atmosfer termodifikasi menggunakan kantung LDPE (Light Density Polyethilen) dapat bertahan selama 25 hari. Umur simpan tersebut berubah menjadi 10 dan 1 hari jika suhu dinaikkan menjadi 13±2 0C dan 23±2 0C. Menurut Gonzalez-Anguilar et al. (2000), campuran larutan 4-hexylresorcinol (0.001 M) ditambah D-isoascorbic acid (0.5 M) serta potassium sorbate (0.005 M) yang digabung dengan kemasan atmosfer termodifikasi berguna untuk mencegah browning, kerusakan dan pembusukan mangga terolah minimal yang disimpan pada suhu 10 0C. Penelitian Agar et al. (1999) tentang buah kiwi menghasilkan laporan bahwa potongan segar buah kiwi dapat disimpan selama rentang waktu 9-12 hari jika diberi perlakuan 1% CaCl2 atau 2% Ca Laktat, kemudian disimpan

pada suhu 0-2 0C dengan RH >90% dengan komposisi atmosfer tanpa etilen, 2-4 kPa O2 dan atau 5-10 kPa CO2.

Nasution (1999) menyatakan bahwa buah mangga arumanis terolah minimal berlapis edibel dalam kemasan atmosfer termodifikasi dapat disimpan selama 7.55 hari pada suhu penyimpanan 5 0C. Mutu kritis penilaian pada kondisi tersebut

adalah kekerasan. Sugiarta (1999) menyarankan suku salak segar berpelapis edibel disimpan dalam kemasan white stretch film dengan berat salak 0.40 kg, luas permukaan 0.0198 m2 dan volume bebas 1.80 x 10-4 m3 pada suhu 10 0C.

Budaraga (1998) menyusun standard operational procedure (SOP) untuk mangga arumanis dan salak pondoh terolah minimal. Mangga arumanis umur petik 97 hari setelah diperam 3 hari terpilih untuk buah terolah minimal. Buah mangga arumanis terolah minimal 6 iris per sisi dapat bertahan selama 3 hari pada suhu 10 0C dengan mutu kritis warna (yellowish) dan kekerasan. Sedangkan salak pondoh dipanen pada umur petik 150 hari. Buah salak pondoh terolah minimal dapat bertahan selama 4 hari pada suhu 10 0C dengan mutu kritis warna derajat putih dan kekerasan.

Jeruk besar nambangan terolah minimal dapat bertahan selama 10 hari pada suhu 10 0C dengan menggunakan kemasan polipropilen (PP) isi tiga suku buah dengan berat 159.19 g dan luasan kemasan 151.25 cm2 (Saputera, 1998). Hasil yang didapat dari penelitian Nugroho (1997) adalah peningkatan suhu berpengaruh nyata terhadap laju respirasi, susut bobot, perubahan warna dan tingkat kebusukan terhadap nenas iris. Perlakuan suhu terbaik adalah pada suhu penyimpanan 5 0C yang dapat disimpan selama 12 hari. Sedangkan jenis irisan tidak berpengaruh nyata terhadap nenas iris. Selanjutnya Sudiari (1997) mendapatkan hasil buah nangka terolah minimal termasuk kategori klimakterik karena terjadi peningkatan laju CO2 secara cepat pada jam ke-190 pada suhu

penyimpanan 10 0C. Konsentrasi campuran gas yang optimal untuk mempertahankan kesegaran buah nangka terolah minimal adalah 4-7% O2 dan

10-12% CO2 yang dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu 5 0C dengan

menggunakan kemasan stretch film.

Pemilihan Jenis Film Kemasan

Pemilihan film kemasan dengan nilai koefisien permeabilitas tertentu mempengaruhi konsentrasi kesetimbangan gas di dalam kemasan. Gunadnya (1993) menyatakan bahwa ketebalan film polietilen densitas rendah, polipropilen, oriented polypropilene, polivinil khlorida, stretch film dan white stretch film berturut-turut adalah 0.99, 0.61, 1.00, 0.95, 0.57 dan 0.58 mil. Sedangkan nilai β

16

untuk film polietilen densitas rendah, polipropilen, stretch film dan white stretch film adalah 3.60, 2.86, 1.50 dan 1.00. Nilai β merupakan perbandingan koefisien permeabilitas film kemasan terhadap gas CO2 dengan O2. Koefisien permeabilitas

film kemasan berdasarkan penelitian Gunadnya (1993) ditampilkan pada Tabel 6. Kemudian data tersebut diplot dalam kurva film kemasan dan udara pada Gambar 1. Prinsip pemilihan film kemasan adalah setiap daerah MA (modified atmosphere) bahan segar yang dilalui oleh garis kemasan, menunjukkan bahwa film kemasan tersebut sesuai untuk dipilih sebagai pengemas.

Gambar 1 Kurva beberapa film kemasan dan udara (Gunadnya, 1993). 0 3 6 9 12 15 18 21 0 3 6 9 12 15 18 21 Konsentrasi oksigen (%) Konsentrasi Karbondioksida (%) Udara Polietilen densitas rendah Polipropilen Stretch film White stretch film

Tabel 6 Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan (ml mil/m2 jam atm) (Gunadnya, 1993)

No Jenis Film Kemasan 10

0

Ca) 15 0Ca) 25 0Cb) O2 CO2 O2 CO2 O2 CO2

1 Polietilen densitas rendah - - - - 1002 3600 2 Polipropilen 265 364 294 430 229 656

3 Stretch film 342 888 473 748 4143 6226

4 White stretch film 226 422 291 412 1464 1470 a): hasil perhitungan

b)

: hasil penetapan

Pengolahan Warna

Ahmad (2005) menyatakan bahwa pengolahan warna menggunakan model warna red, green dan blue (RGB) sederhana karena informasi warna dalam komputer sudah dikemas dalam model yang sama. Salah satu cara untuk menghitung nilai warna dan menafsirkan hasilnya dalam model warna RGB adalah dengan melakukan normalisasi terhadap ketiga warna pokok. Normalisasi penting dilakukan terutama bila sejumlah citra ditangkap dengan penerangan yang berbeda-beda. Normalisasi dilakukan dengan cara menggunakan persamaan 1, 2 dan 3. B G R R r + + = ... (1) B G R G g + + = ... (2) B G R B b + + = ... (3)

Transformasi dari model warna RGB ke model warna hue, saturation dan intensity (HSI) digunakan untuk mengkonversi citra warna ke dalam bentuk yang lebih sesuai untuk pengolahan citra. Transformasi nilai tersebut menggunakan persamaan 4, 5 dan 6. Sistem HSI merupakan model warna yang dianggap paling sesuai dengan persepsi manusia dalam memandang suatu warna.

18 ) )( ( ) ( 2 2 cos 2 B G B R G R B G R H − − + − − − = ... (4) ) , , ( min 3 1 R G B B G R S + + − = ... (5) 3 B G R I = + + ... (6)

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada saat musim panen buah duku yaitu Januari sampai dengan Mei 2006. Tempat penelitian di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang dipakai dalam penentuan laju respirasi serta komposisi atmosfer penyimpanan terbaik adalah buah duku jenis Rasuan yang dipanen dari Desa Pulau Negara, Kecamatan BP Peliung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan. Penelitian validasi hasil ditentukan menggunakan buah duku jenis Singosari yang dipanen dari Kelurahan Candi Renggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur karena sulitnya pengadaan bahan baku berasal dari satu lokasi yang disebabkan tidak terjadinya panen raya. Kedua jenis duku tersebut merupakan varietas unggul nasional.

Buah duku dipanen setelah terjadi perubahan warna kulit buah hijau menjadi kuning cerah. Buah duku terlebih dahulu disortasi sesuai kriteria layak panen

Dokumen terkait