PERFORMA PRODUKSI BURUNG PUYUH (
Coturnix coturnix
japonica
) PADA PERBANDINGAN JANTAN DAN
BETINA YANG BERBEDA
SKRIPSI DUTA SETIAWAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
DUTA SETIAWAN. D14101065. 2006. Performa Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) pada Perbandingan Jantan dan Betina yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Sri Darwati, MSi.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. M. M. Siti Sundari K.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang A Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari akhir Januari sampai dengan awal April 2005.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan perbandingan jantan dan betina yang tepat terhadap performa produksi serta persaingan antar pejantan dalam mengawini betina akan berpengaruh terhadap performa produksi burung puyuh. Diharapkan hasil penelitian berguna bagi masyarakat pada umumnya, khususnya bagi peternak dan sekaligus memberikan informasi untuk penelitian lebih lanjut.
Penelitian ini menggunakan 180 ekor burung puyuh Coturnix coturnix japonica berumur empat minggu. Burung puyuh betina berjumlah 144 ekor dan burung puyuh jantan berjumlah 36 ekor.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok dengan enam taraf perlakuan dan empat ulangan sebagai kelompok, dengan taraf perlakuannya adalah perbandingan jantan dan betina yaitu: 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12. Data yang diperoleh diuji sebaran normalnya terlebih dahulu dengan uji Lilliefors (Nasoetion dan Barizi, 1975) yaitu salah satu tipe dari uji Kolmogorov-Smirnov (Mattjik dan Sumertajaya, 2002), selanjutnya dianalisis ragam.
Berdasarkan hasil analisis ragam, pengaruh perlakuan dan kelompok pada penelitian terhadap berat telur, berat badan, produksi telur, indeks telur, konsumsi pakan dan konversi pakan tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan jantan dan betina dengan kisaran 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 tidak mempengaruhi performa produksi burung puyuh.
Penggunaan jantan lebih dari satu dalam satu kandang koloni tidak menimbulkan persaingan, perkelahian dan kegaduhan. Pada penelitian ini, diperoleh informasi bahwa penggunaan imbangan 1:6 dalam satu kandang koloni dengan jantan lebih dari satu ekor akan lebih efisisen dibandingkan perbandingan jantan dan betina yang lebih sedikit.
ABSTRACT
Production Performance of Japanese Quail ( Coturnix coturnix japonica) at Different Male and Female Comparison
Setiawan, D., S. Darwati, and M. M. Siti Sundari K
This research was conducted in Laboratory of Field A of Laboratory of Animal Breeding and Genetics , Poultry Production, Faculty of Animal Husbandary Bogor Agricultural University from the end of January until the beginning of April 2005. This research was conducted to examine the ratio of male and female Japanese Quail (Coturnix coturnix japonica) to production performance egg’s weight, body’s weight, egg’s production, egg’s indexs, feed consumption and feed convertion from competition between a male and another male in one colony cage. Findings of the research show that the effect of ratio of male and female to egg’s weight, body’s weight, egg’s production, egg’s indeks, feed consumption and feed convertion is not significant.The use of two and one male in the colony cage have the percentage of fertility is not significant, because the competition between a male and another male is very small. The use of two male with many female in one colony cage will be more efficient compared to a few female and male comparison.
PERFORMA PRODUKSI BURUNG PUYUH (
Coturnix coturnix
japonica
) PADA PERBANDINGAN JANTAN DAN
BETINA YANG BERBEDA
DUTA SETIAWAN DI4101065
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
2006
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
PERFORMA PRODUKSI BURUNG PUYUH (
Coturnix coturnix
japonica
) PADA PERBANDINGAN JANTAN DAN
BETINA YANG BERBEDA
Oleh:
DUTA SETIAWAN D14101065
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 1 Pebruari 2006
Pembimbing I Pembimbing II
(Ir. Sri Darwati, MSi) (Dr. Ir. M. M. Siti Sundari K) NIP. 131 849 383 NIP. 130 256 390
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Maret 1983 di Bogor. Penulis adalah anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Biono dan Ibu Supatmi.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SDN Bogem I, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1998 di SMPN 1 Kawedanan dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMUN 1 Magetan.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada tahun 2001.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di berbagai organisasi intra maupun ekstra kampus. Di DKM Al-Hurriyyah sebagai anggota aktif tahun 2001/2002, Ketua Departemen Dana dan Usaha KAMMI Komisariat IPB 2002/2003, staff Poultry Club HIMAPROTER Fapet IPB 2002/2003, staff Usaha KOPMA IPB tahun 2002-2004, staff ahli BEM Fapet IPB tahun 2004/2005, Ketua Umum ISMAPETI PW 2 tahun 2004-2006.
KATA PENGANTAR
Ternak burung puyuh akhir-akhir ini semakin marak sebagai unggas alternatif untuk dibudidayakan. Pemeliharaannya mudah dan tidak harus mengeluarkan modal yang tidak terlalu besar, sehingga banyak orang yang mulai melirik untuk diternakkan secara intensif.
Peternakan burung puyuh pada umumnya menggunakan sistem kandang koloni dengan perbandingan satu ekor burung puyuh jantan dengan 4-5 ekor burung puyuh betina. Penelitian tentang perbandingan jantan dan betina sebelumnya pernah diteliti, akan tetapi hasil penelitian tidak sesuai dengan yang diterapkan di peternakan, karena perbandingan antara jantan dan betina hasil penelitian belum efisien, yaitu digunakannya perbandingan satu ekor burung puyuh jantan dengan 1- 2 ekor burung puyuh betina.
Perbandingan jantan dan betina yang digunakan di peternakan dalam jumlah besar atau lebih dari satu ekor pejantan dalam satu kandang koloni. Penggunaan pejantan lebih dari satu ekor dalam satu kandang koloni diduga akan menimbulkan persaingan dalam mengawini burung puyuh betina, karenanya perlu diteliti untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh persaingan terhadap performa produksi.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang A Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak dan Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari akhir Januari sampai dengan awal April 2005.
Berkat dukungan dan motivasi dari Ir. Sri Darwati, MSi dan Dr. Ir. M. M. Siti Sundari K sebagai dosen pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan peternak burung puyuh pada khususnya. Penulis merasa skripsi ini belum sempurna, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
DAFTAR ISI
Perbandingan Jantan dan Betina ... 4
Kandang ... 5
Pengambilan Telur dan Penyimpanan ... 12
Penimbangan dan Pengukuran ... 12
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14
Umur Induk Pertama Bertelur ... 14
Berat Badan ... 17
Produksi Telur ... 20
Indeks Telur ... 23
Konsumsi Pakan ... 26
Konversi Pakan ... 27
Mortalitas ... 29
Pembahasan Umum ... 31
KESIMPULAN DAN SARAN ... 32
Kesimpulan ... 32
Saran ... 32
UCAPAN TERIMA KASIH ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 34
LAMPIRAN ... 37
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian ... 8 2. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK) Berat
Telur ... 15 3. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK) Berat
Badan Burung Puyuh Jantan ... 17 4. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK) Berat
Badan Burung Puyuh Betina ... 19 5. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK)
Produksi Telur ... 21 6. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK)
Persentase Indeks Telur ... 24 7. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK)
Konsumsi Pakan... 26 8. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK)
PERFORMA PRODUKSI BURUNG PUYUH (
Coturnix coturnix
japonica
) PADA PERBANDINGAN JANTAN DAN
BETINA YANG BERBEDA
SKRIPSI DUTA SETIAWAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
DUTA SETIAWAN. D14101065. 2006. Performa Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) pada Perbandingan Jantan dan Betina yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Sri Darwati, MSi.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. M. M. Siti Sundari K.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang A Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari akhir Januari sampai dengan awal April 2005.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan perbandingan jantan dan betina yang tepat terhadap performa produksi serta persaingan antar pejantan dalam mengawini betina akan berpengaruh terhadap performa produksi burung puyuh. Diharapkan hasil penelitian berguna bagi masyarakat pada umumnya, khususnya bagi peternak dan sekaligus memberikan informasi untuk penelitian lebih lanjut.
Penelitian ini menggunakan 180 ekor burung puyuh Coturnix coturnix japonica berumur empat minggu. Burung puyuh betina berjumlah 144 ekor dan burung puyuh jantan berjumlah 36 ekor.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok dengan enam taraf perlakuan dan empat ulangan sebagai kelompok, dengan taraf perlakuannya adalah perbandingan jantan dan betina yaitu: 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12. Data yang diperoleh diuji sebaran normalnya terlebih dahulu dengan uji Lilliefors (Nasoetion dan Barizi, 1975) yaitu salah satu tipe dari uji Kolmogorov-Smirnov (Mattjik dan Sumertajaya, 2002), selanjutnya dianalisis ragam.
Berdasarkan hasil analisis ragam, pengaruh perlakuan dan kelompok pada penelitian terhadap berat telur, berat badan, produksi telur, indeks telur, konsumsi pakan dan konversi pakan tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan jantan dan betina dengan kisaran 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 tidak mempengaruhi performa produksi burung puyuh.
Penggunaan jantan lebih dari satu dalam satu kandang koloni tidak menimbulkan persaingan, perkelahian dan kegaduhan. Pada penelitian ini, diperoleh informasi bahwa penggunaan imbangan 1:6 dalam satu kandang koloni dengan jantan lebih dari satu ekor akan lebih efisisen dibandingkan perbandingan jantan dan betina yang lebih sedikit.
ABSTRACT
Production Performance of Japanese Quail ( Coturnix coturnix japonica) at Different Male and Female Comparison
Setiawan, D., S. Darwati, and M. M. Siti Sundari K
This research was conducted in Laboratory of Field A of Laboratory of Animal Breeding and Genetics , Poultry Production, Faculty of Animal Husbandary Bogor Agricultural University from the end of January until the beginning of April 2005. This research was conducted to examine the ratio of male and female Japanese Quail (Coturnix coturnix japonica) to production performance egg’s weight, body’s weight, egg’s production, egg’s indexs, feed consumption and feed convertion from competition between a male and another male in one colony cage. Findings of the research show that the effect of ratio of male and female to egg’s weight, body’s weight, egg’s production, egg’s indeks, feed consumption and feed convertion is not significant.The use of two and one male in the colony cage have the percentage of fertility is not significant, because the competition between a male and another male is very small. The use of two male with many female in one colony cage will be more efficient compared to a few female and male comparison.
PERFORMA PRODUKSI BURUNG PUYUH (
Coturnix coturnix
japonica
) PADA PERBANDINGAN JANTAN DAN
BETINA YANG BERBEDA
DUTA SETIAWAN DI4101065
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
2006
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
PERFORMA PRODUKSI BURUNG PUYUH (
Coturnix coturnix
japonica
) PADA PERBANDINGAN JANTAN DAN
BETINA YANG BERBEDA
Oleh:
DUTA SETIAWAN D14101065
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 1 Pebruari 2006
Pembimbing I Pembimbing II
(Ir. Sri Darwati, MSi) (Dr. Ir. M. M. Siti Sundari K) NIP. 131 849 383 NIP. 130 256 390
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Maret 1983 di Bogor. Penulis adalah anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Biono dan Ibu Supatmi.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SDN Bogem I, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1998 di SMPN 1 Kawedanan dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMUN 1 Magetan.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada tahun 2001.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di berbagai organisasi intra maupun ekstra kampus. Di DKM Al-Hurriyyah sebagai anggota aktif tahun 2001/2002, Ketua Departemen Dana dan Usaha KAMMI Komisariat IPB 2002/2003, staff Poultry Club HIMAPROTER Fapet IPB 2002/2003, staff Usaha KOPMA IPB tahun 2002-2004, staff ahli BEM Fapet IPB tahun 2004/2005, Ketua Umum ISMAPETI PW 2 tahun 2004-2006.
KATA PENGANTAR
Ternak burung puyuh akhir-akhir ini semakin marak sebagai unggas alternatif untuk dibudidayakan. Pemeliharaannya mudah dan tidak harus mengeluarkan modal yang tidak terlalu besar, sehingga banyak orang yang mulai melirik untuk diternakkan secara intensif.
Peternakan burung puyuh pada umumnya menggunakan sistem kandang koloni dengan perbandingan satu ekor burung puyuh jantan dengan 4-5 ekor burung puyuh betina. Penelitian tentang perbandingan jantan dan betina sebelumnya pernah diteliti, akan tetapi hasil penelitian tidak sesuai dengan yang diterapkan di peternakan, karena perbandingan antara jantan dan betina hasil penelitian belum efisien, yaitu digunakannya perbandingan satu ekor burung puyuh jantan dengan 1- 2 ekor burung puyuh betina.
Perbandingan jantan dan betina yang digunakan di peternakan dalam jumlah besar atau lebih dari satu ekor pejantan dalam satu kandang koloni. Penggunaan pejantan lebih dari satu ekor dalam satu kandang koloni diduga akan menimbulkan persaingan dalam mengawini burung puyuh betina, karenanya perlu diteliti untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh persaingan terhadap performa produksi.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang A Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak dan Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari akhir Januari sampai dengan awal April 2005.
Berkat dukungan dan motivasi dari Ir. Sri Darwati, MSi dan Dr. Ir. M. M. Siti Sundari K sebagai dosen pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan peternak burung puyuh pada khususnya. Penulis merasa skripsi ini belum sempurna, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
DAFTAR ISI
Perbandingan Jantan dan Betina ... 4
Kandang ... 5
Pengambilan Telur dan Penyimpanan ... 12
Penimbangan dan Pengukuran ... 12
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14
Umur Induk Pertama Bertelur ... 14
Berat Badan ... 17
Produksi Telur ... 20
Indeks Telur ... 23
Konsumsi Pakan ... 26
Konversi Pakan ... 27
Mortalitas ... 29
Pembahasan Umum ... 31
KESIMPULAN DAN SARAN ... 32
Kesimpulan ... 32
Saran ... 32
UCAPAN TERIMA KASIH ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 34
LAMPIRAN ... 37
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian ... 8 2. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK) Berat
Telur ... 15 3. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK) Berat
Badan Burung Puyuh Jantan ... 17 4. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK) Berat
Badan Burung Puyuh Betina ... 19 5. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK)
Produksi Telur ... 21 6. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK)
Persentase Indeks Telur ... 24 7. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK)
Konsumsi Pakan... 26 8. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Coturnix coturnix japonica ... 3
2. Kandang Sistem Baterai ... 10
3. Rataan Berat Telur Burung Puyuh Umur 5- 15 Minggu ... 16
4. Rataan Berat Badan Burung Puyuh Jantan Umur 5- 15 Minggu ... 18
5. Rataan Berat Badan Burung Puyuh Betina Umur 5- 15 Minggu ... 20
6. Rataan Produksi Telur Burung Burung puyuh Umur 5- 15 Minggu ... 22
7. Rataan Indeks Telur Burung Burung puyuh Umur 5-15 Minggu ... 25
8. Rataan Konsumsi Pakan Burung puyuh Umur 5-15 Minggu ... 27
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Burung puyuh adalah jenis unggas yang dimasukkan dalam aneka ternak. Burung puyuh sudah sejak lama dikenal masyarakat dan sepuluh tahun terakhir ini telah diusahakan sebagai usaha sampingan maupun usaha peternakan. Burung puyuh mempunyai potensi yang cukup besar sebagai penghasil telur. Beberapa diantaranya dapat bertelur lebih dari 300 butir dalam satu tahun produksi pertamanya (Progressio, 2003). Berat telur burung puyuh sekitar 8% dari berat badan induk, berbeda dengan ayam berat telurnya hanya 3% dari berat badan induknya. Ternak burung puyuh ternyata berkembang pesat di tengah-tengah dominasi ayam ras, walaupun tidak sebesar ayam petelur, namun ternak burung puyuh menjadi sumber penghidupan masyarakat. Burung puyuh telah menjadi alternatif bisnis yang menguntungkan, setidaknya sebagai usaha sambilan sekaligus memberi tambahan pendapatan bagi yang mengusahakannya.
Usaha peternakan burung puyuh sangat tergantung pada pemeliharaan, kebersihan lingkungan dan pengendalian penyakit. Dalam pemeliharaan peternakan burung puyuh, selain makanan dan tata laksana, faktor bibit merupakan hal yang penting untuk mendapatkan performa produksi yang maksimal (Helinna dan Mulyantono, 2002). Puncak produksi dapat mencapai 80% namun peternak mulai gelisah dengan terjadinya inbreeding yang terus-menerus, apabila tidak ada rotasi pejantan atau memasukkan pejantan baru pada suatu peternakan. Pada peternakan yang tidak terjadi regenerasi dengan bibit yang baru dapat menyebabkan penurunan produksi. Selain itu menurut Indartono et al. (2002) perbandingan jantan dan betina yang optimal diperlukan untuk memperoleh produksi yang maksimal dan ekonomis.
optimum untuk menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi dalam usaha peternakan burung puyuh.
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Burung Puyuh Coturnix coturnix japonica
Burung puyuh liar banyak terdapat di dunia, nampaknya hanya baru Coturnix coturnix japonica yang mendapat perhatian dari para ahli. Menurut Nugroho dan Mayun (1986) beberapa ratus tahun yang lalu yaitu pada tahun 1890-an di Jepang telah diadakan penjinakan terhadap burung puyuh tersebut. Burung puyuh Coturnix coturnix japonica memiliki klasifikasi menurut Pappas ( 2002 ) sebagai berikut:
kingdom : Animalia
filum : Chordata
class : Aves
ordo : Gallivormes
subordo : Phasianoidea
famili : Phasianidae
sub-famili : Phasianinae
genus : Coturnix
spesies : Coturnix coturnix japonica
Burung puyuh ini menjadi makin populer dan digemari karena telur dan dagingnya sebagai bahan makanan yang bergizi dan lezat, juga sebagai hewan percobaan pada berbagai penelitian. Menurut Nugroho dan Mayun (1986) ciri-ciri karakteristik dari burung puyuh Coturnix coturnix japonica (Gambar 1):
- bentuk tubuhnya lebih besar dari burung puyuh yang lain, badannya bulat, ekornya pendek, paruhnya pendek dan kuat, tiga jari kaki menghadap ke muka dan satu jari kaki ke arah belakang;
- pertumbuhan bulunya lengkap setelah berumur dua sampai tiga minggu; - jenis kelamin dapat dibedakan berdasarkan warna bulu, suara dan berat
badannya;
- burung puyuh jantan dewasa bulu dadanya berwarna merah sawo matang tanpa adanya belang serta bercak-bercak hitam;
- burung puyuh betina dewasa bulu dadanya berwarna merah sawo matang dengan garis-garis atau belang-belang hitam;
- suara burung puyuh jantan lebih keras;
- burung betina dapat berproduksi sampai 200-300 butir setiap tahun. Berat telurnya sekitar 10 g/butir atau 7%-8% dari berat badan.
Perbandingan Jantan dan Betina
Kandang
Siregar dan Samosir (1981) menyarankan luas lantai 100 cm2/ekor untuk burung puyuh umur 0-7 hari, 150 cm2/ekor untuk burung puyuh umur 7-42 hari, dan 250 cm2/ekor untuk burung puyuh umur 42 hari atau lebih. USDA dan Clemson University (1974) menyarankan luas lantai satu m2 untuk 27 ekor burung puyuh umur 1-10 hari, 18 ekor untuk burung puyuh 10-42 hari dan 6 ekor untuk burung puyuh umur 42-98 hari. Luas kandang tergantung pada kebutuhan sesuai dengan jumlah anak burung puyuh.
Untuk 1 m2 dapat diisi 90 ekor anak burung puyuh umur 1-10 hari, kemudian 60 ekor/m2 untuk 10 hari hingga lepas sapih (USDA, 1974). Menurut Nugroho dan Mayun (1986) bahwa tinggi kotak dalam kandang kira-kira 25 cm, jangan lebih 30 cm, sebab kalau atap terlalu tinggi burung puyuh akan terbang keatas sehingga kepalanya dapat terluka.
Pakan
Semua kebutuhan makan burung puyuh harus dipenuhi dari luar tubuhnya yaitu kebutuhan protein, energi, vitamin, mineral dan air (Rasyaf., 1991). Tingkat protein yang dianjurkan untuk burung puyuh pada periode pertumbuhan (umur 0-6 minggu) 24%-25% (Woodard et al., 1973 dan N.R.C., 1994). Setelah dewasa kelamin burung puyuh akan bertelur dengan tingkat kebutuhan proteinnya adalah 20%.
Berat Badan
Pertumbuhan pada burung puyuh dapat diukur dengan menimbang berat badan setiap periode waktu tertentu. Kecepatan pertumbuhan burung puyuh jantan dan betina dari umur satu hari sampai lima minggu, tidak berbeda. Kecepatan pertumbuhan dari 5-6 minggu, menunjukkan perbedaan yang nyata antara burung puyuh jantan dan betina (Hakim, 1983). Pada umur empat minggu, rataan berat badan burung puyuh betina relatif lebih besar dari jantan dan perbedaan yang nyata pada umur enam minggu (Woodard et al., 1973).
Berat badan burung puyuh jantan pada umur empat minggu berkisar 86,95-89,66 g dan berat badan pada populasi hasil seleksi burung puyuh jantan berkisar 109,68-122,41 g (Kuswahyuni, 1983). Pada umur empat minggu, berat badan burung puyuh betina pada populasi yang diseleksi berselang dari 86,97-103,33 g dan berat badan burung puyuh betina pada umur enam minggu berkisar 121,89-138,24 g. Burung puyuh betina yang sudah mengalami dewasa kelamin memiliki berat badan 72,00-159,67 g.
Produksi Telur
Produksi telur dipengaruhi oleh konsumsi dan faktor individu. Pakan yang dikonsumsi akan digunakan untuk hidup dan produksi telur. Produksi telur hen day
(%) dari hasil penelitian Yuliesynoor (1985) yaitu 63,26%-76,88% dan penelitian Sumbawati (1992) yaitu 45,77%- 60,58% yang memakai perlakuan kadar zeolit yang berbeda dalam pakan burung puyuh. Kusumowati (1992) melaporkan hasil penelitian produksi telur hen day berkisar dari 54,75%-78,31%.
Indeks Telur
Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa indeks telur merupakan perbandingan lebar dan panjang telur. Telur yang relatif panjang dan sempit (lonjong) pada berbagai ukuran memiliki indeks telur yang rendah dan telur yang relatif pendek dan lebar (hampir bulat) memiliki indeks telur yang tinggi. Setiap burung puyuh menghasilkan bentuk telur yang khas karena bentuk telur merupakan sifat yang diwariskan. Rahayu (2001) menyatakan, bahwa bentuk telur ellipsoidal
(lonjong) memiliki indeks telur yang rendah, sedangkan telur yang bentuknya lebih
spherical (hampir bulat) memiliki indeks telur yang besar pada telur ayam Merawang.
Korelasi antara indeks telur dan daya tetas ditemukan pada telur ayam (Yuwanta, 1983). Telur dianggap memiliki bentuk yang baik apabila indeks telur berukuran 70%-79% (Sastroamidjojo, 1979). Indeks telur yang ideal adalah 74% (Yuwanta, 1983).
Konsumsi Pakan
Menurut North dan Bell (1992), konsumsi pakan dipengaruhi oleh ukuran tubuh, berat badan, tahapan produksi, suhu lingkungan dan keadaan energi pakan. Konsumsi pakan burung puyuh 17,5 g/ekor/hari pada umur 31-51 hari, kemudian meningkat menjadi 22,1 g/ekor/hari pada umur 51-100 hari dan tidak meningkat lagi
setelah umur 100 hari (Tiwari dan Panda, 1978). Tingkat konsumsi pakan burung puyuh dipengaruhi oleh tingkat energi dan
palabilitas pakan pada burung puyuh. Menurut penelitian Sumbawati (1992) tingkat konsumsi pakan burung puyuh sebesar 109,69-135,59 g/ekor/minggu. Rata-rata konsumsi pakan burung puyuh pada penelitian Kusumoastuti (1992) berkisar antara 127,12-165,15 g/ekor/minggu.
Mengingat burung puyuh memiliki sifat kanibalisme yang tinggi maka bentuk fisik ransum dianjurkan tepung atau all mash. Apabila digunakan ransum berbentuk
Konversi Pakan
Konversi pakan burung puyuh petelur merupakan perbandingan antara berat pakan yang dikonsumsi dengan berat telur yang dihasilkan pada waktu tertentu. Konversi ransum dipengaruhi bangsa burung puyuh, manajemen, penyakit serta pakan yang digunakan (Ensminger, 1992). Konversi pakan yang baik dicapai pada umur 151-200 hari saat produksi telur mencapai puncak (Tiwari dan Panda, 1978). Menurut Wilson et al. (1961) bahwa konversi ransum burung puyuh sebesar 3,0 dicapai pada umur 175-224 hari.
Konversi pakan digunakan untuk mengukur keefisienan penggunaan pakan dalam memproduksi telur. Angka konversi pakan semakin kecil, berarti penggunaan pakan semakin baik. Konversi pakan burung puyuh pada penelitian Yuliesynoor (1985) berkisar antara 3,4184-5,1918 cenderung lebih tinggi daripada penelitian Sumbawati (1992) yaitu 3,00-3,61. Mufti (1997) melaporkan rataan konversi ransum pada burung puyuh sebesar 4,30 dengan kisaran 4,03-4,73.
Mortalitas
Persentase kematian burung puyuh secara kumulatif meningkat terus secara linier sampai umur 100 minggu, kemudian bergerak horizontal. Woodard et al. (1973) menyatakan bahwa burung puyuh betina lebih banyak mati pada umur muda daripada jantan khususnya pada peternakan pembibitan. Burung puyuh jantan hidup lebih lama daripada betina. Kematian burung puyuh dipengaruhi oleh cara memelihara, makanan, pemberian makanan, sanitasi, temperatur, kelembaban, dan bibitnya (Rasyaf, 1981).
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang A Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari akhir Januari sampai dengan awal April 2005.
Materi dan Alat
Materi
Penelitian ini menggunakan 180 ekor burung puyuh Coturnix coturnix japonica berumur 4 minggu yang dibeli dari peternakan burung puyuh di daerah Cianjur Jawa Barat. Burung puyuh berjumlah 144 ekor untuk burung puyuh betina dan 36 ekor burung puyuh jantan.
Ransum yang digunakan adalah ransum komersial produksi PT Citra INA Feedmill untuk konsumsi burung puyuh periode pertumbuhan (umur 4-5 minggu) dan PT Wonokoyo Jayakusuma untuk konsumsi burung puyuh untuk periode bertelur (umur 5-12 minggu). Komposisi zat makanan ransum penelitian disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian
Vitamin produksi Medion dengan dosis 10 g dilarutkan dalam 8 l air minum. Kapur dan bahan fumigasi terdiri dari formalin 40% dan KMnO4.
Alat
Kandang yang digunakan adalah kandang sistem baterai bertingkat empat sebanyak dua buah (Gambar 2). Ukuran setiap tingkat adalah 100 x 60 x 30 cm dan setiap tingkat disekat menjadi tiga bagian. Luas lantai per ekor burung puyuh adalah 200 cm2.
Gambar 2. Kandang Sistem Baterai
Peralatan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempat pakan, tempat minum,egg tray, kawat, kardus dan timbangan merk O-Hause berkapasitas 2,61 kg dengan skala 0,1 g untuk menimbang berat telur, berat badan dan pakan.
Rancangan Percobaan
Taraf perlakuan adalah perbandingan jantan dan betina yaitu: 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12.
Model matematik yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut :
Yij = µ + τi + βj + εij Keterangan :
i = 1,2,....,6 dan j = 1,2,...,r
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j µ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke-j
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
Data yang diperoleh diuji sebaran normalnya terlebih dahulu dengan uji Lilliefors (Nasoetion dan Barizi, 1975) yaitu salah satu tipe dari uji Kolmogorov-Smirnov (Mattjik dan Sumertajaya, 2002), selanjutnya dianalisis ragam. Analisis ragam berdasarkan data per minggu untuk peubah yang diamati. Keragaman peubah yang diamati pada setiap perlakuan juga dianalisis secara deskriptif. Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data adalah Minitab release 13.30.
Peubah yang diamati
Umur induk pertama bertelur yaitu umur induk bertelur pertama saat mulai diberikan perlakuan.
Berat telur. Telur ditimbang satu persatu dalam satuan gram dengan menggunakan timbangan O-hause.
Produksi telur hen day. Perbandingan antara jumlah telur yang telah diproduksi dengan jumlah burung puyuh selama penelitian.
Indeks telur. Telur diukur panjang dan lebarnya/butir kemudian dicatat. Indeks telur dihitung dengan cara lebar telur dibagi panjang telur dikali 100%.
Konversi Pakan. Konversi pakan/ekor/minggu dihitung dengan cara memban-dingkan jumlah berat pakan yang dikonsumsi dengan jumlah berat telur dalam satu minggu produksi.
Tingkat Mortalitas. Mortalitas dihitung berdasarkan jumlah burung puyuh yang mati selama penelitian dibagi dengan jumlah burung puyuh mula-mula.
Prosedur Kerja
Persiapan Kandang
Sebelum penelitian dimulai, kandang dibersihkan dan disuci hamakan dengan menggunakan air kapur. Sistem kandang baterai bertingkat empat sebanyak dua buah disekat dengan kawat dan kardus menjadi tiga bagian setiap tingkatnya dengan ukuran sesuai luas kepadatan normal sebesar 200 cm2/ekor. Kandang dilengkapi tempat pakan dan tempat air minum secara insidental.
Pemberian Pakan dan Air Minum
Pemberian pakan berdasarkan pada kebutuhan sesuai periode pemeliharaan yaitu untuk umur 4-5 minggu sebanyak 15 g/ekor/hari, sedangkan untuk umur 5-15 minggu sebanyak 25 g/ekor/hari. Pakan diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.30 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB. Pemberian air minum dilakukan secara bebas ditambah dengan vitamin Medi egg produksi Medion dengan dosis 10 g dilarutkan dalam delapan l air minum.
Pengambilan Telur dan Penyimpanan
Pengambilan telur mulai dilakukan pada saat burung puyuh berumur lima minggu. Pengambilan telur dilakukan setiap hari sebanyak dua kali yaitu pada pagi hari pukul 08.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB. Setelah itu telur disimpan di tempat telur/tray.
Penimbangan dan Pengukuran
HASIL DAN PEMBAHASAN Umur Pertama Kali Bertelur
Umur pertama kali bertelur burung puyuh pada penelitian ini yaitu umur empat minggu sebanyak dua ekor. Setelah itu kedua ekor burung puyuh tersebut istirahat bertelur. Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya stress saat dalam perjalanan dari peternakan ke kandang penelitian. Burung puyuh mulai bertelur lagi saat berumur lima minggu yaitu saat perlakuan diberikan atau ketika burung puyuh sudah dimasukkan ke dalam kandang koloni sesuai dengan perbandingan jantan dan betina. Umur pertama kali bertelur perlakuan 1:2 yaitu pada umur 33 hari terjadi pada perlakuan 1:2 kelompok ke-4 sebanyak satu butir; perlakuan 1:4 yaitu pada umur 33 hari terjadi pada perlakuan 1:4 kelompok ke-2 dan ke-3 masing-masing sebanyak satu butir; perlakuan 1:6 yaitu pada umur 33 hari terjadi pada perlakuan 1:6 kelompok ke-1 dan ke-4 masing-masing sebanyak satu butir; perlakuan 2:4 yaitu pada umur 33 hari terjadi pada perlakuan 2:4 kelompok ke-3 sebanyak dua butir; perlakuan 2:8 yaitu pada umur 33 hari terjadi pada perlakuan 2:8 kelompok 1 , ke-3 dan ke-4 masing-masing sebanyak satu butir, dua butir, dan dua butir; pada perlakuan pada perlakuan 2:12 yaitu pada umur 33 hari terjadi pada perlakuan 2:12 kelompok ke-1 , ke-2 dan ke-4 masing-masing sebanyak satu butir, satu butir, dan tiga butir. Rata-rata umur pertama bertelur pada penelitian ini umur lima minggu.
Umur pertama bertelur pada penelitian sesuai dengan pendapat Woodard et al. (1973) bahwa burung puyuh mulai bertelur umur lima minggu. Menurut Nugroho dan Mayun (1986), Trollope (1992) dan Mufti (1997) burung puyuh mulai bertelur pada umur enam minggu dan menurut hasil penelitian Hakim (1983) dan Hasan et al.
dalam pakan juga mempengaruhi awal bertelur bahwa organ reproduksi tumbuh lebih cepat jika diberikan pakan yang mengandung protein sebesar 20%. Kandungan protein dalam pakan penelitian ini adalah sebesar 22% -23%.
Berat Telur
Berdasarkan hasil analisis ragam, pengaruh perlakuan dan kelompok terhadap berat telur adalah tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan jantan dan betina dengan kisaran 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 tidak mempengaruhi berat telur yang dihasilkan, karena berat telur merupakan sifat yang diwariskan oleh induk atau genetik (Ensminger, 1992). Menurut Noor (2000) nilai heritabilitas dari berat telur adalah 0,60 yang berarti berat telur mempunyai sifat yang diwariskan oleh induk yang tinggi, sedangkan menurut Etches (1996) berat telur mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi sekitar 0,45-0,85. Nilai rataan, simpangan baku dan koefesien keragaman berat telur hasil penelitian disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK) Berat Telur per Butir.
Berat telur per butir pada perbandingan jantan dan betina
Minggu 1:2 1:4 1:6 2:4 2:8 2:12 ---(g)---
5 9,40±0,00 9,52±1,33 9,07±0,40 8,95±0,07 9,43±0,38 9,06±0,18
6 9,32±0,60 9,99±0,28 10,0±0,20 9,84±0,52 10,10±0,39 9,67±0,22
7 10,59±0,32 10,61±0,09 10,8±0,35 10,75±0,05 10,75±0,40 10,36±0,13 8 10,70±0,31 10,91±0,08 10,81±0,13 10,61±0,29 10,74±0,92 10,74±0,92 9 10,46±0,33 10,85±0,33 10,79±0,13 11,19±0,44 12,04±1,74 10,57±0,15 10 10,91±0,05 11,20±0,27 11,25±0,14 11,19±0,44 11,57±0,31 11,11±0,23 11 10,97±0,39 11,09±0,31 11,19±0,27 10,65±0,45 11,59±0,32 11,10±0,31 12 10,90±0,17 11,30±0,07 11,10±0,17 11,03±0,29 11,59±0,28 11,00±0,09 13 10,37±0,51 10,66±0,13 10,56±0,22 10,64±0,45 11,47±0,28 10,59±0,10 14 11,13±0,28 11,24±0,58 11,10±0,08 11,41±0,45 10,83±0,08 10,90±0,22 15 10,09±0,30 10,53±0,47 10,53±0,28 10,61±0,60 10,53±0,25 10,18±0,13 Rataan 10,44±0,30 10,72±0,36 10,63±0,22 10,63±0,37 10,97±0,49 10,48±0,24
KK (%) 2,8 3,3 2,1 3,5 4,5 2,0
dikarenakan induk yang diamati sedang dalam masa periode pertama produksi, yaitu umur 5-15 minggu. Untuk lebih jelasnya rataan berat telur pada penelitian ini disajikan pada Gambar 4.
Keterangan: (perbandingan ♂dan ♀) Gambar 4. Rataan Berat Telur Burung puyuh Umur 5- 15 Minggu Burung puyuh pada saat awal produksi bertelur masih tumbuh, sehingga organ reproduksinya belum optimal dan terlihat juga pada periode ini kulit telur masih putih dan lunak. Berat telur diawal produksi bertelur pada umur 5 minggu penelitian ini relatif kecil antara 9,40; 9,52; 9,07; 8,95; 9,43; 9,06 g untuk masing-masing taraf perlakuan 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 karena energi yang dikonsumsi digunakan untuk pertumbuhan burung puyuh. Hal ini senada dengan pendapat Nugroho dan Mayun (1986), pada masa produksi selama empat minggu, berat telur burung puyuh sekitar 8,9 g atau berat telurnya kecil. Rataan berat telur burung puyuh minggu ke-6 lebih besar dibandingkan saat minggu ke-5 pada masing-masing taraf perlakuan 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 yaitu 9,32; 9,99; 10,0; 9,84; 10,10; 9,67 g. Moritsu et al. (1997) menyatakan bahwa berat telur standar burung puyuh adalah
10 g. Pada penelitian ini burung puyuh pada taraf perlakuan 1:4; 1:6; 2:4; 2:8; 2:12 mulai umur 6 minggu sudah mencapai ukuran berat telur standar dan taraf perlakuan 1:2 mencapai ukuran standar mulai umur 7 minggu. Mulai umur 7 minggu sampai akhir penelitian ini burung puyuh memiliki berat telur yang baik untuk ditetaskan. Berat telur pada umur 7 minggu sampai dengan 15 minggu yaitu 10 g sampai 12 g.
Nilai rataan koefisien keragaman berat telur pada penelitian ini berkisar 2,0%-4,5% antar perlakuan. Urutan nilai koefisien keragaman dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah 4,5%; 3,5%; 3,3%; 2,8%; 2,1%; 2,0% untuk masing-masing taraf perlakuan 2:8; 2:4; 1:4; 1:2; 1;6 dan 2:12. Nilai koefisien keragaman yang terendah menandakan bahwa taraf perlakuan 2:12 tersebut paling seragam. Berat telur yang seragam antar individu dalam satu kelompok tentunya memudahkan dalam manajemen produksi telur tetas dan pemasaran day old quail.
Berat Badan
Rataan pertambahan berat badan burung puyuh jantan selama penelitian 11 minggu disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK) Berat Badan per ekor Burung Puyuh Jantan
Berat badan jantan pada perbandingan jantan dan betina
Minggu 1:2 1:4 1:6 2:4 2:8 2:12 Rataan
---(g)--- 5 115,0±10,61 135,0±10,33 130,0±12,79 123,8±11,24 125,0±9,99 118,8±14,38 124,58±11,56 6 125,0±5,35 140,0±9,81 127,5±10,83 123,8±10,14 125,0±12,18 120,0±14,14 126,88±10,41 7 140,0±10,61 137,5±10,14 135,0±11,79 133,8±13,89 133,8±9,79 128,8±14,07 134,79±11,72 8 130,0±15,53 130,0±9,29 132,5±13,67 128,8±12,04 125,0±10,88 126,3±14,36 128,75±12,63 9 137,5±18,32 135,0±10,63 142,5±14,14 126,3±13,52 133,8±13,53 122,5±14,56 132,92±9,58 10 127,5±12,82 132,5±8,85 135,0±12,04 132,5±10,31 128,8±14,35 126,3±12,31 130,42±11,78 11 130,0±6,41 127,5±9,64 132,5±11,35 126,3±10,65 131,3±13,01 127,5±13,98 129,17±10,84 12 125,0±7,07 127,5±11,55 127,5±11,03 127,5±13,40 130,0±9,84 131,3±14,77 128,13±11,28 13 137,5±11,95 137,5±11,53 132,5±12,63 133,8±14,96 123,8±9,61 137,5±13,04 133,75±12,29 14 130,0±13,89 135,0±9,81 130,0±11,33 122,5±20,66 125,0±11,77 132,5±12,15 129,17±13,27
15 130,0±16,90 132,5±12,23 135,0±14,57 130,0±12,50 126,3±11,72 118,8±12,67 128,33±12,98
Rataan 129,8±11,80 133,6±10,35 132,7±12,38 128,1±13,03 128,0±11,52 126,4±13,68 129,72±12,13
KK(%) 9,09 7,75 9,33 10,17 9,00 10,82 9,35
ini akan berkembang sejak menetas sampai dengan umur dewasa, setelah itu kecepatan pertumbuhan akan menurun. Berdasarkan hasil analisis ragam, pengaruh perlakuan dan kelompok terhadap berat badan burung puyuh jantan adalah tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan jantan dan betina dengan kisaran 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 tidak mempengaruhi berat badan yang dihasilkan, karena tidak terjadi persaingan, perkelahian dan kegaduhan yang tinggi antar burung puyuh jantan dalam satu koloni yang dapat mengganggu aktivitas makan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan untuk masing-masing taraf perlakuan 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 adalah 129,8; 133,6; 132,7; 128,1; 128,0; 126,4 g. Berat badan puyuh jantan pada penelitian ini berkisar antara 126,4-133,6 g. Pada minggu ke-5 pemeliharan burung puyuh menghasilkan rataan berat badan burung puyuh jantan 124,58 g. Rataan berat badan burung puyuh jantan pada minggu ke-6 126,88 g. Berat badan burung puyuh jantan umur 5-15 minggu dapat dilihat pada Gambar 5.
Keterangan: (perbandingan ♂dan ♀) Gambar 5. Rataan Berat Badan Burung Puyuh Jantan Umur 5-15 Minggu
Pada minggu ke-5 dan minggu ke-6 rataan berat badan burung puyuh mengalami peningkatan disebabkan burung puyuh masih masa pertumbuhan dan mulai dewasa kelamin. Berat badan burung puyuh pada minggu ke-7 sampai minggu ke-15 sudah mengalami dewasa tubuh yang memiliki rataan berkisar 128,13-134,79 g. Burung puyuh jantan sudah tidak mengalami pertumbuhan berat badan lagi.
Berbeda dengan jenis unggas yang lain, burung puyuh betina lebih cepat per-tambahan berat badannya dibandingkan dengan jantan. Perbedaan ini mulai tampak pada puyuh yang berumur 7 minggu. Rataan pertambahan berat badan burung puyuh betina selama penelitian 11 minggu disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil analisis ragam, pengaruh perlakuan dan kelompok terhadap berat badan burung puyuh betina adalah tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan jantan dan betina dengan kisaran 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 tidak mempengaruhi berat badan yang dihasilkan.
Tabel 4. Nilai Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK) Berat Badan per Ekor Burung Puyuh Betina.
Berat badan betina pada perbandingan jantan dan betina
Minggu 1:2 1:4 1:6 2:4 2:8 2:12 Rataan
Burung puyuh betina terus mengalami peningkatan berat badan sampai minggu ke-7 berkisar 141,3-150,6 g dengan rataan 141,03 g. Rataan burung puyuh betina dari minggu ke-7 sampai akhir penelitian minggu ke-15 tidak berbeda nyata. Kebutuhan energi pada burung puyuh betina pada minggu ke-7 sampai minggu ke-15 digunakan untuk menghasilkan produksi telur dan burung puyuh betina sudah tidak mengalami pertumbuhan. Hasil penelitian pada minggu ke-15 diperoleh berat badan berkisar 127,0-143,7 g dengan rataan 135,53 g. Hal ini sesuai dengan penelitian
Keterangan : (perbandingan ♂dan ♀) Gambar 6. Rataan Berat Badan Burung Puyuh Betina Umur 5-15 Minggu Kuswahyuni (1983) mendapatkan rataan berat badan puyuh betina pada umur 100 hari sebesar 134,84 g. Berat badan burung puyuh betina umur 5-15 minggu dapat dilihat pada Gambar 6.
Produksi Telur
Berdasarkan hasil analisis ragam, pengaruh perlakuan dan kelompok terhadap produksi telur adalah tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan jantan dan betina dengan kisaran 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 tidak mempengaruhi produksi telur yang dihasilkan, karena produksi telur merupakan sifat yang diwariskan oleh induk (Ensminger, 1992). Menurut Mufti (1997) produksi telur dipengaruhi oleh cahaya dan kandungan protein pakan. Rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman produksi telur hasil penelitian disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK) Produksi Telur Hen Day
Produksi telur hen day pada perbandingan jantan dan betina
Minggu 1:2 1:4 1:6 2:4 2:8 2:12 Rataan
---(%)--- 5 7,10±0,00 5,90±2,02 7,65±4,01 5,35±2,47 6,50±2,47 2,70±2,70 5,88±1,75 6 35,70±14,83 38,10±5,68 38,60±9,28 10,70±5,09 30,80±9,70 27,90±6,91 27,27±8,58 7 97,93±17,19 67,98±14,01 56,10±18,38 77,88±6,01 60,28±4,69 54,38±5,42 69,09±10,95 8 84,43±33,31 79,48±7,38 63,70±7,09 82,18±16,74 86,58±9,71 74,15±4,59 78,41±13,13 9 82,83±13,80 80,38±9,43 75,95±15,39 72,03±3,93 79,90±8,13 82,13±3,20 78,87±8,98 10 76,80±14,76 86,60±16,06 77,98±12,51 75,00±7,70 90,63±7,73 83,33±9,86 81,72±11,44 11 70,05±30,86 86,15±7,75 84,70±10,77 89,43±13,10 82,08±6,60 85,13±8,13 82,92±12,87 12 89,13±15,92 86,60±7,31 72,63±12,53 99,88±29,31 70,08±8,05 81,83±7,81 83,52±13,49 13 87,78±15,25 83,03±20,92 68,45±10,56 52,00±13,47 67,85±6,18 70,83±7,14 71,65±12,25 14 95,83±17,53 75,88±9,82 71,43±8,49 78,73±16,96 82,58±8,32 79,23±3,15 80,61±10,71 15 94,65±12,17 72,30±8,92 75,00±8,12 68,75±27,29 63,85±2,26 72,33±3,54 74,48±10,38 Rataan 77,19±16,87 69,10±9,94 62,93±10,65 64,81±12,92 65,56±6,73 64,90±5,60 67,42±10,45
KK 23,02 14,07 16,92 19,38 10,27 8,27 15,49
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan produksi telur hen day untuk masing-masing taraf perlakuan 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 adalah 77,19; 69,10; 62,93; 64,81; 65,56; 64,90%. Produksi telur hen day pada penelitian ini berkisar antara 62,93%- 77,19% tidak berbeda jauh dengan pernyataan Sastroamidjojo (1967) yaitu berkisar antara 70%-79% dan Yuwanta (1983) yaitu 74%.
ke-15 penelitian ini burung puyuh menghasilkan produksi telur lebih dari 50% dan sudah stabil karena burung puyuh sudah dewasa kelamin.
Produksi telur hen day burung puyuh umur 5-15 minggu dapat dilihat pada Gambar 7. Tiwari dan Panda (1978) melaporkan bahwa pada umur 5 minggu burung puyuh akan mencapai produksi 67%, hal ini berbeda dengan hasil penelitian ini yang memperoleh produksi telur antara 2,70%-7,65%. Produksi telur hen day pada minggu ke-5 masih rendah karena burung puyuh baru dewasa kelamin dan masih berada dalam tahap awal berproduksi telur.
Kebutuhan energi pada awal produksi bertelur lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan burung puyuh daripada menghasilkan telur. Minggu ke-8 pemeliharaan burung puyuh menghasilkan produksi telur hen day 60%-80%.
Keterangan: (perbandingan ♂dan ♀) Gambar 7. Rataan Produksi Telur Hen day Burung puyuh Umur 5-15 Minggu
Puncak produksi masing-masing perlakuan tidak terjadi secara bersamaan. Puncak produksi telur pada perbandingan 1:2 sudah terjadi pada minggu ke-7 yaitu 97,93%, dan puncak produksi telur pada perlakuan 1:2 lebih persisten sampai akhir penelitian walaupun pada minggu ke-10 dan minggu ke-11 mengalami penurunan produksi telur. Pada perbandingan 1:4 puncak produksi telur terjadi pada minggu
10 yaitu 86,60% bertahan sampai minggu ke-13. Puncak produksi telur pada perbandingan 1:6 terjadi pada minggu ke-11 yaitu 84,70% dan pada minggu selanjutnya mengalami penurunan produksi telur sampai akhir penelitian. Pada perbandingan 2:4 puncak produksi telur terjadi pada minggu ke-12 yaitu 99,88% kemudian pada minggu ke-13 mengalami penurunan produksi mencapai setengahnya yaitu 52,00%. Puncak produksi telur pada perbandingan 2:8 terjadi pada minggu ke-10 yaitu 90,63%, dan pada perbandingan 2:12 terjadi pada minggu ke-11 yaitu 85,13%
Rataan puncak produksi telur hen day secara umum pada penelitian ini terjadi selama 3 minggu yaitu pada minggu ke-10, minggu ke-11, minggu ke-12 dengan rata-rata total 81,72; 82,92; 83,52%. Setelah minggu ke-13 produksi telur hen day
mengalami penurunan produksi yang tidak siginifikan. Burung puyuh pada penelitian ini masih muda dan produktif bertelur. Tidak tampak adanya persaingan antar jantan pada koloni besar maupun koloni kecil. Penggunaan 2 jantan pada taraf perlakuan 2:4, 2:8, 2:12 tidak menimbulkan persaingan atau perebutan pakan sehingga betina tetap dapat mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhannya dan menghasilkan produksi telur yang tidak berbeda nyata dengan penggunaan 1 pejantan pada taraf perlakuan 1:2, 1:4, 1:6.
Nilai rataan koefisien keragaman berat telur pada penelitian ini tidak berbeda antar perlakuan. Urutan nilai koefisien keragaman dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah 8,27; 10,27; 14,07; 16,92; 19,38; 23,02 untuk masing-masing taraf perlakuan 2:12; 2:8; 1:4; 1:6; 2:4 dan :12. Nilai koefisien keragaman yang terendah menandakan bahwa taraf perlakuan 2:12 paling seragam dapat digunakan untuk manajemen produksi komersial.
Indeks Telur
Indeks telur digunakan untuk mengetahui bentuk telur yang baik yang berguna sebagai syarat telur tetas. Telur tetas memiliki bentuk yang oval. Indeks telur yang seragam juga memudahkan penanganan pemasaran telur, agar mudah dalam memasukkan ke dalam kemasan.
bahwa burung puyuh pada perbandingan antara jantan dan betina dengan kisaran 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 memiliki indeks telur tidak nyata. Nilai rataan koefisien keragaman indeks telur pada penelitian ini tidak berbeda antar perlakuan. Urutan nilai koefisien keragaman dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah 1,49; 1,44; 1,30; 1,14; 0,97; 0,89 untuk masing-masing taraf perlakuan 1:2; 1:6; 2:8; 1:4; 2:4 dan 2:12. Nilai koefisien keragaman yang terendah menandakan bahwa taraf perlakuan 2:12 tersebut paling seragam sehingga berat telur pada taraf perlakuan tersebut baik sebagai telur tetas maupun konsumsi. Indeks telur yang seragam memudahkan dalam penanganan saat penetasan atau pemasaran. Pada taraf perlakuan 2:12 indeks telur lebih seragam dibanding dengan perlakuan lain sehingga memiliki pengelolaan untuk telur tetas maupun telur konsumsi. Rataan, simpangan baku dan koefesien keragaman indeks telur hasil penelitian disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman (KK) Indeks Telur
Indeks telur pada perbandingan jantan dan betina
Minggu 1:2 1:4 1:6 2:4 2:8 2:12
---(%)--- 5 83,33±0,00 82,34±1,97 82,97±1,75 80,64±0,71 82,07±1,67 80,25±1,54 6 79,79±3,05 80,22±1,65 81,08±0,69 80,12±0,73 79,22±0,47 81,11±1,20 7 79,79±0,71 80,30±0,60 80,09±0,97 79,51±0,24 80,06±0,56 79,89±0,93 8 79,96±0,43 81,57±0,42 81,51±0,20 81,24±0,34 81,84±0,16 80,98±0,40 9 79,70±1,51 79,25±1,43 79,61±0,71 79,26±0,54 79,83±0,46 79,14±0,43 10 79,46±1,14 79,71±1,18 79,82±0,58 79,24±0,50 79,71±1,07 80,20±0,40 11 80,34±0,89 80,61±1,39 79,29±0,46 80,37±0,15 79,24±0,25 79,77±0,49 12 81,16±1,41 80,16±1,65 78,97±1,55 79,67±0,83 79,78±0,97 80,36±0,31 13 81,30±0,79 81,69±0,55 81,20±0,83 81,22±0,47 81,22±0,47 80,88±0,22 14 81,24±0,97 80,70±1,45 81,07±0,71 80,87±0,45 80,87±0,45 80,97±0,45 15 82,04±0,90 81,18±1,82 80,70±1,33 81,09±0,80 81,09±0,80 81,61±0,56
Rataan 80,74±1,20 80,70±0,92 80,57±1,16 80,29±0,78 80,48±1,05 80,47±0,72
KK 1,49 1,14 1,44 0,97 1,30 0,89
Bentuk telur burung puyuh pada penelitian ini normal dan memenuhi syarat sebagai telur tetas. Burung puyuh yang dipelihara walaupun ditujukan untuk produksi namun dapat dijadikan telur tetas karena bentuk dan beratnya memenuhi syarat telur tetas dan jika dibuahi oleh sperma jantan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil rataan fertilitas yang tinggi yaitu 92,37; 96,14; 92,16; 95,20; 97,11; 91,79% untuk masing-masing taraf perlakuan 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8, 2:12 dan daya tetas yang tinggi pula yaitu 93,02; 91,49; 86,25; 93,27; 93,85; 90,95% untuk masing-masing taraf perlakuan 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8, 2:12 pada hasil penelitian Permana (2005) pada burung puyuh penelitian yang sama. Indeks telur mulai minggu 5 sampai minggu 15 dapat dilihat pada Gambar 8.
Keterangan: (perbandingan ♂dan ♀) Gambar 8. Rataan Indeks Telur Burung puyuh Umur 5-15 Minggu Indeks telur pada awal penelitian berkisar 80,25% sampai 83,33%. Pada akhir penelitian yaitu minggu ke-15 indeks telur masih berkisar diantara 80,70% sampai 82,04%. Bentuk telur burung puyuh memiliki indeks telur yang normal, dan memiliki bentuk telur yang khas karena bentuk telur merupakan sifat yang diwariskan. Menurut Noor (2000) nilai heritabilitas dari berat telur adalah 0,60 yang berarti berat telur mempunyai sifat yang diwariskan oleh induk yang tinggi,
selanjutnya menurut Etches (1996) berat telur mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi sekitar 0,45 sampai dengan 0,85.
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan burung puyuh adalah jumlah ransum yang dikonsumsi oleh burung puyuh. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh tingkat energi dan palabilitas pakan. Tabel 7 menunjukkan rataan konsumsi pakan burung puyuh setiap minggu selama 11 minggu.
Tabel 7. Nilai Rataan, Simpangan Baku, dan Koefisien Keragaman (KK) Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan pada perbandingan jantan dan betina
Minggu 1:2 1:4 1:6 2:4 2:8 2:12
---(g/ekor/minggu)---
5 174,78±0,36 174,62±0,27 174,55±0,27 174,34±0,40 174,80±0,16 174,93±0,07 6 172,90±2,57 169,87±3,92 168,81±4,76 165,13±12,34 172,76±2,20 171,16±2,54 7 174,63±0,42 172,85±1,27 169,29±5,25 170,29±4,59 172,68±2,83 174,00±0,8 8 174,83±0,19 174,04±0,89 172,98±1,62 169,87±8,25 173,67±0,54 174,47±0,37 9 173,75±1,39 171,84±3,29 170,17±4,73 166,19±9,36 173,75±0,88 173,16±2,87 10 172,90±2,57 169,87±3,92 168,81±4,76 165,13±12,34 168,96±7,56 171,16±2,54 11 174,22±0,88 173,88±1,14 170,58±2,26 172,76±3,00 173,88±0,61 172,04±3,21 12 174,55±0,42 167,44±6,12 166,95±4,46 168,53±5,72 166,93±7,81 171,29±2,12 13 175,00±0,00 174,70±0,20 174,61±0,32 167,82±8,36 174,80±0,20 172,97±3,91 14 173,94±1,28 171,72±1,60 166,53±7,36 170,28±4,04 173,42±1,86 173,93±2,82 15 173,15±0,93 169,98±3,50 163,91±2,43 167,47±4,99 170,25±4,99 174,10±0,46 Rataan 174,06±1,00 171,89±2,37 169,74±3,47 168,89±6,67 172,35±2,69 172,93±1,98
KK 0,6 1,4 2,0 3,9 1,6 1,1
Rataan konsumsi pakan burung puyuh per ekor per minggu selama 11 ming-gu penelitian berkisar antara 174,06 g untuk perbandingan 1:2; 171,89 g untuk perbandingan 1:4; 169,74 g untuk perbandingan 1:6; 168,89 g untuk perbandingan 2:4; 172,35 g untuk perbandingan 2:8; 172,93 g untuk perbandingan 2:12. Untuk lebih jelasnya rataan konsumsi pakan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 9.
Keterangan: (perbandingan ♂dan ♀) Gambar 9. Rataan Konsumsi Pakan Burung Puyuh Umur 5-15 Minggu
Konsumsi pakan seimbang yang memiliki zat nutrisi yang berkualitas dan kuantitas yang cukup untuk kesehatan, pertumbuhan dan produksi. Tujuan burung puyuh mengkonsumsi pakan yaitu untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat makanan lainnya, sehingga apabila kebetuhan energi terpenuhi maka burung puyuh akan berhenti makan.
Urutan nilai koefisien keragaman dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah 3,9; 2,0; 1,6; 1,3; 1,1; 0,6 untuk masing-masing taraf perlakuan 2:4; 1:6; 2:8; 1:4; 2:12 dan 1:2. Nilai koefisien keragaman 2 perlakuan yang terendah menandakan bahwa taraf perlakuan 1:2 dan 2:12 paling seragam dapat digunakan untuk manajemen produksi komersial. Pakan burung puyuh pada penelitian ini tidak banyak yang tumpah karena di atas tempat pakan diberi jeruji kawat dan diganjal dengan batu untuk mengurangi pakan yang terbuang karena sifat burung puyuh yang
suka mengkais-kais pakan. Waktu pemberian pakan sehari dua kali yaitu pada pagi dan sore hari dapat menghindari pakan bercampur dengan kotoran burung puyuh.
Konversi Pakan
Konversi pakan adalah jumlah ransum yang dikonsumsi dibanding dengan produksi telur yang dihasilkan. Faktor yang mempengaruhi kualitas ransum, teknik pemberian, bentuk dan konsumsi ransum (Amrulloh, 2003). Berdasarkan hasil analisis ragam, pengaruh perlakuan dan kelompok terhadap konversi pakan tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan jantan dan betina dengan kisaran 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 tidak mempengaruhi konversi pakan. Adapun rataan dan simpangan baku konversi pakan disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Konversi Pakan per Ekor Per Minggu
Konversi pakan per ekor per minggu pada perbandingan jantan dan betina yang berbeda
Minggu 1:2 1:4 1:6 2:4 2:8 2:12
---(%)---
5 37,23±0,00 44,41±19,60 35,89±20,20 52,02±26,98 40,73±18,45 102,17±58,29
6 7,42±1,81 6,37±1,01 6,25±1,09 22,41±7,62 7,94±1,97 9,06±2,05
7 3,28±0,79 3,72±0,44 5,21±1,43 3,18±0,49 3,83±0,32 4,44±0,49
8 2,55±0,48 2,88±0,26 3,63±0,42 2,86±0,49 2,52±0,24 3,08±0,34
9 4,50±2,33 2,86±0,44 2,53±0,45 3,24±0,38 2,64±0,44 2,80±0,13
10 3,04±0,65 2,60±0,50 2,83±0,46 2,82±0,16 2,32±0,31 2,56±0,24
11 3,52±1,47 2,71±0,24 3,02±0,46 2,92±0,40 2,85±0,17 2,57±0,37
12 2,96±0,43 2,54±0,28 2,99±0,43 2,15±0,85 2,52±0,26 2,66±0,37
13 2,91±0,42 3,28±0,16 3,49±0,52 3,24±0,61 3,25±0,33 3,25±0,29
14 2,50±0,55 2,61±0,33 3,01±0,48 2,98±0,89 2,54±0,29 2,86±0,14
15 2,62±0,30 3,22±0,32 2,79±0,37 3,88±1,83 3,49±0,32 3,39±0,18
Rataan 6,59±0,84 7,02±2,14 6,51±2,39 9,25±3,70 6,78±2,10 12,62±5,71
KK 12,72 30,35 36,74 40,04 30,93 45,28
Pada minggu ke-5 penelitian diperoleh konversi pakan yang sangat tinggi karena burung puyuh yang bertelur masih sedikit. Nilai konversi pakan pada minggu ke-5 dan ke-6 yang tinggi diduga disebabkan oleh tidak semua burung puyuh mengkonsumsi pakan untuk produksi telur, melainkan masih ada sebagian burung puyuh yang baru mengalami proses pembesaran dan pemasakan kuning telur dalam
minggu ke-15 sudah diperoleh konversi pakan yang stabil berkisar antara 2,15-5,21 karena produksi telur sudah tinggi yaitu berkisar 54,38-99,88%.
Rataan konversi pakan untuk masing-masing taraf perlakuan 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 adalah 6,59; 7,02; 6,51; 9,25; 6,78 dan 12,62%. Nilai rataan konversi pada penelitian ini lebih tinggi daripada rataan konversi ransum hasil penelitian Mufti (1997) yaitu 2,90 dengan kisaran 2,72-3,35% dengan perlakuan yang berbeda yaitu dampak fotoregulasi dan tingkat pemberian protein ransum 18% dan 24%. Nilai rataan konversi pakan pada penelitian ini tidak nyata maka konversi pakan yang paling efisien adalah imbangan penggunaan yang banyak yaitu perbandingan jantan dan betina 2:12.
Urutan nilai koefisien keragaman dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah 12,72; 30,53; 30,39; 36,74; 40,04; 45,28% untuk masing-masing taraf perlakuan 1:2; 1:4; 2:4; 1:4; 1:6 dan 2:12. Koefisien keragaman konversi pakan pada penelitian ini semuanya cukup tinggi yaitu lebih 20%, hanya perlakuan 1:2 yaitu 12% namun tidak efisien dalam penggunaan kandang.
Mortalitas
Jumlah burung puyuh yang mati selama penelitian 2 ekor burung puyuh betina (1,11%) dari 180 ekor burung puyuh yang digunakan selama penelitian. Burung puyuh mati pada minggu ke 13 untuk perbandingan 1:6 ulangan ke 3 dan minggu ke 14 untuk perbandingan 2:8 ulangan ke 4. Burung puyuh yang mati disebabkan oleh berak kapur. Hal ini diduga penyakit (Pullorum) dengan tanda-tanda kotoran berwarna putih, nafsu makan hilang, sesak nafas, bulu-bulu mengerut, dan sayap bergerak lemah. Serta diduga telur dan induknya tidak dilakukan test reaktor
Pullorum. Penyakit berak kapur (Pullorum) oleh kuman Salmonella pullorum dan merupakan penyakit yang mudah menular. Penularannya bisa melalui telur dari induk penderita Pullorum, peralatan yang tercemar, makanan dan minuman yang tercemar kuman.
sistem perkandangan yang memadai dan pemberian pakan yang baik dapat mengurangi tingkat mortalitas burung puyuh yang digunakan pada penelitian ini.
Pembahasan Umum
Berat telur, berat badan, produksi telur, indeks telur, konsumsi telur dan konversi pakan penelitian ini menunjukkan nilai rataan yang tinggi. Hasil penelitian ini kemungkinan dikarenakan pemeliharaan burung burung puyuh yang masih dalam masa puncak produksi yaitu umur 5-15 minggu. Perbandingan antara jantan dan betina tidak berpengaruh nyata terhadap performa produksi. Berdasarkan nilai rataan berbagai peubah yang disajikan pada Tabel 9, taraf perlakuan perbandingan jantan dan betina tidak berbeda nyata.
Penggunaan dua ekor burung puyuh jantan dalam satu kandang koloni tidak ada persaingan antara jantan yang satu dengan jantan yang lainnya, untuk mengawini burung puyuh betina yang lainnya. Burung puyuh jantan yang satu dengan yang lainnya dalam satu kandang koloni hidup rukun saling mengawini burung puyuh betina.
Tabel 9. Nilai Rataan Berbagai Peubah yang Diamati Selama Penelitian
Perbandingan jantan dan betina
Peubah 1:2 1:4 1:6 2:4 2:8 2:12
kandang koloni, namun penggunaan satu jantan dalam satu kandang koloni tidak efisien. Dengan demikian perbandingan jantan dan betina 1:6 dengan lebih dari satu ekor jantan lebih efisien daripada satu jantan dalam satu kandang koloni.
Keragaman berbagai peubah yang diamati pada penelitian ini disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Koefisien Keragaman Berbagai Peubah yang Diamati
Perbandingan Jantan dan Betina
Peubah 1:2 1:4 1:6 2:4 2:8 2:12
---%---
Berat telur per Butir 5,89 5,95 6,10 6,35 8,32 5,83
Berat badan jantan per
ekor 9,09 7,75 9,33 10,17 9,00 10,82
Berat badan betina per
ekor 7,02 8,90 4,41 9,07 6,41 7,36
Produksi telur hen day 16,32 15,69 16,43 20,34 11,14 12,71
Indeks telur 1,49 1,14 1,44 0,97 1,30 0,89
Konsumsi Pakan per
ekor per minggu 0,6 1,4 2,0 3,9 1,6 1,1
Konversi Pakan per
ekor per minggu 12,72 30,53 36,74 40,04 30,39 45,28
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Taraf perlakuan pada perbandingan jantan dan betina 1:2, 1:4, 1:6, 2:4, 2:8 dan 2:12 tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap performa produksi yaitu berat telur, berat badan, produksi telur, indeks telur, konsumsi pakan dan konversi pakan. Pengunaan jantan lebih dari satu dalam satu kandang koloni tidak menimbulkan persaingan, perkelahian dan kegaduhan. Penggunaan imbangan jantan dan betina 1:6 dengan jantan lebih dari satu ekor dalam satu kandang koloni akan lebih efisien dibandingkan perbandingan jantan dengan betina yang lebih sedikit.
Saran
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur ke hadirat Rabb sekalian alam, penguasa seluruh jagat raya hingga tiada Illah yang patut disembah kecuali Allah SWT, atas segala karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga tercurah kepada panglima besar Islam, manusia yang mempunyai pengaruh paling besar dalam sejarah umat manusia Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang tetap istiqomah.
Penulis mengucapkan bamyak terima kasih kepada Ibu dan Bapak yang telah memberi kasih sayang yang tiada henti, adik-adikku Kukuh, Nikki, Harris, Nur yang memberikan kecerian hangatnya sebuah keluarga. Juga kepada Ir. Sri Darwati, MSi dan Dr. Ir. M. M. Siti Sundari K. yang telah membimbing, mengarahkan, dan membantu penulisan skripsi hingga selesai. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drh. Dudung Supandi sebagai Pembimbing Akademik tahun 2001-2004;
2. Ir Sudjana Natasasmita sebagai Pembimbing Akademik hingga selesainya skripsi ini;
3. Ir. Hotnida C. H Siregar MSi sebagai penguji seminar;
4. Penguji sidang Ir Rini H. Mulyono MSi dan Ir Dwi Margi Suci MS;
5. Bapak Ilyas, Bapak Ade, Ibu Pipih, Bapak Rahmat, Bapak Mayak, Bapak Slamet, dan Ibu Lanjarsih;
6. Teman sepenelitian, Mas Anto dan Dian;
7. Galih dan Aryo, teman diskusi seputar dunia peternakan; 8. Mail, Neny dan Elin yang telah membantu penelitian;
9. Teman-teman seperjuangan: Oyo, Tobri, Mamad, Lala, Jenal, Cakra, Adit, Igun, Erfan, Nurcahyo, Fikar, Apip, Jumi, Zym, Aila, Surlina, Novi, Asih, Victoria, Suharlina, Nuraini;
DAFTAR PUSTAKA
Amrulloh, I. K. 2003. Seri Beternak Mandiri: Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor.
Ensminger, M. A. 1992. Poultry Science (Animal Agriculture Series). 3rd Edition. Interstate Publishers, Inc. Danville, Illinois.
Etches, R. J. 1996. Reproduction in Poultry. CAB Internasional, Wallingford.
Hakim, L. 1983. Pendugaan nilai heritabilitas dan korelasi genetik beberapa sifat pertumbuhan burung burung puyuh (Coturnix coturnix japonica). Tesis. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hasan, S. M., M. E. Mady, A. L. Cartwright, H. M. Sabri dan M. S. Mobarak. 2003. Effect of early feed restriction on reproductive performance in Japanese Quail (Coturnix coturnix japonica). J. Poultry Sci. 82: 1163-1169.
Helinna dan Mulyantono. 2002. Bisnis burung puyuh juga bertumpu pada DKI. Poultry Indonesia. Edisi Juli, Jakarta.
Indartono, A., Isman dan Waryanto. 2002. Burung puyuh menggeliat, breeding belum siap. Poultry Indonesia. Edisi Juli, Jakarta.
Jull, M. A. 1940. Poultry Breeding. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York. Junurmawan. 1983. Pengaruh nisbah kelamin dalam perkawinan masal terhadap
produksi telur tetas, fertilitas dan daya tetas burung burung puyuh (Coturnix coturnix japonica). Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kusumoastuti, E. S. 1992. Penggunaan pengaruh zeolit dalam ransum puyuh (Coturnix coturnix japonica) terhadap produksi dan kualitas telur pada periode produksi umur 13-19 minggu. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kuswahyuni, I.R. 1983. Parameter genetik beberapa sifat produksi pada burung puyuh (Coturnix coturnix japonica). Tesis. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mattjik, A. A. dan I. M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1. Edisi ke-2. IPB Press, Bogor.
Moritsu. Y, Nestor KE, Noble DO, Antony NB, Bacon WC.1997. Divergent selection for boby weight and yolk frecursor in Coturnix-coturnix japonica.12 hetesis in reciprocal crosses between divergently selected lines. Poultry Sci. 76: 437-444.
Mufti, M. 1997. Dampak fotoregulasi dan tingkat protein ransum selama periode pertumbuhan terhadap kinerja burung puyuh penelur. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nasoetion, A. H. dan Barizi. 1975. Metoda Statistika. PT Gramedia Jakarta.
Noor, R. R. 2000. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.
North, M. O. dan D. D. Bell. 1992. Commercial Chicken Production Manual. 4th Edition. An AVI Book Published by Van Nostrand Reinhold, New York Nugroho dan I. G. Kt. Mayun. 1986. Beternak Burung puyuh. Penerbit Eka Offset,
Semarang.
Panda, B., S.D.Ahuja, M. Prakasah Babu and D.P. Gulati, 1980. Evaluation of quail line for some important economic traits. Indian . Animal Sci. 61: 518- 520 Pappas, J. 2002. ”Coturnix japonica” (On-line), Animal Diversity Web.
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Coturnix_j aponica.html. [21 November 2002].
Permana, D. H.2005. Performa reproduksi burung puyuh ( Coturnix coturnix japonica) umur 8-11 minggu pada perbandingan jantan dan betina yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Progressio, W. 2003. Burung puyuh. http://warintek.progressio.or.id- by rans. [21 November 2003].
Rahayu, I. H. S. 2001. Karakteristik fisik dan nutrisi telur ayam Merawang. Seminar Nasional Produk Pangan Hasil Ternak, Yogyakarta. Hal. 1-11.
Rasyaf, M. 1991. Memelihara Burung puyuh. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Romanoff, A.L. dan A.J. Romanoff, 1963. The Avian Egg. John Wiley and Sone, inc,. New York.
Scaible, P.J. 1970. Poultry Feed and Nutrition. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticit.
Sastroamidjojo, S. 1979. Ilmu Beternak Ayam. Seri Indonesia Membangun. Penerbit N. V. Masa Baru. Bandung.
Siregar, S.P. dan D.J. Samosir, 1981. Pedoman Beternak Burung puyuh. Direktorat Bina produksi Peternakan, Dirjen Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta Sudjarwo, E. 1988. Pengaruh bobot telur tetas dan umur induk terhadap performans
burung puyuh (Coturnix coturnix japonica). Tesis. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sumbawati. 1992. Penggunaan beberapa tingkat zeolit dengan tingkat protein dalam ransum burung puyuh terhadap produksi telur, indeks putih telur dan indeks kuning telur. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tiwari, K.S. and B. Panda. 1978. Production and quality characteristics of quail eggs. Indian Journal of Poultry Sci 13 (1): 27-32.
Trollope, J. 1992. Seed-eating Bird. Their Care and Breeding. Blanford, London. U.S.D.A and Clemson University,1974. Reicing Bobwhite Quail for Commercial
Use. U.S.D.A. Washington.
Wilson, W. O., U. K. Abbot and H. Abplanalp. 1961. Evaluation of Coturnix (Coturnix coturnix japonica) as pilot animal poultry. Poultry Sci. 40: 651-657 Woodard, A. E., H. Ablanalp, W. O. Wilson and P. Vohra. 1973. Japanese Quail
Husbandry in the Laboratory. Univ. of California, Davis.
Yuliesynoor, Y. Y. 1985. Pengaruh tingkat pemberian feed suplement omafal – 12 dalam ransum terhadap produksi telur burung puyuh (Coturnix coturnix japonica). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yuwanta. 1983. Pengaruh bobot badan misial dan model distribusi pakan terhadap