• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Tipologi Daerah Rawan Bencana Erupsi Gunung Berapi

Identifikasi tipologi daerah rawan bencana erupsi gunung berapi merupakan penentuan zona rawan bencana erupsi gunung berapi berdasarkan dengan pencapaian suatu spasial bahaya bencana tersebut terhadap sua tu daerah. Menurut Hadisantono et al (2005), bahaya gunung berapi itu dapat terjadi apabila suatu daerah pemukiman atau tata guna lahan lainnya terancam produk erupsi gunung berapi, seperti awan panas, lava, lontaran batu pijar, hujan abu, gas beracun, lahar dan lain lain.

Bahaya gunung berapi dibagi menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya sebagai akibat langsung dari pusat erupsi gunung berapi meliputi, material freatik, lontaran batu pijar, hujan abu, hujan lumpur, gas beracun, awan panas, dan aliran lava. Bahaya sekunder adalah bahaya ikutan atau yang terjadi setelah terjadinya erupsi bahaya tersebut berupa banjir lahar dingin. Menurut Hadisantono (2005) dalam Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung berapi Tangkuban Perahu, Kecamatan Lembang berpotensi bahaya primer gunung berapi berupa lontaran batu pijar dan hujan abu lebat. Sedangkan bahaya sekundernya adalah banjir lahar dingin.

Bahaya Primer

Menurut Hadisantono et al (2005) Bahaya primer berupa lontaran batu pijar dan hujan abu lebat yang akan terjadi yaitu seluas radius ± 5 km dari pusat erupsi. Data ini diperoleh dari pengamatan geologi yang juga mengungkapkan umur aktivitas magmatis Gunung Tangkuban Perahu yang berkisar antara 17 700 hingga 8 700 tahun yang lalu. Pernyataan itu juga menyimpulkan bahwa Gunung Tangkuban Perahu adalah Gunung yang aktivitas magmatisnya termuda. Dalam hal ini wilayah lembang yang terkena dampak bahaya primer gunung berapi adalah daerah cikole pada lereng tenggara gunung tangkuban perahu.

Bahaya Sekunder

Kawasan yang berpotensi dilanda banjir lahar dingin adalah sepanjang sungai dengan tebing rendah terutama pada tikungan sungai. Aliran lahar ini membawa material hasil erupsi dari puncak gunung setelah terjadinya hujan lebat. Daerah yang terkena banjir lahar dingin ini di wilayah lembang yaitu sepanjang sungai Cikole, Cibogo, Cicalung, Cikapundung, dan Cihideung serta daerah yang terkena bahaya sekunder secara keseluruhan adalah daerah Cikahuripan, Gudang Kahuripan, Jayagiri, Cikole, Cibogo, Langensari,Mekarwangi, dan Lembang.

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 yang disajikan dalam Tabel 5 sebelumnya, tipologi kawasan rawan bencana letusan gunung berapi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) tipe yang masing masing penentuannya dipengaruhi dengan terjadi atau tidaknya suatu bahaya bencana erupsi gunung berapi terjadi pada suatu desa. Dalam hal ini penentuan tipologi daerah rawan bencana erupsi gunung berapi didasarkan menurut desa di Kecamatan Lembang disajikan dalam Gambar 16.

35

36

Berdasarkan penyajian Gambar 16 sebelumnya, Kecamatan Lembang tidak memiliki daerah yang paling rawan bencana erupsi gunung berapi yaitu tipologi C. Namun, daerah tipologi B berada di Desa Cikahuripan, Desa Jayagiri, Desa Cikole dan Desa Cibogo karena merupakan daerah jangkauan hujan abu yang paling lebat dan kemungkinan terkena batu pijar. Selain itu, desa desa tersebut berpotensi terkena banjir lahar dingin karena sungai Cikole, Cibogo, Cicalung, Cikapundung, dan Cihideung yang mengalirkan lava. Desa yang termasuk tipologi A adalah Desa Sukajaya dan Desa Cikidang karena hanya memiliki kemungkinan terjadi hujan abu dan batu pijar sedangkan Desa Lembang, Desa Gudang Kahuripan, Desa Mekarwangi, dan Desa Langensari hanya memiliki kerawanan terhadap aliran banjir lahar dingin dikarenakan lokasi administrasi desa berdekatan dengan sungai Cicalung, Cikapundung, dan Cihideung. Sedangkan Desa Wangunharja, Desa Cibodass, Desa Suntenjaya, Desa Kayu Ambon, Desa Wangunsari, dan Desa Pagerwangi tidak termasuk kedalam tipologi daerah rawan bencana erupsi gunung berapa namun tidak menutup kemungkinan bahwa keadaan lingkungan pada setiap desa tersebut memiliki resiko bencana.

Analisis Tingkat Kerentanan (vulnerability)Bencana

Bencana alam adalah suatu interaksi dari bahaya lingkungan/alam dengan kerentanan bencana (Awotona,1997). Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu keadaan yang ditentukan oleh faktor faktor atau proses proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya (hazard). Namun dalam penelitian ini, hanya aspek spasial yang menjadi bahan analisis. Hal itu dikarenakan untuk mendukung konsep mitigasi yang tujuannya lebih di arahkan pada identifikas i daerah daerah rawan bencana, mengenali pola pola yang dapat menimbulkan kerawanan dan melakukan mitigasi secara struktural dan non struktural. Tingkat kerentanan yang akan ditinjau adalah kerentanan alam.

Dasar dari analisis ini ditinjau dari bahaya gunung berapi yaitu bahaya primer (utama) dan bahaya sekunder (ikutan). Potensi kerentanan yang dianalisis adalah bahaya sekunder (ikutan) seperti banjir lahar yang tingkat resikonya dipengaruhi dengan banyaknya material abu vulkanik dan bekas aliran lava yang tersapu oleh hujan lebat, longsor tanah yang disebabkan oleh gempa vulkanik terhadap kepekaan jenis tanah di suatu kemiringan tana h tertentu atau longsor yang disebabkan oleh menumpuknya abu vulkanik yang bersifat lengang dan gempang tergerus air dalam curah hujan tertentu dan pada kemiringan tertentu pula. Berdasarkan pernyataan diatas, terdapat variabel yang menentukan tingkat kerawanan bencana meliputi tingkat curah hujan, persentase kemiringan lahan, tingkat ketinggian daratan dan jenis tanah. Sela njutnya variabel tersebut akan dianalisis secara deskriptif spasial.

Analisis Pengaruh Jenis Tanah Terhadap Tingkat Kepekaan Bahaya Longsor

Menurut Bappeda Kabupaten Bandung Barat (2009) pada penyajian Gambar 9 sebelumnya menjelaskan bahwa Kecamatan Lembang memiliki empat kategori daerah berdasarkan jenis tanah, yaitu 1) daerah yang memiliki jenis tanah Andosol berwarna coklat dan Regosol coklat, 2) daerah yang memiliki jenis tanah

37 Andosol berwarna coklat, 3) daerah yang memiliki jenis tanah Regosol kelabu dan Litosol, dan 4) daerah yang memiliki jenis tanah Latosol coklat.

Menurut Sarwono (2007), tanah Andosol merupakan tanah yang pada umumnya berwarna hitam (epipedon mollik atau umbrik) dan mempunyai horizon kambik, bulk density (kerapatan limbak) kurang dari 0.85 g/cm3, banyak mengandung bahan amorf atau lebih dari 60% terdiri dari abu vulkanik dan bahan pyroclastic. Jenis tanah andosol yang ada di Kecamatan Lembang berwarna coklat sehingga jenis tanah ini berada pada epipedon mollik atau umbrik yang berada pada lapisan atas yaitu horizon A yang mengandung bahan organik lebih dari 1% (0.6% C–Organik), tebal 18 cm atau lebih, memiliki struktur tanah gra nul atau remah, kejenuhan basa lebih dari 50% dan memiliki warna lembab dengan value kurang dari 3. Menurut Munsell Soil Color Chart dalam Arsyad (1979), warna yang memiliki value kurang dari 3 adalah warna yang gelap dan dalam klasifikasi karakteristik lahan, lapisan permukaan tanah yang berwarna coklat memiliki drainase tanah yang sangat buruk.

Menurut Sarwono (2007), tanah Latosol adalah tanah yang memiliki struktur liat dengan tekstur gembur, gumpal, dan remah. Memiliki kejenuhan kurang dari 50% sehingga ketersediaan unsur hara sedang. Dengan tektur tanah yang liat dan warna actual tanah di Kecamatan Lembang adalah coklat, maka pengaruh tanah latosol terhadap kepekaan longsor adalah pada drainase yang kurang baik.

Menurut Sarwono (2007), tanah Regosol adalah tanah yang memiliki tekstur kasar dengan kadar pasir lebih dari 60%, horison pencirinya adalah epipedon ochrik, epipedon histik dan sulfurik. Epipedon ochirk adalah horison berwarna terang value lebih dari 3, bahan organik kurang dari 1% atau keras. Epipedon histik adalah horison permukaan dengan tebal 20–40 cm yang mengandung bahan organik tinggi, sedangkan horison bawah penciri sulfurik adalah horison yang banyak mengandung sulfat masam (cat clay) dengan ph kurang dari 3.5 dan terdapat banyak karatan jarosit. Jenis tanah regosol yang terdapat pada Kecamatan Lembang yaitu regosol yang berwarna coklat dan kelabu. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa regosol yang berwarna kelabu dapat di klasifikasikan kedalam horison epipedon ochirk sedangkan regosol yang berwarna coklat dapat d klasifikasikan kedalam horison epipedo n histik dan bersifat horizon sulfurik karena daerah jenis tanah ini berdekatan pada pusat erupsi yang menghasilkan zat sulfur. Tanah Litosol adalah jenis tanah yang berada pada lapisan bawah yang merupakan endapan tua didominasi dengan bahan mineral yang rendah akan unsur hara dan hanya memilki kedalaman kurang dari 20 cm. Di bawah lapisan ini merupakan batuan padu .

Berdasarkan analisis diatas, jenis tanah sangat berpotensi terhadap resiko bencana longsor. Hal itu dapat diketahui dari drainase tanah yang dipengaruhi dengan kemampuan daya serap air dan kerapatan partikel masing–masing jenis tanah. Jenis tanah pada Kecamatan Lembang terbentuk dari proses pengendapan bahan bahan vulkanik dan terdapat pada horizon lapisan atas. Bahan vulkanik yang mengendap tersebut memiliki banyak kandungan bahan organik sehingga rata–rata tekstur tanah dan strukturnya sangat peka terhadap bahaya longsor. Keberadaan jenis tanah tersebut pada horizon lapisan atas mengakibatkan banyaknya jumlah perpindahan tanah atau longsoran tanah. Hal tersebut semakin menambah tingkat kerawanan bencana pada Kecamatan Lembang.

38

Berdasarkan penyajian Tabel 6 sebelumnya mengenai tingkat kepekaan jenis tanah terhadap bahaya longsor, setiap jenis tanah yang terdapat pada Kecamatan Lembang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda–beda. Pada kategori daerah jenis tanah Andosol coklat dan Regosol coklat memiliki tingkat kepekaan terhadap bahaya longsor yang sangat peka. Pada kategori daerah jenis tanah Andosol coklat memiliki tingkat kepekaan terhadap bahaya longsor yang peka. Pada kategori daerah jenis tanah Latosol coklat memiliki tingkat kepekaan terhadap bahaya longsor yang agak peka. Kemudian pada kategori daerah jenis tanah Regosol kelabu dan Litosol memiliki tingkat kepekaan terhadap bahaya longsor yang sangat peka. Tingkat kepekaan jenis tanah terhadap bahaya longsor tersebut mempersempit setiap kategori daerah jenis tanah menjadi tiga kategori daerah tingkat kepekaan jenis tanah terhadap bahaya longsor. Hal it u juga dapat disimpulkan bahwa pada kategori daerah jenis tanah Andosol coklat dan Regosol coklat dan pada kategori daerah jenis tanah Regosol kelabu dan Litosol memiliki tingkat kerentanan terhadap bencana yang tinggi. Pada kategori daerah jenis tanah andosol coklat memiliki tingkat kerentanan terhadap bencana yang sedang, dan pada kategori daerah jenis tanah Latosol coklat memiliki tingkat kerentanan terhadap bencana yang rendah. Peta analisis pengaruh jenis tanah terhadap tingkat kepekaan bahaya longsor disajikan dalam Gambar 17.

Analisis Pengaruh Ke miringan Tapak Terhadap Tingkat Kepekaan Bahaya Longsor

Menurut Bappeda Kabupaten Bandung Barat (2009) pada penyajian Gambar 5 sebelumnya bahwa Kecamatan Lembang memiliki tiga kategori kemiringan tapak yaitu >40%, antara 15–25%, dan 0–8%. Daerah yang memiliki kemiringan tapak >40% berada dari sebelah Barat Laut menyusuri tengah Kecamatan Lembang hingga di sebelah tenggara Kecamatan Lembang meliputi sebagian Desa Jayagiri, Desa Cikahuripan, Desa Cikole, Desa Cikidang, Desa Cibogo, Desa Langensari, Desa Mekarwangi, Desa Cibodas, Desa Wangunharja dan Desa Suntenjaya. Daerah yang memiliki kemiringan tapak antara 15–25% berada di hampir seluruh Kecamatan Lembang baik meliputi sebagian luas desa maupun seluruh luas desa. Daerah yang memiliki kemiringan tapak antara 0–8% sebagian berada Desa Cibodas, Desa Wangunharja, Desa Lembang, Desa Gudang Kahuripan, Desa Sukajaya, dan Cikahuripan.

Berdasarkan penyajian Tabel 7 sebelumnya mengenai kelas kemiringan tapak, persentase kemiringan tapak mewakili berapa derajat kemiringan suatu tapak dari puncak lereng hingga kaki lereng. Ketiga kategori kemiringan tapak yang masing masing memiliki keterangan datar, agak curam, dan sangat curam. Hal itu dapat menyimpulkan bahwa pada kategori kemiringan tapak >40% memiliki tingkat kerentanan terhadap bencana yang tinggi, pada kategori kemiringan tapak antara 15–25% memiliki tingkat tingkat kerentanan terhadap bencana yang sedang, dan pada kategori kemiringan tapak antara 0–8% memiliki tingkat tingkat kerentanan terhadap bencana yang rendah. Peta analisis pengaruh kemiringnan tapak terhadap tingkat kepekaan bahaya longsor disajikan dalam Gambar 18.

39 Gambar 17 Peta analisis pengaruh jenis tanah terhadap tingkat kepekaan bahaya longsor

40

41

Analisis Pengaruh Curah Hujan Terhadap Tingkat Kerentanan Bahaya Banjir Lahar Dingin

Menurut Bappeda Kabupaten Bandung Barat (2009), Kecamatan Lembang menjadi tiga kategori curah hujan berdasarkan jumlahnya yaitu 1500–2000 mm/tahun, 2000–2500 mm/tahun, dan 2500–3000 mm/tahun. Curah hujan sebanyak 1500–2000 mm/jam tersebar di sebelah Barat, Barat Daya, dan Selatan Kecamatan Lembang meliputi Desa Gudang Kahuripan, Desa Wangunsari, Desa Pagerwangi, dan Desa Mekarwangi. Curah hujan sebanyak 2000–2500 mm/jam tersebar di sebelah Barat, Tengah, dan Tenggara Kecamatan Lembang meliputi Desa Sukajaya, Desa Cikahirupan, Desa Lembang, Desa Jayagiri, Desa Cibogo, Desa Kayuambon, Desa Langensari, dan Desa Mekarwangi. Curah hujan sebanyak 2500–3000mm/jam tersebar di Utara, Timur Laut, dan Timur Kecamatan Lembang meliputi Desa Jayagiri, Desa Cibogo, Desa Cikole, Desa Cikidang, Desa Wangunharja, Desa Suntenjaya, Desa Cibodass, sebagian Desa Cikahuripan dan Desa Sukajaya.

Menurut grafik curah hujan yang disajikan dalam Gambar 13 sebelumnya, menjelaskan bahwa terjadinya peningkatan curah hujan pada tahun ke tahun, mengingat bahwa isu global pemanasan suhu bumi yang menyebabkan perubahan cuaca ekstrim sehingga tidak menutup kemungkinan curah hujan akan ada pada tingkat ekstrim. Maka dari itu secara spasial daerah curah hujan yang memiliki tingkat kerentanan terhadap bencana tinggi adalah daerah yang memiliki curah hujan antara 2500–3000mm/tahun, tingkat kerentanan terhadap sedang adalah daerah yang memiliki curah hujan antara 2000–2500mm/tahun dan daerah yang tingkat kerentanan terhadap bencana rendah adalah daerah yang memiliki curah hujan 1500–2000mm/tahun. Peta analisis pengaruh curah hujan terhadap tingkat kerentanan bahaya banjir lahar dingin disajikan dalam Gambar 19.

Analisis Pengaruh Ketinggian Tapak Terhadap Tingkat Kerentanan Bahaya Banjir Lahar Dingin

Menurut Bappeda Kabupaten Bandung Barat (2009), Kecamatan Lembang dikelompokan menjadi tiga kategori ketinggian yaitu antara 1500–2000 m dpl, antara 1000–1500 m dpl, dan antara 500–1000 m dpl. Daerah yang memiliki ketinggian antara 1500–2000 m dpl berada di sebelah Barat Laut Kecamatan Lembang meliputi Desa Jayagiri, Desa Cikahuripan, dan Desa Sukajaya serta dekat dengan pusat erupsi Gunung Tangkuban Perahu. Daerah yang memiliki ketinggian antara 1000–1500 m dpl berada di hampir seluruh Kecamatan Lembang. Daerah yang memiliki ketinggian antara 500–1000 m dpl berada di sebelah selatan Kecamatan Lembang yaitu Desa Mekarwangi.

Pola ketinggian yang di deskripsikan secara spasial pada gambar yaitu ketinggian tertinggi ada pada pusat erupsi yaitu Gunung Tangkuban Perahu yang berada di sebelah barat laut, lalu menurunkan ketinggian secara menyebar menuju arah Timur, Tenggara, dan Selatan Kecamatan Lembang. Pola ketinggian tersebut menjelaskan tentang acuan secara spasial bahwa aliran lahar baik dari pusat erupsi maupun banjir luapan sungai hasil aliran lahar memiliki orientasi dari arah Barat Daya menyebar menuju arah Timur, Tenggara, dan Selatan Kecamatan Lembang. Peta analisis pengaruh ketinggian tapak terhadap tingkat kerentanan bahaya banjir lahar dingin disajikan pada gambar 20.

42

43

44

Penyajian Peta analisis pengaruh curah hujan terhadap tingkat kerentanan bahaya banjir lahar dingin dalam Gambar 20 sebelumnya menunjukan Tingkat kerentanan terhadap bencana pada aspek ketinggian ini juga sangat dipengaruhi dengan kondisi curah hujan pada suatu daerah. Keterkaitan aspek ketinggian dan aspek curah hujan ini sangat menentukan nilai resiko bencana pada daerah tersebut. Menurut Lavigne dkk (2000), resiko bencana tertinggi pada aliran lahar yaitu pada ketinggian antara 600–450 m dpl. Oleh karena itu tingkat kerentanan terhadap bencana tertinggi ada pada daerah dengan ketinggian antara 500–1000 m dpl, tingkat kerentanan terhadap bencana sedang terdapat pada daerah dengan ketinggian antara 1000–1500 mdpl, dan daerah yang memiliki tingkat kerentanan terhadap rendah adalah daerah dengan ketinggian antara 1500–2000 m dpl.

Overlay

Hasil analisis tingkat kerentanan terhadap bencana menghasilkan beberapa informasi melalui dari metode deskriptif spasial. Masing–masing informasi tersebut merupakan parameter dari kriteria analisis yang dibedakan berdasarkan tingkat resiko bencana yang nantinya akan dikonversikan ke dalam angka (skor). Penentuan skor pada setiap kriteria analisis disajikan pada Tabel 18. Hal itu akan mempermudah proses overlay. Pada proses overlay semua informasi dalam bentuk skor akan saling dikomposisikan menjadi suatu kompos isi informasi spasial yang baru yaitu peta komposit.

Peta komposit adalah suatu data spasial yang memiliki beragam informasi yang berkaitan dengan parameter analisis yang telah memalui proses overlay atau tumpang tindih. Peta komposit terdiri dari zonasi zonasi baru yang selanjutnya akan dikategorikan ke bentuk yang sederhana berdasarkan total skor yang disajikan pada Tabel 19. Penyederhanaan tersebut akan menghasilkan data spasial yang baru yang berupa blok plan pada proses sintesis. Peta komposit disajikan dalam Gambar 21.

Tabel 18 Penentuan skor pada setiap kriteria analisis No Kriteria Parameter Skor Keterangan 1 Pengaruh jenis tanah terhadap tingkat resiko bencana Daerah jenis tanah andosol coklat dan regosol coklat

3 Memiliki tingkat kerentanan bencana ―tinggi‖ karena jenis tanah sangat peka terhadap bahaya longsor

Daerah jenis tanah litosol dan regosol kelabu

3 Memiliki tingkat kerentanan bencana ―tinggi‖ karena jenis tanah sangat peka terhadap bahaya longsor

Daerah jenis tanah andosol coklat

2 Memiliki tingkat kerentanan bencana ―sedang‖ karena jenis tanah peka terhadap bahaya longsor

Daerah jenis tanah latosol coklat

1 Memiliki tingkat kerentanan bencana ―rendah‖ karena jenis tanah agak peka terhadap bahaya longsor

45 Lanjutan Tabel 18 Penentuan skor pada setiap kriteria analisis

No Kriteria Parameter Skor Keterangan 2 Pengaruh kemiringan tapak terhadap tingkat resiko bencana daerah dengan persentase kemiringan >40%

3 Memiliki tingkat kerentanan bencana ―tinggi‖ karena kemampuan

meningkatkan laju aliran permukaan (run off) sangat tinggi dan

kemungkinan terjadinya longsor tinggi

daerah dengan persentase kemiringan antara 15 –5%

2 Memiliki tingkat kerentanan bencana ―sedang‖ karena kemampuan

meningkatkan laju aliran permukaan (run off) agak tinggi dan

kemungkinan terjadinya longsor kecil

daerah dengan persentase kemiringan antara 0–8%

1 Memiliki tingkat kerentanan bencana ―rendah‖ karena kemampuan

meningkatkan laju aliran permukaan (run off) rendah dan kemungkinan terjadinya longsor tidak ada 3 Pengaruh curah hujan terhadap tingkat resiko bencana Daerah yang memiliki curah hujan antara 2500–3000 mm/tahun

3 Memiliki tingkat kerentanan bahaya yang ―tinggi ― karena menghasilkan debit air tinggi sehingga memiliki kemampuan tinggi untuk membawa partikel pasca erupsi

Daerah yang memiliki curah hujan antara 2000–2500 mm/tahun

2 Memiliki tingkat kerentanan bahaya ―sedang ― karena menghasilkan debit air sedang sehingga namun memiliki kemampuan untuk membawa

partikel pasca erupsi dan Daerah yang

memiliki curah hujan 1500– 2000 mm/tahun

1 Memiliki tingkat kerentanan bahaya yang ―rendah‖ karena menghasilkan Debit air rendah sehingga memiliki kemampuan rendah untuk membawa partikel pasca erupsi

4 Pengaruh Ketinggian terhadap tingkat resiko bencana Daerah dengan ketinggian antara 500– 1000 mdpl

3 Memiliki tingkat kerentanan bencana yang ―tinggi― karena merupakan tempat terendah yang menjadi arah aliran lahar atau luapan banjir akibat sedimentasi lahar pada sungai dan penumpukan partikel pasca erupsi yang terbawa dari dataran tertinggi Daerah dengan

ketinggian antara 1000– 500 mdpl

2 Memiliki tingkat kerentanan bencana ―sedang‖ karena pada ketinggian ini menjadi aliran banjir tingkat

menengah karena terus mengalir menuju daratan yang lebih rendah daerah dengan

ketinggian antara 1500– 2000 mdpl

1 Memiliki kerentanan bencana yang ‖rendah‖ karena pada ketinggian ini menjadi awal mengalirnya lava dan belum menjadi bahaya lahar dan banjir yang meluas.

Sumber: Albu m Peta RTRW BAPPEDA Bandung Barat. (2009), Sarmono(2007) ,Lavigne dkk (2000) dan Permenpu (2007)

46

Tabel 19 Skor tingkat kerentanan bencana pada zona zona peta komposit Zona

Skor Tingkat Kerentanan Bencana

Total Skor Pengaruh jenis tanah Pengaruh kemiringan tapak Pengaruh ketinggian Pengaruh Curah Hujan C1 3 3 1 3 10 C2 3 2 1 3 9 C3 3 1 1 3 8 C4 3 1 1 2 7 C5 3 3 1 2 9 C6 2 2 1 3 8 C7 2 2 2 3 9 C8 2 1 1 2 6 C9 2 3 1 2 8 C10 2 3 1 2 8 C11 2 2 2 2 8 C12 2 2 1 2 7 C13 2 3 2 3 10 C14 2 1 2 2 7 C15 2 3 2 2 9 C16 2 2 2 2 8 C17 2 2 2 2 8 C18 2 2 2 2 8 C19 2 3 2 2 9 C20 2 3 2 3 10 C21 3 3 2 3 11 C22 3 2 2 3 10 C23 2 1 2 1 6 C24 2 2 2 1 7 C25 2 1 2 1 6 C26 2 1 2 2 7 C27 2 2 2 2 8 C28 2 3 2 2 9 C29 2 2 2 3 9 C30 2 1 2 2 7 C31 2 1 2 3 8 C32 2 2 2 3 9 C33 3 1 2 3 9 C34 2 2 2 3 9 C35 2 3 2 3 10 C36 3 3 2 3 11 C37 1 2 2 1 6 C38 1 2 2 2 7 C39 1 2 3 1 7 C40 1 3 2 2 8 C41 1 2 3 2 8 C42 1 2 3 1 7

Gambar 21 Peta Komposit

47

Sintesis

Berdasarkan hasil overlay, pada Tabel 19 menunjukan bahwa setiap akumulasi parameter analisis menghasilkan total skor kerentanan terhadap bencana. Tahap salanjutnya adalah melakukan uji kecendrungan untuk menginterpretasikan data. Tahap ini memperoleh rata rata skor yang dibandingkan dengan skor ideal untuk selanjutnya interval skor yang didapatkan kemudian dikategorikan dalam interpretasi tingkat kerentanan terhadap bencana. Interpretasi tingkat kerentanan terhadap bencana merupakan klasifikasi skor dari total skor tersebut. Rumus klasifikasi skor menggunakan rumus metode uji statistika

� � − � �� � � = (� � +� � )

2 , � � ��� � � =

(� � −� � )

6

dengan X maks merupakan total skor maksimum ideal yaitu 12 (dua belas) dan X min merupakan total skor minimum ideal yaitu 1 (satu). Interpretasi untuk klasifikasi skor yaitu, apabila �+ 1.5 � >� sehingga nilai µ memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana, apabila � −0.5 � <� >�+ 0.5 ( �)

sehingga nilai µ memiliki tingkat kerentanan sedang terhadap bencana dan apabila

� <� −1.5( �) sehingga nilai µ memiliki tingkat kerentanan rendah terhadap bencana dengan µ merupakan total skor aktual yan dihasilkan dari data komposit.

Penerapan rumus klasifikasi skor, � � − � �� � � =(12+1)

2 = 6.5

dan � � ��� � � =(12−1)

6 = 1.84 maka interpretasi klasifikasi skor

adalah apabila 6.5 + 1.5 1.84 >� ,9.26 >� sehingga nilai µ memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana, apabila 6.5−0.5 1.84 <� > 6.5 + 0.5 (1.84) , 5.58 <�> 7.42 sehingga nilai µ memiliki tingkat kerentanan sedang terhadap bencana, dan apabila �< 6.5−1.5(1.84) , � < 3.74 sehingga nilai µ memiliki tingkat kerentanan rendah terhadap bencana.

Berdasarkan hasil penerapan rumus klasifikasi skor tersebut, Kecamatan lembang memiliki skor tingkat resiko bencana sedang hingga tinggi tanpa skor rendah karena range total skor dalam data komposit hanya memiliki total skor 6

Dokumen terkait