• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Contoh

Pengamatan persepsi pasien terhadap lauk hewani dilakukan pada siklus menu ke-1 dan ke-2. Hal ini dikarenakan pada kedua siklus menu ini, contoh mendapat empat jenis lauk hewani yang berbeda. Keempat jenis lauk hewani tersebut antara lain: ayam asam manis mewakili lauk hewani ayam yang disajikan pada makan siang siklus menu ke-1; semur telur mewakili lauk hewani telur ayam yang disajikan pada makan malam siklus menu ke-1; kakap bumbu acar mewakili lauk hewani ikan yang disajikan pada makan siang siklus menu ke-2; serta gulai daging mewakili lauk hewani daging yang disajikan pada makan malam siklus menu ke-2. Siklus menu ke-1 dan ke-2 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Semua pasien yang digunakan sebagai contoh dalam penelitian adalah pasien yang dirawat di ruang rawat kelas III dikarenakan pengambilan sampel hanya boleh dilakukan pada pasien kelas III dan keseragaman dalam pemberian lauk hewani di kelas perawatan ini. Pasien yang mendapat diet rendah garam, diet rendah protein dan diet saring atau cair tidak digunakan sabagai contoh dalam penelitian karena lauk hewani yang disajikan kurang memiliki rasa; menerapkan pengurangan konsumsi lauk hewani; dan pasien hanya mengonsumsi makanan cair atau saring yang diolah dengan cara diblender. Karakteristik contoh yang digunakan dalam penelitian ini meliputi umur contoh, jenis kelamin contoh, tingkat pendidikan contoh, jenis pekerjaan, jenis penyakit dan besar pendapatan. Contoh dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 29 orang dibandingkan dengan contoh perempuan yaitu 11 orang.

Umur

Karakteristik umur contoh dikategorikan menjadi tiga kelompok menurut WNPG 2004 yaitu pada skala 18-29 tahun, 30-49 tahun dan 50-64 tahun. Sebaran contoh yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak (72.5%) dibandingkan contoh perempuan (27.5 %) pada ketiga kelompok umur. Secara umum, persentase contoh pada ketiga kelompok umur hampir sama yaitu 32.5% (> 30 tahun), 37.5% (30-49 tahun) dan 30 % (< 30 contoh). Hal ini menunjukkan bahwa contoh menyebar hampir secara merata pada ketiga kelompok umur baik pada laki-laki maupun perempuan. Sebaran contoh menurut umur dan jenis kelamin secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran contoh menurut umur dan jenis kelamin

Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % 18 - 29 7 24.1 6 54.5 13 32.5 30 - 49 11 37.9 4 36.4 15 37.5 50 - 64 11 37.9 1 9.1 12 30 Total 29 100.0 11 100.0 40 100.0 Jenis penyakit

Jenis penyakit contoh dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu contoh dengan jenis penyakit dalam dan bedah. Contoh penyakit yang dikelompokkan dalam penyakit dalam antara lain: demam thypoid, hepatitis, pneumonia, TB paru, DBD, gastritis, dan stroke ringan, sedangkan jenis penyakit yang dikelompokkan dalam bedah yaitu kanker prostat, usus buntu, infeksi luka, tumor, hernia dan bedah orto. Sebaran contoh menurut jenis penyakit dan jenis kelamin secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran contoh menurut jenis penyakit

Jenis penyakit Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Penyakit bedah 10 34.5 4 36.4 14 35.0 Penyakit dalam 19 65.5 7 63.6 26 65.0

Total 29 100.0 11 100.0 40 100.0

Secara keseluruhan contoh dengan jenis penyakit dalam lebih banyak (65.0%) dibandingkan dengan contoh dengan jenis penyakit bedah (35.0%). Hal ini dikarenakan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit ini lebih banyak masuk ke dalam kelompok penyakit dalam dibandingkan dengan kelompok penyakit bedah sehingga pada saat pengambilan sampel contoh dengan jenis penyakit dalam tetap lebih banyak dibanding bedah.

Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu sumber daya yang penting untuk menentukan pengetahuan seseorang dalam menerima informasi yang pada akhirnya dapat menentukan tanggapan dan perilakunya (Fitriana 2011) Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal tertinggi yang dicapai oleh seseorang. Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7.

Persentase tertinggi contoh berada pada tingkat pendidikan SD/sederajat (40.0%), baik pada jenis kelamin laki-laki (37.9%) dan jenis kelamin perempuan

(45.5%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Menurut Suhardjo (1989) tingkat pendidikan yang tinggi akan mempermudah seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi khususnya tentang makanan yang baik untuk dikonsumsi, tetapi tingkat pendidikan yang tinggi tidak selalu diikuti dengan pengetahuan dan perubahan sikap dalam mengonsumsi makanan.

Tabel 7 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin

Tingkat pendidikan Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % tidak sekolah 2 6.9 0 0.0 2 5.0 SD/ sederajat 11 37.9 5 45.5 16 40.0 SMP/sederajat 4 13.8 2 18.2 6 15.0 SMA/sederajat 9 31.0 3 27.3 12 30.0 perguruan tinggi 3 10.3 1 9.1 4 10.0 Total 29 100.0 11 100.0 40 100.0 Pekerjaan contoh

Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang juga merupakan faktor yang paling menentukan dalam pemilihan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan berhubungan erat dengan pendapatan (Suhardjo 1989). Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran contoh menurut pekerjaan jenis kelamin

Jenis pekerjaan Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Tidak bekerja 0 0.0 6 54.5 6 15.0 PNS 4 13.8 0 0.0 4 10.0 Karyawan swasta 7 24.1 3 27.3 10 25.0 Wiraswasta 3 10.3 2 18.2 5 12.5 Buruh 9 31.0 0 0.0 9 22.5 Lainnya 6 20.7 0 0.0 6 15.0 Total 29 100.0 11 100.0 40 100.0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tertinggi pada contoh perempuan yaitu pada kelompok tidak bekerja (54.5%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh perempuan tidak memiliki pekerjaan dan hanya menjadi ibu rumah tangga. Berbeda dengan contoh perempuan, semua contoh laki-laki memiliki pekerjaan dengan persentase tertinggi pada pekerjaan buruh (31.0%). Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki memilki tuntuan lebih besar dalam mencari nafkah sehingga harus bekerja dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki sebagai kepala keluarga memilki tanggung jawab untuk menafkahi seluruh anggota keluarganya (Fuad 2006).

Pendapatan contoh

Pendapatan keluarga merupakan pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga keluarga tersebut. Pendapatan juga merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi (Sukandar 2010). Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Pendapatan perbulan keluarga yang diperoleh kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah atau yang manjadi tanggungan pendapatan keluarga tersebut sehingga diperoleh pendapatan/kapita/bulan contoh. Pendapatan/kapita/bulan contoh dikelompokan menjadi enam kelompok.

Tabel 9 menggambarkan sebaran contoh menurut pendapatan/kap/bln dan jenis kelamin contoh. Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebagain besar contoh perempuan hanya memiliki pendapatan di bawah Rp.400.000/kap/bulan sedangkan pada laki-laki menyebar sampai diatas Rp. 1 juta/kap/bulan. Hal ini menunjukkan bahwa contoh perempuan tidak terlalu berperan dalam mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dan yang paling berperan adalah laki-laki. Salah satu tugas dari kaum laki-laki sebagai kepala keluarga adalah mencari nafkah atau penghasilan untuk menghidupi anggota keluarganya (Djoko 2000).

Tabel 9 Sebaran contoh menurut pendapatan/kapita/bulan dan jenis kelamin

Pendapatan/kap/bulan (Rp) Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % 50 – 200 ribu 15 51.7 4 36.4 19 47.5 200 – 400 ribu 6 20.7 5 45.5 11 27.5 400 – 600 ribu 2 6.9 0 0.0 2 5.0 600 – 800 ribu 1 3.4 0 0.0 1 2.5 800 – 1 juta 2 6.9 2 18.2 4 10.0 > 1 juta 3 10.3 0 0.0 3 7.5 Total 29 100.0 11 100.0 40 100.0

Tabel 9 juga menunjukkan bahwa persentase tertinggi terdapat pada kelompok pendapatan Rp.50.000 – Rp.200.000 (47.0%) dengan laki-laki sebesar 51.7% dan perempuan sebesar 36.4%. Kelompok pendapatan ini ternyata berada di bawah garis kemiskinan Kabupaten Bogor. Menurut data BPS 2009, garis kemiskinan di Kabupaten Bogor yaitu Rp.223.218/kap/bulan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh berada di bawah garis kemiskinan atau dengan status ekonomi menengah ke bawah.

Menurut Fitri (2011), pendapatan keluarga akan menentukan alokasi pengeluaran pangan dan non pangan sehingga apabila pendapatan keluarga rendah akan menurunkan daya beli. Sebagian besar contoh yang berada di bawah garis kemiskinan ini disebabkan karena pengambilan contoh dilakukan di ruang rawat kelas III yang merupakan ruang rawat untuk pasien tidak mampu yang pembayarannya menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM) atau jaminan kesehatan masyarakat (JAMKESMAS).

Gambaran Umum Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit

Lokasi Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong berdekatan dengan kompleks Perkantoran Pusat Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Jl. KSR Dadi Kusmayadi No. 27. Rumah sakit tersebut memiliki luas bangunan sebesar 10.719 m² di atas lahan seluas 51.789 m². Jumlah tempat tidur mencapai 233 buah. Pelayanan yang disediakan oleh RSUD Cibinong terbagi menjadi rawat jalan, rawat inap, IGD, IBS, dan penunjang. Instalasi Gizi merupakan sarana penunjang kegiatan unit pelaksana fungsional dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur RSUD Cibinong. Instalasi Gizi dibangun di atas lahan dengan ukuran kurang lebih 15 x 12 m. Instalasi tersebut memiliki empat pola pelayanan gizi antara lain asuhan gizi pasien rawat jalan, asuhan gizi pasien rawat inap, penyelenggaraan makanan, serta penelitian dan pengembangan gizi terapan.

Penyelenggaraan makanan rumah sakit merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dimulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen atau pasien (Depkes 2006). Salah satu komponen makanan yang mengacu pada kerangka menu adalah lauk hewani. Kegiatan penyelenggraan di RSUD Cibinong sudah baik ditunjukkan dengan sudah dilaksanakannya semua tahapan dalam penyelenggaraan makanan dengan baik. Kegiatan penyelenggaraan makanan dimulai dengan tahap perencanaan menu. Perencanaan menu di Instalasi Gizi RSUD Cibinong dilakukan oleh tim ahli Gizi. Beberapa hal yang diperhatikan (syarat) dalam perencanaan menu adalah peraturan pemberian makanan di rumah sakit seperti alokasi anggaran dan kelas perawatan, standar resep, standar bumbu dan standar porsi (Depkes 2006).

Pemilihan jenis dan jumlah bahan pangan hewani pada proses perencanaan menu sangat diperhatikan mengingat harga bahan pangan hewani yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga bahan pangan lainnya. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan alokasi dana yang disediakan dari rumah sakit. Jenis bahan pangan hewani yang digunakan terdiri dari empat jenis yaitu

daging sapi, ayam, ikan kakap dan telur ayam. Keempat jenis pangan hewani ini divariasikan kedalam berbagai jenis menu yang kemudian disusun pada siklus menu.

Siklus menu yang digunakan di rumah sakit adalah siklus menu 10 hari dan ditambah menu ke-31. Susunan menu untuk kelas III dalam siklus menu 10 hari dan ditambah menu ke-31 dapat dilihat di Lampiran 1. Bahan pangan hewani yang paling banyak digunakan sebagai lauk hewani yaitu telur ayam sedangkan yang paling sedikit digunakan adalah ikan kakap. Hal ini dikarenakan harga telur ayam yang lebih murah dibandingkan dengan pangan hewani lainnya. Standar porsi untuk keempat jenis lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 10. Selain keempat jenis lauk hewani tersebut, di rumah sakit juga menggunakan nugget, sosis dan telur puyuh sebagai lauk hewani. Namun, sosis, nugget dan telur puyuh hanya digunakan untuk lauk hewani tambahan pada kelas VIP dan kelas I. Nugget juga digunakan ketika terjadi lonjakan pasien secara mendadak tanpa diketahui sebelumnya oleh pihak instalasi gizi dan hanya diberikan kepada pasien yang tidak menjalani diet khusus dari rumah sakit.

Tabel 10 Standar porsi lauk hewani di RSUD Cibinong

Jenis pangan hewani Standar porsi (g)

Ayam 50

Telur ayam 55

Ikan 55

Daging sapi 55

Tahap penyelenggaraan makanan selanjutnya adalah pemesanan bahan pangan. Pemesanan ini dilakukan kepada rekanan yang sebelumnya telah memenangkan tender yang dilaksanakan oleh pihak rumah sakit. Penerimaan bahan makanan basah dilakukan setiap hari. Pemeriksaan bahan makanan dilakukan oleh petugas penerimaan berdasarkan kriteria dari segi kualitas maupun kuantitas. Bahan pangan yang digunakan untuk makan siang langsung diolah oleh tenaga pengolah, sedangkan bahan pangan yang digunakan untuk makan malam disimpan terlebih dahulu di ruang penyimpanan seperti chiller.

Porses pengolahan semua masakan yang ada dalam kerangka menu dilakukan oleh tenaga pengolah yang telah ditentukan sebelumnya melalui jadwal piket. Pengolahan dilakukan sesuai dengan siklus menu yang sudah ditetapkan. Tahap terakhir dalam proses penyelenggaraan makanan adalah pendistribusian makanan. Pendistribusian yang dilaksanakan di rumah sakit ini terdiri dari dua jenis yaitu desentralisasi untuk ruang rawat kelas II, I dan VIP.

dan sentralisasi untuk ruang rawat kelas III. Proses pendistribusian diawali dengan proses pemorsian makanan di plato (piring saji untuk pasien) berdasarkan daftar jumlah pasien setiap ruangan dan jenis diet yang diberikan.

Persepsi Contoh terhadap Karakteristik Lauk Hewani

Lauk hewani yang disajikan diduga akan menimbulkan persepsi pasien terhadap lauk hewani tersebut. Persepsi merupakan proses memilih, menerima, mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi yang diterima oleh panca inderanya. Hasil interpretasi tersebut dapat berbeda-beda seseorang dengan orang lain (Rakhmat 2005). Persepsi terhadap lauk hewani digunakan untuk mendeskripsikan tingkat kesukaan terhadap lauk hewani yang disajikan. Tingkat persepsi contoh dikategorikan dari tingkat terendah sampai tertinggi yaitu tidak suka, kurang suka, suka dan sangat suka. Persepsi terhadap karakteristik lauk hewani meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan kesesuaian porsi. Terdapat empat jenis lauk hewani yang dipersepsikan oleh contoh yaitu ayam, telur ayam, ikan dan daging.

Persepsi contoh terhadap warna

Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan. Warna yang dihasilkan setiap lauk hewani berbeda-beda sehingga persepsi yang ditimbulkan juga berbeda. Sebaran contoh menurut persepsi terhadap warna lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap warna lauk hewani

Tingkat persepsi

Warna lauk hewani

Ayama Telurb Ikanb Dagingb

n % n % n % n % Tidak suka 1 2.5 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Kurang suka 12 30.0 2 5.0 6 15.0 1 2.5 Suka 27 67.5 38 95.0 34 85.0 39 97.5 Sangat suka 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 total 40 100.0 40 100.0 40 100.0 40 100.0

Ket: huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan persepsi contoh terhadap lauk hewani

Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa sebagian besar contoh berada pada tingkat persepsi suka dengan yang paling tinggi pada daging (97.5%) dan paling rendah pada ayam (67.5%). Masih terdapat contoh yang menyatakan kurang suka (30%) bahkan tidak suka (2.5%) pada lauk hewani ayam. Alasan contoh kurang menyukai warna ayam yaitu warnanya yang terlalu coklat. Warna ayam yang terlalu coklat diduga dikarenakan proses penggorengan ayam yang terlalu lama. Lauk hewani ikan juga masih terdapat 15.0% contoh yang kurang

menyukai warnanya. Hal ini dikarenakan warna ikan yang terlalu pudar dan warna kuning saos yang digunakan terlalu mencolok.

Warna makanan yang tidak menarik waktu disajikan akan mengakibatkan selera orang yang akan mengonsumsinya menjadi hilang (Moehy 1996). Hasil uji friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara keempat jenis lauk hewani pada persepsi contoh terhadap warna. Berdasarkan nilai chi-square perbedaan terlihat pada lauk hewani ayam dengan ketiga lauk hewani lainnya (ikan, telur, dan daging). Hal ini diduga karena warna lauk hewani ayam yang tertalu coklat sehingga contoh yang tidak menyukai warnanya.

Persepsi contoh terhadap aroma

Aroma yang disebarkan oleh makanan memilki daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera pencium sehingga membangkitkan selera (Munajat 2003). Setiap makanan mengeluarkan aroma yang berbeda-beda sehingga persepsi yang diberikan terhadap aroma makanan juga berbeda. Sebaran contoh menurut persepsi terhadap aroma lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 12.

Sebagian besar contoh menyatakan suka pada aroma keempat lauk hewani ini dengan persentase tertinggi pada daging (97.5%) dan terendah pada ayam (52.5%). Masih terdapat 37.5% contoh yang kurang menyukai aroma ayam, bahkan 10.0% contoh menyatakan tidak suka pad lauk hewani ayam. Hal ini dikarenakan penggunaan bawang bombay pada saos yang memiliki aroma yang terlalu tajam. Menurut Almatsier (2006), penggunaan bumbu yang berbau tajam sebaiknya dihindari pada pembuatan makanan untuk pasien di rumah sakit karena selain dapat menggangu saluran pencernaan, aroma yang timbul juga bisa mengganggu selera makan pasien. Masih terdapat 22.5% contoh yang memiliki persepsi kurang suka dan 5.0% contoh bahkan menyatakan tidak suka pada aroma telur ayam. Hal ini dikarenakan bau amis dari telur masih sedikit tercium

Tabel 12 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap aroma lauk hewani

Tingkat persepsi

Aroma lauk hewani

Ayama Telura Ikanb Dagingb

n % n % n % n % Tidak suka 4 10.0 2 5.0 0 0.0 0 0.0 Kurang suka 15 37.5 9 22.5 2 5.0 1 2.5 Suka 21 52.5 29 72.5 38 95.0 39 97.5 Sangat suka 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Total 40 100.0 40 100.0 40 100.0 40 100.0

Hasil uji friedman menunjukkan bahwa terdapat perdedaan yang nyata antara keempat jenis lauk hewani pada persepsi contoh terhadap aroma. Berbeda dengan warna pada aroma lauk hewani. Perbedaan terlihat pada lauk hewani daging dan ikan dengan lauk hewani ayam dan telur. Hal ini diduga karena terdapat contoh yang menyatakan tidak suka pada aroma ayam yang memiliki aroma yang tajam dan telur yang masih tercium bau amis.

Persepsi contoh terhadap tekstur

Tekstur dari setiap hidangan lauk hewani berbeda satu sama lain sehingga persepsi dari contoh juga berbeda. Sebagian besar contoh yang menyatakan suka terhadap tekstur lauk hewani yang disajikan hanya terdapat pada lauk hewani telur, ikan dan daging. Sebagian besar contoh (65.0%) menyatakan kurang suka dan 7.5% menyatakan tidak suka pada tekstur lauk hewani ayam dengan alasan teksturnya yang sedikit keras. Alasan yang sama juga terjadi pada lauk hewani ikan, dimana sebanyak 27.5% contoh memiliki tingkat persepsi kurang suka dan 2.5% contoh memiliki tingkat persepsi tidak suka. Berbeda dengan lauk hewani ayam dan ikan, alasan contoh memilki persepsi kurang suka (77.5%) dan tidak suka (2.5%) pada lauk hewani telur adalah tekstur putih dan kuning telur yang agak lembek. Hal ini diduga dikarenakan proses pengukusan telur yang kurang sempurna. Sebaran contoh menurut persepsi terhadap tekstur lauk hewani secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap tekstur lauk hewani

Tingkat persepsi

Tekstur lauk hawani

Ayamb Telura Ikana Daginga

n % n % n % n % Tidak suka 3 7.5 0 0.0 1 2.5 0 0.0 Kurang suka 26 65.0 9 22.5 11 27.5 3 7.5 Suka 11 27.5 31 77.5 28 70.0 34 85.0 Sangat suka 0 0.0 0 0.0 0 0.0 3 7.5 Total 40 100.0 40 100.0 40 100.0 40 100.0

Ket: huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan persepsi contoh terhadap lauk hewani

Makanan dengan tekstur dan konsistensi yang sesuai menurut kondisi atau keadaan pasien akan berpengaruh pada konsumsi makan pasien tersebut (Hartono 2006). Selanjutnya Munajat (2003) menjelaskan tekstur dan konsistensi suatu bahan makanan akan mempengaruhi citarasa yang ditimbulkan oleh bahan makanan tersebut. Perubahan tekstur dapat mengubah rasa dan bau yang timbul

karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelenjar air liur.

Hasil uji friedman menunjukkan bahwa terdapat perdedaan yang nyata antara tekstur keempat jenis lauk hewani. Nilai chi-square menunjukkan perbedaan persepsi hanya terdapat pada lauk hewani ayam dengan ketiga lauk hewani lainnya. Hal ini diduga karena sebagian besar contoh kurang karena teksturnya yang agak keras.

Persepsi contoh terhadap rasa

Sebaran contoh menurut persepsi terhadap rasa lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 14. Sebagian besar contoh juga memiliki persepsi suka terhadap rasa pada keempat jenis lauk hewani dengan persentase tertinggi yaitu pada lauk hewani ikan (77.5%) dan yang terendah pada lauk hewani ayam (50.0%). Hal ini menunjukkan bahwa, selain kurang menyukai warna, aroma dan tekstur, sebagian contoh juga kurang menyukai rasa dari lauk hewani ayam. Alasan contoh kurang suka bahkan tidak suka dengan ayam adalah rasa ayam yang agak hambar. Menurut Meriska (2004), rasa memegang peranan penting dalam cita rasa makanan karena mempunyai pengaruh yang dominan dengan melibatkan indera kecapan.

Tabel 14 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap rasa lauk hewani

Tingkat Persepsi

Lauk Hewani

Ayama Telura Ikana Dagingb

n % n % n % n % Tidak suka 2 5.0 3 7.5 2 5.0 0 0.0 Kurang suka 18 45.0 12 30.0 7 17.5 3 7.5 Suka 20 50.0 25 62.5 31 77.5 24 60.0 Sangat suka 0 0.0 0 0.0 0 0.0 13 32.5 Total 40 100.0 40 100.0 40 100.0 40 100.0

Ket: huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan persepsi contoh terhadap lauk hewani

Terdapat 17.5% contoh yang menyatakan kurang suka bahkan 5.0% contoh menyatakan tidak suka pada lauk hewani ikan. Hal ini menunjukkan bahwa selain contoh kurang menyukai tekstur ikan, contoh juga kurang menyukai rasa dari lauk hewani ini. Sebanyak 30.0% contoh juga menyatakan kurang suka bahkan 7.5% menyatakan tidak suka dengan rasa lauk hewani telur dengan alasan rasa yang agak hambar dan menyebabkan mual ketika dikonsumsi. Berbeda dengan ketiga lauk hewani lainnya, pada lauk hewani daging terdapat contoh yang menyatakan sangat suka (32.5%) dengan rasa dari lauk hewani ini. Hal ini dikarenakan rasa dari lauk hewani daging yang sudah enak. Menurut Hartono (2006), dalam keadaan sakit kondisi indera pengecap cenderung

terganggu sehingga pemeberian makanan harus memiliki citarasa yang menarik. Hasil uji friedman menunjukkan bahwa terdapat perdedaan yang nyata antara rasa lauk hewani daging dengan ketiga lauk hewani lainnya.

Persepsi contoh terhadap kesesuaian porsi

Porsi yang terlalu besar atau terlalu kecil akan mempengaruhi penampilan makanan itu sendiri sehingga berkemungkinan akan berpengaruh juga terhadap selera makan (Muchatob 1991). Porsi lauk hewani yang disajikan mengacu pada standar porsi lauk hewani yang diterapkan di rumah sakit. Sebaran contoh menurut persepsi terhadap kesesuaian porsi lauk hewani dapat dilihat pada Tabel 15.

Sebagian besar contoh juga menyatakan suka terhadap porsi pada keempat jenis lauk hewani yang disajikan. Hal ini menunujukan bahwa semua lauk hewani yang disajikan sudah memiliki porsi yang sesuai. Sebanyak 25.0% contoh menyatakan kurang suka pada porsi lauk hewani daging. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun contoh menyukai warna, aroma, rasa dan tekstur daging, namun contoh kurang menyukai porsi daging yang disajikan karena menurut contoh porsi daging yang disajikan kurang besar. Porsi makanan yang diberikan kepada pasien haruslah sesuai dengan kebutuhan pasien dan kemampuan pasien dalam mengonsumsi makanan sehingga pasien dapat mengonsumsi makanan dengan baik tanpa merasa makanan yang diberikan terlalu banyak atau sedikit (Almatsier 2006).

Tabel 15 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap kesesuaian porsi lauk hewani

Tingkat persepsi

Kesesuaian Porsi Lauk Hewani

Ayama Telurb Ikanb Dagingb

n % n % n % n % Tidak suka 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Kurang suka 4 10.0 1 2.5 1 2.5 10 25.0 Suka 35 87.5 39 97.5 39 97.5 30 75.0 Sangat suka 1 2.5 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Total 40 100.0 40 100.0 40 100.0 40 100.0

Ket: huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan persepsi contoh terhadap lauk hewani

Hasil uji friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara porsi keempat jenis lauk hewani yang disajikan. Nilai statistik uji ( chi-square) menunjukkan perbedaan hanya terdapat pada lauk hewani ayam dengan ketiga lauk hewani yang lain (telur, ikan dan daging). Hal ini dikarenakan terdapat

Dokumen terkait