• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Daerah Penelitian

Berdasarkan data dasar profil desa tahun 2007/2008 luas wilayah Desa Cikarawang yaitu 225, 84 ha, yang dipergunakan untuk pemukiman umum, bangunan-bangunan (sekolah, masjid, perkantoran, kuburan, jalan, dan lain-lain), pertanian sawah, perkebunan, dan lain sebagainya (Tabel 3). Desa Cikarawang merupakan daerah dataran yang berada pada ketinggian 700 m dpl.

Tabel 3 Luas wilayah Desa Cikarawang berdasarkan penggunaannya Luas Penggunaan

ha % Pertanian Sawah

a. Sawah pengairan teknis (irigasi) 0 0,0

b. Sawah pengairan setengah teknis 25,070 11,10

c. Sawah tadah hujan 52,455 23,23

d. Sawah pasang surut 75,260 33,32

Perkebunan a. Perkebunan rakyat 18,226 8,07 b. Perkebunan Negara 8 3,54 c. Perkebunan swasta 0 0,0 Pemukiman Umum 38,075 16,86 Bangunan a. Perkantoran 0,016 0,007 b. Sekolah 0,430 0,19 c. Pertokoan/perdagangan 0 0,0 d. Pasar 0 0,0 e. Terminal 0 0,0

f. Tempat peribadatan (masjid, gereja, pura, vihara, dll) 0,073 0,03

g. Kuburan/makam 2 0,88

h. Jalan 0,800 0,35

i. Lain-lain 4,925 2,18

Perikanan Darat/Air Tawar

a. Tambak 0 0,0

b. Kolam 0 0,0

c. Empang/tebat 0,510 0,22

Total 225,84 100,0

Sumber: Data dasar profil desa 2007/2008

Batas wilayah Desa Cikarawang yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Cisadane, sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Ciapus, sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Cisadane-Ciapus dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Situ Gede. Jarak dari desa ke ibukota kecamatan adalah sejauh 3 km dan dapat ditempuh selama setengah jam. Sedangkan dari desa ke ibukota kabupaten sejauh 35 km dan dapat dicapai selama dua jam.

Desa Cikarawang terdiri dari tiga Dusun, tujuh Rukun Warga (RW) dan 32 Rukun Tetangga (RT). Dusun I terdiri dari RW 1 dan 2, Dusun II terdiri dari RW 3 dan 4, dan Dusun III terdiri dari RW 5, 6 dan 7. RW 1 dan 2 berada di Kampung Cangkrang, sisanya berada di Kampung Carang Pulang. Jumlah penduduk Desa Cikarawang seluruhnya adalah sebanyak 8 175 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 2 000 KK. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Desa Cikarawang paling banyak berada pada golongan usia anak balita.

Tabel 4 Jumlah penduduk menurut golongan usia dan jenis kelamin Umur (Tahun) Laki-Laki Perempuan Jumlah

0-5 443 515 958 6-10 408 366 774 11-15 392 389 781 16-20 379 369 748 21-25 389 374 763 26-30 398 378 776 31-35 304 285 589 36-40 311 288 599 41-45 261 251 512 46-50 215 193 408 51-55 183 160 343 56-60 158 141 299 61-65 189 147 336 66-70 144 145 289 Jumlah 4 174 4 001 8 175

Sumber : Data dasar profil desa 2007/2008

Penggolongan penduduk berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarga dibagi ke dalam empat kelompok yaitu keluarga pra sejahtera (900 KK), keluarga sejahtera I (700 KK), keluarga sejahtera II (300 KK), dan keluarga sejahtera III (100 KK). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan aparat desa, fasilitas penyediaan air bersih di Desa Cikarawang sebagian besar berasal dari sumur pribadi atau mata air pribadi. Selain itu, sampai saat ini Desa Cikarawang telah memiliki fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) yang diperuntukkan bagi masyarakat secara umum di dua belas tempat.

Kedua belas MCK tersebut dibangun berdasarkan bantuan pemerintah daerah Kabupaten Bogor (PKPS BBMIP) tahun 2005. Namun, hanya sepuluh bangunan MCK yang sudah ditembok rapi dan sisanya belum ditembok. Kedua belas bangunan MCK yang dibangun tersebut masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari masih terdapatnya masyarakat

yang menggunakan air sungai/hujan/sumur dan mata air yang tidak terlindungi sebagai sumber air minum, mandi, cuci dan kakus.

Karakteristik Anak Balita

Karakteristik anak balita dalam penelitian ini menjelaskan mengenai jenis kelamin, umur, dan berat badan lahir. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh anak balita (66,1%) berjenis kelamin perempuan. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh dari Puskesmas Cangkurawok bahwa proporsi anak balita yang berjenis kelamin perempuan di Kampung Carang Pulang lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Umur anak balita berkisar antara 10-58 bulan dengan rata-rata 30,2±11,7 bulan. Proporsi terbesar umur anak balita (39,3%) berkisar antara 24-36 bulan, sisanya berumur ≤23 bulan (32,1%) dan berumur ≥37 bulan (28,6%). Berat badan lahir anak balita berkisar antara 2-4 kg dengan rata-rata 3,1±0,4 kg. Berdasarkan Tabel 5, sebagian besar anak balita (96,4%) memiliki berat badan lahir cukup (≥2,5 kg). Akan tetapi, sebanyak 3,6% anak balita memiliki Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yaitu bayi dengan berat badan <2,5 kg. Menurut Alisyahbana (1983) diacu dalam Firlie (2001) bayi dengan BBLR memiliki mortalitas lebih tinggi dan daya tahan terhadap penyakit lebih rendah serta pertumbuhan dan perkembangan lebih lamban dibandingkan bayi yang memiliki berat badan lahir cukup.

Tabel 5 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin, umur dan berat badan lahir

Karakteristik Anak balita n % Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 19 37 33,9 66,1 Total 56 100,0 Umur (bulan) ≤23 24-36 ≥37 18 22 16 32,1 39,3 28,6 Total 56 100,0

Berat Badan Lahir (kg) <2,5 ≥2,5 2 54 3,6 96,4 Total 56 100,0

Status Gizi dan Kesehatan Anak balita Status Gizi Anak balita

Berdasarkan perhitungan z-score indeks BB/TB pada Tabel 6 sebagian besar anak balita (92,9%) memiliki status gizi yang tergolong normal. Sisanya sebanyak 5,4% anak balita memiliki status gizi kurang dan 1,8% berstatus gizi lebih. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara, salah satunya dengan antropometri. Berat badan merupakan satu-satunya ukuran tunggal yang ekonomis dan paling peka untuk digunakan apabila dibandingkan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi masa kini (Riyadi 2001).

Berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak balita (76,8%) termasuk ke dalam status gizi normal dan 23,2% berstatus gizi kurang (Tabel 6). Riyadi (2001) menyatakan bahwa indeks BB/U sebagai indikator status gizi mampu menggambarkan status gizi pada masa kini. Berbeda halnya dengan status gizi anak balita berdasarkan indeks TB/U, proporsi terbesar anak balita (57,1%) termasuk ke dalam status gizi rendah, sisanya 42,9% berstatus gizi normal.

Menurut Riyadi (2001) dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan kurang sensitif terhadap defisiensi gizi dalam jangka pendek dibandingkan dengan berat badan. WHO (1983) diacu dalam Riyadi (2001) interpretasi status gizi anak balita dari ketiga indikator gabungan yaitu BB/TB normal, BB/U normal dan TB/U rendah dapat dikategorikan ke dalam status gizi normal, akan tetapi mengalami malnutrisi pada masa lalu.

Tabel 6 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi

Indeks Antropometri BB/TB BB/U TB/U Status Gizi n % n % n % Gizi kurang 3 5,4 13 23,2 32 57,1 Gizi normal 52 92,9 43 76,8 24 42,9 Gizi lebih 1 1,8 0 0,0 0 0,0 Total 56 100,0 56 100,0 56 100,0

Status gizi erat kaitannya dengan penyakit infeksi. Hiswani (2003) menyatakan bahwa masalah kesehatan dan pertumbuhan anak sangat dipengaruhi oleh dua persoalan utama yaitu keadaan gizi yang tidak baik dan

masalah penyakit infeksi. Anak yang mengalami gizi kurang memiliki kesempatan lebih besar menderita penyakit infeksi terutama penyakit diare. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan negatif dan signifikan antara status gizi anak balita (BB/TB dan TB/U) dengan diare (p<0,05).

Aritonang (1996) dan Victoria et al (1999) diacu dalam Briawan & Herawati (2005) menyatakan kurang gizi adalah faktor pra kondisi yang memudahkan anak menderita penyakit infeksi khususnya infeksi saluran pernapasan dan diare. Anak-anak yang kurang gizi menyebabkan rusaknya sistem imun sehingga mudah terkena penyakit.

Status Kesehatan Anak balita

Status kesehatan anak balita merupakan aspek dari kualitas fisik anak balita yang dapat mempengaruhi status gizi. Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa hampir seluruh anak balita (91,1%) mengalami sakit dan hanya 8,9% anak balita tidak mengalami sakit selama tiga bulan terakhir.

Tabel 7 Sebaran anak balita berdasarkan status kesehatan tiga bulan terakhir

Status Kesehatan N %

Sakit 51 91,1

Tidak Sakit 5 8,9

Total 56 100

Menurut Soendjojo, Hikmat & Soemartono (2000) diacu dalam Adnyadewi (2004) untuk meningkatkan status kesehatan anak balita diperlukan suatu perhatian dalam hal gizi, kesehatan, imunisasi, stimulasi dini, perumahan, keluarga berencana, sanitasi lingkungan dan lainnya. Menurut BPS (2002) status gizi merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi kualitas fisik penduduk. Oleh karena itu, status gizi yang baik akan mempengaruhi status kesehatan seseorang.

Jenis penyakit yang paling banyak dialami anak balita selama tiga bulan terakhir dapat dilihat pada Tabel 8 yaitu panas (71,4%), ISPA (73,2%) dan diare (46,4%). Tabel 8 menunjukkan bahwa penyakit yang tidak pernah dialami seluruh anak balita adalah campak. Penyakit kulit yang dialami anak balita antara lain panu, kurap, bisul, borok dan alergi terhadap beberapa jenis pangan seperti ikan asin.

Tabel 8 Sebaran anak balita berdasarkan jenis penyakit

Jenis Penyakit n % Panas 40 71,4 ISPA 41 73,2 TBC 2 3,6 Campak 0 0,0 Cacar 3 5,4 Diare 26 46,4 Kulit 6 10,7 Lainnya 2 3,6

Frekuensi sakit anak balita selama tiga bulan terakhir cukup bervariasi, tergantung dari jenis penyakit yang dideritanya. Sebagian besar anak balita menderita penyakit panas sebanyak 1-2 kali (35%), ISPA 2 kali (30,4%) dan diare 1 kali (32,1%). Sedangkan frekuensi untuk jenis penyakit lainnya adalah 1 kali (Tabel 9).

Tabel 9 Sebaran anak balita berdasarkan frekuensi sakit Frekuensi Sakit (kali)

1 2 ≥3 Jenis Penyakit N % N % n % Panas 14 35,0 14 35,0 12 30,0 ISPA 13 23,2 17 30,4 11 19,7 Campak 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Cacar 3 100,0 0 0,0 0 0,0 Diare 18 32,1 7 12,5 1 1,8 Kulit 3 50,0 1 16,7 2 33,3 Lainnya 2 100,0 0 0,0 0 0,0

Tabel 10 menunjukkan sebagian besar anak balita menderita sakit selama 1-3 hari yaitu panas (57,1%), ISPA (44,6%), diare (30,4%) dan kulit (5,4%). Penyakit kulit erat kaitannya dengan kebersihan diri seseorang. Anak balita adalah individu pasif, sehingga yang bertanggungjawab dalam hal kebersihan diri adalah orang dewasa khususnya ibu dari anak balita. Mandi minimal 2 kali sehari dengan menggunakan air bersih dan sabun merupakan salah satu cara agar terhindar dari penyakit kulit.

Tabel 10 Sebaran anak balita berdasarkan lama hari sakit Lama Sakit (hari)

1-3 4-7 8-14 >14 Jenis Penyakit N % n % n % n % Panas 32 57,1 7 12,5 1 1,8 0 0,0 ISPA 25 44,6 13 23,2 3 5,4 0 0,0 Campak 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Cacar 0 0,0 1 1,8 2 3,6 0 0,0 Diare 17 30,4 8 14,3 1 1,8 0 0,0 Kulit 3 5,4 2 3,6 0 0,0 1 1,8 Lainnya 1 1,8 0 0,0 0 0,0 1 1,8

Selain jenis penyakit di atas, frekuensi penyakit TBC tidak diikut sertakan dalam tabel frekuensi sakit (Tabel 9) dikarenakan penyakit tersebut sudah berlangsung cukup lama yaitu selama 32 hari dan saat penelitian dilaksanakan penyakit tersebut masih diderita kedua anak balita. TBC termasuk ke dalam jenis penyakit ISPA yang bersifat kronis. Lama hari penyakit TBC lebih dari 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Responden menyatakan untuk penyakit TBC, kedua anak balita sedang melakukan pengobatan rutin sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh dokter hingga benar-benar kedua anak balita tersebut dinyatakan sembuh.

Karakterisitik Keluarga Contoh Besar Keluarga

Jumlah anggota keluarga contoh berkisar antara 3-10 orang dengan rata- rata 5,3±1,8 orang. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh responden (60,7%) merupakan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga >4 orang.

Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga n %

Kecil (≤4 orang) 22 39,3

Besar (>4 orang) 34 60,7

Total 56 100,0

Puspitawati (2007) menyatakan keluarga merupakan salah satu lembaga sosial yang tidak dapat berdiri sendiri. Keluarga sangat tergantung dengan dan juga mempengaruhi lingkungan di sekitarnya (mikro, meso dan makro). Seorang anak akan memperoleh hubungan antar pribadi pertama kali dalam lingkungan

keluarga. Jumlah keluarga yang banyak dapat mempengaruhi kondisi gizi dan kesehatan dari anggota keluarga. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa besar keluarga mempunyai andil dalam permasalahan gizi sedangkan menurut Suharini (1998) diacu dalam Madihah (2002) bahwa jumlah anggota keluarga yang besar disertai dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan anak dalam keluarga menderita kurang gizi.

Selain itu, besar keluarga juga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam suatu bangunan rumah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan baik anak-anak maupun ibu (Sukarni 1989). Rumah yang padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan memudahkan penularan penyakit (Notoatmodjo 1997).

Umur Orang Tua

Umur ayah berkisar antara 23-50 tahun dengan rata-rata 33,0±6,8 tahun. Sedangkan umur ibu berkisar antara 19-47 tahun dengan rata-rata 27,7±5,7 tahun. Tabel 12 menunjukkan bahwa proporsi terbesar baik ayah (39,3%) maupun ibu (44,6% ) berumur antara 20-30 tahun. Umur pada kisaran tersebut termasuk dalam kategori dewasa muda (Turner & Helms 1991). Menurut Hurlock (1993) orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtuanya terdahulu.

Tabel 12 Sebaran orangtua berdasarkan umur

Ayah Ibu Umur (tahun) n % n % 13-19 18 32,1 18 32,1 20-30 22 39,3 25 44,6 31-50 16 28,6 13 23,3 Total 56 100,0 56 100,0

Pendidikan Orang Tua

Berdasarkan Tabel 13, tingkat pendidikan ayah lebih tinggi dibandingkan dengan ibu, proporsi terbesar tingkat pendidikan ayah (35,7%) yaitu SLTA/sederajat, sedangkan ibu (51,8%) yaitu SD/sederajat. Secara keseluruhan tingkat pendidikan baik ayah maupun ibu masih rendah karena keduanya masih banyak yang berpendidikan SD/sederajat dan hanya 3,6% saja ayah dan 1,8% ibu yang berpendidikan akademi/diploma/PT.

Tabel 13 Sebaran orangtua berdasarkan tingkat pendidikan

Ayah Ibu Tingkat Pendidikan n % n % SD/sederajat 18 32,1 29 51,8 SLTP/sederajat 16 28,6 20 35,7 SLTA/sederajat 20 35,7 6 10,7 Akademi/Diploma/PT 2 3,6 1 1,8 Total 56 100,0 56 100,0

Menurut Sukarni (1989) pendidikan orang tua akan menentukan status kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga seperti halnya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Dengan demikian, informasi tentang masalah kesehatan dapat lebih mudah diterima oleh keluarga atau masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi daripada yang berpendidikan rendah.

Pekerjaan Orang Tua

Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa proporsi terbesar pekerjaan ayah adalah pegawai negeri/swasta (33,9%) dan jasa angkutan (28,6%). Sedangkan, sebagian besar ibu (75,0%) tidak bekerja atau berstatus sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Hasil penelitian ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa proporsi terbesar tingkat pendidikan ibu (51,8%) adalah SD/sederajat. Oleh karena itu, secara tidak langsung tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap jenis pekerjaan yang dimilikinya.

Tabel 14 Sebaran orangtua berdasarkan jenis pekerjaan

Ayah Ibu Jenis Pekerjaan n % n % Buruh tani/kebun 10 17,9 0 0,0 Pedagang/wiraswasta 8 14,3 7 12,5 Pegawai negri/swasta 19 33,9 1 1,8 Jasa angkutan 16 28,6 0 0,0 PRT 0 0,0 6 10,7 IRT 0 0,0 42 75,0 Lainnya 3 5,4 0 0,0 Total 56 100,0 56 100,0

Menurut Rahmawati (2006) pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, menurut Satoto (1990) diacu dalam Rahmawati (2006) menyatakan bahwa seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki waktu yang lebih banyak dalam mengasuh serta merawat anak dibandingkan ibu yang bekerja di

luar rumah. Sukarni (1989) menyatakan bahwa pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga perbulan berkisar antara Rp300 000.00 sampai Rp2 620 000.00 dengan rata-rata Rp1 073 393.00±Rp597 650,8.00. Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh responden (58,9%) memiliki pendapatan perkapita perbulan sebesar >Rp150 000.00. Sebanyak 23,2% responden memiliki pendapatan perkapita perbulan sebesar Rp100 001.00-Rp150 000.00 dan sebanyak 17,9% berpendapatan <Rp100 000.00.

Rata-rata pendapatan perkapita perbulan responden yaitu Rp210 113,9.00±Rp106 712,3.00. Menurut BPS (2005), garis kemiskinan untuk Kabupaten Bogor yaitu Rp150 000.00/kapita/bulan. Dengan demikian, lebih dari separuh responden (58,9%) memiliki pendapatan perkapita perbulan di atas garis kemiskinan.

Tabel 15 Sebaran responden berdasarkan pendapatan perkapita perbulan

Kategori pendapatan (Rp/kap/bln) n %

<100 000.00 10 17,9

100 001.00-150 000.00 13 23,2

>150 000.00 33 58,9

Total 56 100,0

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Higiene

Tabel 16 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden (58,9%) selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar serta melakukan aktivitas mandi dua kali setiap harinya. Proporsi terbesar responden (55,4%) menggosok gigi dua kali setiap harinya. Kebiasaan menggosok gigi merupakan salah satu usaha kesehatan seseorang supaya terhindar dari penyakit khususnya sakit gigi.

Perilaku hidup bersih seperti kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar ikut mempengaruhi penularan atau penyebaran penyakit diare (Suririnah 2007). Kebiasaan mandi minimal dua kali dalam sehari merupakan salah satu usaha kesehatan seseorang supaya terhindar dari sakit sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

Tabel 16 menunjukkan bahwa seluruh responden menyatakan selalu memasak air sampai mendidih sebelum diminum, dengan alasan agar terhindar dari penyakit khususnya sakit diare karena kuman dalam air tersebut mati. Menurut Suririnah (2007) air yang tidak dimasak sampai mendidih maka akan menjadi media pencemaran untuk penyakit diare. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menurunkan tingkat kesakitan khususnya diare pada anak balita dapat dilakukan dengan membiasakan memasak air sampai mendidih sebelum diminum.

Frekuensi responden membersihkan kamar mandi dalam satu minggu terlihat pada Tabel 16 yaitu satu kali (32,1%), dua kali (30,4%) dan ≥ tiga kali (37,5%). Lebih dari separuh responden (67,9%) melakukan aktivitas mencuci di kamar mandi pribadi, akan tetapi masih ada responden yang melakukan aktvitas mencuci di sungai yaitu sebanyak 21,4% dan di kamar mandi umum sebanyak 10,7%.

Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek higiene

PHBS aspek Higiene n %

Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar

a. Tidak b. kadang-kadang c. ya 1 22 33 1,8 39,3 58,9 Kebiasaan mandi dalam sehari?

a. 1 kali/hari b. 2 kali/hari c. ≥ 3 kali/hari 0 33 23 0,0 58,9 41,1 Kebiasaan menggosok gigi dalam sehari?

a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali 0 31 25 0,0 55,4 44,6 Memasak air untuk minum

a. tidak memasak air

b. memasak tetapi tidak sampai mendidih c. memasak sampai mendidih

0 0 56 0,0 0,0 100,0 Membersihkan kamar mandi dalam seminggu

a. 1 kali b. 2 kali c. ≥ 3 kali 18 17 21 32,1 30,4 37,5 Melakukan aktivitas mencuci

a. sungai

b. kamar mandi umum c. kamar mandi pribadi

12 6 38 21,4 10,7 67,9

Gizi Seimbang

Berdasarkan Tabel 17 dan Tabel 18 sebagian besar responden (89,3%) menyatakan bahwa menu makan yang biasa disajikan untuk keluarga yaitu makanan pokok, protein nabati dan sayur. Hanya 3,6% responden yang biasa menyediakan menu makan beragam yaitu nasi, lauk pauk, sayur dan buah. Tabel 17 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek gizi seimbang

PHBS aspek gizi seimbang n %

Menu makan keluarga sehari-hari a. nasi, protein hewani

b. nasi, protein nabati, sayur c. nasi, lauk pauk, sayur dan buah

4 50 2 7,1 89,3 3,6

Berdasarkan Tabel 18, sebanyak 6,1% responden yang selalu menyediakan menu makan keluarga secara beragam (nasi, lauk pauk, sayur dan buah) adalah berasal dari keluarga dengan pendapatan perkapita perbulan >Rp150 000.00 atau di atas garis kemiskinan menurut BPS Kabupaten Bogor tahun 2005. Pendapatan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas, besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan tubuh. Kondisi ini menyebabkan keanekaragaman bahan makanan kurang terjamin, karena dengan keterbatasan uang itu menyebabkan tidak banyaknya pemilihan dalam hal makanan (Madihah 2002).

Tabel 18 Hubungan antara menu makan keluarga dengan pendapatan per kapita perbulan responden

Pendapatan Perkapita Perbulan (Rp/Kap/Bln)

<100 000.00 100 001.00-150 000.00 >150 000.00 Total Menu Makan Keluarga N % n % n % n % Nasi, protein hewani 1 10,0 0 0,0 3 9,1 4 7,1 Nasi, protein

nabati dan sayur 9 90,0 13 100,0 28 84,8 50 89,3 Nasi, lauk pauk,

sayur dan buah 0 0,0 0 0,0 2 6,1 2 3,6

Total 10 100,0 13 100,0 33 100,0 56 100,0

Mengonsumsi makanan yang beragam sangat baik untuk keberlangsungan hidup seseorang atau sekelompok orang. Hal ini disebabkan oleh fungsi dari makanan yang beragam yaitu untuk melengkapi zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, sehingga dapat meningkatkan kualitas kerja dan terhindar dari penyakit kekurangan gizi. Akibat tidak mengonsumsi makanan yang

beraneka ragam yaitu akan terjadi gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anggota tubuh khususnya anak balita (Dinkes DKI Jakarta 2002).

Rumah Sehat

Tabel 19 memperlihatkan bahwa separuh responden (51,8%) memilik luas hunian ≥10,0 m2 perkapita. BPS (2004) menyatakan bahwa salah satu indikator rumah sehat menurut WHO adalah rumah yang memiliki luas lantai minimal 10 m2 perkapita. Luas hunian yang tidak sesuai dengan jumlah anggota keluarga menyebabkan pertukaran oksigen kurang optimal sehingga memudahkan penularan penyakit diantara anggota keluarga. Menurut Notoatmodjo (1997) rumah yang padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan memudahkan penularan penyakit.

Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek rumah sehat

PHBS aspek rumah sehat n %

Luas hunian a. <7,5 m2 b. 7,5- 9,9 m2 c. ≥10,0 m2 6 21 29 10,7 37,5 51,8 Jenis lantai rumah

a. seluruhnya tanah/lainnya b. kayu/ bambu c. marmer/keramik/ubin/tegel/ teraso/semen 0 2 54 0 3,6 96,4 Jendela rumah a. tidak ada b. ada, tertutup c. ada, terbuka 1 39 16 1,8 69,6 28,6 Atap rumah a. ijuk/daun-daunan/lainnya b. seng/asbes/kayu c. beton/genteng 0 2 54 0 3,6 96,4 Dinding rumah a. bambu/lainnya b. kayu c. tembok 0 3 53 0 5,4 94,6 Letak kandang ternak

a. <10 m dari rumah b. >10 m dari rumah c. tidak punya 20 2 34 35,7 3,6 60,7

Tabel 19 menunjukkan sebagian besar jenis lantai rumah responden (96,4%) adalah berjenis marmer/keramik/ubin/tegel/teraso/semen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Latifah et al. (2002b) bahwa salah satu syarat rumah sehat yaitu lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen, dan kayu atau bambu. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tidak ada satu responden pun memiliki jenis lantai rumah berupa tanah. Menurut Latifah et al. (2002b) lantai rumah berupa tanah tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut.

Rumah yang sehat memerlukan jendela yang cukup untuk jalan masuknya cahaya ke dalam rumah. Lebih dari separuh jendela responden (69,6%) berada dalam keadaan tertutup (Tabel 19). Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran responden dalam menjaga kenyamanan serta kebersihan rumah masih rendah. Ada tidaknya jendela di setiap ruangan yang dapat dibuka dan ditutup berhubungan dengan ventilasi udara. Latifah et al.

(2002b) menyatakan fungsi ventilasi udara adalah untuk pertukaran udara agar udara di dalam rumah tetap bersih dan segar.

Atap rumah sebagian besar responden (96,4%) berupa genteng/beton, dan sebanyak 94,6% dinding rumah responden berupa tembok (Tabel 19). Menurut Latifah et al. (2002b) atap rumah harus kuat dan tidak mudah bocor misalnya genteng, asbes gelombang, seng, sirap dan nipah. Serta dinding rumah yang baik adalah tembok yang dapat dicat dan dibersihkan dengan mudah. Hal senada juga diungkapkan oleh Notoatmodjo (2003) bahwa dinding yang paling baik adalah tembok.

Keberadaan kandang ternak di sekitar rumah juga berpengaruh terhadap kesehatan karena memudahkan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh kotoran ternak. Lebih dari separuh responden (60,7%) tidak memiliki kandang ternak dan sebanyak 35,7% responden memiliki kandang ternak dengan jarak antara kandang ternak dengan rumah yaitu <10 m (Tabel 19). Menurut Latifah et al. (2002b) syarat rumah sehat lainnya yaitu kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga kebersihan dan kesehatannya.

Sanitasi Air

Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Air yang digunakan sehari-hari harus bersih dan memenuhi syarat kesehatan. Sumber air minum yang digunakan sebagian besar responden (78,6%) yaitu ledeng/sumur terlindung/mata air terlindung (Tabel 20). Menurut Latifah et al.

(2002b) air bersih dan sehat merupakan air yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk dikonsumsi dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002b). Lebih lanjut Subandriyo et al. (1997) menyatakan bahwa sumber air minum yang

bersih dan sehat dapat diperoleh dari air pompa, air ledeng, sumur yang terlindungi dan mata air yang terlindungi.

Proporsi terbesar responden (53,6%) dalam hal jarak sumber air dengan

Dokumen terkait