• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rataan performa produksi meliputi produksi telur, bobot telur, dan konversi pakan) Coturnix-coturnix japonica dengan penambahan Omega-3 dalam pakan ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Performa Produksi Puyuh yang Diberikan Pakan dengan Suplementasi Omega-3 Peubah P1 P2 P3 P4 P5 Henday (%) 63,28±6,36 66,29±8,51 70,57±6,54 71,6±9,08 64,49±12,43 Bobot Telur (g) 10,04±0,17 10,16±0,21 10,32±0,19 10,20±0,16 10,04±0,21 Konversi Pakan 3,35 3,29 3,10 3,02 3,56 Konsumsi Pakan

Pakan memiliki peranan penting untuk menjamin kelangsungan hidup puyuh dan produksi telur. Konsumsi pakan burung puyuh berhubungan dengan jumlah energi yang diperlukan untuk hidup pokok serta konversi pakan untuk produksi telur. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh umur, palatabilitas ransum, kesehatan ternak, jenis ternak, dan aktivitas ternak. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan puyuh (keseimbangan energi dan protein).

Pakan yang digunakan dalam penelitian untuk seluruh perlakuan (Tabel 3) memiliki kandungan nutrien yang sama dan telah memenuhi rekomendasi SNI (2006) dan NRC (1997) serta sesuai dengan anjuran Listyowati dan Roospitasari (2004). Pakan yang diberikan dalam penelitian mengandung 20-22% protein dan telah sesuai dengan kebutuhan puyuh petelur berumur lebih dari enam minggu sebesar 18-20% seperti direkomendasikan oleh NRC (1997) atau minimal 17% sesuai rekomendasi SNI (2006).

Pakan diberikan melalui sistem pembatasan sebesar 20 g/ekor/hari. Penyedian jumlah pakan puyuh fase bertelur disesuaikan dengan kebutuhan agar tidak kekurangan atau berlebihan. Pembatasan pakan 20 gram/ekor/hari bagi puyuh fase bertelur tidak mengakibatkan kekurangan pakan dan jumlah protein yang dibutuhkan puyuh karena seluruh pakan yang diberikan habis dikonsumsi oleh puyuh. Suprijatna

17 gram/ekor pada pakan berkadar protein rendah yang disuplementasi dengan enzim komersial.

Pembatasan pakan umumnya dilakukan dalam jumlah pemberian pakan per hari dan metode pemberian makanan dengan cara sehari diberi pakan dan sehari tidak diberi pakan. Pembatasan yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengurangi konsumsi kalori. Pemberian pakan secara ad libitum umumnya akan mengakibatkan kelebihan konsumsi pakan dan energi, sehingga kelebihan konsumsi pakan tersebut akan diubah menjadi lemak tubuh yang menyebabkan kegemukan dan akan menurunkan produksi telur. Kebutuhan nutrien unggas petelur lebih tinggi dibandingkan dengan unggas pedaging. Produksi telur yang tinggi dan bernilai gizi tinggi memerlukan nutrisi yang lebih tinggi diantaranya protein, energi, dan kalsium (Cheeke, 2005). Menurut Simopoulos (2006), penambahan Omega-3 dalam pakan dapat meningkatkan konsumsi pakan.

Omega-3 yang digunakan diperoleh dari hasil dispersi dan emulsi limbah ikan lemuru dengan campuran ampas tahu yang difermentasikan denganRhizopus Sp

dengan nomor Paten ID P0023652. Penambahan Omega-3 dalam pakan dilakukan setelah umur puyuh mencapai 80 hari atau 12 minggu karena pada saat puyuh berproduksi 5% terjadi pergantian pakan sehingga puyuh harus melakukan adaptasi terlebih dahulu terhadap pakan. Tingkat konsumsi dalam penelitian adalah sebanyak 20 gram/ekor/hari karena pakan yang diberikan habis dikonsumsi oleh puyuh. Pakan yang tercecer akibat tingkah laku makan puyuh pada setiap perlakuan relatif sama dan dalam jumlah sedikit. Pakan yang tercecer pada penelitian disebabkan oleh desain tempat pakan yang kurang baik. Dinding tempat pakan tidak terlalu tinggi dan tidak diberikan alas pada bagian bawah tempat pakan sehingga pakan yang tercecer akan langsung terjatuh menyatu dengan pakan yang tercecer dari blok kandang yang lainnya.

Produksi Telur

Produksi telur yang terkait erat dengan jumlah konsumsi dan kandungan nutrisi pakan merupakan indikator keberhasilan produksi unggas petelur. Pakan yang diberikan pada puyuh dibatasi dalam jumlah yang sama sehingga asupan protein tidak berbeda. Kandungan protein yang tinggi disertai kecukupan energi dan kalsium lebih memberikan pengaruh terhadap produksi telur (Cheeke, 2005). Hasil sintesis

protein dalam pakan menyediakan hormon-hormon di dalam tubuh unggas yang digunakan untuk produksi telur (Wahju, 1982). Pemberian asam amino yang rendah mengakibatkan protein telur yang terkomposisi dari asam amino tidak terbentuk.

Kandungan nutrisi yang berbeda antar perlakuan terdapat pada konsumsi Omega-3. Omega-3 merupakan asam lemak dan bukan merupakan sumber protein, sehingga penambahan Omega-3 tidak memberikan pengaruh yang banyak terhadap produksi telur. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Suripta dan Astuti (2006) yang menemukan bahwa penambahan Omega-3 menurunkan produksi telur. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan protein pada penelitian lebih tinggi dibandingkan pada penelitian tersebut. Asam lemak esensial yang banyak mempengaruhi produksi telur adalah asam lemak Omega-6 (Wahju, 1982).

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa produksi telur paling tinggi terdapat pada perlakuan ke-empat yaitu dengan taraf penambahan Omega-3 4,5% dan produksi telur terendah terdapat pada perlakuan kontrol. Peningkatan produksi hingga taraf ke-empat merupakan efek penambahan kalori yang diberikan oleh penambahan Omega-3 sehingga dapat meningkatkan produksi telur, namun pada taraf 6% penambahan Omega-3 mengalami kejenuhan dan produksi telur menurun kembali mendekati perlakuan kontrol. Produksi telur dalam penelitian berkisar 63,28-71,6% dengan rata-rata 67,25%. Hasil ini masih tergolong cukup baik karena puyuh dengan umur 10-20 minggu yang diberi kadar protein 20-22% tanpa penambahan Omega-3 dengan lama pencahayaan 22 jam/hari memiliki produksi telur berkisar 63-71,7% (Eishu, 2005)

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi produksi telur adalah cahaya yang berperan dalam pematangan dan ovulasi ovum untuk produksi telur. Cahaya yang diterima oleh retina mata unggas akan dilanjutkan ke bagian otak (hypothalamus) dan merangsang anterior pituitary untuk mensekresikan hormon reproduksi yaitu FSH dan LH. Hormon FSH berfungsi untuk pematangan folikel sedangkan hormon LH berfungsi untuk merobek stigma sehingga telur dapat diovulasikan. Cahaya yang diberikan dalm penelitian ini tidak berbeda pada setiap perlakuan, yaitu menggunakan lampu pijar berdaya 40 watt sehingga perbedaan produksi telur pada tiap perlakuan tidak terlalu besar.

19 Pada dasarnya burung puyuh dan ayam memiliki kekerabatan yang cukup dekat karena masih dalam famili yang sama sehingga memiliki kesamaan dalam fungsi fisiologis seperti lama pembentukan telur pada puyuh sama dengan pembentukan telur pada ayam yaitu 24-27 jam.

Gambar 5. Rataan Produksi Telur Selama Penelitian

Gambar 5 menunjukkan produksi telur ke-lima perlakuan mengalami peningkatan sampai minggu ke-tiga namun terjadi sedikit penurunan pada minggu ke-empat. Penelitian ini belum menunjukkan penurunan produksi secara signifikan karena belum mencapai puncak produksi. Penurunan produksi yang terjadi pada minggu ke-empat disebabkan oleh pemberian cahaya yang kurang karena pada minggu ke-empat penerangan pada kandang mengalami gangguan serta manajemen pemeliharaan yang kurang baik sehingga suhu di dalam kandang pada minggu tersebut meningkat.

Puyuh yang telah mencapai berat badan 90-100 gram akan segera mulai bertelur pada umur 35-42 hari. Kemampuan berproduksi mulai awal produksi akan terus mengalami kenaikan secara drastis hingga mencapai puncak produksi lebih dari 80% pada umur 4-5 bulan dan secara perlahan-lahan akan menurun hingga 70% pada umur 9 bulan (Nugroho dan Mayun, 1981). Menurut hasil penelitian Triyanto (2007), produksi telur puyuh dengan lama pencahayaan 22 jam/hari adalah 67,47%. Penelitian ini menemukan produksi telur pada umur 16 minggu belum mencapai 80%

Pr o d u k si Te lu r Umur (minggu)

karena lama pencahayaan pada minggu tersebut sangat kurang, penyinaran dalam penelitian adalah 12-13 jam dan kepadatan kandang yang terlalu tinggi, yaitu 0,25 m2 untuk 13-15 ekor. Menurut Siregar dan Samosir (1981), kepadatan kandang untuk puyuh berumur lebih dari 42 hari adalah 0,25 m2 untuk 10 ekor puyuh. Tingkat kepadatan yang lebih tinggi dapat mengakibatkan peningkatan suhu dalam kandang yang mempengaruhi produksi telur.

Bobot Telur

Bobot telur merupakan sifat kualitatif yang dapat diturunkan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bobot telur adalah jenis pakan, jumlah pakan, genetik, lingkungan kandang, masa bertelur, dan ukuran tubuh induk (Yuwanta, 2004). Faktor penting yang sangat mempengaruhi bobot telur adalah kecukupan protein dan asam amino dalam pakan serta kandungan asam linoleat (Wahju, 1982). Bobot telur dipengaruhi oleh asupan asam amino terutama metionin dan asam lemak linoleat dari pakan yang diberikan (Leeson dan Summer, 1991). Asam linoleat mengontrol protein dan lipida yang diperlukan untuk perkembangan folikel dan secara langsung mengontrol ukuran telur (March dan McMillan, 1994).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan Omega-3 sangat sedikit sekali mempengaruhi bobot telur bahkan hampir tidak mempengaruhi. Hal ini sesuai dengan penelitian Suripta dan Astuti (2006) yang melaporkan bahwa penambahan Omega-3 tidak mempengaruhi bobot telur. Ukuran kuning telur disebabkan oleh kandungan metionin dan asam linoleat yang terdeposit dalam kuning telur. Proses deposisi asam linoleat dalam kuning telur (vitelogeni) memerlukan waktu yang cukup lama dan merupakan proses akumulasi kuning telur dari sebuah folikel di ovarium. Asam linoleat yang terdeposit pada kuning telur pada berasal dari kandungan pakan bukan dari panambahan Omega-3 sehingga penambahan Omega-3 tidak terlalu mempengaruhi terhadap bobot telur.

Proses pembentukan telur dimulai saat unggas masih dara dan berakhir beberapa saat sebelum ovulasi. Proses pencernaan makanan terjadi sebelum memasuki proses vitelogeni. Omega-3 akan mengalami proses pemecahan lemak di dalam hati karena pemecahan lemak memerlukan kehadiran garam-garam empedu yang dihasilkan hati dan disimpan dalam kantung empedu. Garam empedu dilepaskan karena rangsangan bahan makanan dalam usus dan mengemulsikan lemak

21 dalam lekukan duodenum. Lemak yang berbentuk emulsi selanjutnya dipecah menjadi asam lemak dan gliserol dengan bantuan enzim lipase dari kelenjar pankreas. Asam lemak dan gliserol merupakan hasil akhir dari pencernaan lemak. Bahan penyusun kuning telur termasuk Omega-3 disintesis dalam hati dan ditransportasikan oleh darah menuju oocyt untuk perkembangan folikel sehingga Omega-3 akan terdeposit pada kuning telur. Proses lipogenesis di hati meningkat antara 15-20 kali saat unggas mencapai dewasa kelamin.

Suplementasi Omega-3 dalam pakan merupakan sumber asam lemak linolenat dan bukan asam linoleat yang dapat mengontrol bobot kuning telur. Kisaran bobot telur pada penelitian adalah 10,04-10,32 dengan rata-rata bobot telur yang dihasilkan adalah 10,15 gram/butir. Bobot telur tertinggi terdapat pada penambahan Omega-3 taraf 3% sedangkan bobot telur terendah terdapat pada penambahan Omega-3 taraf 6% yang hampir sama dengan kontrol. Hasil ini masih tergolong cukup baik dan sedikit lebih tinggi dari hasil penelitian Suripta dan Astuti (2006) yang menghasilkan bobot telur puyuh dengan suplementasi Omega-3 dan Omega-6 sebesar 9,44 gram karena kandungan protein yang digunakan pada penelitian ini sedikit lebih tinggi (20-22%) dibandingkan dengan hasil penelitian Suripta dan Astuti (2006) (20%) meskipun diimbangi dengan Omega-6 yang dapat mengontrol bobot telur. Menurut Nugroho dan Mayun (1981), bobot telur puyuh sekitar 7-8% dari bobot telur. Bobot induk dalam penelitian ini sekitar 120-150 gram/ekor, dengan demikian bobot telur yang dihasilkan sedikit lebih tinggi dari pernyataan tersebut.

Bobot telur biasanya seragam, hanya pada telur double yolk dan telur abnormal lainnya yang tidak seragam. Faktor yang menyebabkan variasi bobot telur antara lain pola alami produksi telur, akibat pakan dan menajemen serta faktor lain yang berhubungan dengan genetik. Pola alami produksi telur yaitu telur yang dihasilkan ketika baru mulai bertelur berukuran kecil dan semakin besar sampai mencapai bobot telur yang stabil. Double yolk yang terjadi dapat disebabkan oleh adanya gerakan peristaltik pada saluran reproduksi yang menyebabkan kuning telur terlempar kembali ke atas dan akan menyatu bersama dengan kuning telur berikutnya yang diovulasikan. Rataan bobot telur puyuh setiap minggu pada penelitian ini disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Rataan Bobot Telur Puyuh Selama Penelitian

Rataan bobot telur setiap minggu tidak jauh berbeda. Peningkatan bobot telur sampai minggu ke-tiga disebabkan oleh masa bertelur puyuh. Produksi pertama dari suatu siklus berbobot lebih rendah dibanding telur berikutnya pada siklus yang sama. Pertambahan umur puyuh akan menghasilkan bobot telur yang semakin besar pada siklus produksi yang sama. Penurunan bobot telur pada minggu ke-empat disebabkan oleh kondisi cuaca yang cukup ekstrim dan suhu lingkungan yang meningkat. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa suhu lingkungan merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi bobot telur. Kenaikan suhu lingkungan dapat menurunkan ukuran telur dan kualitas kerabang telur. Suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya bobot telur karena kandungan air yang terdapat pada telur akan menguap. Suhu yang ideal untuk kelangsungan hidup puyuh adalah 16-24 ºC.

Konversi Pakan

Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi oleh puyuh dengan produksi yang dihasilkan. Konversi pakan dalam penelitian ini diperhitungkan dari konsumsi pakan dan bobot telur yang dihasilkan dalam satuan gram. Konversi pakan menunjukkan penggunaan pakan atau tingkat efisiensi pakan. Konversi pakan mencerminkan tingkat keberhasilan dalam memilih pakan yang berkualitas. Nilai konversi pakan semakin tinggi menunjukkan semakin banyak pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu gram bobot telur. Nilai

B o b o t T el u r Umur (minggu)

23 konversi pakan semakin kecil menandakan kualitas pakan atau efisiensi pakan semakin baik. Nilai konversi pakan akan berbanding terbalik dengan nilai efisiensi pakan. Nilai konversi pakan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya mutu ransum, tata cara pemberian ransum, dan kesehatan ternak.

Konversi pakan pada penelitian memiliki kisaran 3,02-3,56 dengan rataan konversi 3,26. Konversi tertinggi terdapat pada penambahan Omega-3 taraf 6% dan konversi terkecil terdapat pada taraf 4,5%. Konversi pakan mengalami penurunan pada penambahan Omega-3 sampai taraf 4,5% namun mengalami peningkatan pada perlakuan ke-lima. Perlakuan kelima membutuhkan pakan lebih banyak yaitu 3,56 gram untuk menghasilkan satu gram bobot telur, sedangkan perlakuan ke-empat hanya membutuhkan pakan 3,02 gram pakan untuk menghasilkan satu gram bobot telur. Konversi pakan yang cukup jauh anatar perlakuan empat dan perlakuan ke-lima disebabkan oleh produksi telur pada perlakuan tersebut cukup jauh meskipun rataan bobot telur relatif sama karena hal yang menentukan besarnya konversi pakan adalah total bobot telur bukan rataan bobot telur. Meskipun nilai konversi tertinggi sebesar 3,56, konversi yang dicapai masih dalam batas efisiensi pakan. Rataan tersebut masih dapat dinyatakan efisien karena konversi pakan puyuh berumur 10 minggu yang diberi pakan dengan suplementasi Omega-3 dan Omega-6 sebesar 3,68 (Suripta dan Astuti, 2006). Tingkat efisiensi ini disebabkan pakan yang diberikan dalam penelitian diberikan secara terbatas. Sementara rataan konversi pakan tanpa penambahan Omega-3 dengan sistem penjatahan pakan adalah 3,59 (Widjastuti dan Kartasudjana, 2006).

Konversi pakan berbanding terbalik dengan tingkat efisiensi pakan. Efisiensi terbaik terdapat pada perlakuan ke-empat yaitu pada tingkat penambahan Omega-3 sebanyak 4,5%. Perlakuan ke-lima menghasilkan tingkat efisiensi paling buruk dibanding perlakuan lainnya karena membutuhkan pakan yang lebih banyak untuk menghasilkan satu gram bobot telur. Nilai efisiensi pakan belum tentu dapat dinyatakan mencapai efisiensi ekonomis karena harga pakan yang berbeda menghasilkan nilai efisiensi ekonomis berbeda.

Konversi pakan cenderung menurun kemudian meningkat kembali seperti disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Rataan Konversi Pakan Burung Puyuh Selama Penelitian

Gambar 7 memperlihatkan masing-masing perlakuan mengalami penurunan konversi pakan sampai minggu ke-tiga kemudian mengalami peningkatan pada minggu ke-empat sampai minggu ke-lima. Penurunan konversi pakan ini disebabkan karena produksi telur pada minggu tersebut mengalami peningkatan dengan total bobot telur lebih tinggi dibandingkan pada minggu yang lain pada masing-masing perlakuan.

Indeks Telur

Pengamatan bentuk telur dilakukan dengan mengukur dan menghitung perbandingan lebar atau diameter terlebar telur dengan panjang telur. Pengukuran indeks telur bertujuan untuk mengetahui bentuk telur. Bentuk telur yang seragam akan memudahkan dalam pemasaran telur karena pemasaran telur puyuh di pasaran tidak berdasarkan bobot telur melainkan keseragaman telur. Selain itu, indeks telur dapat memudahkan untuk memilih telur yang baik untuk ditetaskan pada usaha pembibitan. Indeks telur yang lebih kecil dengan bentuk yang lebih lonjong lebih baik untuk ditetaskan.

Telur puyuh yang diukur sebanyak 10% dari masing-masing perlakuan. Pengukuran indeks telur dilakukan pada minggu ke-dua karena pada minggu pertama diasumsikan bahwa perlakuan belum berpengaruh terhadap kualitas telur. Indeks telur puyuh yang diberi pakan dengan suplementasi Omega-3 selama lima minggu disajikan pada Tabel 5.

Umur (minggu) Ko n v er si P ak an

25 Tabel 5. Indeks Telur Puyuh (Coturnix-coturnix japonica)

Perlakuan Minggu II (%) Minggu III (%) Minggu IV (%) Minggu V (%) Minggu VI (%) Rataan (%) P1 76,03 80,3 77,96 80,13 78,86 78,65 P2 78,25 81,63 79,69 79,56 79,56 79,74 P3 77,88 81,94 79,96 78,09 77,72 79,12 P4 77,05 86,58 77,23 78,83 82,44 80,42 P5 78,64 78,46 78,86 78,8 80,83 78,92 Rataan 77,57 81,78 78,74 79,08 79,88 79,37

Berdasarkan Tabel 5, penambahan Omega-3 sampai minggu ke-enam tidak mempengaruhi indeks telur karena indeks telur lebih dipengaruhi oleh genetik. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan rataan indeks telur yang relatif kecil. Strain puyuh yang digunakan adalah sama sehingga indeks telur tidak menunjukkan hasil yang berbeda. Indeks telur pada penelitian memiliki kisaran 78,65-80,42% dengan rataan 79,37%. Nilai Indeks telur tertinggi diperoleh pada perlakuan ke-empat dan perlakuan terkecil diperoleh pada kontrol. Variasi indeks telur tersebut disebabkan oleh variasi individu dari puyuh yang diteliti. Hasil penelitian ini hampir sama dengan pernyataan Elvira et al. (1994) bahwa indeks telur yang dihasilkan puyuh dari peternakan di daerah Ciampea adalah sebesar 79,2% dan sesuai dengan hasil penelitian Woodardet al. (1973) berkisar 70-79%.

Gambar 8. Rataan Indeks Telur Burung Puyuh Selama Penelitian

In d ek s Te lu r Umur (minggu)

Perkembangan indeks telur setiap minggu mengalami peningkatan pada minggu ke-tiga kemudian turun kembali pada minggu ke-empat. Gambar 8 memperlihatkan bentuk telur semakin bulat hingga minggu ke-tiga. Nilai indeks telur ini bervariasi antara individu dalam suatu kelompok dan peneluran dari satu seri peneluran. Penyebab terjadinya variasi indeks telur belum dapat diterangkan secara jelas, namun diduga sebagai akibat dari perputaran telur di dalam alat reproduksi karena ritme tekanan dari alat reproduksi atau ditentukan oleh diameter lumen alat reproduksi. Indeks telur puyuh cenderung lebih besar dibandingkan dengan indeks telur ayam sehingga bentuk telur puyuh lebih bulat dibandingkan dengan telur ayam. Hal ini dapat disebabkan karena saluran reproduksi pada puyuh lebih bulat dibandingkan dengan saluran reproduksi pada ayam.

Informasi lain yang diperoleh dari penelitian ini adalah persentase telur kotor dan telur retak tergolong tinggi. Persentase telur kotor dari seluruh telur yang diproduksi berkisar antara 9-32% dan telur yang retak sebanyak 0-9%. Keragaman yang cukup besar ini disebabkan oleh kondisi kandang yang kurang baik serta kesulitan untuk menentukan kotoran dari warna kerabang karena warna kerabang dari telur puyuh berbeda dengan telur ayam. Kerabang telur puyuh bercorak hitam kebiru-biruan karena memiliki pigmen kerabang biliverdin dan oophorpyrin (Nugroho dan Mayun, 1981) yang tidak dimiliki oleh telur unggas yang lain. Telur retak dapat dilihat dari keretakan kerabang telur. Kondisi kerabang sedikit retak tetap digolongkan ke dalam telur retak. Telur bersih dapat diamati dari keberadaan kotoran yang menempel pada kerabang. Pengukuran bagian kerabang telur diperlihatkan pada Gambar 9.

27 Dalam penelitian ini rata-rata mortalitas sebesar 2%. Kematian ini terjadi pada minggu pertama, ke-dua, dan ke-lima. Kematian tidak disebabkan oleh penambahan Omega-3 dalam pakan melainkan lebih banyak disebabkan oleh manajemen kandang yang kurang baik. Kematian burung puyuh dipengaruhi oleh pemeliharaan, pakan, pemberian pakan, sanitasi, temperatur, kelembaban, dan bibit. Tingkat kematian puyuh dalam penelitian ini disebabkan oleh kepadatan kandang yang berlebih sehingga mendorong puyuh untuk keluar melalui lubang tempat saluran keluar telur sehingga terjepit dan juga disebabkan oleh atap kandang yang terlalu rendah sehingga kepala puyuh akan terbentur pada saat puyuh terbang karena tingkah laku dari puyuh yang sangat agresif. Kandang yang digunakan berupa kandangbatterydengan alas terbuat dari kawat yang berupa panggung. Alas kandang ini memiliki keuntungan dan kelebihan masing-masing. Kelebihan dari alas kawat yaitu mempermudah pengumpulan kotoran yang tertampung dibawahnya, sedangkan kekurangan dari alas kawat adalah dapat menyebabkan puyuh yang memiliki kaki lebih kecil terperosok ke dalam lubang kawat.

Sebagian puyuh yang mati tersebut terdapat pada saluran keluar telur dan dalam keadaan mata atau kepala memar karena terbentur atap kandang dan kaki cacat. Siregar dan Samosir (1981) menyarankan luas untuk burung puyuh umur 42 hari atau lebih seluas 250 cm2/ekor sementara kandang yang digunakan berukuran 0,50 m2 diisi dengan 13-15 ekor puyuh berumur 12 minggu atau 166-192/ekor. Manajemen kandang yang baik menyediakan saluran tempat keluar telur puyuh yang disesuaikan dengan ukuran telur puyuh sehingga puyuh tidak mampu untuk keluar dari lubang tersebut dan kepadatan kandang pun harus diperhatikan untuk mencegah terjadinya mortalitas.

Dokumen terkait