• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi, Konsumsi dan Kontribusi Lauk Hewani pada Pasien Rawat Inap di RSUD Cibinong

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi, Konsumsi dan Kontribusi Lauk Hewani pada Pasien Rawat Inap di RSUD Cibinong"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

AL YASIR NENE AMA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

AL YASIR NENE AMA. Perception, Consumption and Contribution of Chicken, Eggs, Fish and Beef Dishes towards Patients in Cibinong Hospital. Under the guidance of SITI MADANIJAH and VERA URIPI.

The purpose of this study is to assess the perception, consumption and contribution of chicken, eggs, fish and beef dishes towards hospitalized patients in Cibinong Hospital. A total of 40 qualified respondents gave their perception on the characteristics (color, aroma, flavor, texture and portion) of the four types of dishes (chicken, eggs, fish and beef) that were served at the hospital. Consumption by the respondents were used to obtain the level consumption and its contribution towards whole menu and the respondent requirements. The results showed that most of the respondents satisfied by the four types of dishes but the level of consumption was still low. The contribution of the dishes towards the whole menu and the respondent requirements were fair. The results of correlation test showed no significant relationship (P> 0.05) between the characteristics of the sample with the perception of chicken, eggs, fish and beef dishes. There was a significant relationship (P < 0.05) between the respondents perception of chicken and fish dishes with the consumption levels while there was no significant relationship (P > 0.05) between the respondents perception of eggs and beef dishes with the level of consumption.

(3)

RINGKASAN

AL YASIR NENE AMA. Persepsi, Konsumsi dan Kontribusi Lauk Hewani pada Pasien Rawat Inap di RSUD Cibinong. Di bawah bimbingan SITI MADANIJAH dan VERA URIPI.

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mempelajari persepsi, konsumsi dan kontribusi lauk hewani pada pasien rawat inap di RSUD Cibinong. Tujuan khususnya yaitu (1) mempelajari karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jenis penyakit); (2) mempelajari persepsi contoh terhadap karakteristik lauk hewani yang disajikan; (3) mempelajari ketersediaan, konsumsi dan kontribusi energi dan protein lauk hewani; (4) menganalisis hubungan karakteristik contoh dengan persepsi contoh, serta; (5) menganalisis hubungan persepsi contoh dengan tingkat konsumsi energi dan protein lauk hewani.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang dilaksanakan di RSUD Cibinong, Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September – Oktober 2011. Contoh dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap di RSUD Cibinong. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah contoh yang telah memenuhi syarat inklusi dan digunakan dalam penelitian ini adalah 40 orang. Pengamatan persepsi contoh terhadap lauk hewani dilakukan pada siklus menu ke-1 dan ke-2 karena pada kedua siklus menu ini terdapat empat jenis lauk hewani yang berbeda (ayam, telur, ikan dan daging)

Persepsi contoh terhadap lauk hewani dikelompokkan menjadi kategori tidak suka, kurang suka, suka dan sangat suka pada setiap karakteristik lauk hewani (rasa, aroma, tekstur, warna dan kesesuaian porsi). Persepsi terhadap setiap karakteristik dinilai dan hasil penjumlahannya dikategorikan lagi menjadi tidak suka, kurang suka, suka dan sangat suka. Penjumlahan dari persepsi setiap karakteristik tersebut merupakan persepsi akumulatif terhadap setiap jenis lauk hewani.

Kebutuhan energi dihitung dengan cara memperkirakan kebutuhan energi contoh sesuai Angka Metabolisme Basal (AMB), faktor aktifitas dan faktor stres. Ketersediaan lauk hewani dihitung berdasarkan standar porsi yang digunakan di rumah sakit. Perkiraan kebutuhan protein sehari dihitung dari 15.0% total kebutuhan energi sehari. Konsumsi lauk hewani contoh dihitung menggunakan metode pengamatan langsung dengan melihat sisa makanan. Analisis data dilakukan secara statistik deskriptif menggunakan MS. Excel 2007 dan analisis statistik inferensia dengan program SPSS 16.0 for window yang menggunakan uji korelasi spearman untuk melihat hubungan antar variabel dan uji beda friedman test untuk melihat perbedaan persepsi contoh terhadap karakteristik lauk hewani.

(4)

Kegiatan penyelenggaraan makanan di RSUD Cibinong sudah baik, ditunjukkan dengan sudah dilaksanakannya semua tahapan penyelenggaraan makanan dengan baik. Pada proses perencanaan menu, pemilihan jenis dan jumlah bahan pangan hewani sangat diperhatikan. Jenis bahan pangan hewani yang digunakan yaitu daging sapi, ayam, ikan, telur ayam, nugget dan sosis.

Analisis persepsi contoh terhadap karakteristik lauk hewani menunjukkan terdapat contoh yang menyatakan tidak suka terhadap warna, aroma, tekstur, dan rasa dari ayam. Demikian juga pada telur dan ikan, terdapat contoh yang menyatakan tidak suka terhadap aroma telur, tekstur ikan serta rasa dari telur dan ikan. Berbeda dengan ketiga lauk hewani lainnya, sebanyak 32.5% dan 7.5% contoh menyatakan sangat suka pada rasa dan tekstur daging. Uji friedman menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata pada karakteristik warna, aroma, tekstur, rasa dan kesesuaian porsi pada keempat jenis lauk hewani.

Persepsi terhadap lauk hewani merupakan persepsi akumulatif contoh terhadap karakteristik (warna, aroma, tekstur, rasa dan kesesuaian porsi) setiap lauk hewani. Semua contoh dalam penelitian ini tidak memiliki tingkat persepsi tidak suka dan sebagian besar menyatakan suka pada keempat jenis lauk hewani yang disajikan. Hal ini menunjukkan bahwa lauk hewani yang disajikan sudah cukup diterima dengan baik oleh contoh. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata (P>0.05) antara karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, jenis penyakit, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan pendapatan) dengan persepsi contoh terhadap keempat jenis lauk hewani.

Ketersediaan lauk hewani yang disajikan sudah baik, namun konsumsi lauk hewani (energi dan protein) secara keseluruhan masih tergolong rendah. Tingkat konsumsi lauk hewani terhadap ketersediaan juga tergolong rendah terutama pada telur ayam. Tingkat konsumsi ini diperoleh dengan membandingkan jumlah lauk hewani (energi dan protein) yang dikonsumsi dengan lauk hewani yang disajikan. Tingkat konsumsi yang rendah pada telur ayam disebabkan oleh anggapan atau kepercayaan contoh bahwa dalam keadaan setelah operasi atau luka operasi yang belum sembuh pantang untuk mengonsumsi lauk hewani terutama telur ayam. Kontribusi yang diberikan oleh lauk hewani sudah baik; sudah melebihi 25% total ketersediaan. Kontribusi ini diperoleh dengan membandingkan jumlah lauk hewani (energi dan protein) yang disajikan dengan satu kesatuan menu makanan (energi dan protein). Kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan contoh diperoleh dengan membandingkan konsumsi lauk hewani (energi dan protein) dengan total kebutuhan energi dan protein contoh. Kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan contoh berkisar antara 3.2% sampai 5.1% untuk energi dan 5.2% sampai 10.2% untuk protein.

Uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan nyata positif (p<0.05) antara persepsi contoh terhadap lauk hewani ayam dan ikan dengan tingkat konsumsinya; tingkat persepsi yang baik diikuti juga dengan tingkat konsumsi yang baik. Tidak terdapat hubungan nyata (p>0.05) antara persepsi contoh pada lauk hewani daging dan telur dengan tingkat konsumsinya; persepsi contoh yang baik belum tentu diikuti dengan tingkat konsumsi yang baik pula dan sebaliknya.

(5)

PERSEPSI, KONSUMSI DAN KONTRIBUSI LAUK HEWANI

PADA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD CIBINONG

AL YASIR NENE AMA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Sarjana Gizi pada

Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

Judul : Persepsi, Konsumsi dan Kontribusi Lauk Hewani pada

Pasien Rawat Inap di RSUD Cibinong

Nama : Al Yasir Nene Ama

NIM : I14096015

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dr. Vera Uripi

NIP. 19491130 197603 2 001 NIP. 19511207 198803 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS

NIP: 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia

dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Persepsi, Konsumsi dan Kontribusi Lauk Hewani pada Pasien Rawat Inap di RSUD Cibinong”. Tak lupa shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW

yang selalu menjadi teladan bagi kita semua. Terselesaikannya penulisan skripsi

ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu,

penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dan dr. Vera Uripi selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan

arahan, kritik, dan saran, serta dorongan kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi.

2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemandu seminar dan dosen

penguji skripsi atas segala masukan yang telah diberikan.

3. Ibu Maria Tambunan, SKM, M.Kes selaku Kepala Instalasi Gizi RSUD

Cibinong dan seluruh staf Ahli Gizi di RSUD Cibinong yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di

rumah sakit ini.

4. Ayah dan ibunda tercinta serta seluruh keluarga besar penulis yang

senantiasa memberikan doa dan dukungan yang tiada terhingga selama

proses pembuatan skripsi.

5. Para enumerator yaitu Meilita Kusramadhanti, Harsy Melisanda, Wiwiet

Mutiah dan Mury Kuswari yang telah membantu dalam pengambilan data di

rumah sakit, serta saran dan bantuannya yang telah diberikan kepada

penulis.

6. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak

langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Allah membalas segala kebaikan dengan pahala dan kebaikan yang

lebih besar dan semoga skrispsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

memerlukan.

Bogor, Maret 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Juni 1988 di Larantuka, Kabupaten

Flores Timur, NTT. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara

pasangan Khaidir K Notan dan Annisa. Pendidikan Sekolah Dasar hingga SLTP

ditempuh penulis di kota kelahirannya hingga tahun 2003, kemudian

melanjutkan pendidikan SLTA di SMA BPS&K Jakarta Timur dan lulus pada

tahun 2006.. Penulis melanjutkan Diploma 3 pada jurusan Manajemen Industri

Jasa Makanan dan Gizi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2009. Selama menjadi

mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan pernah

menjabat sebagai wakil ketua BEM Diploma IPB periode 2007-2008. Pada tahun

2009 Penulis juga pernah malaksanakan magang di Hotel Kartika Chandra

Jakarta selama tiga bulan dan praktek kerja lapang di RSUP Persahabatan

Jakarta selama empat bulan.

Setelah menjalani pendidikan D3, penulis melanjutkan pendidikan S1

pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia

IPB. Selama kuliah penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Dietetik di

Diploma IPB dan di Departemen Gizi Masyarakat IPB. Selain itu penulis juga

pernah menjadi staf pengajar di salah satu bimbingan belajar di Kota Bogor dan

menjadi reporter di GreenTV IPB. Pada bulan Maret 2011 penulis melaksanakan

Intrenship Dietetik di RSUD Cibinong. Selanjutnya pada bulan Juli – Agustus

2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kecamatan Bumijawa,

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Pelayanan Gizi Rumah Sakit ... 4

Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit ... 4

Persepsi ... 5

Karakteristik Makanan yang Mempengaruhi Persepsi ... 7

Konsumsi Pangan ... 9

Pangan Hewani sebagai Sumber Protein ... 11

KERANGKA PEMIKIRAN ... 14

METODE PENELITIAN... 15

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh ... 16

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 16

Pengolahan dan Analisis Data ... 18

Definisi Operasional ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Karakteristik Contoh ... 23

Gambaran Umum Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit ... 27

Persepsi Contoh terhadap Karakteristik Lauk Hewani ... 29

Hubungan Persepsi terhadap Lauk Hewani dengan Karakteristik ... 34

Tingkat Konsumsi terhadap Ketersediaan Lauk Hewani ... 41

Kontribusi Lauk Hewani ... 45

Hubungan Persepsi dengan Tingkat Konsumsi Lauk Hewani ... 46

KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

Kesimpulan ... 49

Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kandungan asam amino esensial beberapa sumber pangan hewani…... 12

2 Jenis data dan cara pengumpalan data ………. 17

3 Faktor aktifitas dan faktor injuri/stress ……….………..… 19

4 Variabel penelitian dan kategorinya ………..……….… 21

5 Sebaran contoh menurut umur dan jenis kelamin ………...… 24

6 Sebaran contoh menurut jenis penyakit dan jenis kelamin ………. 24

7 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin ………… 25

8 Sebaran contoh menurut pekerjaan dan jenis kelamin ………... 25

9 Sebaran contoh menurut pendapatan/kapita/bulan dan jenis kelamin … 26 10 Standar porsi lauk hewani di RSUD Cibinong ……….. 28

11 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap warna lauk hewani ……….. 29

12 Sebaran contoh menurut Persepsi terhadap aroma lauk hewani ……….. 30

13 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap tekstur lauk hewani ………. 31

14 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap rasa lauk hewani ………… 32

15 Sebaran contoh menurut persepsi terhadap kesesuaian porsi lauk hewani ………. 33

16 Sebaran contoh menurut umur dan persepsi terhadap lauk hewani ……. 35 17 Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan persepsi terhadap lauk hewani……….. 35

18 Sebaran contoh menurut jenis penyakit dan persepsi terhadap lauk hewani……... 36

19 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan persepsi terhadap lauk hewani……….. 38

20 Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan dan persepsi terhadap lauk hewani ………. 39

21 Sebaran contoh menurut besar pendapatan dan persepsi terhadap lauk hewani……….. 41 22 Ketersediaan dan konsumsi lauk hewani ………..………... 43 23 Sebaran contoh menurut tingkat konsumsi terhadap ketersediaan lauk hewani ….……… 43

(11)

DAFTAR GAMBAR

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Siklus Menu pasien kelas III di RUSD Cibinong ………... 56

2 Kandungan energi dan protein setiap lauk hewani yang disajikan ……...… 58

3 Konsumsi lauk hewani contoh ……….... 59

4 Ketersediaan satu kesatuan menu dalam satu kali waktu makan ……….... 60

5 Hasil uji korelasi spearman antara karakteristik contoh dengan persepsi terhadap lauk hewani ……….... 61

6 Hasil uji korelasi spearman antara persepsi contoh dengan tingkat konsumsi energi dan protein lauk hewani………...…. 61

7 Hasil uji beda friedman persepsi contoh terhadap karakteristik keempat

jenis lauk hewani………... 62

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumah Sakit dapat diartikan sebagai salah satu tempat pelayanan

kesehatan masyarakat, termasuk di dalamnya kegiatan pemberian makanan

untuk kesehatan pasien. Sama halnya dengan perawatan dan pengobatan

penyakit, pengaturan makanan juga merupakan satu kesatuan proses

penyembuhan penyakit. Pengaturan makanan di rumah sakit disebut dengan

pelayanan gizi. Pelayanan gizi rumah sakit adalah serangkaian kegiatan untuk

memenuhi kebutuhan gizi pasien rumah sakit yang pelayanannya disesuaikan

dengan keadaan pasien yaitu keadaan klinik, status gizi, dan metabolisme tubuh

pasien. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan

penyakit sehingga pelayanan gizi dapat menjadi salah satu faktor penunjang

utama proses penyembuhan (Depkes 2006). Pemenuhan kebutuhan zat gizi

tersebut dilaksanakan dalam kegiatan penyelenggaraan makanan.

Penyelenggaraan makanan bagi orang sakit merupakan hal yang tidak

bisa ditinggalkan dalam upaya penyembuhan penyakit. Penyelenggaraanya juga

harus seiring dan sejalan dengan perawatan dan pengobatan yang diberikan.

Upaya peningkatan kebutuhan energi dan zat gizi pada pasien rawat inap

didukung adanya ketersediaan energi dan zat gizi dari rumah sakit melalui

kegiatan penyelenggaraan makanan. Penyelenggaraan makanan rumah sakit

adalah serangkaian kegiatan yang dimulai dari perencanaan menu sampai

pendistribusian makanan kepada konsumen dalam rangka pencapaian status

kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat. Tujuan akhir dari

kegiatan ini adalah tersedianya makanan yang baik dari segi kualitas dan

kuantitasnya untuk konsumen atau pasien. Salah satu komponen makanan

tersebut adalah lauk hewani.

Lauk hewani merupakan salah satu komponen kerangka menu yang

dapat divariasikan dan memberikan sumbangan zat gizi terutama protein dalam

satu satuan menu yang disajikan kepada pasien. Lauk hewani memiliki harga

lebih mahal dibandingkan dengan komponen menu yang lain. Berdasarkan data

harga bahan pangan periode September 2011, harga daging sapi, daging ayam,

telur ayam, beras dan tahu atau tempe masing-masing adalah Rp73.291/kg,

(14)

tersebut dapat menunjukkan bahwa harga bahan pangan hewani lebih mahal

dibandingkan dengan bahan pangan lainnya.

Protein lauk hewani pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan

lauk nabati. Protein pada lauk hewani disebut sebagai protein yang lengkap dan

bermutu tinggi, karena mempunyai kandungan asam-asam amino esensial yang

lengkap serta memiliki daya cerna yang tinggi sehingga jumlah yang diserap atau

yang digunakan oleh tubuh juga tinggi (Muchtadi 2010a).

Rasa lauk hewani yang enak membuat lauk hewani memegang peranan

penting dalam konsumsi makanan pasien. Walaupun demikian, konsumsi lauk hewani pada pasein yang dirawat di rumah sakit tidak sepenuhnya baik. Hal ini

diduga karena kondisi pasien yang sakit sehingga menurunkan nafsu makan

mereka termasuk nafsu untuk mengonsumsi lauk hewani. Penelitian yang

dilakukan oleh Meriska dan Meriska (2004) menunjukkan bahwa tidak semua

pasien dapat mengonsumsi dengan baik lauk hewani yang disajikan.

Sebagian pasien yang dirawat di rumah sakit harus menjalani diet tertentu

yang mungkin berbeda dengan kebiasaan makan sehari-hari di rumah, seperti

jenis makanan, cara menghidangkan, tempat makan, waktu makan, suasana

makan serta rasa dari makanan. Perbedaan tersebut akan menimbulkan

persepsi yang berbeda terhadap makanan yang disajikan di rumah sakit (Moehyi

1992). Hal ini dapat terjadi pula pada konsumsi lauk hewani yang disajikan di

rumah sakit. Persepsi pasien yang berbeda-beda pada lauk hewani yang

diberikan oleh rumah sakit dapat mempengaruhi pasien dalam mengonsumsi

lauk hewani tersebut. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan Munajat

(2003) serta Marlina dan Meriska (2004) mengenai persepsi makanan

menunjukkan bahwa persepsi pasien berpengaruh nyata terhadap tingkat

konsumsi pasien pada makanan yang disajikan di rumah sakit.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui apakah persepsi

pasien terhadap lauk hewani berpengaruh pada tingkat konsumsi pasien serta

bagaimana kontribusinya terhadap ketersediaan satu kesatuan menu dan

kontribusinya terhadap kebutuhan pasien dengan melakukan penelitian tentang

persepsi, konsumsi dan kontribusi lauk hewani pada pasien rawat inap di RSUD

(15)

Tujuan Penelitian

Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari persepsi, konsumsi dan

kontribusi lauk hewani pada pasien rawat inap di RSUD Cibinong Bogor.

Tujuan khusus

1. Mempelajari karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, pendapatan dan jenis penyakit).

2. Mempelajari persepsi contoh terhadap karakteristik lauk hewani yang

disajikan.

3. Mempelajari ketersediaan dan konsumsi lauk hewani serta kebutuhan

energi dan protein contoh.

4. Mempelajari kontribusi lauk hewani terhadap ketersediaan satu kesatuan

menu yang disajikan dan kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan

sehari contoh.

5. Menganalisis hubungan karakteristik contoh dengan persepsi contoh

6. Menganalisis hubungan persepsi contoh dengan tingkat konsumsi energi

dan protein lauk hewani.

Hipotesis

1. Terdapat hubungan positif antara karakteristik contoh (umur, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga) dengan

persepsi contoh terhadap lauk hewani (ayam, daging, ikan dan telur)

2. Terdapat hubungan positif antara persepsi contoh terhadap lauk hewani

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Pelayanan Gizi Rumah Sakit

Pelayanan gizi di rumah sakit adalah pelayanan yang disesuaikan dengan

keadaan pasien dan berdasarkan pada keadaan klinis, status gizi, serta status

metabolisme tubuhnya (Almatsier 2006). Tujuan umum pelayanan gizi rumah

sakit adalah terciptanya sistem pelayanan gizi dengan memperhatikan berbagai

aspek gizi dan penyakit. Hal tersebut dapat terlaksana melalui pemenuhan

kebutuhan zat gizi pasien melalui pemberian makanan. Pelayanan gizi yang

menjadi salah satu faktor utama penyembuhan, tentunya harus diperhatikan agar

pemberiannya tidak melebihi kemampuan organ tubuh untuk melaksanakan

fungsi metabolisme. pelayanan gizi harus selalu disesuaikan seiring dengan

perubahan fungsi organ selama masa penyembuhan (Depkes 2006).

Menurut Hartono (2006), tujuan pelaksanaan diet di rumah sakit yaitu: (1)

meningkatkan atau mempertahankan status gizi pasien; (2) mencegah intoleransi

terhadap jenis makanan tertentu serta meningkatkan atau mempertahankan daya

tahan tubuh dalam menghadapi penyakit atau cidera, khususnya infeksi; (3)

membantu kesembuhan pasien dari penyakit dan cidera dengan memperbaiki

jaringan yang rusak serta memulihkan keadaan homeostatis. Menurut

Subandriyo (1993), kegiatan pelayanan gizi merupakan kegiatan yang sangat

kompleks, yang melibatkan berbagai unit pelayanan kesehatan terkait, sehingga

memerlukan pengelolaan secara professional.

Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit

Penyelenggaraan makanan rumah sakit merupakan suatu rangkaian

kegiatan yang dimulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian

makanan kepada konsumen dalam rangka pencapaian status kesehatan yang

optimal melalui pemberian diet yang tepat. Kegiatan ini dilaksanakan dengan

tujuan untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik dan jumlahnya yang

sesuai dengan kebutuhan serta pelayanan yang layak bagi pasien atau

konsumen yang membutuhkannya (Depkes 2006). Menurut Tarwotjo (1998),

penyelenggaraan makanan berkaitan dengan kemampuan menghidangkan

makanan yang siap untuk dikonsumsi oleh konsumen atau pasien. Kegiatan ini

saling berkaitan satu sama lain, mulai dari perencanaan sampai pendistribusian

(17)

Penyelenggaraan makanan merupakan suatu sistem yang terpadu, yang

dikoordinasikan secara penuh dengan memaksimalkan tenaga kerja dan

mengutamakan kepuasan konsumen (Marlina 2004). Sistem penyelenggaraan

makanan yang dilakukan sendiri oleh pihak rumah sakit secara penuh disebut

penyelenggaraan makanan sistem swakelola. Pihak instansi atau unit pelayanan

gizi bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan semua kegiatan

penyelenggaraan makanan, mulai dari perencanaan sampai pendistribusian

kepada pasien atau konsumen pada penyelenggaraan makanan dengan sistem

ini (Depkes 2006).

Persepsi

Persepsi adalah proses dimana seseorang menjadi sadar akan

banyaknya stimulus yang mempengaruhi inderanya. Persepsi mempengaruhi

rangsangan atau pesan apa yang diserap dan apa makna yang diberikan ketika

orang mencapai kesadaran (Devito dalam Riyanto 2006). Definisi lain

dikemukakan oleh Yusuf (1991), persepsi secara sederhana dapat diartikan

sebagai pemaknaan hasil pengamatan individu mengenai suatu objek. Definisi

yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Rakhmat (2005) yang menyatakan

bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

pesan.

Berbagai definisi tersebut mengungkapkan bahwa persepsi adalah proses

dimana suatu individu berhubungan dengan berbagai hal di luar dirinya lalu

mencoba memberikan makna yang dikaitkan dengan kondisi dan keberadaan

dirinya. Seseorang mempersepsikan sesuatu karena dia mampu menangkap

sesuatu melalui inderanya dan memiliki berbagai kerangka rujukan yang

memungkinkannya untuk menginterpretasikan, memahami dan memberikan

makna terhadap sesuatu tersebut (Riyanto 2006). Menurut Rakhmat (2005),

persepsi bukan hanya ditentukan oleh jenis dan bentuk stimulus, tetapi

karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimulus. Karakteristik

tersebut dipengaruhi oleh faktor kebutuhan dan pengalaman masa lalu.

Tahapan proses persepsi

Menurut Devito dalam Riyanto (2006), proses persepsi digambarkan

dalam tiga tahap yang saling berkaitan satu sama lainnya. Tahapan tersebut

meliputi stimulasi alat indera, pengaturan stimulasi indera dan penafsiran atau

(18)

rangsangan oleh panca indera manusia. Indera manusia dirangsang sehingga

dapat merasakan sesuatu. Pengaturan stimulasi indera merupakan

pengorganisasian stimulus yang ditangkap indera dengan menggunakan

kerangka rujukan yang sudah dimiliki.

Penafsiran atau evaluasi merupakan proses subyektif yang melibatkan

evaluasi dari penerima. Penafsiran terhadap stimulus yang sudah diatur tidak

hanya ditentukan oleh stimulus dari luar tetapi juga oleh berbagai kondisi dalam

diri dan kerangka rujukan yang dimiliki orang yang mempersepsi tersebut.

Pengalaman masa lalu, kebutuhan, keinginan, sistem nilai, keyakinan tentang

yang seharusnya, keadaan fisik dan emosi merupakan beberapa faktor yang

akan menentukan proses penafsiran dan evaluasi tersebut (Riyanto 2006),

Faktor yang mempengaruhi persepsi

Persepsi terhadap suatu objek bisa bervariasi antara satu orang dengan

orang yang lainnya atau antara waktu dengan waktu yang lainnya. Hal ini terjadi

karena banyak faktor yang menentukan proses persepsi. Menurut Riyanto

(2006), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu faktor stimulus,

faktor perseptor dan faktor situasi. Faktor stimulus adalah faktor yang datang dari

obyek atau kejadian yang dipersepsi. Faktor stimulus ini dipengaruhi oleh dua

faktor yaitu kekuatan stimulus dan faktor-faktor penarikan yaitu faktor yang

secara potensial akan ikut menentukan penerimaan stimulus oleh panca indera

manusia dalam proses persepsi.

Faktor yang kedua yang mempengaruhi persepsi yaitu faktor perseptor

dalam persepsi. Faktor ini merupakan kumpulan faktor yang datang dari orang

yang melakukan proses persepsi. Menurut Sciffman dan Kanuk dalam Kholiq

(2009), setiap orang memiliki karakteristik fisik, latar belakang sosial budaya,

karakter psikologis dan karakter lainnya yang berbeda satu sama lain.

Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan di dalam kemampuan menangkap

realitas, menginterpretasikannya dan memberi makna di dalam proses persepsi.

Faktor terakhir yang mempengaruhi persepsi adalah faktor situasi. Persepsi juga

dipengaruhi oleh situasi atau konteks proses persepsi tersebut berlangsung.

Beberapa faktor yang termasuk faktor situasi ini antara lain faktor ekologis,

waktu, suasana, teknologi dan lingkungan sosial.

(19)

Karakteristik Makanan yang Mempengaruhi Persepsi

Menurut Subandriyo (1993), hal-hal yang terdapat dalam makanan yang

dapat digunakan sebagai bahan penilaian adalah warna, penampilan, aroma,

rasa, dan besar porsi. Persepsi contoh terhadap makanan yang disajikan oleh

rumah sakit meliputi persepsi terhadap karakteristik makanan yaitu rasa, aroma,

warna, tekstur dan besar porsi. Pengukuran terhadap persepsi dilakukan dengan

menggunakan skala. Contoh atau sampel diberikan pertanyaan untuk

mengindikasi seberapa besar dia menyukai makanan berdasarkan kriteria. Skala

pengukuran dapat dibedakan menjadi tidak suka, kurang suka, suka, dan sangat

suka. Skala hedonik adalah salah satu cara untuk mengukur derajat suka atau

tidak suka seseorang. Drajat kesukaan seseorang diperoleh dari pengalamannya

terhadap makanan yang akan memberikan pengaruh yang kuat pada angka

preferensinya (Suhardjo 1989).

Rasa makanan

Menurut Winarno (1997), rasa merupakan komponen flavor yang terpenting karena mempunyai pengaruh yang dominan yang lebih banyak

melibatkan indera kecapan (lidah). Hal yang sama dikemukakan juga oleh Wijaya

(2009), rasa memegang peranan penting dalam cita rasa makanan. Rasa

ditimbulkan oleh senyawa yang larut dalam air yang berinteraksi dengan reseptor

pada lidah dan indera perasa. Pertimbangan yang paling penting ketika memilih

sesuatu untuk dimakan adalah rasa makanan. Rasa makanan dibagi menjadi

lima macam yaitu asin, asam, manis, pahit dan gurih (Drummond dan Brefere

2004).

Menurut Moehyi (1992) rasa merupakan faktor kedua yang menentukan

cita rasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Apabila penampilan

makanan yang disajikan merangsang saraf melalui indera penglihatan sehingga

mampu membangkitkan selera untuk mencicipi makanan itu, maka tahap

berikutnya adalah cita rasa makanan yang ditentukan oleh rangsangan terhadap

indera pengecap. Beberapa faktor yang mempengaruhi rasa makanan adalah

aroma makanan, bumbu masakan, keempukan makanan, kerenyahan makanan,

tingkat kematangan serta suhu dari makanan tersebut.

Warna makanan

Pemilihan makanan untuk dikonsumsi sangat dipengaruhi oleh warna

makanan. Warna makanan yang tidak menarik waktu disajikan akan

(20)

makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan. Warna

makanan tidak hanya membantu dalam menentukan kualitas, tetapi dapat pula

memberitahukan banyak hal. Warna biasanya merupakan tanda kemasakan atau

kerusakan suatu makanan (Munajat 2003).

Warna makanan yang tidak menarik akan mengakibatkan selera orang

yang akan memakannya menjadi hilang, walaupun makanan tersebut enak.

Warna daging yang sudah berubah menjadi coklat kehitaman dan warna sayuran

yang sudah berubah menjadi pucat waktu disajikan akan menjadi sangat tidak

menarik dan menghilangkan selera untuk memakannya (Moehyi 1992).

Kombinasi warna merupakan faktor yang mempengaruhi indera penglihatan, oleh

karena itu tenaga pengolah makanan harus benar-benar mengerti adanya

perbedaan warna sebelum dan sesudah diolah. Prinsip pengolahan dasar

penyajian adalah sedapat mungkin mempertahankan warna alami yang ada

dalam makanan (Meriska 2004).

Aroma makanan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), aroma atau bau adalah

apa yang dapat ditangkap oleh indera penciuman. Aroma yang disebarkan oleh

makanan memiliki daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera

penciuman sehingga membangkitkan selera. Timbulnya aroma makanan

disebabkan oleh terbentuknya suatu senyawa yang mudah menguap dan dapat

terjadi akibat reaksi enzim atau tanpa terjadi reaksi enzim (Moehyi 1992).

Aroma yang dikeluarkan makanan berbeda-beda. Perbedaan dalam cara

memasak juga akan memberikan aroma yang berbeda pula. Penggunaan panas

yang tinggi dalam proses pemasakan, akan menghasilkan aroma yang kuat,

seperti pada makanan yang digoreng, dibakar dan dipanggang. Lain halnya

dengan makanan yang direbus yang hampir tidak mengeluarkan aroma yang

merangsang. Hal ini mungkin karena senyawa yang memancarkan aroma terlarut

dalam air (David dan Annie 2009).

Tekstur makanan

Semua makanan memiliki tekstur yang berasal dari bahan makanan itu

sendiri baik sebelum diolah atau sesudah diolah (Drummond dan Brefere 2004).

Menurut Winarno (1997), tekstur dan konsistensi suatu makanan akan

mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh makanan tersebut. Tekstur

merupakan rasa garing, keempukan serta kekerasan makanan yang dirasakan

(21)

karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel

reseptor dan kelenjar air liur. Tekstur dapat digunakan untuk menentukan

kualitas makanan dengan merasakan baik dengan jari, lidah, gigi atau

langit-langit (Sukarni dalam Munajat 2003).

Kesesuaian porsi

Tujuan pelayanan makanan dalam suatu institusi antara lain agar

konsumen mendapatkan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi baik

secara kualitas dan kuantitas. Untuk mencapai hal tersebut, setiap institusi

pelayanan makanan harus menentukan standar porsi dari setiap makanan yang

disajikan. Standar porsi adalah berat berbagai macam bahan makanan untuk

suatu menu yang dicantumkan dalam berat bersih dan sudah dibakukan untuk

dijadikan acuan (Subandriyo, Retnaningsih dan Sukandar 1997). Pentingnya

porsi makanan bukan saja berhubungan dengan penampilan makanan waktu

disajikan, tetapi berkaitan dengan perencanaan dan perhitungan pemakaian

bahan.

Potongan daging, ayam atau ikan yang terlalu kecil atau terlalu besar

akan merugikan penampilan makanan. Menurut Moehyi (1992), apabila

kebiasaan makan sesuai dengan makanan yang disajikan baik susunan menu

maupun besar porsi, pasien akan cenderung dapat menghabiskan makanannya,

sebaliknya bila tidak sesuai akan membutuhkan waktu untuk penyesuaian. Porsi

yang terlalu besar atau terlalu kecil akan mempengaruhi penampilan makanan itu

sendiri sehingga berkemungkinan akan berpengaruh juga terhadap selera makan

(Muchatob 1991).

Konsumsi Pangan

Kegiatan konsumsi adalah salah satu bagian dari sistem pangan dan gizi

yang dilakukan oleh masyarakat. Konsumsi pangan yang mencukupi baik secara

kuantitas dan kualitas menjadi indikator apakah seseorang memiliki status gizi

baik atau buruk. Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan

jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada

waktu tertentu (Hardinsyah dan Briawan 1994). Definisi ini menunjukkan bahwa

konsumsi pangan dapat ditinjau dari segi aspek pangan yang dikonsumsi dan

jumlah pangan yang dikonsumsi. Hartono (2006) juga menambahkan, makanan

yang dikonsumsi setiap hari tersusun dari unsur-unsur gizi yang diklasifikasikan

sebagai zat gizi makro (karbohidrat, lemak dan protein) dan zat gizi mikro

(22)

Penilaian konsumsi pangan

Menurut Riyadi (1995), penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan

jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Secara umum ada dua kriteria

untuk menentukan konsumsi pangan yaitu kalori dan konsumsi protein.

Kebutuhan kalori biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok sedangkan

protein dipenuhi dari konsumsi pangan hewani. Penilaian konsumsi pangan

dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Secara

kuantitatif dihitung dengan jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi,

sedangkan secara kualitatif dengan melihat kebiasaan makan, frekuensi

konsumsi pangan menurut jenis pangan dan frekuensi makan (Supariasa, Bakri

dan Fajar 2001).

Frekuensi makan

Frekuensi makan adalah berapa kali seseorang makan dalam satuan

waktu tertentu. Frekuensi makan merupakan salah satu faktor yang berhubungan

dengan kebiasaan makan (Sukandar 2010). Menurut Suhardjo (1989), kebiasaan

makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang

berhubungan dengan makanan frekuensi makan seseorang, pola makanan,

distribusi makanan antara anggota keluarga serta keadaan sosial dan budaya.

Frekuensi makan dapat diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu

maupun kali perbulan.

Menurut Subandriyo (1993), pada umumnya frekuensi makan dalam

sehari yaitu tiga sampai lima kali. Frekuensi makan tersebut terdiri dari makanan

lengkap dan makanan ringan atau selingan. Makanan lengkap (full meal) biasanya diberikan tiga kali sehari, yaitu makan pagi, siang dan malam. Selingan

biasanya diberikan dalam bentuk makanan ringan (snack) yang disajikan antara waktu makan pagi dan makan siang serta makan siang dan makan malam.

Frekuensi makan pasien di rumah sakit pada umumnya berkisar antara tiga

sampai enam kali sehari tergantung pada kelas perawatan dan jenis penyakitnya.

Kelas perawatan VIP dan kelas I biasanya memiliki enam kali frekuensi makan.

Beberapa rumah sakit juga menyediakan menu pilihan untuk kelas perawatan ini.

Kelas perawatan II dan III biasanya memiliki empat sampai lima kali frekuensi

makan dalam sehari dengan tiga kali makanan lengkap dan satu atau dua kali

(23)

Pangan Hewani sebagai Sumber Protein

Protein adalah molekul makro yang terdiri atas rantai-rantai panjang asam

amino yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida. Protein terbentuk dari

unsur-unsur organik yang relatif sama dengan karbohidrat dan lemak. Susunan

unsur protein yaitu karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Unsur nitrogen

merupakan 16% dari berat protein (Almatsier 2004). Menurut Kartasapoetra dan

Marsetyo (2003), pada unsur pembentukan protein ditemukan pula unsur mineral

seperti fosfor, belerang dan besi. Molekul Protein lebih kompleks dari pada

karbohidrat dan lemak dalam hal berat molekul dan keanekaragaman unit-unit

asam amino yang membentuknya.

Menurut Muchtadi (2010a), asam amino penyusun protein dapat dibagi ke

dalam tiga kelompok berdasarkan dapat atau tidaknya disintesis oleh tubuh. Tiga

kelompok tersebut antara lain asam amino esensial (valin, leusin, isoleusin, lisin,

treonin, metionin, fenilalanin dan triptofan), semi esensial (glisin, arginin, serin,

sistein, tirosin, dan histidin) dan non esensial (alanin, as. glutamat, as. aspartat,

sistin, prolin hidroksiprolin). Fungsi protein menurut Drummond dan Brefere

(2004) antara lain: (1) komponen pembangun struktur tubuh; (2) membangun

sel-sel yang telah rusak; (3) membentuk zat-zat pengatur seperti enzim, hormon dan

antibodi; (4) membantu transportasi besi, lemak, mineral dan oksigen; (5)

menjaga keseimbangan cairan dan asam basa; dan (5) sebagai cadangan

energi.

Sumber-sumber protein diperoleh dari bahan makanan yang berasal dari

hewan dan tumbuh-tumbuhan. Protein sebagai pembentuk energi tergantung

pada macam dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi. Menurut Muchtadi

(2010a), pada umumnya nilai gizi protein pangan nabati lebih rendah

dibandingkan dengan pangan hewani. Meskipun secara teoritis dapat disusun

campuran protein nabati sehingga nilai gizinya sama dengan protein hewani.

Konsumsi protein hewani memberikan beberapa keuntungan tambahan, antara

lain membantu penyerapan zat besi dan dapat mencukupi kebutuhan tubuh akan

vitamin dan mineral. Produk pangan hewani juga merupakan sumber vitamin dan

mineral yang baik.

Hasil-hasil pangan hewani yang sering dijadikan sebagai sumber protein

adalah daging (sapi dan ayam), telur ayam dan ikan. Protein yang terkandung

dalam pangan hewani disebut sebagai protein yang lengkap dan bermutu tinggi,

(24)

susunannya mendekati apa yang diperlukan oleh tubuh. Protein juga memiliki

daya cerna tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap (dapat digunakan oleh

tubuh) juga tinggi (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Hal yang sama juga

dikemukakan oleh Drummond dan Brefere (2004) bahwa protein yang

terkandung di dalam pangan hewani lebih mudah diserap oleh tubuh dan

mempunyai kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap. Kandungan

asam amino esensial beberapa sumber pangan hewanisecara lengkap dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan asam amino esensial beberapa sumber pangan hewani

AAE (mg/g N) Ikan Telur daging

Menurut Muchtadi (2010b), daging merupakan salah satu makanan yang

digemari kebanyakan orang karena memiliki rasa yang enak dibanding pangan

hewani lainnya. Komposisi daging terdiri dari air, protein, lemak dan mineral. Otot

daging mengandung 75.0 % air dan 25.0 % protein. Daging yang cukup tua dan

dipisahkan dari lemaknya mengandung kira-kira 18.0% sampai 20.0% protein.

Daging sapi mempunyai aroma yang lebih netral dibandingkan dengan kambing

dan daging babi, sehingga daging sapi lebih sering dikonsumi (Tarwotjo 1998).

Menurut yulianti (1996), Kualitas daging ditentukan oleh struktur daging

yang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan spesies daging tersebut. Proses

pemasakan pada daging akan berpengaruh pada kualitas protein. daging

merupakan sumber protein, mineral (fe dan fosfor) dan vitamin (thiamin,

riboflavin, dan niasin). Daging juga merupakan satu-satunya sumber protein

yang cukup memadai karena di dalamnya mengandung asam amino utama yang

dapat membangun jaringan tubuh dan otot.

Daging ayam

Daging ayam sangat digemari kebanyakan masyarakat karena memiliki

rasa yang enak, mudah dimasak dan cepat empuk jika dibandingkan dengan

(25)

hewani yang baik untuk memenuhi kebutuhan gizi. Keistimewaan yang daging

ayam adalah kandungan lemak yang rendah dan mengadung asam lemak tidak

jenuh (Deptan 2010). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Khomsan (2004)

bahwa Kandungan kolesterol dan lemak jenuh pada daging ayam rendah,

sehingga baik dijadikan sebagai sumber protein untuk penderita penyakit

degeneratif. Menurut Priyanto (2003), beberapa keunggulan daging ayam

dibanding pangan hewani yang lain yaitu: (1) daging ayam relatif murah

dibanding daging lain, (2) lebih baik dari segi kesehatan karena mengandung

sedikit lemak dan kaya protein, dan (3) mudah diolah menjadi produk olahan

yang bernilai tinggi, mudah disimpan dan dikonsumsi.

Telur ayam

Telur merupakan produk pangan hewani yang berasal dari ayam. Selain

dagingnya, ayam juga menyumbangkan protein yang bernilai tinggi melalui telur.

Telur merupakan sumber pangan hewani yang dapat dijangkau oleh masyarakat

sehingga dapat dikatakan telur sebagai sumber protein hewani yang bernilai

ekonomis. Menurut Drummond dan Brefere (2004), kandungan gizi terutama

protein pada telur ayam jauh lebih tinggi dibandingkan produk pangan hewani

lainnya. Kuning telur terdiri atas 50 % padatan, dari jumlah ini sepertiganya

adalah protein dan dua pertinga lainnya adalah lipid, sedangkan pada putih telur

mengadung sekitar 12 % protein (Sediaoetama 2006).

Ikan

Ikan mengandung protein tinggi khususnya untuk asam amino tak jenuh,

atau biasa dikenal dengan kandungan omega-3 yang sangat bermanfaat bagi

tubuh manusia (Cullen 2001). Muchtadi (2010b) menambahkan bahwa kadar

protein daging ikan segar bervariasi dari 10.0% sampai 21.0% %. Kualitas

protein ikan tergolong sempurna (protein lengkap) karena mengandung semua

asam-asam amino esensial dalam jumlah masing-masing yang mencukupi

kebutuhan tubuh. Bagi yang memiliki alergi terhadap jenis ikan tertentu

dianjurkan untuk selalu mengingatnya dan menghindari untuk mengonsumsinya

(26)

KERANGKA PEMIKIRAN

Keberhasilan penyelenggaraan makanan berupa tersedianya makanan

yang sesuai dengan kebutuhan pasien baik secara kualitas maupun kuantitas.

Menu yang disajikan menurut jenis dietnya didasarkan pada kesesuaian dengan

jenis penyakit dan tingkat komplikasi yang diderita oleh pasien di berbagai kelas

perawatan dengan memperhitungkan kebutuhan energi dan protein pasien.

Adapun menu yang disajikan mengacu pada kerangka menu yang meliputi

makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, dan buah. yang disajikan pada

waktu makan siang dan makan malam. Makanan yang disediakan tentunya

memiliki nilai gizi yang diperlukan pasien.

Lauk hewani merupakan salah satu jenis hidangan yang disediakan dan

sebagai penyumbang protein terbesar dalam satu kesatuan menu. Energi dan

protein yang terkandung dalam lauk hewani merupakan ketersediaan dari rumah

sakit yang menyumbang energi dan protein yang dibutuhkan pasien.

Ketersediaan energi dan protein lauk hewani yang disajikan akan berbeda tiap

menunya tergantung jenis dan jumlah bahan yang digunakan.

Lauk hewani yang disajikan memiliki karakteristik yang berbeda-beda,

meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan kesesuaian porsi. Perbedaan

karakteristik tersebut diduga dapat mempengaruhi persepsi pasien terhadap lauk

hewani yang disajikan. Faktor lain yang diduga mempengaruhi persepsi pasien

yaitu karakteristik individu (pasien) yang meliputi umur, jenis kelamin, jenis

penyakit, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.

Persepsi pasien terhadap lauk hewani akan memberikan pengaruh

terhadap konsumsi energi dan protein lauk hewani pasien. Dari konsumsi lauk

hewani pasien dapat diketahui seberapa besar tingkat konsumsi energi dan

protein terhadap ketersediaan lauk hewani dan seberapa besar kontribusi energi

dan protein lauk hewani terhadap kebutuhan pasien dan ketersediaan menu

yang disajikan. Secara singkat, kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada

(27)

Gambar 1 Kerangka pemikiran persepsi, konsumsi dan kontribusi lauk hewani pasien rawat inap

Kontribusi lauk hewani (energi & protein )

(28)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study karena pengumpulan variabel independen dan dependen dilakukan pada satu waktu

yang tidak berkelanjutan untuk menggambarkan karakteristik sampel dan

hubungan antar variabel. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Cibinong

Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilaksanakan bulan September – Oktober

2011.

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap di RSUD Cibinong

Bogor. Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil secara non probability sampel dengan teknik purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi (Notoatmodjo 2005).

Kirteria inklusi yang digunakan antara lain:

1. pasien yang dirawat di ruang perawatan kelas III

2. pasien rawat inap dengan kunjungan baru maksimal tiga hari rawat

3. pasien berjenis kelamin pria dan wanita dengan usia 18 – 65 tahun

4. mendapat empat jenis lauk hewani (ayam, daging, ikan dan telur) untuk

dikonsumsi

5. tidak memiliki pantangan dalam mengonsumsi pangan hewani

6. tidak mendapat diit rendah garam dan diet saring atau cair

7. tidak mendapat diet rendah protein yang membatasi konsumsi lauk

hewani

8. menjalani pengamatan selama tiga hari

9. penderita dalam kondisi tenang dan dapat diajak bekerja sama

Jumlah pasien yang dirawat di RS Cibinong pada bulan September

adalah 146 orang. Pasien yang memenuhi syarat inklusi dari 146 pasien adalah

48 pasien yang kemudian diambil sebagai sampel dalam penelitian ini. Selama

proses pengamatan terhadap 48 pasien, hanya 40 orang yang menjadi sampel

dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan kurang lengkapnya data yang diperoleh

dari contoh. Pengamatan persepsi pasien terhadap lauk hewani dilakukan pada

siklus menu ke-1 dan ke-2. Hal ini dikarenakan pada kedua siklus menu ini,

contoh mendapat empat jenis lauk hewani yang berbeda yaitu ayam, telur, ikan

(29)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data

primer meliputi data karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

pekerjaan, penghasilan dan jumlah keluarga), antropometri contoh (tinggi badan

dengan pendekatan tinggi lutut), persepsi contoh terhadap karakteristik makanan

(warna, rasa, aroma, tekstur dan kesesuaian porsi) serta data ketersediaan dan

data konsumsi lauk hewani. Data sekunder meliputi gambaran umum rumah

sakit, gambaran umum instalasi gizi dan jenis penyakit. Jenis dan cara

pengumpulan data secara umum dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis data dan cara pengumpalan data

Data Jenis data Cara pengumpulan

data Alat

Primer Wawancara Kuesioner

Antropometri (TB) Primer Pendekatan

pengukuran tinggi lutut

Primer Wawancara Kuesioner

Ketersediaan lauk

Konsumsi lauk hewani Primer Pengamatan langsung pada konsumsi contoh

-

Gambaran umum instalasi Gizi

Sekunder Mengacu ada arsip instalasi Gizi

-

Jenis penyakit Sekunder Mengacu pada buku

rekam medis

Buku rekam medis

Ketersediaan lauk hewani diperoleh dari berat bahan pangan hewani

(ayam, daging, ikan, telur) dan bahan tambahan lainnya yang digunakan untuk

pengolahan lauk hewani. bersat bahan tersebut diperoleh dari standar porsi

rumah sakit dan dengan metode sampling yaitu mengambil secara acak satu bahan pangan hewani untuk ditimbang. Hal ini dilakukan karena keterbatasan

peneliti dalam menimbang semua bahan lauk hewani yang akan disajikan

(30)

Pengukuran konsumsi contoh dilakukan dengan melihat sisa dari lauk

hewani yang dikonsumsi dengan menggunakan pendekatan ukuran rumah

tangga (URT). Ukuran yang digunakan mengacu pada Spears (2007) yaitu

0 (tidak dimakan), habis ¼, habis ½, habis ¾, dan 1 (habis semua). Hal ini

dikarenakan keterbatasan peneliti dalam mengumpulkan sisa konsumsi lauk

hewani semua contoh dan lauk hewani yang sudah tercampur dengan bahan lain

sehingga berat sisa lauk hewani tidak dapat diukur secara pasti.

Pengolahan dan Analisis Data

Data tentang karakteristik contoh yang meliputi umur, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, pekerjaan, besar penghasilan dikelompokkan berdasarkan

kriteria tertentu kemudian dianalisis secara deskriptif. Persepsi contoh terhadap lauk hewani dikelompokkan menjadi kategori tidak suka, kurang suka, suka dan

sangat suka. Persepsi diukur pada karakteristik (rasa, aroma, tekstur, warna dan

kesesuaian porsi) setiap lauk hewani. Persepsi terhadap setiap karakteristik

tersebut selanjutnya dinilai, kemudian semua persepsi terhadap karaktersitk

setiap lauk hewani dijumlahkan. Hasil penjumlahannya dikategorikan lagi menjadi

tidak suka, kurang suka, suka dan sangat suka. Penjumlahan dari persepsi

setiap karakteristik tersebut merupakan persepsi akumulatif terhadap setiap jenis

lauk hewani (ayam, daging ikan dan telur).

Kebutuhan energi dihitung dengan cara memperkirakan kebutuhan energi

contoh sesuai Angka Metabolisme Basal (AMB), faktor aktifitas dan faktor stres.

Angka metabolisme basal contoh diperoleh dari komponen tinggi badan dan

berat badan ideal contoh, dengan pengukuran tinggi badan contoh dilakukan

melalui pendekatan tinggi lutut. Menurut Arisman (2004), jika pasien tidak dapat

berdiri, pengukuran tinggi badan dapat dilakukan dengan cara pengukuran tinggi

lutut. Gibson (2005) membedakan penggunaan rumus tinggi lutut menjadi dua

kelompok yaitu berdasarkan Caucasian (ras Asia) dan African-American (ras Afrika-Amerika). Berikut rumus perhitungan tinggi badan dengan pendekatan

tinggi lutut.

Keterangan : U: umur (tahun); TL: tinggi lutut (cm)

Tinggi badan laki-laki (ras asia) = (2.08 x TL) + 59.01

Tinggi badan perempuan (ras asia) = (1.91 X TL) – (0.17 x U) + 75 Tinggi badan laki-laki (ras Afrika-Amerika) = 1.37 x TL + 58.72

(31)

Rumus pendekatan tinggi badan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah berdasarkan ras asia karena contoh dalam penelitian yang masuk ke

dalam ras ini. Tinggi badan yang diperoleh dari pendekatan pengukuran tinggi

lutut, kemudian digunakan untuk perhitungan berat badan ideal. Perhitungan

berat badan ideal dilakukan dengan menggunakan standar Brocca. Berikut

perhitungan berat badan ideal dengan Standar Brocca.

Keterangan: BBI: Berat Badan Ideal (kg); TB: Tinggi Badan (cm)

Tinggi badan dan berat badan ideal yang telah diperoleh, bersama umur

contoh akan digunakan dalam menghitung Angka Metabolik Basal (AMB) dengan

menggunakan rumus Harris-Benedict sebagai berikut (Almatsier 2006):

Keterangan: BBI: Berat Badan Ideal (kg); TB: Tinggi Badan (cm); U: umur (tahun)

Penetapan Angka Metabolisme Basal (AMB) contoh dikalikan dengan

aktivitas dan faktor injuri/stres untuk diterjemahkan menjadi kebutuhan energi

sehari contoh. Faktor aktivitas dan faktor stres contoh dalam perawatan di rumah

sakit dapat dilihat pada Tabel 3. Perkiraan kebutuhan protein sehari dihitung dari

15% total kebutuhan energi sehari (Almatsier 2006).

Tabel 3 Faktor aktifitas dan faktor injuri/stres

Jenis aktifitas Faktor

malam dikonversi ke dalam energi dan protein dengan menggunakan program

nutrisurvey dan atau Daftar Kandungan Bahan Makanan (DKBM). Konsumsi lauk hewani yang telah dihitung dengan menggunakan pendekatan ukuran rumah

tangga (URT) yaitu 0 ( tidak dimakan), habis ¼ , habis ½, habis ¾, dan 1 (habis

semua), kemudian dikonversi ke dalam energi dan protein lauk hewani dengan AMB untuk laki-laki = 66,5 + 13,7 (BBI) + 5,0 (TB) - 6,8 (U)

(32)

menggunakan program nutrisurvey dan atau Daftar Kandungan Bahan Makanan (DKBM).

Tingkat konsumsi lauk hewani (energi dan protein) terhadap

ketersediaannya dihitung dengan membandingkan jumlah energi dan protein

yang dikonsumsi dengan jumlah energi dan protein dari lauk hewani yang

disajikan di rumah sakit. Rumus perhitungan tingkat konsumsi dapat dilihat

sebagai berikut:

Tingkat konsumsi tersebut kemudian dikategorikan menjadi tingkat

konsumsi kurang (< 50%), tingkat konsumsi cukup (50% - 75%) dan tingkat

konsumsi baik (>75%).

Kontribusi lauk hewani terhadap ketersediaan satu menu dihitung dengan

membandingkan jumlah energi dan protein lauk hewani dengan total keseluruhan

energi dan protein dalam satu kesatuan menu dengan rumus perhitungan

sebagai berikut:

Ket: * satu menu = akumulasi dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah

Kontribusi lauk hewani terhadap kebutuhan dihitung dengan

membandingkan jumlah energi dan protein dari lauk hewani yang dikonsumsi

dengan kebutuhan total energi dan protein contoh dengan rumus perhitungan

sebagai berikut:

Analisis data secara inferensia dilakukan dengan menggunakan program

SPSS 16.0 for window. Uji yang digunakan yaitu uji korelasi spearman dan uji friedman. Uji spearman bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel yaitu hubungan antara karakteristik contoh dengan persepsi contoh dan persespi

contoh dengan tingkat konsumsi contoh. Uji friedman bertujuan untuk melihat perbedaan persepsi antara keempat jenis lauk hewani berdasarkan

karakteristiknya (warna, aroma, rasa, tekstur dan kesesuian porsi). Variabel

penelitian dan kategorinya dapat dilihat pada Tabel 4.

(33)

Tabel 4 Variabel penelitian dan kategorinya

Tingkat pendidikan - Tidak sekolah

- SD/sederajat

Penyelenggaraan makanan: serangkaian kegiatan yang dilakukan RSUD Cibinong mulai dari perencanaan menu, pembelian, penerimaan,

penyimpanan, pengolahan dan pendistribusian makanan.

Makanan rumah sakit: makanan yang disediakan oleh instalasi gizi rumah sakit untuk pasien rawat inap.

Kerangka menu: macam dan jenis hidangan yang disajikan dalam sekali waktu makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah).

Lauk hewani : salah satu hidangan dalam kerangka menu dengan bahan utama pangan hewani (daging sapi, ayam, ikan dan telur).

Persepsi pasien: reaksi dan tanggapan pasien terhadap makanan yang disajikan meliputi warna, aroma, tekstur, rasa dan besar porsi.

Warna makanan: keserasian warna lauk hewani yang disajikan yang ditangkap dengan indera penglihatan.

(34)

Rasa makanan: reaksi atau tanggapan pasien terhadap lauk hewani yang disajikan yang ditangkap dengan indera pengecap.

Tekstur makanan: keempukan atau kekerasan makanan yang dirasakan oleh indera pengecap.

Kesesuaian porsi: ukuran lauk hewani yang disajikan disesuaikan dengan menu yang lain (makanan pokok lauk nabati, sayuran, dan buah)

Ketersediaan lauk hewani: jumlah energi dan protein dari lauk hewani yang disajikan dari rumah sakit.

Konsumsi lauk hewani: jumlah energi dan protein lauk hewani dari rumah sakit yang dikonsumsi.

Kebutuhan energi dan protein: jumlah energi dan protein yang diperlukan seseorang agar hidup sehat.

Satu kesatuan menu: akumulasi berbagai jenis makanan atau menu yaitu makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah yang disajikan

dalam satu kesatuan.

Tingkat konsumsi lauk hewani terhadap ketersediaan: perbandingan jumlah energi dan protein dari lauk hewani yang dikonsumsi dengan

ketersediaan energi dan protein lauk hewani yang disajikan dari rumah

sakit.

Kontribusi lauk hewani terhadap satu kesatuan menu: perbandingan jumlah energi dan protein yang disumbangkan dari lauk hewani terhadap satu

kesatuan menu lengkap dalam satu kali makan.

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Contoh

Pengamatan persepsi pasien terhadap lauk hewani dilakukan pada siklus

menu ke-1 dan ke-2. Hal ini dikarenakan pada kedua siklus menu ini, contoh

mendapat empat jenis lauk hewani yang berbeda. Keempat jenis lauk hewani

tersebut antara lain: ayam asam manis mewakili lauk hewani ayam yang

disajikan pada makan siang siklus menu ke-1; semur telur mewakili lauk hewani

telur ayam yang disajikan pada makan malam siklus menu ke-1; kakap bumbu

acar mewakili lauk hewani ikan yang disajikan pada makan siang siklus menu

ke-2; serta gulai daging mewakili lauk hewani daging yang disajikan pada makan

malam siklus menu ke-2. Siklus menu ke-1 dan ke-2 secara lengkap dapat dilihat

pada Lampiran 1.

Semua pasien yang digunakan sebagai contoh dalam penelitian adalah

pasien yang dirawat di ruang rawat kelas III dikarenakan pengambilan sampel

hanya boleh dilakukan pada pasien kelas III dan keseragaman dalam pemberian

lauk hewani di kelas perawatan ini. Pasien yang mendapat diet rendah garam,

diet rendah protein dan diet saring atau cair tidak digunakan sabagai contoh

dalam penelitian karena lauk hewani yang disajikan kurang memiliki rasa;

menerapkan pengurangan konsumsi lauk hewani; dan pasien hanya

mengonsumsi makanan cair atau saring yang diolah dengan cara diblender.

Karakteristik contoh yang digunakan dalam penelitian ini meliputi umur contoh,

jenis kelamin contoh, tingkat pendidikan contoh, jenis pekerjaan, jenis penyakit

dan besar pendapatan. Contoh dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu

29 orang dibandingkan dengan contoh perempuan yaitu 11 orang.

Umur

Karakteristik umur contoh dikategorikan menjadi tiga kelompok menurut

WNPG 2004 yaitu pada skala 18-29 tahun, 30-49 tahun dan 50-64 tahun.

Sebaran contoh yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak (72.5%)

dibandingkan contoh perempuan (27.5 %) pada ketiga kelompok umur. Secara

umum, persentase contoh pada ketiga kelompok umur hampir sama yaitu 32.5%

(> 30 tahun), 37.5% (30-49 tahun) dan 30 % (< 30 contoh). Hal ini menunjukkan

bahwa contoh menyebar hampir secara merata pada ketiga kelompok umur baik

pada laki-laki maupun perempuan. Sebaran contoh menurut umur dan jenis

(36)

Tabel 5 Sebaran contoh menurut umur dan jenis kelamin

Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Jenis penyakit contoh dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu contoh

dengan jenis penyakit dalam dan bedah. Contoh penyakit yang dikelompokkan

dalam penyakit dalam antara lain: demam thypoid, hepatitis, pneumonia, TB paru, DBD, gastritis, dan stroke ringan, sedangkan jenis penyakit yang

dikelompokkan dalam bedah yaitu kanker prostat, usus buntu, infeksi luka, tumor,

hernia dan bedah orto. Sebaran contoh menurut jenis penyakit dan jenis kelamin

secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran contoh menurut jenis penyakit

Jenis penyakit Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Penyakit bedah 10 34.5 4 36.4 14 35.0

Penyakit dalam 19 65.5 7 63.6 26 65.0

Total 29 100.0 11 100.0 40 100.0

Secara keseluruhan contoh dengan jenis penyakit dalam lebih banyak

(65.0%) dibandingkan dengan contoh dengan jenis penyakit bedah (35.0%). Hal

ini dikarenakan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit ini lebih banyak masuk

ke dalam kelompok penyakit dalam dibandingkan dengan kelompok penyakit

bedah sehingga pada saat pengambilan sampel contoh dengan jenis penyakit

dalam tetap lebih banyak dibanding bedah.

Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu sumber daya yang penting untuk

menentukan pengetahuan seseorang dalam menerima informasi yang pada

akhirnya dapat menentukan tanggapan dan perilakunya (Fitriana 2011) Tingkat

pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal tertinggi yang dicapai oleh

seseorang. Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin secara

lengkap dapat dilihat pada Tabel 7.

Persentase tertinggi contoh berada pada tingkat pendidikan SD/sederajat

(37)

(45.5%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki tingkat

pendidikan yang masih rendah. Menurut Suhardjo (1989) tingkat pendidikan yang

tinggi akan mempermudah seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan

informasi khususnya tentang makanan yang baik untuk dikonsumsi, tetapi tingkat

pendidikan yang tinggi tidak selalu diikuti dengan pengetahuan dan perubahan

sikap dalam mengonsumsi makanan.

Tabel 7 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin

Tingkat pendidikan Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang juga merupakan faktor yang

paling menentukan dalam pemilihan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis

pekerjaan berhubungan erat dengan pendapatan (Suhardjo 1989). Sebaran

contoh menurut jenis pekerjaan dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran contoh menurut pekerjaan jenis kelamin

Jenis pekerjaan Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tertinggi pada contoh

perempuan yaitu pada kelompok tidak bekerja (54.5%). Hal ini menunjukkan

bahwa sebagian besar contoh perempuan tidak memiliki pekerjaan dan hanya

menjadi ibu rumah tangga. Berbeda dengan contoh perempuan, semua contoh

laki-laki memiliki pekerjaan dengan persentase tertinggi pada pekerjaan buruh

(31.0%). Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki memilki tuntuan lebih besar dalam

mencari nafkah sehingga harus bekerja dibandingkan dengan perempuan.

Laki-laki sebagai kepala keluarga memilki tanggung jawab untuk menafkahi seluruh

(38)

Pendapatan contoh

Pendapatan keluarga merupakan pendapatan yang digunakan untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga keluarga tersebut. Pendapatan juga

merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang

dikonsumsi (Sukandar 2010). Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar

peluang untuk memilih pangan yang baik. Pendapatan perbulan keluarga yang

diperoleh kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam

satu rumah atau yang manjadi tanggungan pendapatan keluarga tersebut

sehingga diperoleh pendapatan/kapita/bulan contoh. Pendapatan/kapita/bulan

contoh dikelompokan menjadi enam kelompok.

Tabel 9 menggambarkan sebaran contoh menurut pendapatan/kap/bln

dan jenis kelamin contoh. Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebagain

besar contoh perempuan hanya memiliki pendapatan di bawah

Rp.400.000/kap/bulan sedangkan pada laki-laki menyebar sampai diatas Rp.

1 juta/kap/bulan. Hal ini menunjukkan bahwa contoh perempuan tidak terlalu

berperan dalam mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dan yang paling

berperan adalah laki-laki. Salah satu tugas dari kaum laki-laki sebagai kepala

keluarga adalah mencari nafkah atau penghasilan untuk menghidupi anggota

keluarganya (Djoko 2000).

Tabel 9 Sebaran contoh menurut pendapatan/kapita/bulan dan jenis kelamin

Pendapatan/kap/bulan (Rp) Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Tabel 9 juga menunjukkan bahwa persentase tertinggi terdapat pada

kelompok pendapatan Rp.50.000 – Rp.200.000 (47.0%) dengan laki-laki sebesar

51.7% dan perempuan sebesar 36.4%. Kelompok pendapatan ini ternyata

berada di bawah garis kemiskinan Kabupaten Bogor. Menurut data BPS 2009,

garis kemiskinan di Kabupaten Bogor yaitu Rp.223.218/kap/bulan. Hal ini

menunjukkan bahwa sebagian besar contoh berada di bawah garis kemiskinan

Gambar

Tabel 1 Kandungan asam amino esensial beberapa sumber pangan hewani
Gambar 1  Kerangka pemikiran persepsi, konsumsi dan kontribusi lauk
Gambaran umum
Tabel 3 Faktor aktifitas dan faktor injuri/stres
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ruang lingkup penelitian digunakan agar penulisan penelitian ini lebih fokus sesuai dengan permasalahan yang ingin dibahas oleh penulis, maka penelitian ini

Disertasi dengan judul Makna Tradisi Gusjigang Pada Rumah Kaum Santri Pedagang di Kota Lama Kudus ini merupakan penelitian tentang kebudayaan masyarakat pada suatu

Dari pengertian di atas, disimpulkan bahwa kinerja karyawan adalah kemampuan mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan, dimana suatu target kerja dapat diselesaikan

[r]

oleh dan untuk masyarakat itu sendiri ( community itself ). d) mengembangkan program-program pendidikan non-formal dengan tetap. mengacu pada teknologi pendidikan non-formal

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kenaikan dan penurunan pendapatan Pemerintah Daerah di Pulau Sulawesi berdasarkan analisis rasio ketergantungan keuangan

PENGARUH PERILAKU KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF PADA KOMITMEN ORGANISASIONAL YANG DIMEDIASI OLEH PEMBERDAYAAN (Studi pada karyawan Dinas Pekerjaan

hasil evaluasi tersebut di atas maka Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Non Fisik menyatakan seleksi gagal. Demikian hasil evaluasi kualifikasi ini kami sampaikan,