• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performa produksi burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) yang diberi pakan dengan suplementasi omega-3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Performa produksi burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) yang diberi pakan dengan suplementasi omega-3"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMA PRODUKSI BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix

japonica) YANG DIBERI PAKAN DENGAN

SUPLEMENTASI OMEGA-3

SKRIPSI

DEVIANTI HERY ACHMAD

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

Devianti Hery Achmad. D14070074. 2011. Performa Produksi Burung Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) yang Diberi Pakan dengan Suplementasi Omega-3. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc.Agr. Pembimbing Anggota : Ir. Niken Ulupi, MS

Asam lemak tidak jenuh Omega-3 dapat menurunkan kadar kolesterol pada telur ayam. Asam lemak ini beserta turunannya EPA dan DHA banyak terdapat dalam minyak ikan Tuna atau ikan laut lainnya seperti ikan Sarden atau ikan Lemuru. Penambahan Omega-3 pada penelitian ini diharapkan dapat menurunkan kadar kolesterol pada telur puyuh dan meningkatkan kandungan Omega-3 pada kuning telur tanpa mempengaruhi performa produksi.

Penelitian ini dilaksanakan selama enam minggu (pertengahan Desember 2010 sampai akhir Januari 2011) bertempat di Laboratorium Lapang Blok B bagian Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Unggas dan di Laboratorium Unggas Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan adalah burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) berumur 12 minggu sebanyak 293 ekor milik Bapak Slamet dari Sukabumi yang dipelihara selama enam minggu. Peubah yang diamati meliputi produksi telur, bobot telur, konversi pakan, dan indeks telur. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan tersebut adalah P1: Ransum basal; P2: Ransum + 1,5% Omega-3; P3: Ransum + 3% Omega-3; P4: Ransum + 4,5% Omega-3; dan P5: Ransum + 6% Omega-3. Setiap taraf perlakuan diulang empat kali, dengan masing-masing ulangan terdiri dari 13-15 ekor puyuh dan Analisis dilakukan secara deskriptif

Penambahan Omega-3 pada taraf 4,5% merupakan penambahan Omega-3 tebaik karena dapat menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi dengan nilai konversi pakan lebih kecil.

(3)

ABSTRACT

The Effect of Omega-3 Supplementation in Ration on Production Performances of Japanese Quail (Coturnix-coturnix japonica)

Achmad, D.H., R. Afnan., and N.Ulupi.

Supplementation of Omega-3 in ration may enhance Omega-3 and lower the cholesterol contents in quail eggs. However, its impact to productive performances has not been clearly proved. This current experiment aimed to study the influence of Omega-3 supplementation in ration on productive performances of Japanese quail (Coturnix-coturnix japonica). This study was carried out for two months in the field laboratory of Poultry Production and Technology, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. This study involved 298 Japanese quail age 10 weeks and designed completely randomized in 5 treatments with 4 replications. The applied treatments were Omega-3 supplementation in the ration: P1 (control), P2 (1.5% Omega-3), P3 (3% Omega-3), P4 (4.5% Omega-3), and P5 (6% Omega-3). The observed traits were feed consumption, egg production, egg weight, feed conversion, mortality, and index of quail egg. All data were collected and descriptively analyzed. This study revealed no influence of Omega-3 supplementation to the production performance and index of quail egg.

(4)

PERFORMA PRODUKSI BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix

japonica) YANG DIBERI PAKAN DENGAN

SUPLEMENTASI OMEGA-3

DEVIANTI HERY ACHMAD D14070074

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

v Judul : Performa Produksi Burung Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) yang

Diberi Pakan dengan Suplementasi Omega-3 Nama : Devianti Hery Achmad

NIM : D14070074

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

(Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc. Agr.) (Ir. Niken Ulupi, MS.) NIP. 19680625 200801 1 010 NIP. 19570129 198303 2 001

Mengetahui : Ketua departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc.) NIP.19591212 198603 1 004

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Desember 1988 di Cimahi, Jawa Barat.

Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Hery Achmad

dan Ibu Lilis Maliah.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1994 di TK. R.A. Al-Ikhlas

kota Bandung dan diselesaikan tahun 1995, pendidikan dasar diselesaikan di SDN

PASKAL II Kota Bandung pada tahun 1995-2001, pendidikan lanjutan menengah

pertama diselesaikan di SLTPN 47 Bandung pada tahun 2001-2004 dan pendidikan

lanjutan menengah atas diselesaikan di SMUN 3 Cimahi pada tahun 2004-2007.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi

dan Teknologi Peternakan, Fakultas Petternakan pada tahu 2008.

Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis aktif di beberapa kegiatan

diantaranya Paguyuban Mahasiswa Bandung (PAMAUNG), Koperasi Mahasiswa

(KOPMA), dan Kegiatan kesenian Gentra Kaheman IPB. Penulis berkesempatan

(7)

7 KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah

SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis hingga

saat ini. Atas Petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini

ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis bertempat di kandang

B, Laboratorium Lapang Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor, pada bulan Oktober 2010 sampai Februari

2011. Pengujian kualitas eksterior telur puyuh (Coturnix-coturnix japonica)

dilakukan di Laboratorium Unggas Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian yang berjudul Performa Produksi Burung Puyuh ( Coturnix-coturnix japonica) yang Diberi Pakan dengan Suplementasi Omega-3 ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan,

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Berbagai kendala penulis hadapi

dalam penelitian ini yaitu terhambatnya pakan yang disuplai dari Sukabumi,

pergantian beberapa macam pakan sehingga akhirnya pakan harus dibeli dari

daerah Cimahpar. Penulis dapat menghadapi kendala tersebut berkat dukungan

dan motivasi dari Dr. Rudi Afnan, S.Pt. M.Sc. Agr. selaku pembimbing utama dan

Ir. Niken Ulupi, MS. selaku pembimbing anggota, dan bantuan dari semua pihak.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan

peternak burung puyuh pada khususnya. Penulis merasa skripsi ini belum

sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis

harapkan.

Bogor, Juli 2011

(8)

DAFTAR ISI

Pemberian Pakan dan Minum ... 15

Pengambilan Telur dan Penyimpanan ... 15

Penimbangan dan Pengukuran ... 15

(9)

viii

Produksi Telur ... 17

Bobot Telur ... 20

Konversi Pakan ... 22

Indeks Telur ... 24

KESIMPULAN DAN SARAN 2 Kesimpulan ... 28

Saran ... 28

UCAPAN TERIMA KASIH ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perbedaan Burung Puyuh Jantan dan Betina Dewasa Kelamin ... 3

2. Kebutuhan Zat Makanan Burung Puyuh Layer ... 5

3. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian ... 13

4. Rataan performa Produksi Puyuh yang Diberikan Pakan dengan

Suplementasi Omega-3 ... 16

(11)

x DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Burung Puyuh Jantan (Kiri) dan Betina (Kanan) ... 3

2. Organ Reproduksi Unggas Betina ... 8

3. Perbedaan Struktur Molekul Omega-3 dan Omega-6 ... 11

4. Skema Proses Metabolisme EPA dan DHA ... 12

5. Rataan Produksi Telur Selama Penelitian ... 19

6. Rataan Bobot Telur Puyuh Selama penelitian ... 22

7. Rataan Konversi Pakan Burung Puyuh Selama Penelitian ... 24

8. Rataan Indeks Telur Puyuh Selama Penelitian ... 25

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Ragam Produksi TelurPuyuh ... 30

2. Analisis Ragam Bobot TelurPuyuh ... 30

3. Analisis Ragam Konversi Pakan Puyuh ... 30

4. Analisis Ragam Indeks Telur Puyuh ... 30

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Telur puyuh merupakan bahan makanan sumber protein hewani yang bernilai

gizi tinggi, mudah diperoleh dan diolah serta harga relatif terjangkau. Kondisi

eksternal dan internal telur menentukan kualitas telur. Kualitas telur secara umum

dipengaruhi oleh pakan yang diberikan, kesehatan dan penyakit, serta penanganan

telur.

Komposisi fisik telur terdiri dari putih telur (albumen) dan kuning telur (yolk)

serta kerabang telur (shell) dan membran tipis telur. Putih telur tersusun dari protein

sebagai komponen utama, sementara kuning telur tersusun dari lemak. Omega-3

merupakan asam lemak tidak jenuh yang terkandung dalam kuning telur. Asam

lemak Omega-3 memiliki ikatan rangkap pada rantai atom karbon pada posisi atom

karbon ketiga dari gugus metil. Asam lemak Omega-3 yang banyak dikenal adalah

asam linolenat, eicosapentaenoat acid (EPA) dan docosahexaenoat acid (DHA).

Asam lemak tidak jenuh Omega-3 beserta turunannya EPA dan DHA banyak

terdapat dalam minyak ikan Tuna atau ikan laut lainnya seperti ikan Sarden dan ikan

Lemuru.

Penelitian penambahan Omega-3 ke dalam pakan sudah dilakukan pada

unggas petelur. Penambahan asam lemak tidak jenuh dalam pakan menghasilkan

kuning telur yang lebih besar sehingga berpengaruh terhadap bobot telur (Stadellman

dan Cotterril, 1995). Peningkatan produksi telur puyuh dilaporkan oleh Suripta dan

Astuti (2006). Pengaruh suplementasi terhadap tingkat produksi telur tidak

menunjukkan hasil yang konsisten.

Peningkatan kandungan Omega-3 dalam kuning telur telah banyak dilaporkan

tetapi inkonsistensi pengaruh suplementasi Omega-3 terhadap produksi telur

merupakan dasar dilakukannya penelitian ini.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui performa produksi telur puyuh

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Burung Puyuh

Burung puyuh adalah unggas darat berukuran kecil namun gemuk dengan

ekor sangat pendek, bersarang di permukaan tanah, memiliki kemampuan untuk

berlari dan terbang dengan kecepatan tinggi namun dengan jarak tempuh yang

pendek. Butung puyuh memakan biji-bijian dan serangga serta mangsa berukuran

kecil lainnya.

Beberapa jenis burung puyuh yang dipelihara di Indonesia diantaranya

Coturnix-coturnix japonica, Coturnix chinensis(Blue Breasted quail), Turnic susciator,

Arborophila javanica,danRollus roulroulyang dipelihara sebagai burung hias karena

memiliki jambul yang indah. Burung puyuh yang umum dipelihara di Indonesia

adalah Coturnix-coturnix japonica yang pada awalnya diimpor dari Taiwan,

Hongkong, dan Jepang. Coturnix-coturnix japonica mempunyai panjang badan

sekitar 19 cm, berbadan bulat, berekor pendek, berparuh pendek dan kuat, serta

berjari kaki empat dan berwarna kekuning-kuningan. Burung puyuh yang dipelihara di

Amerika disebut dengan Bob White Quail (Colinus virgianus) sedangkan di China

disebut dengan Blue Breasted Quail (Coturnix chinensis). Klasifikasi burung puyuh

menurut Nugroho dan Mayun (1981) sebagai berikut :

Kingdom :Animalia

Penentuan jenis kelamin dapat dilakukan dengan memperhatikan warna bulu.

Umumnya pertumbuhan bulu lengkap pada burung puyuh dicapai pada umur 2-3

minggu. Bulu puyuh umur 3 minggu sudah tumbuh sempurna terutama pada puyuh

Jepang. Perbedaan karakteristik morfologi antara jantan dan betina disajikan pada

(15)

3 Tabel 1. Perbedaan Burung Puyuh Jantan dan Betina Dewasa Kelamin

Morfologi Jantan Betina

Kepala (Muka) Berwarna coklat gelap dan rahang bawah gelap

Berwarna terang dan rahang bawah putih.

Bulu Dada Coklat kekuning-kuningan dan tanpa garis

Terdapat bercak hitam atau coklat

Dubur (Anus) Terdapat benjolan berwarna merah di atas dubur dan jika ditekan akan mengeluarkan busa berwarna putih

Tidak terdapat benjolan

Suara Cekeker Cekikik

Sumber : Nugroho dan Mayun (1981)

(16)

Performa Produksi Burung Puyuh

Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan merupakan kegiatan masuknya sejumlah nutrisi yang ada di

dalam ransum yang telah tersusun dari bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan

nutrisi ternak. Pakan yang diberikan pada ternak harus disesuaikan dengan umur dan

kebutuhan ternak. Pakan yang dapat diberikan untuk burung puyuh dapat berbentuk

pellet, crumble (remah), atau tepung. Pakan tepung merupakan bentuk pakan paling

cocok bagi burung puyuh karena tingkah laku aktif burung puyuh yang sering

mematuk. Protein, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air mutlak harus tersedia dalam

jumlah yang cukup. Kekurangan salah satu nutrisi tersebut mengakibatkan gangguan

kesehatan dan penurunan produktivitas (Nugroho dan Mayun,1981).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan zat-zat makanan berhubungan

dengan: (1) genetik; (2) makanan dan penyakit serta cekaman-cekaman lain, dan (3)

fungsi-fungsi khusus, seperti mempertahankan kualitas telur (Wahju, 1982).

Konsumsi pakan burung puyuh pada umur lebih dari enam minggu membutuhkan

14-18 gram/ekor dengan kandungan protein 20% dan energi 2600 Kkal/kg (Nugroho

dan Mayun, 1981), sedangkan konsumsi burung puyuh yang memperoleh ransum

rendah protein dengan suplementasi enzim komersial adalah sebesar 17,27-18,61

gram/ekor (Suprijatnaet al., 2008)

Konsumsi pakan dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas pakan yang

diberikan dan faktor lain seperti energi ransum, palatabilitas ransum, umur,

kesehatan, jenis dan aktivitas ternak serta tingkat produksi. Puyuh membutuhkan

unsur nutrisi protein, energi, vitamin, mineral, dan air. Anak burung puyuh (DOQ)

yang baru berumur 0-3 minggu membutuhkan protein 25% dan energi metabolis

2900 kkal/kg. Kadar protein dikurangi menjadi 20% dan energi metabolis menjadi

2600 kkal/kg pada umur 3-5 minggu. Burung puyuh berumur lebih dari 6 minggu

membutuhkan energi dan protein yang sama dengan kebutuhan pada umur 3-5

minggu (Listyowati dan Roospitasari, 2004). Burung puyuh yang mendapat ransum

dengan kadar protein 24% mempunyai konversi makanan yang sama dengan ransum

yang menandung protein 22% tetapi memberikan pertumbuhan yang lebih baik.

(17)

5 Tabel 2. Kebutuhan Zat Makanan Burung Puyuh Layer

Zat-zat makanan NRC SNI

Telur puyuh Jepang (Coturnix-coturnix japonica) berwarna cokelat lurik dan

sering tertutup zat berwarna biru seperti kapur dengan berat 7-8 % dari berat induk

(Nugroho dan Mayun, 1981). Tingkat produksi telur dapat ditentukan melalui dua

metode, hen day production (HD) dan hen housed production (HH). HD adalah

jumlah telur yang dihasilkan kelompok unggas dalam periode tertentu berdasarkan

jumlah unggas aktual yang hidup pada periode tersebut dan dihitung dalam persen.

HH dihitung berdasarkan jumlah telur yang diproduksi oleh jumlah unggas pada saat

awal pemeliharaan dan dihitung dalam persen. HD merupakan metode yang sering

dipakai karena dapat menentukan tingkat produksi telur sesuai dengan jumlah unggas

yang ada.

Produksi telur burung puyuh cukup baik dan bervariasi disebabkan oleh

faktor pemeliharaan dan makanan. Burung puyuh akan mulai berproduksi pada saat

bobot badan sekitar 90-100 gram di umur 6 minggu (35-42 hari) dan produktif

sampai umur 16 bulan pada kondisi pemeliharaan yang baik. Masa produktif burung

puyuh hanya berlangsung sampai enam atau delapan bulan saja jika kondisi kurang

terpelihara. Telur yang dihasilkan pada permulaan fase bertelur berjumlah sedikit dan

akan cepat meningkat seiring dengan pertambahan umur. Burung puyuh betina dapat

(18)

terbaik adalah 80,2%, hal ini dapat dicapai bila pada periode grower mendapat

ransum dengan protein 24% dan selama periode bertelur mendapat ransum dengan

kadar protein 20% (Nugroho dan Mayun, 1981). Kemampuan berproduksi meningkat

dengan cepat hingga mencapai puncak produksi 98% pada umur 4-5 bulan dan

secara perlahan-lahan akan menurun hingga 70% pada umur 9 bulan. Puncak

produksi telur lebih dari 80% dapat dicapai pada minggu ke-13 tahun. Telur yang

dihasilkan di masa awal produksi berukuran lebih kecil dibandingkan dengan telur

yang dihasilkan pada akhir produksi. (Wahju, 1982). Produksi telur burung puyuh

hampir mirip dengan produksi telur ayam. Perbedaannya pada burung puyuh puncak

produksi lebih lama dari pada ayam (Nugroho dan Mayun, 1981).

Protein penting untuk pembentukan telur karena sebanyak 50% dari bahan

kering yang terkandung dalam telur adalah protein. Pemberian asam amino

menjamin kelangsungan sintesis protein yang sangat diperlukan untuk produksi telur

(Wahju, 1982). Pada periode layer cahaya berperan dalam pematangan dan

pelontaran ovum yang pada akhirnya mempengaruhi produksi telur. Cahaya yang

diterima oleh mata unggas akan dilanjutkan ke bagian otak yang disebut

hypotalamus. Hypotalamus ini berperan sebagai pengatur fungsi organ-organ tubuh

yang menggerakkan aktivitas-aktivitas hidup seperti makan, minum, tingkah laku

seksual serta sekresi kelenjar anterior pituitary. Setelah cahaya diterima oleh

hypothalamus maka akan merangsang anterior pituitary untuk mensekresikan

hormon LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) serta

gonadotropin. Setelah mencapai dewasa kelamin, LH (Luteinizing Hormone)

merangsang pelontaran ovum. Hormon FSH merangsang folikel dalam ovarium

sehingga tumbuh dan berkembang dengan cepat serta menghasilkan hormon

estrogen, progesteron dan androgen. Hormon estrogen berfungsi untuk merangsang

perkembangan oviduct, sedangkan progesteron dan androgen penting untuk

merangsang oviduct dalam pembentukan albumen telur (North dan Bell, 1990).

Intensitas cahaya, panjang periode hari terang, dan pola pergantian hari

menghasilkan respon biologi yang berhubungan dengan produksi telur. Intensitas

cahaya minimal sekitar seperempat footcandle (2,69 lux) memberikan peluang bagi

burung puyuh untuk menemukan tempat pakan dan melakukan aktivitas makan.

(19)

7 pada ayam selama periode pertumbuhan menghasilkan kinerja yang optimal selama

periode pertumbuhan maupun periode bertelur. Peningkatan jumlah cahaya sampai

20 jam perhari dapat menigkatkan produksi telur dan konversi ransum pada ayam.

Pada puyuh umur 6-12 minggu membutuhkan lama pencahayaan 22 jam/hari

(Triyanto, 2007)

Pembentukan telur yang terjadi dan dimulai di dalam alat reproduksi unggas

betina merupakan proses panjang dan kompleks serta melalui tenggang waktu yang

relatif konstan. Menurut Yuwanta (2004), tahap-tahap pembentukan telur diawali

dari pelepasan kuning telur (ovum) dari ovarium yang mengandung sekitar

1000-3000 folikel dengan ukuran sangat bervariasi (mikroskopis sampai sebesar satu

kuning telur). Kuning telur mulai tumbuh dengan cepat sekitar 10 hari sebelum

dilepaskan ke dalam infundibulum. Kuning telur tersebut diselimuti oleh suatu

membran folikuler yang menempel pada ovarium. Membran folikuler ini memiliki

bagian yang disebutstigmayang mengandung sedikit pembuluh darah. Stigma robek

dan melepaskan ovum pada saat ovulasi. Kuning telur selanjutnya ditangkap oleh

infundibulum dan langsung menuju ke magnum yang merupakan saluran terpanjang

pada oviduk. Pada saat kuning telur berada di dalam infundibulum memungkinkan

terjadinya proses pembuahan apabila terjadi perkawinan.

Albumen disekresikan dalam magnum untuk membalut kuning telur. Proses

tersebut memerlukan waktu kurang lebih 3 jam. Kuning telur melakukan penetrasi ke

dalam magnum 15-20 menit setelah ovulasi. Putih telur terdiri atas 88% air, protein

(90% bahan kering), mineral (6% bahan kering), glukosa bebas (3,5% bahan kering),

dan sama sekali tidak terdapat lipida. Selain pembentukan putih telur juga terjadi

mekanismeplumpingyaitu mekanisme penyerapan air bersama-sama dengan protein

di dalam proses pembentukan telur. Kalasa terbentuk setelah terjadinya proses

plumping. Setelah berada di dalam magnum maka telur akan memasuki isthmus

untuk pembentukan selaput telur kemudian masuk ke dalam uterus. Uterus adalah

tempat pembentukan kerabang telur, telur berada pada waktu yang cukup lama di

dalam uterus yaitu 18-20 jam. Cangkang telur dibentuk selama 20 jam pada bagian

uterus. Lapisan terakhir dari cangkang yang terbentuk adalah kutikula yang

(20)

Bagian terkahir dari oviduk adalah vagina yang merupakan tempat telur

ditahan untuk sementara dan akan dikeluarkan melalui kloaka (bagian ujung luar dari

oviduk). Organ reproduksi unggas betina disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Organ Reproduksi Unggas Betina (Romanoff dan Romanoff, 1963)

Bobot Telur

Faktor yang menyebabkan variasi bobot telur antara lain pola alami produksi

telur, pakan, dan menajemen serta faktor lain yang berhubungan dengan genetik.

Bobot telur diturunkan secara genetik. Pengaruh lingkungan seperti lingkungan

kandang, besar tubuh induk, tahap kedewasaan, umur, obat-obatan, jenis pakan,

jumlah pakan, dan zat makanan dalam pakan seperti kecukupan protein dan asam

amino linoleat sangat mempengaruhi bobot telur yang dihasilkan (Wahju, 1982).

Kekurangan protein ransum menyebabkan telur berukuran kecil.

Waktu produksi telur dapat mempengaruhi bobot telur. Produksi pertama dari

siklus bertelur menghasilkan telur berbobot lebih rendah dibanding telur berikutnya

pada siklus yang sama dan secara berangsur-angsur meningkat seiring pertambahan

umur dan mencapai bobot maksimum ketika mendekati akhir masa bertelur

(21)

9 kecil dan membesar sesuai pertambahan umur dan akan mencapai ukuran yang stabil

(Wahju, 1982). North dan Bell (1990) menyatakan bahwa variasi bobot telur

biasanya kecil, variasi besar terjadi pada telur double yolk dan telur abnormal

lainnya.

Burung puyuh yang dipelihara pada suhu 22,5-32 oC dengan kandungan

protein pakan sebesar 22% menghasilkan bobot telur sebesar 9,2 gram, 10,1 gram,

dan 11,0 gram, berturut-turut pada umur 8-9 minggu, 20-21, dan 31-32 minggu

(Eishu, 2005).

Konversi Pakan

Konversi adalah jumlah pakan yang dihabiskan untuk tiap satuan produksi

(pertambahan bobot badan atau telur dan produksi lainnya). Perhitungan konversi

pakan menurut Ensminger (1992) adalah jumlah pakan yang dihabiskan dibagi

dengan jumlah bobot telur pada periode tersebut. Angka konversi pakan

menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan pakan. Angka konversi kecil

menunjukkan penggunaan pakan yang efisien dan sebaliknya angka konversi besar

menandakan penggunaan pakan tidak efisien. Semakin banyak pakan yang

dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan produksi, maka semakin buruk pakan

tersebut. Tingkat konversi pakan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti mutu

pakan, tata cara pemberian pakan, dan kesehatan ternak yang berkaitan dengan

tingkat konsumsi (Ensminger,1992)

Rataan konversi pakan puyuh dengan penambahan Omega-3 dan Omega-6

adalah sebesar 3,68 (Suripta dan Astuti, 2006) dan sebesar 3,59 tanpa penambahan

Omega-3 dengan sistem penjatahan pakan (Widjastuti dan Kartasudjana, 2006).

Mortalitas

Persentase kematian burung puyuh secara kumulatif meningkat terus secara

linier sampai umur 100 minggu. Woodard et al. (1973) menyatakan bahwa burung

puyuh betina lebih banyak mengalami kematian pada umur muda dibandingkan

jantan khususnya pada peternakan pembibitan. Burung puyuh jantan hidup lebih

lama daripada betina. Kematian burung puyuh dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan,

pakan, pemberian pakan, sanitasi, temperatur, kelembaban, dan bibit. Romanoff dan

Romanoff (1963) menyatakan bahwa mortalitas kelompok antar ayam petelur akan

(22)

puncak produksi. Penurunan produksi telur terjadi akibat rendahnya vitalitas.

Mortalitas burung puyuh dengan

Indeks Telur

Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa indeks telur merupakan

perbandingan lebar dan panjang telur untuk mengetahui bentuk telur. Telur yang

relatif panjang dan sempit (lonjong) pada berbagai ukuran memiliki indeks telur yang

rendah sedangkan telur yang relatif pendek dan lebar (hampir bulat) memiliki indeks

telur yang tinggi. Setiap burung puyuh menghasilkan bentuk telur yang khas karena

bentuk telur merupakan sifat yang diwariskan.

Telur dianggap memiliki bentuk yang baik apabila indeks telur berukuran

70%-79%. Indeks telur yang ideal adalah 74%. Korelasi antara indeks telur dan daya

tetas ditemukan pada telur ayam (Yuwanta, 2004). Indeks telur yang dihasilkan

puyuh dari peternakan di daerah Ciampea adalah sebesar 79,2% (Elviraet.al.,1994).

Lingkungan Mikro

Suhu lingkungan pada 16-24 oC merupakan suhu ideal bagi burung puyuh

untuk menjamin konsumsi pakan sehingga berproduksi maksimal dan kelembaban

relatif sekitar 70% (Nugroho dan Mayun, 1981). Suhu lingkungan kandang terkait

erat dengan stocking density. Burung Puyuh mempunyai sifat kanibalisme yang

tinggi apabila kepadatan kandang cukup tinggi, sehingga akan mematuk puyuh yang

lain. Besar atau ukuran kandang yang akan digunakan harus sesuai dengan jumlah

puyuh yang akan dipelihara. Apabila luas kandang yang digunakan untuk puyuh

kurang maka dapat menurunkan produktivitas puyuh. Hal ini dapat menyebabkan

puyuh berdesak-desakan dan peluang untuk mendapatkan pakan tidak sama. Luas

lantai bagi burung puyuh disarankan sebesar 100 cm2/ekor, 150 cm2/ekor, dan 250

cm2/ekor berturut-turut untuk burung puyuh umur 0-7 hari, 7-42 hari, dan umur 42

hari atau lebih. Tinggi kotak dalam kandang kira-kira 25 cm dan tidak lebih dari 30

cm. Kondisi atap lebih tinggi agar tidak mengakibakan luka benturan pada kepala

burung puyuh saat terbang ke atas akibat stres (Siregar dan Samosir, 1981).

Ventilasi merupakan pergerakan udara melalui bangunan. Ventilasi

merupakan faktor penting lainnya dalam struktur bangunan perkandangan.

Faktor-faktor lingkungan seperti kecepatan angin, suhu luar dan dalam kandang,

(23)

11 fluktuasi laju ventilasi udara. Udara segar yang dibutuhkan puyuh akan semakin

meningkat apabila suhu meningkat dan bobot puyuh meningkat.

Omega-3

Asam lemak Omega-3 dan asam lemak linolenat adalah asam lemak rantai

panjang karena memiliki rantai atom karbon panjang. Asam lemak Omega-3

memiliki 12-26 rantai karbon dengan posisi ikatan rangkap terletak pada karbon

ke-tiga dari gugus metil (CH3). Asam lemak linolenat memiliki panjang atom karbon

sebanyak 18 dengan tiga ikatan rangkap. Asam linolenat dan asam lemak Omega-3

merupakan asam lemak esensial tidak jenuh (polyunsaturated fatty acid) karena

memiliki ikatan rangkap lebih dari dua pada rantai karbonnya (Montgomeryet al.,

1993).

Asam lemak esensial yang terdapat pada Omega-3 adalah α-linolenic acid

(ALA), docosahexaenoic acid (DHA), dan eicosapentaenoic acid (EPA). ALA

memiliki 3 ikatan rangkap, DHA 6 ikatan rangkap, dan EPA 5 ikatan rangkap dan

masing-masing ikatan rangkap pertama terletak pada atom C ke-tiga.

Gambar 3. Perbedaan Struktur Molekul Omega-3 dan Omega-6

(Montgomeryet al., 1993).

Penambahan Omega-3 terhadap puyuh petelur dapat mempengaruhi performa

produksi burung puyuh. Suplementasi Omega-3 dapat menurunkan produksi telur

(24)

terkandung di dalam pakan (Suripta dan Astuti, 2006). Menurut Stadellman dan

Cotteriil (1995), penambahan Omega-3 dapat berpengaruh terhadap bobot telur

karena Omega-3 merupakan asam lemak yang merupakan penyusun utama dari

kuning telur. Stabilisasi ikatan rangkap Omega-3 dapat dipengaruhi oleh oksidasi,

pemanasan, dan lama penyimpanan.

DHA dan EPA merupakan hasil metabolit dari asam lemak linolenat yang

diperoleh melalui proses elongasi dan desaturasi dengan bantuan enzim elongase dan

desaturase (Montgomery et al., 1993). Gambar 4 menunjukkan tahapan proses

metabolisme asam linolenat yang menghasilkan metabolit berupa DHA dan EPA.

α-linolenat

6-desaturase

Oktadeka tetraenoat

elongase

Eikosatetraenoat

5-desaturase

Eikosapentaenoat

elongase

Dokosapentaenoat

4-desaturase

Dokosaheksaenoat

Gambar 4. Skema Proses Metabolisme EPA dan DHA

(25)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok B Unit Unggas dan

Laboratorium Unggas Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan selama enam

minggu yang dimulai dari pertengahan Desember 2010 sampai akhir Januari 2011.

Materi Bahan

Penelitian ini menggunakan 293 ekor burung puyuh (Coturnix-coturnix

japonica) berumur 80 hari yang diperoleh dari peternakan burung puyuh Bapak

Slamet di daerah Sukabumi, suplemen Omega-3 dengan Paten ID P0023652, dan

pakan komersial SP-22 dengan komposisi seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian

Zat Makanan Jumlah (%)

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2 unit kandangbattery.

Setiap kandang terdiri atas 5 tingkat dan masing-masing tingkat disekat dengan

triplek sehingga terdapat 20 blok dengan ukuran 50 cm x 50 cm. Setiap blok kandang

diisi oleh 13-15 ekor puyuh betina berumur 80 hari. Kandang diberi penerangan

dengan dua lampu pijar kecil berdaya 40 watt. Kotoran burung puyuh ditampung di

bagian bawah kandang dengan karung. Alat utama yang digunakan adalah jangka

(26)

Rancangan Percobaan

Rancangan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri

dari lima perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian

suplemen Omega-3 pada pakan yang terdiri dari lima taraf perlakuan, yaitu:

P1 : Pakan komersil tanpa penambahan suplemen Omega-3

P2 : Pakan komersil dengan penambahan 1,5% Omega-3

P3 : Pakan komersil dengan penambahan 3% Omega-3

P4 : Pakan komersil dengan penambahan 4,5% Omega-3

P5 : Pakan komersil dengan penambahan 6% Omega-3

Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

Yij=+i+ij

Keterangan:

Yij : Nilai pengamatan pada pemberian suplemen pakan Omega-3 perlakuan ke-i

dan ulangan ke-j

 : Nilai rataan umum hasil pengamatan

I : Pengaruh perlakuan ke-i (i = 0%; 1,5%; 3%; 4,5%; dan 6%)

ij : Pengaruh galat pemberian suplemen pakan Omega-3 ke-i dan ulangan ke-j

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Peubah yang diamati pada

penelitian ini adalah produksi telur (% HD), bobot telur (g/butir), konversi pakan dan

indeks telur (%).

Prosedur

Persiapan Kandang

Kandang postal dengan ukuran 3 m x 3 m dibersihkan terlebih dahulu dari

sampah, kotoran, dan debu. Lantai dan dinding kandang dikapur hingga merata.

Kandang disiram secara merata dengan wipol setelah kandang kering untuk

membersihkan sisa-sisa bakteri di dalam kandang. Kandang puyuh (battery)

(27)

15 keluar telur. Kandang puyuh yang telah siap didesinfeksi terlebih dahulu dan

dibiarkan selama beberapa hari.

Pemberian Pakan dan Air Minum

Pemberian jumlah pakan tetap didasarkan pada kebutuhan sesuai periode

pemeliharaan untuk umur lebih dari enam minggu, yaitu sebanyak 20 g/ekor/hari.

Pakan diberikan satu kali sehari, yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB. Pemberian

air minum dilakukan secara bebas ditambah dengan Vitastress yang dilarutkan dalam

air minum hanya pada saat kedatangan puyuh.

Pengambilan Telur dan Penyimpanan

Pengambilan telur dilakukan setiap sore hari pukul 16.00-18.00 WIB. Telur

hasil koleksi disimpan di tempat telur (tray).

Penimbangan dan Pengukuran

Bobot badan setiap burung puyuh ditimbang menggunakan timbangan

O-Hause pada awal dan akhir penelitian. Telur yang sudah disimpan di tray

dikelompokkan berdasarkan perlakuan dan ulangan. Telur ditimbang menggunakan

timbangan O-Hause untuk memperoleh bobot telur per butir. Panjang dan lebar telur

diukur pada tahap selanjutnya untuk mengetahui indeks telur pada setiap akhir

minggu selama enam minggu. Persentase telur kotor dan telur bersih dihitung pada

akhir minggu. Telur dinyatakan bersih apabila kotoran yang menempel pada

kerabang tidak lebih dari 1/32 bagian telur jika kotoran memusat pada satu daerah

dan tidak boleh lebih dari 1/16 bagian telur apabila kotoran menyebar (USDA,

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan performa produksi meliputi produksi telur, bobot telur, dan konversi

pakan) Coturnix-coturnix japonica dengan penambahan Omega-3 dalam pakan

ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Performa Produksi Puyuh yang Diberikan Pakan dengan Suplementasi Omega-3

Peubah P1 P2 P3 P4 P5

Henday (%) 63,28±6,36 66,29±8,51 70,57±6,54 71,6±9,08 64,49±12,43

Bobot Telur (g) 10,04±0,17 10,16±0,21 10,32±0,19 10,20±0,16 10,04±0,21

Konversi Pakan 3,35 3,29 3,10 3,02 3,56

Konsumsi Pakan

Pakan memiliki peranan penting untuk menjamin kelangsungan hidup puyuh

dan produksi telur. Konsumsi pakan burung puyuh berhubungan dengan jumlah

energi yang diperlukan untuk hidup pokok serta konversi pakan untuk produksi telur.

Konsumsi pakan dipengaruhi oleh umur, palatabilitas ransum, kesehatan ternak, jenis

ternak, dan aktivitas ternak. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan

puyuh (keseimbangan energi dan protein).

Pakan yang digunakan dalam penelitian untuk seluruh perlakuan (Tabel 3)

memiliki kandungan nutrien yang sama dan telah memenuhi rekomendasi SNI

(2006) dan NRC (1997) serta sesuai dengan anjuran Listyowati dan Roospitasari

(2004). Pakan yang diberikan dalam penelitian mengandung 20-22% protein dan

telah sesuai dengan kebutuhan puyuh petelur berumur lebih dari enam minggu

sebesar 18-20% seperti direkomendasikan oleh NRC (1997) atau minimal 17%

sesuai rekomendasi SNI (2006).

Pakan diberikan melalui sistem pembatasan sebesar 20 g/ekor/hari. Penyedian

jumlah pakan puyuh fase bertelur disesuaikan dengan kebutuhan agar tidak

kekurangan atau berlebihan. Pembatasan pakan 20 gram/ekor/hari bagi puyuh fase

bertelur tidak mengakibatkan kekurangan pakan dan jumlah protein yang dibutuhkan

puyuh karena seluruh pakan yang diberikan habis dikonsumsi oleh puyuh. Suprijatna

(29)

17 gram/ekor pada pakan berkadar protein rendah yang disuplementasi dengan enzim

komersial.

Pembatasan pakan umumnya dilakukan dalam jumlah pemberian pakan per

hari dan metode pemberian makanan dengan cara sehari diberi pakan dan sehari

tidak diberi pakan. Pembatasan yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk

mengurangi konsumsi kalori. Pemberian pakan secara ad libitum umumnya akan

mengakibatkan kelebihan konsumsi pakan dan energi, sehingga kelebihan konsumsi

pakan tersebut akan diubah menjadi lemak tubuh yang menyebabkan kegemukan dan

akan menurunkan produksi telur. Kebutuhan nutrien unggas petelur lebih tinggi

dibandingkan dengan unggas pedaging. Produksi telur yang tinggi dan bernilai gizi

tinggi memerlukan nutrisi yang lebih tinggi diantaranya protein, energi, dan kalsium

(Cheeke, 2005). Menurut Simopoulos (2006), penambahan Omega-3 dalam pakan

dapat meningkatkan konsumsi pakan.

Omega-3 yang digunakan diperoleh dari hasil dispersi dan emulsi limbah

ikan lemuru dengan campuran ampas tahu yang difermentasikan denganRhizopus Sp

dengan nomor Paten ID P0023652. Penambahan Omega-3 dalam pakan dilakukan

setelah umur puyuh mencapai 80 hari atau 12 minggu karena pada saat puyuh

berproduksi 5% terjadi pergantian pakan sehingga puyuh harus melakukan adaptasi

terlebih dahulu terhadap pakan. Tingkat konsumsi dalam penelitian adalah sebanyak

20 gram/ekor/hari karena pakan yang diberikan habis dikonsumsi oleh puyuh. Pakan

yang tercecer akibat tingkah laku makan puyuh pada setiap perlakuan relatif sama

dan dalam jumlah sedikit. Pakan yang tercecer pada penelitian disebabkan oleh

desain tempat pakan yang kurang baik. Dinding tempat pakan tidak terlalu tinggi dan

tidak diberikan alas pada bagian bawah tempat pakan sehingga pakan yang tercecer

akan langsung terjatuh menyatu dengan pakan yang tercecer dari blok kandang yang

lainnya.

Produksi Telur

Produksi telur yang terkait erat dengan jumlah konsumsi dan kandungan

nutrisi pakan merupakan indikator keberhasilan produksi unggas petelur. Pakan yang

diberikan pada puyuh dibatasi dalam jumlah yang sama sehingga asupan protein

tidak berbeda. Kandungan protein yang tinggi disertai kecukupan energi dan kalsium

(30)

protein dalam pakan menyediakan hormon-hormon di dalam tubuh unggas yang

digunakan untuk produksi telur (Wahju, 1982). Pemberian asam amino yang rendah

mengakibatkan protein telur yang terkomposisi dari asam amino tidak terbentuk.

Kandungan nutrisi yang berbeda antar perlakuan terdapat pada konsumsi

Omega-3. Omega-3 merupakan asam lemak dan bukan merupakan sumber protein,

sehingga penambahan Omega-3 tidak memberikan pengaruh yang banyak terhadap

produksi telur. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Suripta dan Astuti

(2006) yang menemukan bahwa penambahan Omega-3 menurunkan produksi telur.

Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan protein pada penelitian lebih tinggi

dibandingkan pada penelitian tersebut. Asam lemak esensial yang banyak

mempengaruhi produksi telur adalah asam lemak Omega-6 (Wahju, 1982).

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa produksi telur paling tinggi terdapat

pada perlakuan ke-empat yaitu dengan taraf penambahan Omega-3 4,5% dan

produksi telur terendah terdapat pada perlakuan kontrol. Peningkatan produksi

hingga taraf ke-empat merupakan efek penambahan kalori yang diberikan oleh

penambahan Omega-3 sehingga dapat meningkatkan produksi telur, namun pada

taraf 6% penambahan Omega-3 mengalami kejenuhan dan produksi telur menurun

kembali mendekati perlakuan kontrol. Produksi telur dalam penelitian berkisar

63,28-71,6% dengan rata-rata 67,25%. Hasil ini masih tergolong cukup baik karena

puyuh dengan umur 10-20 minggu yang diberi kadar protein 20-22% tanpa

penambahan Omega-3 dengan lama pencahayaan 22 jam/hari memiliki produksi

telur berkisar 63-71,7% (Eishu, 2005)

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi produksi telur adalah cahaya

yang berperan dalam pematangan dan ovulasi ovum untuk produksi telur. Cahaya

yang diterima oleh retina mata unggas akan dilanjutkan ke bagian otak

(hypothalamus) dan merangsang anterior pituitary untuk mensekresikan hormon

reproduksi yaitu FSH dan LH. Hormon FSH berfungsi untuk pematangan folikel

sedangkan hormon LH berfungsi untuk merobek stigma sehingga telur dapat

diovulasikan. Cahaya yang diberikan dalm penelitian ini tidak berbeda pada setiap

perlakuan, yaitu menggunakan lampu pijar berdaya 40 watt sehingga perbedaan

(31)

19 Pada dasarnya burung puyuh dan ayam memiliki kekerabatan yang cukup

dekat karena masih dalam famili yang sama sehingga memiliki kesamaan dalam

fungsi fisiologis seperti lama pembentukan telur pada puyuh sama dengan

pembentukan telur pada ayam yaitu 24-27 jam.

Gambar 5. Rataan Produksi Telur Selama Penelitian

Gambar 5 menunjukkan produksi telur ke-lima perlakuan mengalami

peningkatan sampai minggu ke-tiga namun terjadi sedikit penurunan pada minggu

ke-empat. Penelitian ini belum menunjukkan penurunan produksi secara signifikan

karena belum mencapai puncak produksi. Penurunan produksi yang terjadi pada

minggu ke-empat disebabkan oleh pemberian cahaya yang kurang karena pada

minggu ke-empat penerangan pada kandang mengalami gangguan serta manajemen

pemeliharaan yang kurang baik sehingga suhu di dalam kandang pada minggu

tersebut meningkat.

Puyuh yang telah mencapai berat badan 90-100 gram akan segera mulai

bertelur pada umur 35-42 hari. Kemampuan berproduksi mulai awal produksi akan

terus mengalami kenaikan secara drastis hingga mencapai puncak produksi lebih dari

80% pada umur 4-5 bulan dan secara perlahan-lahan akan menurun hingga 70% pada

umur 9 bulan (Nugroho dan Mayun, 1981). Menurut hasil penelitian Triyanto (2007),

produksi telur puyuh dengan lama pencahayaan 22 jam/hari adalah 67,47%.

Penelitian ini menemukan produksi telur pada umur 16 minggu belum mencapai 80%

(32)

karena lama pencahayaan pada minggu tersebut sangat kurang, penyinaran dalam

penelitian adalah 12-13 jam dan kepadatan kandang yang terlalu tinggi, yaitu 0,25 m2

untuk 13-15 ekor. Menurut Siregar dan Samosir (1981), kepadatan kandang untuk

puyuh berumur lebih dari 42 hari adalah 0,25 m2 untuk 10 ekor puyuh. Tingkat

kepadatan yang lebih tinggi dapat mengakibatkan peningkatan suhu dalam kandang

yang mempengaruhi produksi telur.

Bobot Telur

Bobot telur merupakan sifat kualitatif yang dapat diturunkan. Faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi bobot telur adalah jenis pakan, jumlah pakan, genetik,

lingkungan kandang, masa bertelur, dan ukuran tubuh induk (Yuwanta, 2004). Faktor

penting yang sangat mempengaruhi bobot telur adalah kecukupan protein dan asam

amino dalam pakan serta kandungan asam linoleat (Wahju, 1982). Bobot telur

dipengaruhi oleh asupan asam amino terutama metionin dan asam lemak linoleat dari

pakan yang diberikan (Leeson dan Summer, 1991). Asam linoleat mengontrol

protein dan lipida yang diperlukan untuk perkembangan folikel dan secara langsung

mengontrol ukuran telur (March dan McMillan, 1994).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan Omega-3 sangat sedikit

sekali mempengaruhi bobot telur bahkan hampir tidak mempengaruhi. Hal ini sesuai

dengan penelitian Suripta dan Astuti (2006) yang melaporkan bahwa penambahan

Omega-3 tidak mempengaruhi bobot telur. Ukuran kuning telur disebabkan oleh

kandungan metionin dan asam linoleat yang terdeposit dalam kuning telur. Proses

deposisi asam linoleat dalam kuning telur (vitelogeni) memerlukan waktu yang

cukup lama dan merupakan proses akumulasi kuning telur dari sebuah folikel di

ovarium. Asam linoleat yang terdeposit pada kuning telur pada berasal dari

kandungan pakan bukan dari panambahan Omega-3 sehingga penambahan Omega-3

tidak terlalu mempengaruhi terhadap bobot telur.

Proses pembentukan telur dimulai saat unggas masih dara dan berakhir

beberapa saat sebelum ovulasi. Proses pencernaan makanan terjadi sebelum

memasuki proses vitelogeni. Omega-3 akan mengalami proses pemecahan lemak di

dalam hati karena pemecahan lemak memerlukan kehadiran garam-garam empedu

yang dihasilkan hati dan disimpan dalam kantung empedu. Garam empedu

(33)

21 dalam lekukan duodenum. Lemak yang berbentuk emulsi selanjutnya dipecah

menjadi asam lemak dan gliserol dengan bantuan enzim lipase dari kelenjar

pankreas. Asam lemak dan gliserol merupakan hasil akhir dari pencernaan lemak.

Bahan penyusun kuning telur termasuk Omega-3 disintesis dalam hati dan

ditransportasikan oleh darah menuju oocyt untuk perkembangan folikel sehingga

Omega-3 akan terdeposit pada kuning telur. Proses lipogenesis di hati meningkat

antara 15-20 kali saat unggas mencapai dewasa kelamin.

Suplementasi Omega-3 dalam pakan merupakan sumber asam lemak

linolenat dan bukan asam linoleat yang dapat mengontrol bobot kuning telur. Kisaran

bobot telur pada penelitian adalah 10,04-10,32 dengan rata-rata bobot telur yang

dihasilkan adalah 10,15 gram/butir. Bobot telur tertinggi terdapat pada penambahan

Omega-3 taraf 3% sedangkan bobot telur terendah terdapat pada penambahan

Omega-3 taraf 6% yang hampir sama dengan kontrol. Hasil ini masih tergolong

cukup baik dan sedikit lebih tinggi dari hasil penelitian Suripta dan Astuti (2006)

yang menghasilkan bobot telur puyuh dengan suplementasi Omega-3 dan Omega-6

sebesar 9,44 gram karena kandungan protein yang digunakan pada penelitian ini

sedikit lebih tinggi (20-22%) dibandingkan dengan hasil penelitian Suripta dan

Astuti (2006) (20%) meskipun diimbangi dengan Omega-6 yang dapat mengontrol

bobot telur. Menurut Nugroho dan Mayun (1981), bobot telur puyuh sekitar 7-8%

dari bobot telur. Bobot induk dalam penelitian ini sekitar 120-150 gram/ekor,

dengan demikian bobot telur yang dihasilkan sedikit lebih tinggi dari pernyataan

tersebut.

Bobot telur biasanya seragam, hanya pada telur double yolk dan telur

abnormal lainnya yang tidak seragam. Faktor yang menyebabkan variasi bobot telur

antara lain pola alami produksi telur, akibat pakan dan menajemen serta faktor lain

yang berhubungan dengan genetik. Pola alami produksi telur yaitu telur yang

dihasilkan ketika baru mulai bertelur berukuran kecil dan semakin besar sampai

mencapai bobot telur yang stabil. Double yolk yang terjadi dapat disebabkan oleh

adanya gerakan peristaltik pada saluran reproduksi yang menyebabkan kuning telur

terlempar kembali ke atas dan akan menyatu bersama dengan kuning telur berikutnya

yang diovulasikan. Rataan bobot telur puyuh setiap minggu pada penelitian ini

(34)

Gambar 6. Rataan Bobot Telur Puyuh Selama Penelitian

Rataan bobot telur setiap minggu tidak jauh berbeda. Peningkatan bobot telur

sampai minggu ke-tiga disebabkan oleh masa bertelur puyuh. Produksi pertama dari

suatu siklus berbobot lebih rendah dibanding telur berikutnya pada siklus yang sama.

Pertambahan umur puyuh akan menghasilkan bobot telur yang semakin besar pada

siklus produksi yang sama. Penurunan bobot telur pada minggu ke-empat disebabkan

oleh kondisi cuaca yang cukup ekstrim dan suhu lingkungan yang meningkat. North

dan Bell (1990) menyatakan bahwa suhu lingkungan merupakan faktor lingkungan yang

dapat mempengaruhi bobot telur. Kenaikan suhu lingkungan dapat menurunkan ukuran

telur dan kualitas kerabang telur. Suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan

menurunnya bobot telur karena kandungan air yang terdapat pada telur akan

menguap. Suhu yang ideal untuk kelangsungan hidup puyuh adalah 16-24 ºC.

Konversi Pakan

Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang

dikonsumsi oleh puyuh dengan produksi yang dihasilkan. Konversi pakan dalam

penelitian ini diperhitungkan dari konsumsi pakan dan bobot telur yang dihasilkan

dalam satuan gram. Konversi pakan menunjukkan penggunaan pakan atau tingkat

efisiensi pakan. Konversi pakan mencerminkan tingkat keberhasilan dalam memilih

pakan yang berkualitas. Nilai konversi pakan semakin tinggi menunjukkan semakin

banyak pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu gram bobot telur. Nilai

(35)

23 konversi pakan semakin kecil menandakan kualitas pakan atau efisiensi pakan

semakin baik. Nilai konversi pakan akan berbanding terbalik dengan nilai efisiensi

pakan. Nilai konversi pakan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya mutu

ransum, tata cara pemberian ransum, dan kesehatan ternak.

Konversi pakan pada penelitian memiliki kisaran 3,02-3,56 dengan rataan

konversi 3,26. Konversi tertinggi terdapat pada penambahan Omega-3 taraf 6% dan

konversi terkecil terdapat pada taraf 4,5%. Konversi pakan mengalami penurunan

pada penambahan Omega-3 sampai taraf 4,5% namun mengalami peningkatan pada

perlakuan ke-lima. Perlakuan kelima membutuhkan pakan lebih banyak yaitu 3,56

gram untuk menghasilkan satu gram bobot telur, sedangkan perlakuan ke-empat

hanya membutuhkan pakan 3,02 gram pakan untuk menghasilkan satu gram bobot

telur. Konversi pakan yang cukup jauh anatar perlakuan empat dan perlakuan

ke-lima disebabkan oleh produksi telur pada perlakuan tersebut cukup jauh meskipun

rataan bobot telur relatif sama karena hal yang menentukan besarnya konversi pakan

adalah total bobot telur bukan rataan bobot telur. Meskipun nilai konversi tertinggi

sebesar 3,56, konversi yang dicapai masih dalam batas efisiensi pakan. Rataan

tersebut masih dapat dinyatakan efisien karena konversi pakan puyuh berumur 10

minggu yang diberi pakan dengan suplementasi Omega-3 dan Omega-6 sebesar 3,68

(Suripta dan Astuti, 2006). Tingkat efisiensi ini disebabkan pakan yang diberikan

dalam penelitian diberikan secara terbatas. Sementara rataan konversi pakan tanpa

penambahan Omega-3 dengan sistem penjatahan pakan adalah 3,59 (Widjastuti dan

Kartasudjana, 2006).

Konversi pakan berbanding terbalik dengan tingkat efisiensi pakan. Efisiensi

terbaik terdapat pada perlakuan ke-empat yaitu pada tingkat penambahan Omega-3

sebanyak 4,5%. Perlakuan ke-lima menghasilkan tingkat efisiensi paling buruk

dibanding perlakuan lainnya karena membutuhkan pakan yang lebih banyak untuk

menghasilkan satu gram bobot telur. Nilai efisiensi pakan belum tentu dapat

dinyatakan mencapai efisiensi ekonomis karena harga pakan yang berbeda

menghasilkan nilai efisiensi ekonomis berbeda.

Konversi pakan cenderung menurun kemudian meningkat kembali seperti

(36)

Gambar 7. Rataan Konversi Pakan Burung Puyuh Selama Penelitian

Gambar 7 memperlihatkan masing-masing perlakuan mengalami penurunan

konversi pakan sampai minggu ke-tiga kemudian mengalami peningkatan pada

minggu ke-empat sampai minggu ke-lima. Penurunan konversi pakan ini disebabkan

karena produksi telur pada minggu tersebut mengalami peningkatan dengan total

bobot telur lebih tinggi dibandingkan pada minggu yang lain pada masing-masing

perlakuan.

Indeks Telur

Pengamatan bentuk telur dilakukan dengan mengukur dan menghitung

perbandingan lebar atau diameter terlebar telur dengan panjang telur. Pengukuran

indeks telur bertujuan untuk mengetahui bentuk telur. Bentuk telur yang seragam

akan memudahkan dalam pemasaran telur karena pemasaran telur puyuh di pasaran

tidak berdasarkan bobot telur melainkan keseragaman telur. Selain itu, indeks telur

dapat memudahkan untuk memilih telur yang baik untuk ditetaskan pada usaha

pembibitan. Indeks telur yang lebih kecil dengan bentuk yang lebih lonjong lebih

baik untuk ditetaskan.

Telur puyuh yang diukur sebanyak 10% dari masing-masing perlakuan.

Pengukuran indeks telur dilakukan pada minggu ke-dua karena pada minggu pertama

diasumsikan bahwa perlakuan belum berpengaruh terhadap kualitas telur. Indeks

telur puyuh yang diberi pakan dengan suplementasi Omega-3 selama lima minggu

(37)

25 Tabel 5. Indeks Telur Puyuh (Coturnix-coturnix japonica)

Perlakuan Minggu

P1 76,03 80,3 77,96 80,13 78,86 78,65

P2 78,25 81,63 79,69 79,56 79,56 79,74

P3 77,88 81,94 79,96 78,09 77,72 79,12

P4 77,05 86,58 77,23 78,83 82,44 80,42

P5 78,64 78,46 78,86 78,8 80,83 78,92

Rataan 77,57 81,78 78,74 79,08 79,88 79,37

Berdasarkan Tabel 5, penambahan Omega-3 sampai minggu ke-enam tidak

mempengaruhi indeks telur karena indeks telur lebih dipengaruhi oleh genetik. Hal

ini dapat dilihat dari perbedaan rataan indeks telur yang relatif kecil. Strain puyuh

yang digunakan adalah sama sehingga indeks telur tidak menunjukkan hasil yang

berbeda. Indeks telur pada penelitian memiliki kisaran 78,65-80,42% dengan rataan

79,37%. Nilai Indeks telur tertinggi diperoleh pada perlakuan ke-empat dan

perlakuan terkecil diperoleh pada kontrol. Variasi indeks telur tersebut disebabkan

oleh variasi individu dari puyuh yang diteliti. Hasil penelitian ini hampir sama

dengan pernyataan Elvira et al. (1994) bahwa indeks telur yang dihasilkan puyuh

dari peternakan di daerah Ciampea adalah sebesar 79,2% dan sesuai dengan hasil

penelitian Woodardet al. (1973) berkisar 70-79%.

Gambar 8. Rataan Indeks Telur Burung Puyuh Selama Penelitian

(38)

Perkembangan indeks telur setiap minggu mengalami peningkatan pada

minggu ke-tiga kemudian turun kembali pada minggu ke-empat. Gambar 8

memperlihatkan bentuk telur semakin bulat hingga minggu ke-tiga. Nilai indeks telur

ini bervariasi antara individu dalam suatu kelompok dan peneluran dari satu seri

peneluran. Penyebab terjadinya variasi indeks telur belum dapat diterangkan secara

jelas, namun diduga sebagai akibat dari perputaran telur di dalam alat reproduksi

karena ritme tekanan dari alat reproduksi atau ditentukan oleh diameter lumen alat

reproduksi. Indeks telur puyuh cenderung lebih besar dibandingkan dengan indeks

telur ayam sehingga bentuk telur puyuh lebih bulat dibandingkan dengan telur ayam.

Hal ini dapat disebabkan karena saluran reproduksi pada puyuh lebih bulat

dibandingkan dengan saluran reproduksi pada ayam.

Informasi lain yang diperoleh dari penelitian ini adalah persentase telur kotor

dan telur retak tergolong tinggi. Persentase telur kotor dari seluruh telur yang

diproduksi berkisar antara 9-32% dan telur yang retak sebanyak 0-9%. Keragaman

yang cukup besar ini disebabkan oleh kondisi kandang yang kurang baik serta

kesulitan untuk menentukan kotoran dari warna kerabang karena warna kerabang

dari telur puyuh berbeda dengan telur ayam. Kerabang telur puyuh bercorak hitam

kebiru-biruan karena memiliki pigmen kerabang biliverdin dan oophorpyrin

(Nugroho dan Mayun, 1981) yang tidak dimiliki oleh telur unggas yang lain. Telur

retak dapat dilihat dari keretakan kerabang telur. Kondisi kerabang sedikit retak tetap

digolongkan ke dalam telur retak. Telur bersih dapat diamati dari keberadaan kotoran

yang menempel pada kerabang. Pengukuran bagian kerabang telur diperlihatkan

pada Gambar 9.

(39)

27 Dalam penelitian ini rata-rata mortalitas sebesar 2%. Kematian ini terjadi

pada minggu pertama, ke-dua, dan ke-lima. Kematian tidak disebabkan oleh

penambahan Omega-3 dalam pakan melainkan lebih banyak disebabkan oleh

manajemen kandang yang kurang baik. Kematian burung puyuh dipengaruhi oleh

pemeliharaan, pakan, pemberian pakan, sanitasi, temperatur, kelembaban, dan bibit.

Tingkat kematian puyuh dalam penelitian ini disebabkan oleh kepadatan kandang

yang berlebih sehingga mendorong puyuh untuk keluar melalui lubang tempat

saluran keluar telur sehingga terjepit dan juga disebabkan oleh atap kandang yang

terlalu rendah sehingga kepala puyuh akan terbentur pada saat puyuh terbang karena

tingkah laku dari puyuh yang sangat agresif. Kandang yang digunakan berupa

kandangbatterydengan alas terbuat dari kawat yang berupa panggung. Alas kandang

ini memiliki keuntungan dan kelebihan masing-masing. Kelebihan dari alas kawat

yaitu mempermudah pengumpulan kotoran yang tertampung dibawahnya, sedangkan

kekurangan dari alas kawat adalah dapat menyebabkan puyuh yang memiliki kaki

lebih kecil terperosok ke dalam lubang kawat.

Sebagian puyuh yang mati tersebut terdapat pada saluran keluar telur dan

dalam keadaan mata atau kepala memar karena terbentur atap kandang dan kaki

cacat. Siregar dan Samosir (1981) menyarankan luas untuk burung puyuh umur 42

hari atau lebih seluas 250 cm2/ekor sementara kandang yang digunakan berukuran

0,50 m2 diisi dengan 13-15 ekor puyuh berumur 12 minggu atau 166-192/ekor.

Manajemen kandang yang baik menyediakan saluran tempat keluar telur puyuh yang

disesuaikan dengan ukuran telur puyuh sehingga puyuh tidak mampu untuk keluar

dari lubang tersebut dan kepadatan kandang pun harus diperhatikan untuk mencegah

(40)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penambahan Omega-3 dalam pakan puyuh tidak berpengaruh terhadap

performa produksi dan indeks telur puyuh (Coturnix-coturnix japonica).

Penambahan Omega-3 terbaik terdapat pada taraf pemberian 4,5% berdasarkan

produksi telur yang cenderung lebih tinggi dan nilai konversi yang cenderung lebih

rendah dibandingkan dengan taraf yang lain.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penambahan Omega-3 dan

Omega-6 dalam pakan terhadap performa puyuh (Coturnix-coturnix japonica).

Sistem perkandangan yang lebih baik sangat diperlukan meliputi kepadatan kandang

yang disesuaikan dengan luasan kandang yang dibutuhkan oleh puyuh, alas kawat

(41)

29 UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahi Robbil’alamin, segala puji Penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

ini. Shalawat serta salam tak lupa Penulis panjatkan kepada junjungan nabi besar

Muhammad SAW.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai

pihak yang telah membantu dan mendukung Penulis sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan dengan baik, meskipun masih banyak terdapat kekurangan.

Pertama-pertama Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibunda tercinta Lilis Maliah

dan Ayahanda tercinta Hery Achmad S.Sos yang telah memberikan do’a, kasih

sayang dan perhatian serta pengorbanan kepada Penulis baik secara moril maupun

materiil serta kepada seluruh keluarga besar atas doa, wejangan dan dukungannya

kepada Penulis. Terima kasih kepada Dr. Rudi afnan, S.Pt. M.Sc. Agr. dan Ir. Niken

Ulupi, MS. selaku dosen Pembimbing Skripsi yang dengan penuh kesabaran

mengarahkan dan membimbing, memberikan semangat, saran dan kritik selama

penelitian dan penulisan skripsi, serta tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada

Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu Hidayati Soesanto, M.S. yang telah memberikan materi

penelitian kepada Penulis.

Terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Peternakan IPB atas ilmu yang

diberikan selama ini, sahabat-sahabat terbaik Penulis (Rismawati Siti S dan Riany

Mariza F) yang telah memberikan dukungan semangat serta motivasinya,

teman-teman Fakultas Peternakan IPTP 44 (Bening Ismawati dan Andika Widhi) terima

kasih atas kerja samanya yang baik dalam penelitian ini, serta tak lupa saya ucapkan

terima kasih kepada seseorang yang spesial bagi Penulis yaitu Sabda Mashdar SP.

Atas bantuan, dukungan, dan semangatnya kepada Penulis. Penulis mengucapkan

terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya

yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua

pihak khususnya Penulis.

Bogor, Juli 2011

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Cheeke, P.R. 2005. Applied Animal Nutrition: Feed and Feeding. 3th Ed. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey.

Eishu, R. 2005. Effects of dietary protein levels on production and caracteristics of japanese quail egg. The Journal of Poultry Science, 42 : 130-139

Elvira, S., T. S. Soewarno, & S. M. Sri. 1994. Studi komparatif sifat mutu dan fungsional telur puyuh dan telur ayam ras. Volume ke-5. Teknologi dan Industri Pangan, Bogor.

Ensminger, M. A. 1992. Poultry Science (Animal Agriculture Series). 3rd Edition. Interstate Publishers, Inc. Danville, Illinois.

Leeson, S. & J. D. Summer. 1991. Commercial Poultry Nutrition. University Books, Guelph, Ontario.

Listiyowati, E. & K. Roospitasari. 2004. Puyuh: Tata Laksana Budi Daya Secara Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta.

March, B. E. & C. MacMillan. 1994. Linoleic acids as a mediator of egg size. Poultry Sci. 69 : 634-639.

Montgomery, R., R. L. Dryer, T. W. Conway, & A. A. Spector. 1993. Biokimia: Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus. Jilid 2. Edisi keempat. Terjemahan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

National Research Council [NRC]. 1997. Nutrient Requirement of Poultry. National Academy Press, Washington, D.C.

North, M, O. & D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed .Van Nostrand Reinhold, New York.

Nugroho, & Mayun, K.T. 1981. Beternak Burung Puyuh. Eka Offset, Semarang.

Romanoff, A.L & A.J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. 2nd. John Willey & Sons Inc., New York.

Simopoulos, A.P. 2006. The omega-6/Omega-3 ratio the scientific evidence and the need to return the Omega-3 fatty acids into eggs and other foods. In: Sim, J.S. & H.H. Sunwoo (Eds). The Amazing Egg. The Center for Genetics, Nutrition and Health Washhington D.C. 11: 195-218.

Siregar, S.P. & D.J. Samosir, 1981. Pedoman Beternak Burung puyuh. Direktorat Bina Produksi Peternakan, Dirjen Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta.

Standar Nasional Indonesia [SNI]. 2006. SNI 01-3907-2006. Pakan puyuh bertelur (quail layer). Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Stadelman, W. J. & O. J. Cotterill. 1995. Eggs Science and Technology. 4thEd. The Avy Publishing, Inc, Wetsport, Connecticut.

(43)

31 Suripta, H. & P. Astuti. 2006. Pengaruh penggunaan minyak lemuru dan minyak sawit dalam ransum terhadap rasio asam lemak Omega-3 dan omega-6 dalam telur burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica). J. Indon. Trop. Anim. Agric. Akademi Karanganyar, Surakarta.

Triyanto. 2007. Performa Produksi Burung Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) Periode Produksi Umur 6-13 Minggu Pada Lama Pencahayaan Yang Berbeda. Skripsi. Jurusan Program Studi Teknologi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

United State Department of Agriculture [USDA]. 2000. Egg Grading Manual. Agricultural Handbook number 75, Washington DC.

Wahju, J. 1982. Ilmu Nutrisi Unggas. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Widjastuti, T. & Kartasudjana. 2006. Pengaruh pembatasan ransum dan implikasinya terhadap performa puyuh petelur pada fase produksi pertama. J. Indon. Trop. Anim. Agric. Fakultas Peternakan, Institut Padjajaran, Bandung.

Woodard, A. E., H. Ablanalp, W. O. Wilson, & P. Vohra. 1973. Japanese Quail Husbandry in the Laboratory. University of California, Davis..

(44)
(45)

Lampiran 1. Analisis Ragam Produksi Telur Puyuh

Sumber

Keragaman

db JK KT F hitung Nilai P

Perlakuan 4 216,80 216,8 0,69 0,610

Galat 15 1177,49 1177,49

Total 19 1394,29

Lampiran 2. Analisis Ragam Bobot Telur Puyuh

Sumber

Keragaman

db JK KT F hitung Nilai P

Perlakuan 4 0,17633 0,17633 1,09 0,397

Galat 15 0,60715 0,60715

Total 19 0,78348

Lampiran 3. Analisis Ragam Konversi Pakan Puyuh

Sumber

Keragaman

db JK KT F hitung Nilai P

Perlakuan 4 0,7207 0,7207 0,75 0,571

Galat 15 3,5835 0,5835 0,2389

Total 19 4,3042

Lampiran 4. Analisis Ragam Indeks Telur Puyuh

Sumber

Keragaman

db JK KT F hitung Nilai P

Perlakuan 4 4064,0 4064 2,73 0,058

Galat 20 7431,2 7431,2

(46)
(47)

PERFORMA PRODUKSI BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix

japonica) YANG DIBERI PAKAN DENGAN

SUPLEMENTASI OMEGA-3

SKRIPSI

DEVIANTI HERY ACHMAD

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(48)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Telur puyuh merupakan bahan makanan sumber protein hewani yang bernilai

gizi tinggi, mudah diperoleh dan diolah serta harga relatif terjangkau. Kondisi

eksternal dan internal telur menentukan kualitas telur. Kualitas telur secara umum

dipengaruhi oleh pakan yang diberikan, kesehatan dan penyakit, serta penanganan

telur.

Komposisi fisik telur terdiri dari putih telur (albumen) dan kuning telur (yolk)

serta kerabang telur (shell) dan membran tipis telur. Putih telur tersusun dari protein

sebagai komponen utama, sementara kuning telur tersusun dari lemak. Omega-3

merupakan asam lemak tidak jenuh yang terkandung dalam kuning telur. Asam

lemak Omega-3 memiliki ikatan rangkap pada rantai atom karbon pada posisi atom

karbon ketiga dari gugus metil. Asam lemak Omega-3 yang banyak dikenal adalah

asam linolenat, eicosapentaenoat acid (EPA) dan docosahexaenoat acid (DHA).

Asam lemak tidak jenuh Omega-3 beserta turunannya EPA dan DHA banyak

terdapat dalam minyak ikan Tuna atau ikan laut lainnya seperti ikan Sarden dan ikan

Lemuru.

Penelitian penambahan Omega-3 ke dalam pakan sudah dilakukan pada

unggas petelur. Penambahan asam lemak tidak jenuh dalam pakan menghasilkan

kuning telur yang lebih besar sehingga berpengaruh terhadap bobot telur (Stadellman

dan Cotterril, 1995). Peningkatan produksi telur puyuh dilaporkan oleh Suripta dan

Astuti (2006). Pengaruh suplementasi terhadap tingkat produksi telur tidak

menunjukkan hasil yang konsisten.

Peningkatan kandungan Omega-3 dalam kuning telur telah banyak dilaporkan

tetapi inkonsistensi pengaruh suplementasi Omega-3 terhadap produksi telur

merupakan dasar dilakukannya penelitian ini.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui performa produksi telur puyuh

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Burung Puyuh Jantan dan Betina Dewasa Kelamin
Tabel 2. Kebutuhan Zat Makanan Burung Puyuh Layer
Gambar 2. Organ Reproduksi Unggas Betina (Romanoff dan Romanoff, 1963)
Gambar 3. Perbedaan Struktur Molekul Omega-3 dan Omega-6
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian probiotik starbio pada ransum burung puyuh tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi ransum, produksi telur, berat telur dan konversi ransum burung

Penambahan probiotik Candida utilis dalam pakan sebanyak 0,1-0,4% tidak dapat meningkatkan penampilan produksi burung puyuh yang meliputi konsumsi pakan, Hen Day Production

Pemberian ransum yang mengandung kromium dengan taraf 1,5 ppm pada burung puyuh tidak mempengaruhi konsumsi ransum, produksi telur, bobot telur, dan ketebalan

dapat mempengaruhi bobot telur. Produksi telur ditentukan oleh produksi ovum dan produksi ovum ditentukan oleh jumlah pakan yang dikonsumsi dan proses hormonal 53.

Suplementasi minyak ikan tuna 4% ke dalam pakan mampu meningkatkan berat telur, sedangkan suplementasi minyak ikan tuna dan minyak ikan lemuru pada pakan jagung kuning

Pemberian ekstrak jamu pada air minum burung puyuh tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi pakan, produksi telur, bobot telur dan konversi pakan,

Pemberian ransum yang mengandung kromium dengan taraf 1,5 ppm pada burung puyuh tidak mempengaruhi konsumsi ransum, produksi telur, bobot telur, dan ketebalan

Grafik Konsumsi Pakan Puyuh yang Diberi Pakan Ayam Petelur Konsumsi pakan pada hasil penelitian ini lebih tinggi daripada rataan konsumsi pakan 20,83g ± 0,65 pada puyuh berumur 35 – 67