• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bencana

Menurut Undang–Undang (UU) No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh factor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut menyatakan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam dan faktor manusia. Oleh karena itu UU No. 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan sebagai bencana alam.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Kejadian bencana merupakan peristiwa bencana yang terjadi dan dicatat berdasarkan tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban dan/ataupun kerusakan. Jika terjadi bencana pada tanggal yang sama dan melanda lebih dari satu wilayah, maka dihitung sebagai satu kejadian (Badan Nasional Penaggulangan Bencana 2012).

Letusan Gunung Berapi

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2012 letusan gunung berapi merupakan bagian dari aktifitas vulkanik yang dikenal dengan istilah ―erupsi‖. Hampir seluruh kegiatan gunung berapi berkaitan dengan zona kegempaan aktif dikarenakan berhubungan dengan batas lempeng. Pada batas lempeng ini memiliki perubahan tekanan dan suhu yang sangat tinggi sehingga mampu melelehkan material di sekitarnya yang merupakan cairan pijar (magma). Magma akan mengintrusi batuan atau tanah di sekitarnya melalui rekahan– rekahan mendekati permukaan bumi. Setiap gunug memiliki karakteristik tersendiri berdasarkan bahaya yang terkandung. Bahaya letusan gunung berapi di bagi menjadi dua berdasarkan waktu kejadiannya, yaitu sebagai berikut:

Bahaya Utama (Prime r)

1. awan panas, yang merupakan campuran material letusan antara gas dan bebatuan (segala ukuran) terdorong kebawah menyusuri lereng gunung. Suhunya sangat tinngi mencapai 300–700ºC dengan kecepatan > 70km/jam (tergantung kemiringan lereng),

2. lontaran material pijar, yang terjadi ketika letusan. Jauh lontaran tergantung energi dan mencapai radius ratusan meter jauhnya. Lontaran ini berupa material partikel berdiameter >10 cm dengan suhu > 200ºC,

3. hujan abu lebat, yang terjadi ketika letusan gunung berapi sedang berlangsung, merupakan material halus yang diterbangkan oleh angin yang bersifat asam dan membahayakan pernafasan, mata, mencamari air, merusak logam dan mematikan tumbuhan,

5 kental yang bersuhu tinggi antara 700–1200ºC. Karena cair maka lava mengalir mengikuti lereng dan membakar apa saja yang di laluinya dan bila lava sudah dinin akan menjadi batuan beku,

5. gas racun, munculnya tidak selalu di dahului oleh letusan gunung berapi sebab gas ini dapat keluar dari rekahan–rekahan yang terdapat dari daerah gunung berapi. Gas utama yang biasa muncul adalah CO2, H2S, HCl, SO2 dan CO. Gas

yang kerap menimbulkan kematian adalah CO2. Gunung yang mengandung

banyak gas beracun adalah Gunung Berapi Tangkuban Perahu, Gunung Berapi Dieng, Gunung Ciremai, dan Gunung Berapi Papandayan, serta

6. tsunami, umumnya dapat terjadi pada gunung berapi pulau, dimana saat letusan terjadi material material yang akan memberikan energy besar yang dapat mendorong air laut ke arah pantaisehingga terjadi gelobang tsunami, sebagai contoh kasus letusan Gunung Krakatau tahun 1883.

Bahaya Ikutan (Sekunder)

Bahaya ikutan letusan gunung berapi adalah bahaya yang terjadi setelah proses peletusan berlangsung. Bila suatu gunung berapi meletus akan terjadi penumpukan material dalam berbagai ukuran di puncak dan lereng bagian atas. Pada saat musim hujan tiba, sebagaian material tersebut akan terbawa oleh air hujan dan terciptalah adonan lumpur yang turun mennyusuri lembah sebagai banjir bebatuan, yang di sebut lahar.

Sejarah Gunung Tangkuban Pe rahu

Menurut Hadisantoro et al (2005), Gunung Tangkuban Perahu yang berada pada ketinggian 2 084 m dpl. Gunung Tangkuban Perahu adalah gunung berapi strato tipe A yang terletak di Jawa Barat. Posisi Gunung Tangkuban Perahu berada pada 6o46’ LS dan 107o36’ BT. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang umur gunung berapi di jawa barat berdasarkan erupsi absolute dan gunung tangkuban perahu adalah gunung berapi yang termuda. Sejarah kegiatan Gunung Berapi Tangkuban Perahu disajikan pada Tabel 1.

Kegiatan Gunung Tangkuban Pe rahu

Menurut Kusamadinata (1979) bahwa masa erupsi gunung berapi dapat dibagi tiga berdasarkan coraknya yaitu:

1. fase esplosif yang menghasilkan piroklastik dan pembentukan lahar,

2. fase efusif yang menghasilkan banyak aliran lava bersifat andesit basaltis, dan 3. fase pembentukan atau pertumbuhan tangkuban perahu.

Mitigasi Bencana

Menurut Peraturan Pemerintahan Menteri Dalam Negeri No. 33 (2006), mitigasi didefinisikan sebagai upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari bencana baik bencana alam, bencana ulah manusia maupun gabungan dari keduanya dalam suatu negara atau masyarakat. Mitigasi bencana yang merupakan bagian dari manajemen penanganan bencana, menjadi salah satu tugas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian rasa aman dan perlindungan dari ancaman bencana yang mungkin dapat terjadi.

6

Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana yaitu, 1) tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana; 2) sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana; 3) mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul; serta 4) pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana.

Perencanaan

Menurut Gold (1980), perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut. Perenca naaan lanskap merupakan suatu bentuk produk utama dari suatu kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap ini merupakan kegiatan penataan lahan berdasarkan pada lahan (land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai. Selain itu, perencanaan merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam

Tabel 1 Sejarah kegiatan Gunung Berapi Tangkuban Perahu

Tahun Kegiatan

1829 Erupsi abu dan batu dari kawah Ratu dan Domas 1846 Terjadi erupsi dan terjadi peningkatan kegiatan

1896 Terbentuk fumarol baru di sebelah utara kawah Badak dari kawah Ratu 1910 Asap membumbung tinggi 2 km di atas dinding kawah, erupsi berasal

dari kawah Ratu

1926 Erupsi freutik di kawah Ratu membentuk lubang ecome 1935 Lapangan fumarol baru di sebut badak terjadi, 150 m kearah 1952 Erupsi abu yang di dahului oleh erupsi hydrothermal (freatik) 1957 Erupsi freatik di kawah Ratu, terbentuk lubang kawah baru 1961 Erupsi freatik

1965 Erupsi freatik 1967 Erupsi freatik

1969 Erupsi freatik didahului erupsi lemah yang manghasilkan abu 1971 Erupsi freatik

1983 Awan abu membumbung setinggi 150 m di atas kawah Ratu 1992 Peningkatan kegiatan kuat dengan gempa seismik dangkal dengan

erupsi freatik kecil

1994 Erupsi freatik di kawah baru 1999 Peningkatan kegiatan 2002 Peningkatan kegiatan 2005 Peningkatan kegiatan 13 Agustus

2012

Aktivitas gempa vulkanik Gunung Tangkuban Perahu yang ditandai oleh makin meningkatnya jumlah harian Gempa Vulkanik Dangkal (VB) dan Gempa Vulkanik Dalam (VA) diikuti dengan gempa tremor 23 Agustus

2012

Status kegiatan Gunung Tangkuban Perahu dinaikkan dari Normal (Level I) menjadi Waspada (Level II)

7 yang fungsional, estetika dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan termasuk kesehatannya.

Menurut Simonds (1983), proses perencanaan dan perancangan merupakan proses yang dipakai sebagai dasar dalam merencana dan merancang. Proses ini meliputi enam tahap, yaitu:

1.commission, tahap melakukan kegiatan yang berhubungan dengan persetujuan kontrak dengan klien dalam bentuk tertulis sebagai dasar pegangan pelaksanaan tugas;

2.research, tahap pengumpulan berbagai informasi yang didapatkan, berupa kegiatan survei, pengumpulan data, wawancara, obser vasi, dan pembuatan dokumentasi;

3.analysis, tahap analisis terhadap tapak dengan pene ntuan kendala dan potensi tapak;

4.synthesis, tahap pemecahan kendala dan pemanfaatan potensi yang dikemukakan dalam berbagai alternatif rencana pembangunan atau pengembangan tapak;

5.construction, tahap mempersiapkan dokumen detil meliputi perencanaan, gambar detil spesifikasi, dan perkiraan biaya yang lebih akurat dari tahap sebelumnya untuk kegiatan konstruksi di lapangan; serta

8

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan Lembang terletak di sebelah utara Kota Bandung. Daerah ini dikelilingi oleh beberapa pe gunungan. Lokasi penelitian akan disajikan dalam Gambar 2.

Alat dan Bahan Penelitian

Pada penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan secara langsung di lapang sedangkan data sekunder adalah data–data pendukung lain yang sesuai dan valid. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian disajikan dalam Tabel 2.

Batasan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan rawan bencana letusan gunung berapi di Kota Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Oleh karena tujuan penelitian adalah menata ruang kawasan kota berbasis bencana letusan Gunung Tangkuban Perahu maka cakupan batas penelitian meliputi kawasan Kecamatan Lembang yang mendapat dampak langsung bencana hasil letusan Gunung Sumber: Albu m Peta RTRW BAPPEDA Bandung Barat tahun 2009–2029.

9

Tabel 2 Alat dan bahan penelitian

Alat Kegunaan

Kamera Digital Pengambilan gambar di tapak

Laptop Penolahan data

Software (Ms. Word, Ms. Excel, AutoCad 2010, Adobe Photoshop CS4, Goggle Earth

Pengolahan data

Bahan Kegunaan

Peta Dasar Bahan dasar membuat peta overlay dan

komposit

RTRW Kabupaten Bandung Barat Mengetahui rencana tata ruang

Bahan Pustaka Studi literatur

Tangkuban Perahu. Penelitian ini dilaksanakan hingga mencapai hasil perencanaan berupa site plan atau rencana tapak .

Metode dan Tahap Penelitian

Metode dan tahap penelitian mengacu kepada prinsip perencanaan Gold (1980). Metode dan tahap penelitian disajikan dalam Tabel 3.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah tahap inventarisasi mengacu kepada keberadaan sumber data. Data sekunder bisa didapatkan dari beberapa pihak yang terlibat dalam ruang lingkup penelitian ini seperti instansi khusus dan pemerintah. Data–data yang diperoleh meliputi data umum kawasan, peta khusus dan aspek legal. Metode pengumpulan data ialah studi pustaka melalui akses langsung kepada sumber data maupun akses situs resmi pihak yang bersangkutan. Bentuk data yang diperoleh berupa data spasial dan deskriptif . Metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3 Tahap Penelitian

Metode dan tahap penelitian Keterangan

Tahap Persiapan Pengumpulan data awal, pencarian isu umum, menentukan tujuan, penentuan batas tapak, persentasi draft proposal, mendapatkan perizinan.

Tahap Inventarisasi Pengumpulan data sekunder.

Tahap Analisis Identifikasi tipologi kawasan rawan bencana letusan gunung berapi, Analisis spasial tingkat resiko bencana.

Tahap Sintesis Overlay data spasial tingkat resiko bencana dan penentuan pola ruang kawasan lindung serta kawasan budidaya.

Tahap Perencanaan Penentuan konsep dasar perencanaan, pengembangan konsep dasar dan rencana lanskap.

10

Tabel 4 Metode pengumpulan data

Jenis data Pengumpulan data Bentuk data Sumber data Data umum

kawasan

Kondisi geografis Studi pustaka Deskriptif Statistik Data Kab Bandung Barat 2013 Topografi dan

kemiringan

Studi pustaka Spasial dan deskriptif

Album Peta RTRW BAPPEDA 2009 Iklim Studi pustaka Spasial dan

deskriptif Geologi Studi pustaka Spasial dan

deskriptif Hidrologi Studi pustaka Spasial dan

deskriptif Sarana dan

prasarana

Studi pustaka Spasial dan deskriptif Kawasan hutan Studi pustaka Spasial dan

deskriptif Data

kependudukan

Studi pustaka Deskriptif Kecamatan Lembang Dalam Angka 2013

Data

kepemerintahan

Studi pustaka Deskriptif

Peta khusus Peta dasar Studi pustaka Spasial Album Peta RTRW BAPPEDA 2009 Peta tata guna

lahan

Studi pustaka Spasial

Peta kawasan rawan bencana Gunung api Tangkuban Perahu

Studi pustaka Spasial Direktorat Vulkanologi

Aspek legal Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21 tahun 2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi

Studi pustaka Deskriptif Menteri Pekerjaan Umum Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 41 tahun 2007 mengenai Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya

11

Metode Pengolahan Data

Dasar dari metode pengolahan data berawal dari bahaya bencana letusan gunung api. Bahaya bencana letusan gunung berapi terdiri dari bahaya primer dan bahay sekunder dimana bahaya primer akan dilakukan identifikasi tipologi daerah rawan bahaya bencana letusan gunung api sedangkan bahaya sekunder akan dilakukan analisis kerentanan bahaya bencana letusan gunung berapi dengan menggunakan tahap –tahap weighted overlay, pembuatan peta komposit dan penentuan skor. Setelah itu, akan dilakukan sintesis untuk menentukan block plan atau rencana blok dan dilakukan penentuan tiga sample ruang evakuasi yang akan direncanakan dengan konsep dasar mitigasi. Alur pengolahan data disajikan pada Gambar 3.

Pada tahap awal pengolahan data adalah melakukan identifikasi tipologi daerah rawan bencana gunung berapi pada Kecamatan Lembang. Penentuan tipologi daerah rawan bencana gunung berapi mengacu pada peta kawasan rawan bencana letusan gunung api Tangkuban perahu. Data spasial yang dihasilkan adalah peta tipologi daerah rawan bahaya bencana letusan gunung api yang menjelaskan kawasan yang rawan bencana berdasarkan tingkat resiko. Menurut Peraturan Menteri Perkerjaan Umum No 21/PRT/2007, tipologi kawasan rawan bencana letusan gunung berapi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) tipe sebagai berikut:

1) Tipe A

a.kawasan yang berpotensi terlanda banjir lahar dan tidak menutup kemungkinan merupakan daerah hujan abu lebat dan lontaran batu pijar,dan

12

b.kawasan yang memiliki tingkat resiko rendah. Berjarak cukup jauh dari sumber letusan, melanda kawasan sepanjang aliran sungai yang di lalui, pada saat terjadi bencana letusan, masih memungkinkan manusia untuk menyelamatkan diri sehingga resiko bencana dapat dihindari.

2) Tipe B

a. kawasan yang berpotensi terlanda lontaran batu pijar, hujan abu lebat, hujan lumpur dan aliran lahar serta kemungkinan perluasan awan panas dan gas beracun, dan

b.kawasan yang memiliki resiko sedang. Berjarak cukup dekat dengan sumber letusan, resiko manusia untuk menyelamatkan diri dari letusan cukup sulit, kemungkinan terlanda bencana sangat besar.

3) Tipe C

a. kawasan yang sering terlanda awan panas, aliran lahar dan lava, lontaran dan guguran batu pijar, hujan abu lebat, hujan lumpur (panas), aliran panas, dan gas beracun. Hanya diperuntukan untuk kawasan rawan bencana gunung berapi yang sering meletus, dan

b.kawasan yang memiliki resiko tinggi. Sangat dekat dengan sumber letusan. Pada saat terjadi aktivitas magmatis akan cepat terlanda sehingga makhluk hidup di sekitar tidak mungkin untuk menyelamatkan diri.

Penentuan tipologi daerah rawan bencana letusan gunung berapi di Kecamatan Lembang disajikan pada Tabel 5.

Pada tahap selanjutnya adalah melakukan pengolahan data dengan metode analisis deskriptif spasial yaitu mendeskripsikan informasi spasial pada data umum kawasan yang telah tersedia dengan kajian berdasarkan studi pustaka setiap aspek yang telah ditentukan. Kajian analisis tersebut ditujukan untuk mengetahui potensi tingkat kerentanan terhadap bahaya sekunder bencana letusan gunung api yang dapat melipat gandakan resiko bencana. Bahaya sekunder yang dikaji pad penelitian ini adalah bahaya longsor dan bahaya banjir lahar dingin. Oleh karena itu parameter yang akan dianalisis adalah pengaruh jenis tanah, kemiringan, curah hujan, dan ketinggian terhadap bahaya sekunder yang akan terjadi. Pada setiap

Tabel 5 Penentuan tipologi kawasan rawan bencana letusan gunung berapi

Bahaya Tipologi

Tipe A Tipe B Tipe C Bahaya Primer Awan Panas

Aliran Lava

Lontaran Batu Pijar Gas Beracun Hujan Abu Lebat Hujan Lumpur X X – X – X – – √ – √ – √ √ √ √ √ √ Bahaya Sekunder

Aliran Lahar dingin Aliran Lahar Panas

√ X

– X √

Sumber: Peraturan Menteri Pe kerjaan Umu m. (2007). Keterangan:

[X= Tidak terjadi] [– = Mungkin terjad i] [√ = Terjadi]

13 parameter tersebut akan terdapat beberapa indikator yang nilainya akan di beri skor kerentanan terhadap bencana letusan gunung api.

Kepekaan suatu daerah terhadap bahaya longsor di pengaruhi dengan jenis tanah dan kemiringan tapak. Kepekaan jenis tanah dipengaruhi kriteria profil di setiap jenis tanah. Tingkat kepekaan jenis tanah terhadap bahaya longsor akan disajikan pada Tabel 6. Perihal kemiringan tapak sangat terkait sekali dengan tingkat kepekaan bahaya longsor. Menurut Sarwono (2007), bahaya longsor akan meningkat apabila kemiringan semakin curam. Apabila kemiringan semakin curam maka kecepatan aliran permukaan (run off) semakin meningkat hingga kekuatan mengangkut tanah semakin kuat. Disebutkan bahwa bila kecepatan menjadi dua kali lipat maka besarnya benda yang dapat diangkut 64 kali lebih besar, sedangkan berat benda yang dapat diangkut menjadi 32 kali lebih berat. Menurut Rhodesia, Hudson, dan Jackson (1959), pengaruh lereng di daerah tropis di mana curah hujan sangat tinggi adalah lebih kuat. Kelas kemiringan tapak disajikan pada Tabel 7.

Curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan bahaya sekunder dari erupsi gunung tangkuban perahu yaitu banjir lahar dingin dan terjadinya longsor. Menurut Hadisantono (2005), lahar dingin terbentuk akibat material lepas berupa endapan awan panas yang terakumulasi di daerah puncak dan lembah lembah di daerah hulu sungai yang berasal dari daerah puncak diangkut oleh air yang berasal dari air hujan. Menurut Lavigne dkk (2000), arus lahar ini terkonsentrasi pada arus sungai (hyper–concentred stream flow) dari arah hulu ke hilir. Oleh karena itu tingkat resiko bahaya banjir lahar dingin sangat dipengaruhi dengan tingkat

Tabel 6 Tingkat kepekaan jenis tanah terhadap bahaya longsor Kelas tanah Kelompok jenis tanah Kepekaan terhadap longsor 1 Aluvial, Glei, Planossol,

Hidromorf Kelabu, Literite Air Tanah

Tidak peka

2 Latosol Agak peka

3 Brown Forest Soil, Non Calcic

Kurang peka 4 Andosol, Laterictic

Gromusol, Podsolik

Peka 5 Regosol, Litosol Organosol,

Renzine

Sangat peka Sumber: Peraturan Menteri Perkerjaan Umu m. (2007).

Tabel 7 Kemiringan tapak

Kelas kemiringan Kisaran kemiringan tapak (%) Keterangan

1 0–8 Datar

2 8–15 Landai

3 15–25 Agak curam

4 25–40 Curam

5 >40 Sangat Curam

14

curah hujan dan ketinggian tapak pada Kecamatan Lembang. Hasil dari analisis tingkat kerentanan ini berupa tingkat kerentanan dengan rentang nilai kerentana n rendah , kerentanan sedang hingga kerentanan tinggi. Rentang nilai kerentanan pada setiap indikator di tentukan dengan skor 1(satu) untuk kerentanan rendah, skor 2 (dua) untuk kerentanan sedang dan skor 3 (tiga) untuk kerentanan tinggi.

Pada tahap selanjutnya adalah melakukan overlay spasial yaitu melakukan tumpang susun dari beberapa indikator analisis yang telah ditentukan skornya dan menggabungkan data spasial tersebut untuk menjadi data spasial baru. Metode dasar overlay yang digunakan adalah metode weighted overlay dengan pembobotan setiap aspek dianggap sama yaitu hal dasar yang dalam metode ini adalah mendefinisikan masalah kedalam kelasan numerik (skor) , memecah model zonasi ke submodel zonasi dan mengidentifikasi hasil lapisan akhir overlay. Setelah itu dilakukan pengklasifikasi skor dengan rumus klasifikasi skor menggunakan rumus metode uji statistika � � − � � � � � =

(� � +� � )

2 , � � ��� � � =

(� � −� � )

6 dengan X maks merupakan total skor maksimum ideal yaitu 12 (dua belas) dan X min merupakan total skor minimum ideal yaitu 1 (satu). Interpretasi untuk klasifikasi skor yaitu, apabila

�+ 1.5 � >�sehingga nilai µ memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana, apabila � −0.5 � < �> �+ 0.5 ( �) sehingga nilai µ memiliki tingkat kerentanan sedang terhadap bencana dan apabila �< � −1.5( �)

sehingga nilai µ memiliki tingkat kerentanan rendah terhadap bencana dengan µ merupakan total skor aktual yang dihasilkan dari data komposit. Tehnik weighted overlay dan scoring akan disajikan dengan ilustrasi pada Gambar 4. Pengklasifikasian tersebut akan membentuk zonasi baru sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum (2007) yang sesuai dengan kegiatan mitigasi.

15 Menurut Keputusan Menteri Pekerjaan Umum (2007) pola ruang kawasan merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu kawasan yang meliputi peruntukan ruang fungsi lindung dan fungsi budidaya. Pendekatan penentuaan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dilakukan melalui:

1) pendekatan kajian geologi,

2) pendekatan aspek fisik dan sosial ekonomi,

3) pendekatan tingkat resiko pada kawasan rawan letusan gunung berapi, dan 4) rekomendasi penentuaan pola ruang sesuai dengan tipe kawasan rawan

bencana dan rekomendasi tipologi jenis kehiatan yang diperbolehkan berdasarkaan tingkat kerentanan.

Prinsip dasar penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi adalah:

1) kawasan rawan letusan gunung berapi mempunyai fungsi lindung, kawasan tersebut mutlak dilindungi dan dipertahankan sebagai kawasan lindung, dan 2) kawasan rawan letusan gunung berapi tidak mempunyai fungsi lindung yang

dapat dibudidayakan dengan kriteria tertentu dan memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan tersebut untuk kegiatan budidaya. Pada tahap selanjutnya adalah melakuan permodelan analisis. Berdasarkan metode besar pada penelitian ini yaitu analisis spasial, permodelan spasial sangat direkomendasikan untuk memodelkan perencanaan dalam penelitian ini dalam hal menggambarkan interaksi spasial, pilihan spasial, lokasi alokasi, dan kebijakan lingkungan. Berdasarkan aplikasinya dalam pernyataan tersebut, menurut Fischer et al.(1996), model spasial digunakan untuk tiga tujuan ya itu, peramalan dan penyusunan skenario, analisis dampak terhadap kebijaksanaan, dan penyusunan kebijakan dan desain. Dalam penelitian ini, permodelan analisis dilakukan dengan tujuan untuk menemukan wilayah proiritas dengan cara mengkaji spasial peta struktur ruang RTRW. Peta struktur RTRW secara administrtif masih dalam ruang lingkup Kabupaten yang memiliki beberapa wilayah pengembangan. Kajian peta struktur ruang RTRW Bandung Barat terdapat jangkauan pengembangan wilayah Kecamatan Lembang yaitu meliputi (Kecamatan Parompong dan Kecamatan Cisarua) dan pusat pengembangan wilayah yang berapa di Kecamatan Lembang. Oleh karena itu Kecamatan Lembang menjadi

Dokumen terkait