• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Hubungan Panjang Berat Ikan Bilih

Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) yang berhasil dikumpulkan selama penelitian sebanyak 281 ekor, yang terdiri dari 82 ekor ikan jantan dan 199 ekor ikan betina. Kisaran panjang baku (SL) untuk ikan jantan adalah 82 – 158 mm, berat tubuh 6,4 – 37 gram, sedangkan untuk ikan betina panjang baku berkisar antara 81 – 158 mm, berat tubuh 6,1 – 31,2 gram. Kisaran ukuran ikan bilih selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kisaran Ukuran Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) setiap pengambilan sampel dari Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir. Waktu Jenis Kelamin Kisaran panjang (mm) Ukuran Berat (gram) Jumlah (ekor) 31 Mei Jantan 82 – 148 6,8 – 36,2 23 Betina 82 – 152 6,4 – 29,8 68 15 Juni Jantan 86 – 141 6,8 – 27 28 Betina 84 – 158 6,1 – 31,2 59 29 Juni Jantan 85 – 158 6,4 – 37 31 Betina 81 – 151 6,2 – 29,6 72 Sumber : Data Primer, 2014

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa ikan bilih betina paling pendek adalah ukuran 81 mm, dan terpanjang adalah ukuran 158 mm sedangkan ikan bilih jantan paling pendek adalah ukuran 82 mm, dan terpanjang adalah ukuran 158 mm. Beragamnya ukuran panjang baku ikan sampel yang didapatkan disebabkan oleh ukuran ikan yang tertangkap cukup bervariasi.

Persamaan dan pola pertumbuhan berdasarkan hubungan panjang berat ikan jantan dan ikan betina pada pengambilan sampel di Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan Panjang Berat Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis

Bleeker) setiap pengambilan sampel dari Sungai Aek Alian. Waktu Pengambilan Jenis Kelamin (n) Jumlah (N) b R 2 Pola Pertumbuhan 31 Mei Jantan 23 2,92 0,75 Allometrik negatif Betina 68 2,88 0,87 Total 91 2,92 0,83 15 Juni Jantan 28 2,96 0,88 Allometrik negatif Betina 59 2,59 0,75 Total 87 2,73 0,79 29 Juni Jantan 31 2,77 0,82 Allometrik negatif Betina 72 3,09 0,82 Total 103 2,96 0,82 Gabungan Jantan 82 2,87 0,82 Allometrik negatif Betina 199 2,87 0,81 Total 281 2,79 0,82 Ket : b = Nilai pola pertumbuhan

R2 = Koefisien korelasi

Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai “b” ikan bilih jantan berkisar antara 2,77 – 2,96 dan ikan bilih betina berkisar antara 2,59 – 3,09. Keseluruhan ikan bilih jantan dan ikan bilih betina di Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir memiliki nilai b < 3, sehingga dapat disimpulkan bahwa pola pertumbuhan ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) di Sungai Aek Alian adalah allometrik negatif yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan berat.

Pertumbuhan panjang berat ikan bilih pada setiap pengambilan sampel di perairan Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir disajikan pada Lampiran 2. Hubungan panjang berat secara keseluruhan disajikan pada gambar 6, 7, dan 8 dibawah ini.

Gambar 6. Hubungan panjang dan berat ikan bilih jantan

Gambar 7. Hubungan panjang dan berat ikan bilih betina

Gambar 8. Hubungan panjang dan berat ikan bilih secara total N = 82 y = 2E‐05x2.870 R² = 0.815 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 50 100 150 200 Bobot   (gr) Panjang (mm) N = 199 y = 2E‐05x2.868 R² = 0.810 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 50 100 150 200 Bobot   (gr) Panjang (mm) N = 281 y = 2E‐05x2.878 R² = 0.815 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 50 100 150 200 Bobot   (gr) Panjang (mm)

Hubungan Perubahan panjang dengan berat ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) jantan, betina dan gabungan (jantan dan betina) erat atau dapat dilihat dengan nilai koefisien korelasinya (R). Nilai koefisien korelasi untuk ikan ini berkisar antara 0,81 – 0,82.

Tabel 4. Nilai Koefisien Korelasi (R) Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis

Bleeker) Selama Penelitian.

No Jenis Kelamin Koefisien Korelasi

1 Jantan ( J ) 0,82

2 Betina ( B ) 0,81

3 Gabungan (G) 0,82

Nisbah Kelamin Ikan Bilih

Jumlah frekuensi ikan bilih jantan di perairan Sungai Aek Alian sebanyak 82 ekor dan jumlah frekuensi ikan bilih betina sebanyak 199 ekor. Perbandingan ikan bilih jantan dan ikan bilih betina sebesar 1:2,4. Jumlah ikan bilih betina lebih dominan dibandingkan dengan jumlah ikan bilih jantan. Hal ini terlihat dari nilai proporsi betina yang lebih besar dibandingkan nilai proporsi jantan. Untuk lebih jelas nilai nisbah kelamin ikan bilih disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Nisbah Kelamin Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) berdasarkan jenis kelamin di perairan Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir Waktu Pengamatan Jantan (Ekor) Betina (Ekor) Jumlah (Ekor) Proporsi jantan (%) Proporsi Betina (%) Perbandingan Jantan : Betina 31 Mei 23 68 91 25 75 1:2,9 15 Juni 28 59 87 32 68 1:2,1 29 juni 31 72 103 30 70 1:2,3 gabungan 82 199 281 29 71 1:2,4

Gambar 9. Nilai Proporsional Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) jantan dan betina di perairan Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir.

Faktor Kondisi Ikan Bilih

Hasil perhitungan faktor kondisi (FK) ikan bilih jantan maupun betina berdasarkan pertumbuhan allometrik negatif berada dalam kisaran 1 – 1,4. Ikan bilih di perairan Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir mempunyai bentuk tubuh kurang pipih (kurus), sesuai dengan harga FK yang diperoleh. Untuk lebih jelas nilai FK ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Faktor Kondisi Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) berdasarkan jenis kelamin di perairan Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir Waktu Pengambilan Jenis Kelamin Rata-rata Panjang (mm) Rata-rata Berat (g) Faktor Kondisi 31 Mei Jantan 124.3 19,0 1,4 Betina 129.3 21.5 1,0 15 Juni Jantan 125.2 19.4 1,2 Betina 128.3 21.1 1,1 29 Juni Jantan 124.6 19.4 1,0 Betina 127.9 20.7 1,1 Gabungan Jantan 124.7 19.3 1 Betina 128.5 21.1 1 Jantan 29% Betina 71% N = 281

Kualitas Air

Kondisi lingkungan perairan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan bilih. Faktor eksternal juga dapat mempengaruhi, diantaranya kondisi lingkungan perairan pada habitatnya. Hasil pengamatan kondisi kualitas perairan setiap stasiun di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7. Hasil pengukuran kualitas air di lokasi penelitian perairan Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir

No Parameter Satuan Hasil Pengukuran Stasiun 1 (Hulu Sungai)

1 Suhu oC 24,3 – 24,7

2 PH - 7,4 – 7,7

3 DO mg/L 8,39 – 8,45

4 Arus m/s 0,96 – 1,17

5 Kedalaman m 0,8 – 1,8

Stasiun 2 (Tengah Sungai)

1 Suhu oC 24,7 – 24,8

2 PH - 7,6 – 7,8

3 DO mg/L 7,71 – 7,75

4 Arus m/s 2,25 – 2,96

5 Kedalaman m 0,6 – 1,1

Stasiun 3 (Muara Sungai)

1 Suhu oC 24,8 – 25,2

2 PH - 7,5 – 7,7

3 DO mg/L 6,12 – 6,53

4 Arus m/s 4,20 – 4,76

Pembahasan

Hubungan Panjang Berat Ikan Bilih

Dari hasil analisis hubungan panjang berat maka diperoleh persamaan hubungan panjang berat ikan bilih jantan adalah W = 0.00002L2.870 dengan kisaran nilai b sebesar 2.870, persamaan hubungan panjang berat ikan bilih betina W = 0.00002L2.868 dengan kisaran nilai b sebesar 2.868. Berdasarkan nilai b yang diperoleh diketahui bahwa ikan bilih di perairan Sungai Aek Alian Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir memiliki pertumbuhan allometrik negatif, yang berarti pertumbuhan panjang ikan tidak sebanding dengan pertambahan beratnya (allometrik negatif) atau pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan beratnya. Hal ini diduga karena pergerakan yang lebih banyak dari ikan unutk melawan kecepatan arus pada perairan tempat ikan hidup.

Menurut Nofrita (2013) Populasi ikan bilih di Danau Singkarak mempunyai ukuran panjang berkisar 57,54-112,08 mm dengan berat berkisar 1,72-14,30 g dengan nilai b sebesar 3,004 sedangkan di Danau Toba mempunyai ukuran panjang berkisar 62,95-151,78 mm dengan berat berkisar 2,41-36,47 dengan nilai b sebesar 3,224. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (2002), bahwa nilai yang lebih besar atau lebih kecil dari 3 pertumbuhan ikan dikatakan

allometric. Jika nilai b < 3, maka pertambahan panjang ikan tersebut tidak seimbang dengan pertambahan beratnya.

Hasil ini memperlihatkan bahwa populasi ikan bilih di Sungai aek Alian mempunyai ukuran tubuh relatif lebih kurus, ikan bilih di Danau Toba mempunyai ukuran tubuh relatif lebih gemuk, sedangkan ukuran tubuh ikan bilih di Danau Singkarak lebih stabil yaitu pertambahan panjang selalu diikuti dengan

pertambahan berat. Untuk lebih jelas hubungan panjang berat di Danau Singkarak, Danau Toba, dan Sungai Aek Alian dapat di lihat pada Tabel 8 dibawah ini. Tabel 8. Hubungan Panjang Berat Ikan Bilih pada tiga wilayah Perairan

Ket : * (Nofrita, 2013)

Perbedaan tampilan pertumbuhan diduga karena adanya perbedaan kecepatan arus, ketersediaan makanan, faktor fisika dan kimia perairan atau kondisi lingkungan pada suatu perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nofrita (2013) bahwa perbedaan tampilan pertumbuhan dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan serta kondisi biologis masing-masing individu ikan. Secara umum, nilai b tergantung pada kondisi fisiologis dan lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, letak geografis dan teknik sampling dan juga kondisi biologis.

Bervariasinya nilai hubungan panjang berat ikan dipengaruhi juga oleh jenis kelamin ikan dan tingkat kematangan gonad. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pulungan dkk., (2000) bahwa nilai b dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : spesies ikan itu sendiri, kondisi perairan, jenis ikan, tingkat kematangan gonad (TKG), tingkat kedewasaan ikan, musim dan waktu penangkapan. Effendie (1997) bervariasinya nilai hubungan panjang berat karena adanya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, yaitu: (1) temperatur dan kualitas air; (2) ukuran; (3) umur dan jenis ikan itu sendiri; (4) jumlah ikan-ikan

Lokasi Panjang Berat b Pola Pertumbuhan Min (mm) Maks (mm) Min (g) Maks (g) Danau * Singkarak 57,54 112,08 1,72 14,30 3,005 Isometrik Danau * Toba 62,95 151,78 2,41 36,47 3,225 Alometrik positif Sungai Aek Alian 81 158 61 37 2,878 Alometrik negatif

Persamaan hubungan panjang berat ikan bilih yang diperoleh untuk ikan jantan, betina dan gabungan memiliki nilai rata-rata koefisien korelasi 0,82. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara pertambahan panjang ikan dengan pertambahan beratnya dimana dengan adanya pertambahan panjang akan diikuti dengan pertambahan beratnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sudjana (1996), bahwa nilai koefisien korelasi menyatakan adanya hubungan linear langsung antara kedua variabel. Hal ini diduga karena kondisi perairan yang mampu mendukung kehidupan ikan bilih dengan baik.

Nisbah Kelamin Ikan Bilih

Hasil perhitungan nisbah kelamin menunjukkan bahwa jumlah ikan bilih betina lebih mendominasi dibandingkan dengan jumlah ikan bilih jantan. Hal ini terlihat dari proporsi betina 71 % yang lebih besar dibandingkan nilai proporsi jantan 29 % . Perbandingan nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina dalam penelitian ini berkisar 1:2,4. Dalam menentukan jenis kelamin, dilakukan berdasarkan ciri seksual primer dengan membedah bagian perut untuk melihat gonadnya.

Jumlah ikan betina lebih banyak dibandingkan dengan ikan jantan, hal ini menguntungkan bagi peningkatan populasi ikan bilih, karena ikan-ikan betina akan bertelur dan memijah untuk menghasilkan benih-benih ikan. Perbedaan kondisi nisbah kelamin ikan ini dapat disebabkan faktor tingkah laku, perbedaan laju mortalitas, pertumbuhannya dan dapat diduga bahwa ikan bilih jantan dan ikan bilih betina tidak berada dalam satu area pemijahan, sehingga peluang tertangkapnya berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gurning dkk., (2014),

disebabkan pola tingkah laku bergerombol antara ikan jantan dan ikan betina, perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhan. Effendie (2002), bahwa jumlah ikan betina lebih banyak dibandingkan dengan ikan jantan karena dipengaruhi pola distribusi ketersediaan makanan, kepadatan populasi dan keseimbangan rantai makanan.

Faktor Kondisi Ikan Bilih

Berdasarkan hasil analisis faktor kondisi (FK) ikan bilih di perairan Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir, menunjukkan bahwa nilai FK ikan bilih selama pengamatan berkisar antara 1 – 1,4 untuk ikan bilih jantan, dan 1 – 1,1 untuk ikan bilih betina. Dari hasil pengukuran yang dilakukan memperlihatkan bahwa nilai rata-rata FK ikan bilih betina adalah 0,94 lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata FK ikan bilih jantan adalah 0,93 diduga karena bobot gonad dan pergerakan ikan betina lebih banyak dibandingkan dengan ikan jantan . Hal ini sesuai dengan pernyataan Suwarni (2009) bahwa ikan-ikan betina memiliki nilai faktor kondisi yang relatif lebih besar dibanding ikan jantan, disebabkan karena bobot gonad betina lebih besar dari ikan jantan. Peningkatan nilai faktor kondisi relatif terdapat pada waktu matang gonad dan mencapai puncaknya sebelum terjadi pemijahan. Dengan demikian fluktuasi faktor kondisi pada ikan tidak hanya dipengaruhi oleh bobot gonad tetapi juga oleh aktifitas selama pematangan dan pemijahan.

Ikan bilih betina mempunyai faktor kondisi sebesar 1 – 1,1 dimana ikan bilih betina di Sungai Aek Alian tidak gemuk atau bentuk badan pipih. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (1997) bahwa ikan betina yang nilai faktor

sedangkan ikan bilih jantan mempunyai faktor kondisi sebesar faktor kondisi sebesar 1 – 1,4 artinya bahwa ikan bilih jantan tergolong ikan yang bentuk badannya kurang pipih atau gemuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendie (1997), bahwa ikan yang nilai faktor kondisinya 1 – 3, maka ikan tersebut tergolong ikan yang bentuk badannya kurang pipih.

Nilai faktor kondisi yang bervariasi pada penelitian ini diduga disebabkan oleh jenis kelamin, umur, ukuran ikan yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lagler (1965) dalam sumarni (2009) bahwa variasi nilai faktor kondisi bergantung pada makanan, umur, spesies, jeniskelamin, dan tingkat kematangan gonad.

Kualitas Air

Kondisi lingkungan perairan merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi atau distribusi biota dari suatu perairan. Demikian juga dengan ikan bilih, distribusinya di alam juga dipengaruhi faktor eksternal, diantaranya kondisi lingkungan perairan pada habitatnya.

Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan bahwa rata-rata suhu yang didapatkan selama penelitian pada stasiun 1 adalah 24,50C, pada stasiun 2 adalah 24,70C, pada stasiun 3 adalah 250C. Kisaran suhu tersebut masih merupakan kisaran suhu normal yang masih dapat ditoleransi ikan bilih.Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartamihardja (2010), bahwa ikan bilih menyukai perairan yang jernih dan suhu perairan sekitar 26 – 280C.

Hasil yang diperoleh dari pengukuran pH air, dapat dijelaskan bahwa nilai pH air pada masing-masing stasiun penelitian tidak memperlihatkan variasi yang

rata nilai pH air tertinggi ditemukan pada stasiun 2 sebesar 7,7 dan rata- rata nilai pH terendah ditemukan pada stasiun 1 sebesar 7,6. Secara umum nilai pH yang didapatkan dari semua stasiun penelitian, baik pada stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 mampu mendukung kehidupan ikan bilih. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004, bahwa kisaran pH yang dapat menopang kehidupan organisme perairan adalah 6.50 – 8,50.

Kelarutan Oksigen (DO) pada perairan Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir memiliki kisaran DO rata-rata yang hampir sama pada setiap stasiun. Pada stasiun 1 memiliki DO rata-rata yaitu 8,42 mg/L, pada stasiun 2 memiliki DO rata-rata yaitu 7,73 mg/L, dan stasiun 3 memiliki DO rata-rata yaitu 6,32 mg/L, besaran DO di Sungai Aek Alian berada pada persyaratan hidup ikan bilih yaitu 6 – 8,5 mg/L. Hal ini sesuai dengan PP. No 82 Tahun 2001 yaitu lebih besar dari 4mg/L sesuai dengan pembudidayaan ikan air tawar.

Hasil yang diperoleh dari pengukuran kecepatan arus Sungai Aek Alian, pada stasiun 1 memiliki kecepatan arus rata-rata yaitu 1,06 m/s, pada stasiun 2 memiliki kecepatan arus rata-rata yaitu 2,62 m/s, dan stasiun 3 memiliki kecepatan arus rata-rata yaitu 4,42 m/s. Kecepatan arus suatu perairan dapat mempengaruhi pola pertumbuhan ikan, karena semakin cepat arus maka pergerakan ikan akan lebih banyak sehingga ukuran tubuh ikan akan lebih pipih. Perbedaan kecepatan arus antara hulu, tengah, dan muara sungai disebabkan karena keceptan aliran air pada sungai, dan kondisi substrat yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2004) bahwa arus laminar, yaitu arus air yang bergerak ke satu arah tertentu saja meskipun demikian sangat sulit untuk membuat

suatu batasan mengenai kecepatan arus, karena kecepatan arus di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit, aliran air, dan kondisi substrat yang ada.

Hasil pengukuran kedalaman perairan Sungai Aek Alian, pada stasiun 1 memiliki kedalaman rata-rata yaitu 0,98 m, pada stasiun 2 memiliki kedalaman rata-rata yaitu 1,12 m, dan stasiun 3 memiliki kedalaman rata-rata yaitu 2,6 m. Hal ini sesuai dengan kebiasaan hidup ikan bilih yang tergolong kepada ikan yang hidup dipermukaan atau ikan pelagis.

Pengelolaan Sumberdaya Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker)

  Populasi ikan bilih di Sungai Aek Alian perlu diperhatikan agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Adapun upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian ikan bilih adalah sebagai berikut :

a. Pengaturan Alat Tangkap

Alat tangkap yang digunakan harus alat tangkap yang ramah lingkungan, yaitu ukuran mata jaring yang digunakan hanya untuk menangkap ikan- ikan dewasa. Apabila mata jaring alat tangkap yang digunakan terlalu kecil maka ikan-ikan yang masih kecil akan tertangkap, sehingga populasi ikan bilih akan cepat punah tidak dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. b. Pengaturan Zonasi Penangkapan

Zonasi penangkapan ikan bilih perlu di atur agar ada lokasi-lokasi tertentu di Sungai Aek Alian yang digunakan sebagai tempat reservat / lubuk larangan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada ikan bilih memijah tanpa diganggu oleh nelayan. Dengan demikian apabila

ikan dewasa tertangkap maka akan terjadi penggantian oleh benih ikan dari lokasi lubuk larangan / reservat.

c. Pengawasan Sumberdaya Ikan Bilih

Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan bilih dengan cara menumbuh kembangkan sistem pengawasan masyarakyat dalam bentuk kelompok masyarakyat pengawas (POKMASWAS). Hal ini dimaksudkan agar kearifan lokal yang ada dimasyarakyat dapat dimanfaatkan untuk mengawasi sumberdaya perikanan di Sungai Aek Alian dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab seperti penggunaan alat tangkap yang terlarang atau introduksi jenis ikan baru yang dapat merugikan populasi ikan lain, seperti berkembangnya ikan sapu kaca di Sungai aek alian yang memangsa telur atau larva ikan bilih.

Dokumen terkait